Soal Listrik yang Tak Kunjung "Padam"
Gomos B Silitonga dan Raden Pardede
BELAKANGAN ini, banyak timbul pertanyaan sekitar kenaikan tarif listrik yang akhirnya merembet pada kecurigaan terhadap pengambilan keputusan investasi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Berita-berita tentang PLN tidak habis-habisnya sejak ketidakpuasan masyarakat atas kenaikan tarif listrik di awal Januari lalu.
BANYAK pihak mempertanyakan keputusan PLN dalam pembangunan pembangkit listrik di Muara Tawar, Jawa Barat. Tulisan ini mencoba membahas sedikit persoalan yang dihadapi PLN secara proporsional di tengah kemelut kelistrikan yang sebenarnya jauh lebih besar dari sekadar masalah tarif dan keputusan investasi. Disadari atau tidak, kenaikan harga listrik harus dilihat sebagai bagian dari permasalahan kelistrikan nasional yang memang sedang menghadapi kendala.
Kekurangan pasokan
Permasalahan utama dari kelistrikan nasional adalah kekurangan pasokan listrik. Ini terjadi karena PLN sebagai lokomotif listrik nasional tidak pernah membangun listrik secara signifikan setelah krisis ekonomi melanda. Akibatnya, pertumbuhan kapasitas terpasang listrik nasional antara tahun 1999-2001 hanya tumbuh rata-rata 1,13 persen per tahunnya. Pemakaian tenaga listrik naik 8,85 persen per tahun dalam periode yang sama.
Urgensi masalah pincangnya pertumbuhan pasokan dan pemakaian listrik ini mulai datang karena rasio beban puncak listrik (sebagai proxy sederhana terhadap tingkat pemakaian listrik) terhadap daya mampu telah mencapai angka 86,4 persen pada tahun 2001. Ini berarti, cadangan daya pada tahun 2001 hanya tersedia sekitar 13,6 persen. Padahal, patokan cadangan yang aman untuk rasio ini adalah 20-30 persen dari potensi pasokan.
Hasil akhir dari masalah kekurangan pasokan ini, tentu turunnya kualitas dari pasokan tersebut. Sampai akhir tahun 2001, frekuensi gangguan per pelanggan (system average interruption frequency index/SAIFI) dan lama gangguan per pelanggan (system average interruption duration index/SAIDI) telah menunjukkan 18,24x dan 17,48 jam selama tahun 2001. Padahal, kedua parameter tersebut pada tahun 1997 masih menunjukkan angka 12,81x dan 15,15 jam. Efek lanjutannya, bila jumlah pembangkit listrik di Jawa tidak ditambah dan pertumbuhan penggunaan tenaga listrik terus berjalan konstan, diramalkan tahun 2004 Pulau Jawa mulai harus terbiasa dengan pemadaman listrik secara bergiliran.
Kondisi ini akan merugikan kegiatan ekonomi di masa depan. Investor-dari dalam dan luar negeri-yang ingin menanamkan modal di Indonesia pun, pasti takkan berminat manakala melihat infrastruktur yang masih tak memadai.
Kondisi keuangan PLN
Jika cara melihat kondisi keuangan PLN dibagi menjadi dua horizon waktu sederhana, periode sebelum (1994-1996) dan setelah krisis ekonomi terjadi (1997-2001), kita akan mendapatkan gambaran keuangan yang sangat kontras. Sebelum krisis ekonomi, laba operasional PLN bisa mencapai Rp 1,94 trilyun. Setelah krisis terjadi, PLN menderita rugi operasi hingga mencapai Rp 5,5 trilyun pada tahun 1999. Padahal, pendapatan PLN secara konstan terus meningkat. Pada tahun 1994 pendapatan PLN hanya Rp 3,05 trilyun. Pada tahun 1996 pendapatan PLN telah mencapai Rp 9,64 trilyun, meningkat 216 persen dalam dua tahun.
Akan tetapi, seiring dengan nilai rupiah yang tererosi hingga mencapai nilai 25 persen relatif terhadap dollar AS pasca- krisis, PLN dihantam tiga permasalahan utama; 1) pembengkakan biaya operasional, 2) melambungnya nilai utang yang didominasi utang luar negeri, 3) besarnya biaya investasi relatif terhadap pendapatan.
