Akselerasi Pendidikan dan Pembangunan Ekonomi , PR May 4, 2006
OPINI
Akselerasi Pendidikan dan Pembangunan Ekonomi
Oleh:Rina Indiastuti
SEJAK manusia lahir hingga usia lanjut pada hakikatnya membutuhkan pendidikan dengan dimensi dan format berbeda sesuai usia dan kebutuhan. Keluarga memiliki kewenangan yang besar dan berkepentingan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan anak usia prasekolah. Kemudian peranannya terbantu oleh pihak sekolah pada saat anak menimba ilmu di jenjang pendidikan formal.
Ada hal penting, bagi penduduk usia sekolah, usia antara 7 hingga 15 tahun, pemerintah pusat dan daerah berkewajiban memudahkan akses mereka memperoleh pendidikan formal di sekolah memenuhi hak penduduk seperti dilegalkan dalam pasal 31 ayat 1 UUD 45.
Idealnya pemerintah dapat juga menyediakan fasilitas pendidikan yang dapat diakses murah oleh penduduk untuk menyelesaikan pendidikan lanjutan atas. Memasuki perguruan tinggi, kewenangan dan kemampuan keluarga menjadi penentu seorang anak dapat tidaknya akses pada pendidikan tinggi. Setelah lepas dari pendidikan sekolah, masing-masing individu dewasa seyogianya memiliki kepentingan dan ketertarikan untuk selalu meningkatkan mutu pendidikan merespons kebutuhan institusi kerja yang ditekuninya.
Prestasi kerja atau dalam bahasa ekonomi sering diukur dengan produktivitas kerja akan menentukan kinerja ekonomi baik mikro dan makro serta selanjutnya akan menjamin keberlangsungan pembangunan ekonomi serta memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa.
Agar setiap penduduk Indonesia dapat produktif saat bekerja, maka diperlukan akumulasi pendidikan untuk membentuk mutu SDM-nya melalui proses yang baik dan sinambung. Melihat proses seseorang mengakumulasikan pendidikan sejak bayi hingga sukses bekerja, maka ada beberapa fase penting. Pada fase pertama, peranan keluarga begitu dominan dalam menyiapkan anaknya dalam memasuki masa pendidikan usia sekolah. Keluarga dengan tingkat ekonomi yang berbeda dituntut mampu mengoptimalkan peranannya dalam fase ini. Kepedulian ayah dan ibu dalam keluarga masing-masing sebenarnya tidak berkolerasi dengan tingkat ekonomi keluarga. Yang dibutuhkan adalah kesadaran, kemauan, dan tindakan konkret ayah dan ibu dalam mengasuh anak usia prasekolah dengan pemberian pendidikan sesuai usia anak. Sistem nilai dari pendidikan dapat mulai diintroduksi dan diikhtiarkan bersama oleh ayah dan ibu.
Asahan pendidikan pada usia ini, sering dikategorikan sebagai penyiapan anak untuk menjadi beragama, kreatif, cerdas, beretika santun, mandiri, berdaya juang, dan lain sebagainya. Betapa pentingnya fase ini bagi polesan mutu SDM kelak jika dewasa. Untuk melakukannya, tidak diperlukan biaya yang besar karena dapat dilakukan di dalam rumah. Artinya, keluarga mana pun dapat melakukannya. Namun sayangnya, banyak keluarga tidak memanfaatkan masa pendidikan penting pada fase ini secara optimal karena beranggapan bahwa urusan pendidikan adalah urusan sekolah.
Pada fase kedua, di mana diharapkan anak usia sekolah sudah memiliki bekal emosi dan spiritual bawaan dari keluarga masing-masing sesuai dengan usianya, maka mulailah pembekalan pendidikan formal di sekolah. Harus diakui bahwa hanya keluarga dengan tingkat ekonomi semakin mapan yang akan memperoleh mutu pendidikan usia sekolah semakin baik.
Apa sebabnya? karena anggaran pendidikan dari pemerintah yang terbatas menyebabkan fasilitas pendidikan yang bisa dinikmati anak usia sekolah menjadi minim, kurikulum sering berganti, mutu dan proses belajar mengajar belum maksimum, kesejahteraan guru dikeluhkan belum memadai, hingga mutu lulusan yang belum memenuhi standar minimal yang diinginkan.
Kondisi itu yang menjadi potret buram pendidikan anak usia sekolah di Indonesia, dan pemerintah wajib bertanggung jawab atas potret buram itu. Ada harapan mungkin karena wacana ingin ditingkatkannya anggaran pendidikan.
Fase ketiga, adalah saat lulusan sekolah menengah memasuki perguruan tinggi. Kemasan pendidikan pada level ini dirasakan semakin membutuhkan rogohan dana masyarakat pengguna yang semakin mahal. Perguruan tinggi semakin sadar untuk menyediakan mutu pendidikan yang semakin baik, namun karena keterbatasan anggaran pemerintah, ada kesan pendanaannya menjadi swadana masyarakat pengguna. Pada fase ini, siapa yang ingin mendapat pendidikan tingkat universitas dengan mutu baik maka aksesibilitas ditentukan oleh kesiapan membayar sendiri. Akibatnya, masyarakat yang tidak punya cukup uang tentu tidak dapat akses menikmati pendidikan bermutu. Jikapun ada masyarakat yang tidak mampu, namun bisa akses haruslah dengan jaminan memiliki kepintaran dan kecerdasan prima untuk memperoleh beasiswa. Pada fase ini, ketimpangan pendidikan semakin jelas terlihat.
