ANALISIS EKONOMI
Memahami Perubahan, Mencari Terobosan
Faisal Basri
Banyak perubahan telah terjadi dalam perekonomian Indonesia, terutama pascakrisis. Beberapa perubahan tampak kasatmata, tetapi ada pula yang tak terlihat di permukaan sehingga mungkin dipandang kurang berarti jika kita melihatnya sepenggal-sepenggal dan di permukaannya saja. Misalnya, di masa lalu kita sangat memaklumi kalau pada triwulan pertama setiap tahun pertumbuhan ekonomi hampir selalu lebih rendah atau melemah dibandingkan dengan triwulan-triwulan sebelumnya. Namun, dalam dua tahun terakhir polanya tak seperti itu lagi.
Contoh lain, fenomena inflasi. Sebelum tahun 2005 peningkatan laju inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) umumnya hanya terjadi pada bulan ketika diberlakukannya harga BBM baru, tetapi satu atau dua bulan setelah itu harga-harga kembali turun sehingga terjadi deflasi. Ternyata, pola seperti ini tak lagi terjadi pada kenaikan harga BBM pada Maret dan Oktober 2005.
Peristiwa politik dan keamanan tampaknya juga tak lagi memukul telak perekonomian. Sebagai contoh, peledakan bom di kawasan Kuningan bulan September 2004 bisa dikatakan sama sekali tak menggoyahkan nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta.
Bahkan, sehari setelah peristiwa itu nilai tukar rupiah menguat dan dalam hitungan hari IHSG naik.
Demikian pula dengan pergantian kepala negara. Pada awal pemerintahannya, Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid sempat menikmati masa ”bulan madu” beberapa bulan yang ditandai perbaikan berbagai indikator ekonomi secara berarti. Masa bulan madu pada era Presiden Megawati Soekarnoputri berlangsung lebih singkat.
Sekalipun embusan perubahan yang diusung Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sangat kencang semasa kampanye pemilihan presiden, ternyata rakyat dan pelaku bisnis hanya memberikan masa bulan madu yang amat singkat kepada pemerintahan baru yang notabene untuk pertama kalinya dipilih langsung oleh rakyat.
Rakyat ternyata telah banyak belajar dari proses perubahan mendasar sebagai buah dari reformasi dengan segala ekses yang menyertainya. Para politisi dan penguasa tampaknya masih terlena oleh kenikmatan posisi- posisi baru yang mereka gapai. Mereka masih berpijak pada asumsi-asumsi dan pemahaman lama, padahal lingkungan di sekitarnya terus berubah dinamis tanpa henti.
Inilah tantangan terbesar yang dihadapi para perumus kebijakan di bawah tim ekonomi yang baru terbentuk. Mereka punya modal dasar yang lebih baik dari tim sebelumnya. Persepsi dan reaksi ”pasar” pun tampaknya cukup positif. Namun, lepas seminggu, perkembangan mengarah seperti sediakala.
Minggu lalu nilai tukar rupiah kembali melemah dan IHSG merosot tiga hari berturut-turut hingga akhir pekan. Padahal, minggu lalu dollar AS melemah setelah diumumkan bahwa defisit akun semasa (current account) AS kembali mencapai rekor tertinggi. Tatkala rupiah menguat beberapa hari sebelum dan setelah perombakan kabinet pun sebetulnya mata uang regional justru sedang melemah.
Pergerakan indikator-indikator ekonomi Indonesia tampaknya semakin sulit diprediksi, tak sekadar besarannya melainkan juga arahnya. Polanya masih sulit dipetakan sehingga bertambah sulit pula bagi kita untuk memprediksinya. Ada faktor positif yang bisa menjelaskan perkembangan yang membaik, misalnya, peningkatan cadangan devisa dalam sebulan terakhir, dari 32,7 miliar dollar AS pada posisi akhir minggu pertama November menjadi 33,4 miliar dollar AS pada minggu pertama Desember.
Namun, ada pula beberapa indikator ekonomi yang memburuk, misalnya, peningkatan laju inflasi pada bulan November, penutupan pabrik dan pemutusan hubungan kerja, serta ekspektasi konsumen merosot.
Salah satu penyebab utama di balik belum jelasnya keberlanjutan perbaikan ekonomi boleh jadi karena perhatian kita lebih terpusat pada pergerakan indikator-indikator moneter jangka pendek. Seharusnya perbaikan stabilitas makro-ekonomi yang telah berlangsung selama tahun 2002-2004 cukup memadai untuk dijadikan modal dasar untuk mulai beralih perhatian ke penguatan sektor riil.
Kini kita harus mundur lagi, membenahi kembali apa-apa yang sempat ”dirusak” selama setahun terakhir. Sekalipun demikian, kita tak lagi memiliki kemewahan untuk mengulang cara-cara yang telah ditempuh di masa pemerintahan lalu. Tuntutan untuk memperkuat kembali stabilitas makro-ekonomi dengan mengutik-utik instrumen kebijakan moneter semakin banyak menghadapi keterbatasan atau trade off.
Sampai berapa lama Bank Indonesia mampu mempertahankan nilai tukar di bawah Rp 10.000 per dollar AS jika suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tetap berada pada tingkat yang sekarang (12,75 persen untuk SBI bertenor sebulan). Padahal, laju inflasi meninggi dan suku bunga internasional juga terus bergerak naik. Akankah kita hanya berharap dengan agak berilusi bahwa pada tingkat suku bunga sebesar itu investor asing sudah cukup ”senang” sebagaimana terindikasi dari aksi beli mereka terhadap SBI dan surat utang negara sehingga porsi asing dalam penguasaan atas kedua instrumen keuangan tersebut meningkat tajam? Bukankah karena aksi beli oleh asing ini yang memicu penguatan rupiah? Mengapa pemerintah terkesankan ”ngotot” untuk menjaga agar nilai tukar berada di bawah Rp 10.000 per dollar AS seraya menghendaki suku bunga tidak naik? Siapa yang hendak diuntungkan dengan keadaan demikian? Politik-ekonomi macam apa yang melandasi kebijakan ekonomi pemerintah?
Sepanjang kita lebih terpaku pada pergerakan indikator ekonomi jangka pendek, selama itu pula kita akan menjadi santapan para investor asing maupun domestik. Para manajer dana yang beroperasi lintas negara membidik kita karena iming-iming insentif jangka pendek. Mereka memutarkan dananya dengan cara membeli satu instrumen keuangan dengan menjual instrumen keuangan yang lain, menabrak satu mata uang yang sedang menguat karena intervensi lalu pada kesempatan berikutnya melepas kembali. Dengan cara begitulah mereka menikmati kelebihan. Merekakah yang kita layani?
Kita berharap tim ekonomi baru bahu-membahu dengan BI meredam sepak terjang para spekulan yang bergelimang riba. Selain itu, para penentu kebijakan hendaknya lebih waspada terhadap tekanan kekuatan-kekuatan ekonomi besar yang sarat kepentingan, yang bersuara lantang berupaya mendikte arah kebijakan pemerintah demi keuntungan mereka sendiri, sementara rakyat kebanyakan menanggung bebannya. Padahal, sebagian mereka itulah yang belum kunjung keluar dari belitan masalah masa lalu.
Kita menyambut baik pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian hasil perombakan yang menggariskan bahwa kebijakan ekonomi ke depan akan lebih mengedepankan rasa keadilan. Nuansa itulah yang kita maksudkan bahwa kita tak lagi memiliki kemewahan untuk mereplikasi sepenuhnya desain kebijakan stabilisasi ekonomi yang diterapkan pemerintahan lalu.
Ke depan, pilihan-pilihan kebijakan makro-ekonomi harus lebih bertumpu pada pemberdayaan potensi-potensi lokal, penguatan elemen-elemen kekuatan domestik, serta terkait sepenuhnya atau merupakan bagian integral dari upaya revitalisasi sektor riil. Hanya dengan begitu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi bisa menghasilkan peningkatan kesejahteraan lewat penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak dan peningkatan produktivitas yang bertumpu pada kekuatan sendiri. Kita yakin bahwa dengan begitu pemodal asing jauh lebih bergairah dan mau berlama-lama menanamkan uangnya di sini.
Saatnya kita semua menunggu delivery dalam wujud langkah nyata, bukan sebatas retorika.
|