Pembangunan Masyarakat Desa Di Indonesia
Kusnaka Adimihardja
ABSTRACT
Local knowledge system which neutrally and dynamically is called the : Indigenous Knowledge" among the westerners (Warren, 1991: 1), its bases are developed from traditional society which prove can connect not only science and technology, but also connect present attempts in establishing interdependent of human habitats, connect a social norm with its social form.
The component of local knowledge sytem gives a deep meaning for the society and inspires a development of new concept conforming current needs faced by the community. So that, the awareness of the kowledge can enhance the possibility of an effective and human process for the development of science and technology which make life more significant especially in the rural community.
As part of socio-culture, the local knowledge system constitutes a specific cultural expression, in which there are the value order, ethic, norms, rules and skills of a society in fulfilling the challange on their living necessities of local level decision making (Warren, Slikkerveer, Titilola, 1989; Warren, Brokensha, Slikkerveer, 1992), like in the field of agriculture, health, education, natural resource management and some other social activities among the rural community.
Consequently, the comprehension about local knowledge system of various ethnic at some regions, the usefullness relevance is very important in supporting the rural development in Indonesia. The study on local knowledge system of various parts in the world has been able to give description to us about of the society in utilizing social and natural resources wisely and still referring to the maintenence of environtment equilibrium.
SISTEM PENGETAHUAN LOKAL DAN PEMBANGUNAN
MASYARAKAT DESA
Kusnaka Adimihardja
PENGANTAR
Strategi penggunaan biaya tinggi dalam pembangunan masyarakat, khususnya pembangunan masyarakat desa di Indonesia adalah merupakan upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Berdasarkan pengamatan selama ini, strategi tersebut diterapkan melalui model ‘Transfer of Technology’ (TOT) yang merupakan produk pemikiran dan kerja keras dalam laboratorium di negara-negara maju. Selanjutnya, melalui berbagai jenis program bantuan dan pinjaman dana internasional, produk-produk pemikiran tersebut disebar luaskan oleh para petugas lapangan kepada kelompok-kelompok sasaran di tingkat lokal di berbagai negara berkembang.
Dalam usaha pengadaan stok pangan nasional misalnya, pembangunan pertanian (sejak PELITA I hingga PELITA IV) dilaksanakan melalui pembaharuan teknologi pertanian. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa cara-cara penyebaran pengetahuan dan teknologi dengan pendekatan TOT dari negara-negara maju itu bagaimanapun bersifat unilinear dan dilaksanakan dengan cara "top-down." Secara empirik, cara-cara tersebut kurang memberikan kesempatan kepada para petani untuk menanggapi dan berpartisipasi dalam menentukan keputusan dan mengembangkan sistem pengetahuan dan teknologi yang selama ini mereka gunakan.
Akhir-akhir ini model TOT tersebut mendapat kritik yang tajam baik dari para ahli perencana pembangunan pedesaan di negara-negara Barat maupun para perencana pembangunan dan para ahli di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Berbagai gagasan, seperti model pendekatan dalam bidang pembangunan pertanian yang mengutamakan "Mendahulukan Petani" (Farmer First) dari Chambers, ed (1989) yang menyarankan dalam pembangunan pertanian usaha pengadaan pangan penduduk, hendaknya melihat dan mendengar kepada petani itu sendiri. Dengan pendekatan ini maka pada tingkat awal kegiatan para petugas lapangan dituntut untuk mampu mengidentifikasi pandangan, persepsi, pengetahuan dan teknologi yang diwarnai pandangan kosmik (cosmovision) penduduk atau kelompok sasaran perubahan tersebut (bersifat bottom-up).
Penekanan dari bawah pada tingkat kelompok sasaran pembangunan dalam upaya menyampaikan pesan dari atas (top-down) menumbuhkan sistem interaktif dari sistem pengetahuan
dan teknologi pertanian masyarakat yang berbeda, yang kemudian akan mendorong lahirnya sistem pengetahuan dan teknologi pertanian yang bersifat pluralistik. Hal ini sejalan dengan pluralisme sistem budaya dan ekosistem para petani. Pendekatan yang terintegrasi antara sistem dari atas (yang terseleksi) dengan sistem dari bawah dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya masyarakat dan mengikutsertakan mereka pada tahap perencanaan dan implementasinya, akan mengubah model pendekatan TOT dengan model pendekatan "partisipatif."
DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT PEDESAAN
Oleh :
Ade M. Kramadibrata
Muhammad Arief Ramadhan
Hikmat Nashrullah
Abstrak
Masalah-masalah sosial, budaya, kompleks yang berkaitan dengan pembangunan bangsa dan negara Indonesia adalah penerapan sistem pengetahuan lokal dan kontribusinya dalam pembangunan bangsa Indonesia. Hasil penerapan Sistem Pengetahuan Lokal dan Sistem Pengetahuan Moderen yang sejajar dan terpadu melalui pemberdayaan lembaga informal yang ada pada masyarakat pedesaan.
Di kawasan gunung Halimun terdapat komunitas masyarakat yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Pengolahan lahan hutan untuk kepentingan lahan pertanian merupakan suatu fenomena yang perlu diperhatikan. Hal ini disebabkan adanya dua kepentingan yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan, yaitu konservasi hutan dan sumberdaya ekonomi bagi masyarakat. Perhatian pada masalah ini agar menghasilkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
Untuk mencapai permbangunan pertanian yang berkelanjutan perlu adanya pemberdayaan lembaga informal yang terdapat pada masyarakat pedesaan. Pemberdayaan lembaga informal tersebut dilakukan dengan memperhatikan struktur sosial masyarakat seperti: sistem kepemimpinan, sistem nilai dan mobilisasi sosial.melibatkan secara aktif dengan melakukan tukar menukar pengetahuan yang dimiliki masyarakat dan pengetahuan ilmiah. Sehingga dalam prakteknya kepentingan masyarakat dapat terlindungi, dan taraf hidupnya meningkat serta tujuan konservasi hutan dapat tercapai.
PETANI : MERAJUT KEARIFAN TRADISIONAL
DAN TEKNOLOGI MODERN
Kusnaka Adimihardja*
Pengantar
Pertanian hingga saat ini masih merupakan mata pencaharian utama dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Sungguhpun di berbagai daerah ekosistem wilayahnya sudah berubah (industri dan perkotaan), namun pertanian masih merupakan andalan utama bagi kehidupan masyarakat luas.
Dalam usaha meningkatkan produksi pertanian, khususnya pangan (Pelita
I - Pelita VI) pemerintah telah melakukan modernisasi pertanian, melalui
pembaharuan teknologi pertanian. Pembaharuan tersebut dilaksanakan melalui
model "transfer of technologi (TOT)," dimana model tersebut merupakan hasil
pemikiran dan kerja keras di laboratorium negara-negara maju. Selanjutnya,
melalui berbagai jenis program bantuan dan pinjaman dana internasional,
berbagai jenis teknologi tersebut disebarluaskan oleh para petugas lapangan
kepada kelompok sasaran (petani) di tingkat lokal di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia.
Beberapa Pengamatan
Berdasarkan pengamatan selama ini (Pelita I - Pelita VI) modernisasi pertanian dengan menggunakan model TOT yang ersifat top-down itu, selain memerlukan biaya yang tinggi, model tersebut juga semakin lama semakin menurunkan bahkan merusak kualitas lingkungan, dan menyebabkan erosi genetik.
Kini, banyak kritik pada pendekatan TOT dari para perencana pembangunan (pedesaan) di negara barat dan negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu alternatif adalah gagasan yang mengutamakan model " Mendahulukan Petani" (Farmer First) dari Chambers, ed (1989) yang menyarakan pembangunan pertanian hendaknya memperhatikan dan mendengar petani itu sendiri adalah suatu model alternatif yamg dianjurkan untuk digunakan. Dengan model tersebut maka sejak tingkat awal kegiatan para petugas lapangan ditungtut untuk mampu pengidentifikasian persepsi, pengetahuan, teknologi yang digunakan penduduk yang diwarnai pandangan kosmik (cosmovosion) mereka yang merupakan kelompok sasarn perubahan tersebut (bottom-up).