Bekerja
Fase menentukan berikutnya adalah saat lulusan menggunakan bekal pendidikannya dalam bekerja baik untuk bekerja mandiri, di institusi swasta maupun pemerintahan. Keluhan pengguna lulusan terhadap kemerosotan kemampuan bekerja lulusan sekolah lanjutan ataupun perguruan tinggi menjadi semakin mengemuka. Tuduhan yang muncul seputar kurikulum dan proses pembelajaran yang kurang relevan, mis-match (latar belakang pendidikan yang berbeda dengan pekerjaan), etos kerja yang memburuk, hingga demotivasi untuk berprestasi yang mengakibatkan produktivitas menurun. Mutu dan prestasi SDM di dunia kerja diakui menjadi andil menurunnya daya saing industri dan daya saing bangsa. Solusi yang sedang berkembang adalah memoles SDM dengan pengasahan intelektual, emosi, dan spiritual namun itu pun membutuhkan biaya tidak sedikit sehingga jangkauannya sangat terbatas serta belum ada jaminan efeknya positif meningkatkan produktivitas kerja. Jika demikian masalahnya, bagaimana ikhtiar bangsa ini seharusnya.
Jika pun reorientasi penyempurnaan sistem pendidikan yang menuntut komitmen bersama masyarakat dan pemerintah, diarahkan antara lain untuk penyiapan SDM bermutu yang pada saat bekerja akan terus dapat meningkatkan prestasi dan produktivitas sehingga secara akumulatif daya saing bangsa menjadi membaik. Agenda ini penting dilakukan sejak hari ini mengingat daya saing bangsa Indonesia yang terus merosot, jauh di bawah negara yang sejajar sebelumnya seperti Malaysia dan Thailand. Negara-negara yang semakin maju dan sejahtera terbukti ditopang oleh ikhtiar pemerintah beserta masyarakat dan dunia kerja (perusahaan dan industri) untuk selalu melakukan perbaikan mutu SDM yang terus-menerus dan yang menarik selalu disesuaikan terhadap perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi di tataran internasional.
Jika perwujudan pembangunan ekonomi ingin dijamin oleh dialaminya peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, sebaiknya arah perbaikan mutu SDM bangsa Indonesia adalah penyiapan penduduk untuk selalu bisa melakukan sesuatu yang produktif (diukur dengan kemampuan memperoleh pendapatan) dan kemudian mampu meningkatkan prestasi kerja. Penentunya adalah bagaimana proses pendidikan dirancang sejak usia prasekolah hingga saat sedang bekerja. Hari pendidikan nasional tahun ini mungkin menjadi momentum bagi kebangkitan kesadaran semua pihak yaitu pemerintah, lembaga penyelenggara pendidikan, institusi pengguna SDM (pemerintah dan swasta), keluarga dan individu masyarakat untuk semakin sadar bahwa urusan perbaikan mutu SDM adalah urusan bersama karena masing-masing dapat berperan dan bersinergi. Kondisi saat ini, di mana peranan pemerintah dan lembaga pendidikan yang terbatas mengakibatkan volume pendidikan yang diperoleh.
Pada periode sekolah, mutu SDM memang ditentukan oleh pendidikan formal dan pemerintah menjadi fasilitator utama. Volume pendidikan itu dapat ditingkatkan pada saat memasuki periode kerja. Pada periode kedua, institusi kerja ikut menentukan selain kemampuan adopsi dan adaptasi pada kemajuan pendidikan dan teknologi yang sedang berlangsung. Program pelatihan dan peningkatkan keterampilan yang diberikan perusahaan atau lembaga-lembaga terakait untuk pekerja sangat menentukan pencetakan mutu SDM sehingga pekerja dapat bekerja semakin produktif. Komitmen perusahaan dan industri menjadi penting bagi perbaikan mutu SDM yang berdampak pada peningkatan produktivitas dan daya saing. Namun, yang paling penting adalah komitmen individu untuk selalu ingin meningkatkan mutu SDM-nya dengan caranya sendiri dan ternyata hal ini sangat ditentukan oleh bawaan intelektual, emosi, dan spiritual yang sudah terbentuk sejak usia anak-anak.
Sebagai penutup, penataan sistem dan nilai pendidikan bagi bangsa Indonesia memang harus ditata ulang. Pemerintah memiliki kewajiban untuk pembenahan, namun idealnya disertai munculnya kesadaran masyarakat untuk ikut serta mendidik aggota keluarga bersama-sama institusi pendidikan agar tercipta sinergi yang diharapkan menghasilkan potret pendidikan penduduk usia sekolah yang lebih baik. Peranan perusahaan dan industri baik swasta maupun pemerintah juga ikut menentukan dalam perbaikan mutu SDM bangsa Indonesia. Dan tentu yang paling menentukan adalah kesadaran dan komitmen masing-masing individu terhadap pentingnya meningkatkan pendidikan yang dimiliki dan pentingnya meningkatkan kemampuan SDM-nya agar produktif dan berdaya saing.
Perbaikan mutu SDM dimulai oleh masing-masing individu untuk selalu meningkatkan kemampuan kerja berbekal pengetahuan dan pendidikan yang sudah diperoleh dan mampu mengadopsi tuntutan kemajuan pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung di dunia internasional. Dengan pendidikan tidak hanya individu yang diuntungkan namun pihak lain akan juga mendapat keuntungan. Itulah sebenarnya hakikat pendidikan yang sejati. ***
Penulis, Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran