mr B's Blog
gado-gado
Fundamentalisme Dalam Ilmu Ekonomi - PR 26 Oktober 2005

ARTIKEL

Rabu, 26 Oktober 2005

440_garis_atas.gif (100 bytes)
Fundamentalisme Dalam Ilmu Ekonomi
Oleh AKHMAD BAYHAQI

"Soal-soal ekonomi terlalu penting untuk hanya diserahkan ke tangan para ekonom." 

KATA-kata di atas ditulis oleh Dr. Daoed Joesoef, salah seorang ekonom paling senior dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1978-1983 dalam salah satu publikasi yang diterbitkan Ford Foundation (2003).

Melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, kata-kata tersebut patut mendapatkan perenungan yang lebih mendalam. Dalam kondisi perekonomian yang carut marut dan belum pulih dari krisis 1997, masalah ekonomi telah merambah seluruh kehidupan masyarakat, dari kalangan terbawah sampai lapisan teratas.

Masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM), rekapitalisasi perbankan, obligasi pemerintah, anjloknya nilai tukar rupiah memengaruhi kehidupan nyata masyarakat, tidak peduli apakah mereka mengerti atau paham masalah ekonomi atau tidak. Rakyat hanya bisa termangu-mangu saat nilai rupiah anjlok sebesar dari Rp 2.500,00 per dolar AS menjadi Rp 16.000,00 per dolar AS pada saat memuncaknya krisis tahun 1997.

Rakyat juga tidak mengerti mengapa bisa terjadi rush perbankan setelah krisis, dan mengapa tiba-tiba pemerintah harus menyelamatkan perbankan nasional dengan menerbitkan obligasi negara lebih dari Rp 640 triliun dan berutang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) untuk penanggulangan (semu) dari krisis. Semuanya itu menyebabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita sudah tidak cukup lagi untuk menanggung subsidi BBM, karena sebagian besar APBN habis digunakan untuk pembayaran utang luar negeri maupun utang dalam negeri.

Rakyat juga mungkin tidak habis mengerti bagaimana Indonesia, yang sebelumnya berlimpah uang minyak, tiba-tiba menjadi ”miskin” dan tidak lagi mampu bahkan untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Apa fungsi Pertamina, perusahaan minyak kebanggaan negara yang para direkturnya digaji sebesar Rp140 juta-Rp150 juta sebulan? Apa saja fungsi Pertamina selama lebih dari tiga dasawarsa ini?

Fundamentalisme modal

Adanya fundamentalisme modal dalam ilmu ekonomi, terutama menyangkut pertumbuhan dan pembangunan ekonomi bukanlah hal yang baru. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu King dan Levine (1994) menulis adanya kecenderungan fundamentalisme modal. Yang dimaksud dengan fundamentalisme modal adalah adanya pandangan bahwa akumulasi modal merupakan faktor penentu utama dalam memacu pertumbuhan ekonomi.

Pembangunan ekonomi di Indonesia pun tidak lepas dari adanya ”fundamentalisme modal” ini. Sebagai negara yang baru merdeka pada tahun 1945, dengan pendapatan nasional yang rendah, jelas tidaklah mungkin bagi Indonesia untuk mengandalkan modal domestik dalam membangun ekonomi. Karena itu sejak awal, penanaman modal asing (PMA) telah memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia.

Adalah wajar pula bila PMA akan lebih mengarah kepada sektor industri daripada sektor pertanian, karena keunggulan investor asing adalah bahwa mereka memiliki technological know-how dan ingin memanfaatkan pasar domestik ataupun sumber tenaga kerja murah yang ada di Indonesia. Di samping itu, ada pula kenyataan bahwa pola pertanian di Indonesia yang banyak didominasi oleh petani kecil. Selain itu, banyak negara maju asal PMA juga memproteksi sektor pertaniannya sehingga menyurutkan niat investasi yang masuk pada sektor ini. Dengan kata lain, secara tidak langsung, fundamentalisme modal ini telah meminggirkan sektor pertanian.

King dan Levine (1994) menyatakan bahwa akumulasi modal bukanlah ”sumber pemicu” dari pertumbuhan ekonomi, melainkan akumulasi modal hanyalah ”sebagian dari proses” pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Di negara barat, proses akumulasi modal terjadi berbarengan dengan tumbuhnya entrepreneur/wirausaha yang andal, yang terus berinovasi, sehingga mendorong perekonomian ke arah yang efisien dan produktif. Seperti tesis yang diajukan oleh Joseph Schumpeter, entrepreneur sebenarnya adalah sumber dari proses pertumbuhan ekonomi.