Penekanan dari bawah pada tingkat kelompok sasaran dalam upaya menyampaikan pesan dari atas (top-down) akan mengembangkan sistem interaktif dari sistem pengetahuan dan teknologi pertanian penduduk yang sangat majemuk. Selanjutnya, akan mendorong lahirnya sistem pengetahuan dan teknologi pertanian yang bersifat pluralistik yang sejalan dengan pluralisme sistem budaya dan ekosistem para petani.
Pendekatan yang terintegrasi antara sistem yang diperkenalkan dari atas (terseleksi) dan sistem dari bawah dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya masyarakat dan mengikutsertakan mereka pada tahap awal perencanaan dan implementasinya, akan mengubah model pendekatan TOT ke arah model pendekatan "partisipasi".
Tradisi dan Modernisasi
Peradaban manusia yang semakin berkembang sekarang dengan didukung oleh perkembangan IPTEK yang secara dominan bersumber dari dunia barat, tampaknya semakin lama semakin lepas dari akar sistem pengetahuan tradisional (lokal). Demikian pula teknologi modern (Barat). Perkembangan IPTEK tersebut melahirkan pandangan hidup yang semakin mengutamakan aspek duniawi.
Perkembangan tersebut di satu sisi lebih memudahkan manusia menguasai alam dan meningkatkan kesejahteraannya secara materi, seperti meningkatnya jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, di sisi lain hal tersebut telah pula menimbulkan kekhawatiran dan persaingan bahkan konflik antar kelompok dan antar bangsa dalam memanfaatkan sumberdaya alam, terlebih lagi bila diikuti sifat berlebihan.
Tampaknya, masih banyak di kalangan umat manusia abad modern ini yang
masih tidak menyadari bahaya pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali
dan tidak mempedulikan kelestarian lingkungan serta mengabaikan nilai-nilai
kemanusiaan dari manusia lain yang lebih lemah posisinya.
Mencari Alternatif
Kini orang mulai memikirkan kembali untuk menemukan alternatif lain dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang adaptif serta lebih menjamin kelestarian dan keseimbangan lingkungan yang aman dan berkelanjutan. Gagasan tersebut telah menyadarkan sebagian para ahli untuk memikirkan kembali (rethinking) pendayagunaan manfaat dari "sistem pengetahuan dan teknologi yang masih berlaku dalam kebudayaan penduduk tersebut perlu
dikaji ulang dan diseleksi agar dapat dipadukan dengan sistem pengetahuan dan teknologi modern dalam upaya pendayagunaan interaksi secara harmonis potensi manusia dan lingkungannya.
dalam usaha mengembangkan sistem pertanian yang mempertimbangkan sistem pengetahuan lokal dalam modernisasi pertanian, aspek "keberlanjutan" perlu mendapat perhatian utama yang menurut Gips (dalam Reintjes, at.al. 1992), adalah sebagai berikut :
1). Secara ekologi dapat diterima; 2). Secara ekonomis dapat meningkatkan nilai tambah petani; 3).Secara sosial adil; 4) manusiawi; 5) Kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terus-menerus.
Pengabaian terhadap pengetahuan lokal dan hanya konsentrasi pada teknologi modern, sebagaimana terjadi di Barat dan diikuti negara berkembang mengakibatkan kepunahan berbagai jenis sumberdaya hayati dan nabati sebagaimana kita saksikan sekarang. Pembangunan pertanian dengan demikian perlu memperhatikan masalah yang dihadapi pada petani itu sendiri, yaitu didasarkan pada persepsi, pandangan, teknik, keahlian, dan kosmologi penduduk lokal.
Maka perlu adanya pendekatan terintegrasi "top-down" dan "bottom-up" agar terdapat sistem interaktif dalam menyongsong persfektif baru dalam mengembangkan pertanian penduduk melalui perpaduan sistem pengetahuan lokal dan modern. Pendekatan ini tentunya melibatkan berbagai metode dari disiplin ilmu yang berbeda.