Keterkaitan biaya operasional terhadap nilai dollar AS, terjadi karena komponen biaya bahan bakar dan pembelian listrik swasta memang kebanyakan ditetapkan dalam dollar AS. Paling tidak, tergantung pada penetapan harga bahan bakar oleh pemerintah yang bergerak sesuai dengan harga pasar dunia dan nilai kurs yang berlaku (untuk harga minyak diesel). Gambaran umum dari besaran biaya ini adalah, jika pada waktu tahun 1994-1996 porsi biaya bahan bakar dan pembelian listrik swasta (2 dari 5 komponen biaya operasional PLN) terhadap total penerimaan perusahaan rata-rata hanya sebesar 37,9 persen, maka pada tahun 1999 porsi dari dua komponen biaya terhadap penjualan akhirnya menjadi 92,4 persen.
Belum lagi perusahaan juga harus melakukan pembayaran beban utangnya yang sebagian besar berdenominasi dalam dollar AS, ditambah kerugian akibat perubahan kurs yang akhirnya menambah jumlah kerugian yang harus ditanggung. Jika pada tahun 1997, di awal krisis ekonomi, perusahaan mengalami rugi bersih Rp 579 milyar, pada tahun 2000 PLN mengalami kerugian yang meningkat secara drastis, mencapai Rp 24 trilyun yang di antaranya disebabkan beban bunga dan rugi kurs yang mencapai Rp 19 trilyun saat itu.
Beratnya beban yang harus ditanggung, akhirnya memang harus dibayar mahal karena perusahaan harus merestrukturisasi utangnya untuk melindungi jalannya kegiatan operasional. Restrukturisasi utang akhirnya dilakukan pada tahun 2000 dengan peran serta pemerintah untuk mengubah sebagian pinjamannya menjadi penyertaan modal kepada PLN untuk melindungi erosi modal yang terjadi dengan hebat antara tahun 1998-2000.
Dengan kondisi kinerja keuangan yang parah, praktis kegiatan investasi barang modal pun menurun. Jika pada tahun 1994-1996 PLN melakukan investasi barang modal rata-rata Rp 9,7 trilyun per tahun (ekuivalen 4 milyar dollar AS pada saat itu), maka pada tahun 2001 PLN hanya melakukan investasi barang modal Rp 1,85 trilyun (ekuivalen 185 juta dollar AS). Sehingga pada tahun 2001 total investasi barang modal PLN hanya 2,2 persen relatif terhadap nilai aktiva tetapnya.
Praktis, pada tahun 2001, PLN tidak melakukan investasi yang berarti karena jumlah investasi sebesar itu jauh lebih kecil daripada biaya depresiasi aktiva tetap perusahaan pada periode yang sama tercatat sebesar 4 persen dari total nilai aktiva tetap. Dengan kata lain, PLN tidak mampu meningkatkan umur asetnya. Ini mungkin salah satu penyebab indeks SAIFI dan SAIDI mengalami peningkatan di tahun 2001.
Tarif listrik, solusi akhir?
Dengan struktur biaya yang membengkak dan menyebabkan perusahaan merugi, ditambah tuntutan investasi untuk mengejar tingginya tingkat permintaan, wajar bila PLN bersama pemerintah memutuskan untuk meningkatkan tarif listrik. PLN mulai menaikkan tarif listrik secara bertahap pada tahun 1998 dan 2000 dengan kebijakan kenaikan tarif setiap tiga bulanan, ditempuh mulai Juni 2001 sampai kini. Hasil akhirnya, kenaikan tarif rata-rata 153 persen antara awal 1998 sampai Juni 2002. Kebijakan ini memang efektif untuk mengatrol pendapatan PLN.
Sebagai perbandingan, pendapatan PLN di enam bulan pertama tahun 2002 tercatat Rp 18,4 trilyun atau naik 180 persen dibandingkan dengan pendapatan PLN dalam enam bulan pertama tahun 1998 sebesar Rp 6,46 trilyun. Kebijakan ini akhirnya dapat mengangkat kinerja keuangan PLN karena selisih antara tarif rata-rata/KWh dan biaya operasional/KWh semakin kecil.
Data terakhir pada bulan Juni 2002 menunjukkan, hanya terpaut sekitar 4 persen dibandingkan 27,1 persen sepanjang tahun 1999. Menurut laporan keuangan terakhir perusahaan pada September 2002, laba operasi PLN sampai dengan 9 bulan pertama tahun 2002 telah menjadi positif sebesar Rp 225 milyar dibandingkan rugi operasional Rp 503 milyar pada 6 bulan pertama tahun 2002.