Di Indonesia, apakah proses akumulasi modal mendorong lahirnya entrepreneur? Tampaknya tidak. Usahawan belum tentu bisa dikatakan entreprenur. Usahawan atau pemilik modal bisa dikatregorikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah entrepreneur, yang terus berkreasi dan berinovasi untuk melihat peluang-peluang usaha baru, dan menghasilkan usaha yang produktif dan efisien. Bagi entrepreneur, laba akan terus diinvestasikan ke dalam aktivitas-aktivitas usaha baru yang lain untuk dapat terus mempertahankan eksistensinya di dunia bisnis.

Yang kedua adalah usahawan yang hanya mencari ”rente” ekonomi. Para pencari rente ini, hanyalah mengandalkan pemberian hak monopoli ataupun lisensi. Usahawan pencari rente ini tidak mengandalkan kegiatan yang produktif dan efisien untuk bertahan, namun mengandalkan berbagai macam proteksi, lisensi maupun subsidi. Laba yang diperoleh dari pencari rente ini tidak digunakan untuk upaya-upaya inovatif, namun lebih digunakan dalam upaya untuk tetap diproteksi dari pesaing-pesaing yang lain.

Gejala bahwa aktivitas investasi di Indonesia lebih didominasi oleh pencari rente bisa dilihat dari laporan UNIDO (2000). Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa proses industrialisasi yang terjadi di Indonesia adalah proses industrialisasi ekspor yang ”dangkal”. Bila negara-negara ASEAN lain telah menggeser komoditas ekspornya ke komoditas yang lebih bercirikan high-tech, Indonesia masih saja terus mengandalkan komoditas ekspor 'usang' dan statis, seperti tekstil dan kayu lapis misalnya. Indonesia juga dikatakan tidak memiliki industri barang modal, dan sangat bergantung kepada mesin alat produksi impor.

Gejala lain juga bisa dilihat dalam kondisi over-heating di tahun 1990-an. Kenaikan suku bunga (kredit) yang dipicu oleh "Gebrakan Sumarlin", sepatutnya dimaksudkan untuk mendorong usahawan agar mencari investasi yang lebih produktif dan menguntungkan. Alih-alih meningkatkan upaya untuk menjadi lebih produktif dan efisien, yang dilakukan justru mencari pinjaman dari luar negeri dengan suku bunga yang lebih murah yang akhirnya menyulut krisis tahun 1997.

Gejala lain adalah buruknya kualitas sistem perbankan di Indonesia, yang sepatutnya turut memperkokoh iklim investasi yang produktif dan efisien, malah terus terjebak dalan penyaluran kredit macet, dan bahkan hingga sekarang lebih memilih untuk membeli obligasi pemerintah dan menyalurkan kredit konsumsi daripada menyalurkannya untuk kegiatan investasi riil yang menguntungkan.

Setelah terjadinya krisis 1997, kembali Indonesia terjebak dalam fundamentalisme modal ini. Pemerintahan SBY dalam awal pemerintahannya, bahkan juga baru-baru ini, kembali menyuarakan pentingnya modal bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pemilik modal tampaknya memang telah menancapkan kuku kekuasaannya sedemikian dalam ke negara ini. Pada saat pemilik obligasi pemerintah serta pengincar projek pemerintah yang dibiayai APBN merasa terancam dengan pembayaran bunga serta nilai obligasinya dan kelangsungan projeknya karena besarnya subsidi BBM yang terancam menghabiskan anggaran, nilai rupiah dan pasar saham langsung bereaksi.

Apa yang harus dilakukan? Dalam jangka pendek, kelihatannya mungkin pilihan pemerintah sangatlah terbatas.

Sebenarnya fundamentalisme modal yang dibahas di atas bisa dilihat dalam konteks yang lebih luas. Sering kita melihat bahwa dalam keputusan penghapusan subsidi BBM, pemerintah memberikan terlalu banyak porsi bagi para ekonom. Dari segi ilmiah, advis kebijakan yang diberikan para ekonom bisa dikatakan valid, dalam kaitannya dengan logika ilmu ekonomi pula, yaitu efisiensi (baik efisiensi anggaran ataupun efisiensi perekonomian makro).

Sebenarnya dalam banyak hal permasalahan ekonomi, terlalu banyak keputusan ekonomi yang diambil pemerintah hanya berlandaskan logika ekonomi semata. Seperti dalam hal penanganan krisis perbankan 1997, penerbitan obligasi perbankan, dan barangkali juga dalam penghapusan subsidi BBM kali ini.

Mungkin sudah saatnya untuk selanjutnya ahli-ahli ilmu sosial yang lain turut dilibatkan dalam pengambilan keputusan ekonomi, sehingga tidak hanya dijadikan sekadar ”keranjang-sampah” dalam hal sosialisasi ataupun penanggulangan dampak kebijakan yang telah diputuskan. Lagipula, seperti yang pernah disenandungkan oleh seorang sahabat saya, ”ekonom juga manusia punya rasa punya hati".*** 

Penulis, adalah mahasiswa pascasarjana, Universitas Nasional Singapura.

2005-11-15 11:45:26 GMT
Comments (0 total)
1