Fokus Kebijakan di KTI; Intervensi dan Fasilitasi
Akhmad Bayhaqi, Pengamat Ekonomi, Analis Pengeluaran Publik untuk Decentralization Support Facility Eastern Indonesia (SOfEI)
DI era desentralisasi dan di tengah masih terkebelakangnya pembangunan di KTI, tidak bisa tidak, Pemda mesti melakukan intervensi dalam pengentasan kemiskinan, serta di pihak lain, memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, bukannya malah menciptakan sederet kebijakan yang kontraproduktif.
Seperti negara-negara di wilayah Asia Timur lainnya, Indonesia juga menganut paham bahwa negara memegang peranan kunci sebagai “agen pembangunan”. Hal ini telah menjadi salah satu asas yang dijalankan pemerintahan Orde Baru dengan slogannya; Trilogi Pembangunan yang terdiri dari Stabilitas Nasional yang dinamis, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya.
Dalam paradigma tersebut, negara mempunyai peranan yang aktif untuk mempertahankan stabilitas, memacu pertumbuhan ekonomi dan melakukan pemerataan. Pada akhirnya, disadari bahwa tidaklah mungkin bagi negara untuk terus melakukan intervensi secara aktif dalam mencapai tiga tujuan utama; stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan.
Namun dalam era desentralisasi ini, justru permintaan masyarakat akan peran serta pemerintah (daerah) semakin meningkat. Pemerintah Daerah (Pemda) dituntut untuk turut bertanggung jawab terhadap segala kemunduran ekonomi ataupun masalah lain yang terjadi.
Mengingat luasnya tuntutan masyarakat dan terbatasnya kemampuan anggaran Pemda, maka pada dasarnya perlu untuk dilakukan prioritas dalam alokasi anggaran maupun dalam fokus kebijakan pembangunan Pemda. Indikasi urusan wajib yang harus ditangani Pemda kurang mampu dalam memberikan kejelasan prioritas maupun fokus kebijakan Pemda.
Secara umum, ada dua kategori kebijakan pembangunan yang dapat dilakukan oleh Pemda, yaitu kebijakan intervensi, dan fasilitasi. Kedua jenis kebijakan ini seyogianya dapat digunakan untuk tujuan kebijakan yang berbeda pula.
Berdasarkan uraian di atas, fokus kebijakan pembangunan pemda dapat diarahkan kepada dua hal pokok. Yang pertama, fokus kebijakan penanggulangan kemiskinan. Dalam hal ini Pemda harus mempertimbangkan karakteristik-karakteristik RT di wilayah Indonesia Timur yang pada umumnya berbeda dengan wilayah kawasan Barat Indonesia (KBI). Dengan demikian, rekomendasi kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat bisa jadi tidak tepat untuk menanggulangi masalah kemiskinan di KTI.
Sebagai contoh, bila sasaran yang dipakai hanya merupakan “jumlah” penduduk miskin, maka jelas wilayah-wilayah di KTI akan masuk dalam kategori rendah, sementara daerah di Jawa akan masuk dalam kategori tinggi tingkat kemiskinannya. Namun bila kita pakai indikator persentase penduduk miskin, maka sebagian besar wilayah KTI akan masuk dalam kategori tinggi tingkat kemiskinannya, sementara wilayah KBI akan masuk kategori rendah-sedang tingkat kemiskinannya (kecuali untuk Nanggroe Aceh Darussalam).
Masalah kemiskinan di KTI lebih kompleks. Banyak penduduk di wilayah KTI yang telah bekerja, ternyata masih masuk dalam kategori miskin. Hal ini juga mengindikasikan bahwa fokus pada pertumbuhan ekonomi saja, mungkin belum akan dapat mengatasi masalah kemiskinan di KTI.
Karena itu, intervensi Pemda dalam hal kemiskinan masih di pandang perlu, terutama dalam penyediaan layanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. Namun dalam hal ini, Pemda juga tidak perlu bekerja sendirian. Kerja sama dengan lembaga-lembaga donor akan sangat membantu upaya mengatasi masalah kemiskinan.
Sementara itu, dalam masalah pertumbuhan ekonomi, tidak mungkin Pemda berperan sendirian tanpa ditopang oleh sektor bisnis dan dunia usaha lainnya. Kemampuan dana Pemda yang terbatas jelas tidak mungkin memenuhi kebutuhan perekonomian daerah akan investasi dan infrastruktur. Dalam hal ini, kebijakan Pemda harus diarahkan untuk memfasilitasi dunia usaha dalam melakukan bisnisnya demi tercapainya pertumbuhan ekonomi daerah.
Kontraproduktif
Yang sangat disayangkan adalah sebagian kebijakan Pemda terkait dengan perizinan maupun regulasi justru menambah beban dunia usaha dan perekonomian. Hal ini terkait dengan tuntutan untuk meningkatkan PAD, sehingga menyebabkan sebagian Pemda berorientasi jangka pendek dan memilih untuk meningkatkan pungutan-pungutan yang menghambat aktivitas ekonomi yang ada. Dalam jangka panjang, hal ini sebenarnya bisa berdampak menurunnya potensi penerimaan Pemda dari sektor PAD (pendapatan asli daerah) karena berkurangnya aktivitas ekonomi dan usaha disebabkan banyaknya unit usaha yang tutup atau memilih untuk pindah ke daerah lain.
Dampak dari reformasi dalam bidang desentralisasi memang tidak semuanya positif. Adanya peraturan daerah masih dipandang sebagai hambatan bagi para pelaku bisnis. Karena itu, tidak bisa tidak, sudah sepatutnyalah jika Pemda mendukung dan mempermudah proses perizinan usaha di daerahnya masing-masing.
Mengapa mesti begitu? Jawabnya sederhana saja. Hambatan atau tingginya biaya usaha akan berdampak buruk bagi kinerja perekonomian Pemda saat ini dan di masa yang datang. Hal ini disebabkan karena tingginya hambatan tersebut juga akan berdampak dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Dalam jangka pendek, banyak unit usaha yang mengalami penurunan aktivitas usaha atupun omzet usahanya. Lama-kelamaan, unit usaha ini bisa memilih untuk menutup usahanya sama sekali atau pindah ke daerah lain. Dalam jangka yang lebih panjang, hal ini juga bisa menumpulkan jiwa kewirausahaan dari para pelaku usaha di daerah, sehingga tidak ada lagi putra daerah yang memiliki jiwa entrepreneurship ataupun inovasi yang kuat.
Perpaduan dua kebijakan Pemda, yaitu intervensi dalam pengentasan kemiskinan, serta fasilitasi pertumbuhan ekonomi bukan tidak mungkin. Langkah pertama yang dapat ditempuh adalah dengan mengoptimalkan pelayanan publik dasar serta mengoptimalkan sumber daya fiskal yang dimiliki daerah.
Berbagai regulasi dalam bidang keuangan daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat,Departemen Dalam Negeri (Depdagri) maupun Departemen Keuangan (Depkeu) semua bertujuan jelas, untuk memaksimalkan dan mengefisienkan penggunaan dana APBD bagi sebesar-besarnya kepentingan masyarakat daerah terutama yang terkaitan dengan pelayanan dasar seperti di bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
Pelayanan publik yang memadai di bidang pendidikan dan kesehatan akan dapat membentuk kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai untuk dapat menggerakkan roda perekonomian sementara pembangunan infrastruktur yang memadai akan menyediakan ruang bagi dunia usaha untuk mengembangkan kegiatan bisnisnya dengan memanfaatkan pangsa pasar yang ada. **