Pertanyaan selanjutnya, sampai kapan kenaikan tarif ini berlangsung? PLN berencana menaikkan tarif listrik sampai 7,5 sen dollar AS/KWh, karena pada tingkat tarif tersebut diharapkan nilai ekonomis dari produksi listrik akan tercapai. Nilai ekonomis tersebut tercapai berarti tarif sebesar itu dapat menutup biaya operasional, bunga atas utang, dan margin keuntungan untuk berinvestasi lanjutan yang akan datang.
Perlu diketahui, investasi lanjutan yang harus dilakukan PLN bukan hanya terkait pengadaan suplai listrik. PLN juga harus melakukan investasi untuk meremajakan dan menambah jaringan. Kualitas jaringan juga menjadi penentu tingkat keandalan aliran listrik.
Hitung-hitungannya, bila kita mengkonversi pada kurs Rp 9.000 per dollar AS, tarif rata-rata untuk penjualan listrik PLN per September 2002 yang sebesar Rp 437,7/KWh adalah US$$ 4,8 sen dollar/KWh. Itu berarti PLN masih menyediakan ruangan bagi kenaikan tarif 36 persen dari tarif sekarang, dengan asumsi kurs rupiah tetap. Jika kurs kembali ke atas Rp 10.000/dollar AS, ceritanya tentu akan lebih menyakitkan.
Sebaliknya juga, dapat terjadi. Terpenuhi atau tidaknya tarif tersebut, faktanya bahwa antara tahun 1993-1995 tarif listrik Indonesia selalu di atas 7 sen dollar AS dan terbukti pada tingkat tarif saat itu, investor mau menanam modal yang tentu berperan membantu dari kesulitan pengadaan pasokan listrik.
Kurangi kebocoran
Permasalahan baru timbul karena sejalan dengan kenaikan tarif, ternyata kebocoran penggunaan listrik meningkat. Susut energi untuk jaringan distribusi pada tahun 2002 menjadi 13,76 persen atau naik 51 persen dari kondisi tahun 2000 di mana parameter ini masih menunjukkan angka 9,08 persen. Kembali ke hitungan kasar, bila pertumbuhan penggunaan listrik sebesar 9 persen antara tahun 2002 dan 2001, kebocoran pemakaian daya PLN sebesar 4.520 GWh. Bila kita mengasumsikan tarif rata-rata PLN selama tahun 2002 sebesar Rp 425/KWh (perkiraan pada Juni 2002), berarti kerugian moneter Rp 1,92 trilyun bagi PLN.
Kebocoran di jaringan distribusi ini lebih besar disebabkan oleh peningkatan susut non-teknikal. Dengan bahasa sehari-hari, ini terjadi karena peningkatan pencurian listrik. Sebenarnya, PLN bisa mengatasi hal ini jika PLN mengubah struktur pencatatan penggunaan listrik secara digital. Sementara pada saat ini PLN masih mempertahankan pencatatan listrik secara manual dari rumah ke rumah yang sering ’salah’ dan akhirnya merugikan PLN dan pengguna listrik secara keseluruhan. Tapi, perubahan ke arah sistem digitalisasi ini tentu membutuhkan investasi yang tidak kecil, dan bukan suatu kebetulan bahwa PLN saat ini tidak mempunyai dana untuk investasi tersebut.
Pesan terakhir, kelistrikan nasional merupakan tanggung jawab kita semua, bukan beban PLN saja. Masing-masing pihak melaksanakan tanggung jawabnya. PLN harus melakukan efisiensi biaya dan pengawasan terhadap mutu pelayanan dan ini patut dituntut masyarakat. Tetapi, meskipun efisiensi biaya dilakukan dan kebocoran biaya dikurangi, berdasarkan hitung- hitungan di atas, ternyata biaya pengadaan listrik (yang meliputi biaya operasional, beban bunga, dan investasi kembali) tetap masih lebih tinggi dari tarif yang berlaku sekarang.
Oleh karena itu, kita (masyarakat), harus bisa menerima kenaikan tarif listrik yang nantinya akan menjamin kelangsungan pengadaan listrik di masa depan.
Gomos BSilitonga,Sekuritas Danareksa Analyst
Raden Pardede,Chief Economist PT Danareksa
|