SiaR News Service Monday, 20 Jul 1998
SiaR-->XPOS: IMF BUKAN DOKTER SAKTI
(EKONOMI): IMF terbukti tak bisa membantu atasi krisis ekonomi. Misalnya hanya supaya negara pasien bisa bayar utang, bukan supaya sehat.
Hati-hati IMF! Lebih dari setengah tahun lamanya, para dokter dari International Monetary Fund menangani pasien-pasien dari negara Asia. Namun, tanda-tanda menuju kesembuhan belum juga terlihat. Bila hal ini berlanjut terus, IMF bisa masuk dalam daftar kambing hitam.
Coba lihat mata uang di negara-negara Asia itu, tak ada yang bergerak membaik. Rupiah malah sempat lama terpaku di kisaran Rp14.000 hingga Rp15.000 per dolar AS. Sementara itu menurut The Economist, 20.000 perusahaan telah sekarat di Korea Selatan, produksi mobil turun drastis hingga 77% dalam lima bulan pertama di Thailand. Sedangkan di Indonesia, penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, sudah nyaris separuh keseluruhan populasi.
Untuk kasus Indonesia, penyebab makin memburuknya perekonomian, memang karena ada faktor politik yang juga masih buruk. Namun, untuk Korea Selatan dan Thailand, sudah terjadi pergantian pimpinan nasional secara demokratis. Negara-negara itu telah melakukan apa yang dipesankan oleh IMF. Misalnya, membuat UU kepailitan, privatisasi aset negara, liberalisasi penanaman modal asing dan melakukan kebijakan moneter yang ketat. Dan ternyata hasilnya tidak begitu menggembirakan. Apa yang salah?
Sebetulnya, sudah banyak kritik yang dilancarkan pada IMF oleh berbagai kalangan. IMF dengan terapinya "yang itu-itu saja", bukannya menolong sebuah negara keluar dari krisis, tapi - seperti kata Juergen Stark, Sekretaris Negara untuk Keuangan, Jerman - malah "menyebabkan krisis berikutnya."
Agaknya, memang tidak seharusnya berharap terlalu banyak pada IMF. Sebab, orang-orang dari lembaga itu sendiri, tidak begitu pasti dengan terapi yang mereka lakukan. Menanggapi dampak buruk yang terjadi di negara-negara pasiennya, Michel Camdessus berkata, "Kadang-kadang sebuah obat menyebabkan lebih banyak rasa sakit." Sementara Wakil Direktur Pelaksana, Stanley Fischer juga mengatakan tidak tahu sampai kapan krisis Asia akan berlangsung, "yang kami tahu, itu akan segera berakhir bila negara-negara tadi menjalankan program ekonominya dan masyarakat internasional memberikan bantuan finansial."
Kiranya sudah cukup jelas, bahwa IMF bukanlah jaminan kepastian untuk memperbaiki dan mengangkat kembali perekonomian. Kalimat yang tepat barangkali seperti diucapkan oleh Ramon Navaratnam dari Asian Strategy and Leadership Institute, "IMF tidak tertarik untuk memperbaiki ekonomi suatu negara, tapi untuk memastikan negara itu dapat membayar utang." Boleh jadi demikian. Makanya, wajar bila muncul tudingan bahwa IMF membawa kepentingan dari negara-negara kapitalis besar. Oleh kubu sosialis, IMF dianggap sebagai alat "penghisap" baru.
Lepas dari embel-embel ideologi, kenyataannya, terapi yang ditawarkan IMF tidak pernah sampai pada usulan untuk membuat suatu negara memiliki perekonomian yang tangguh. Kebijakan menaikkan suku bunga bank dilakukan di hampir semua negara yang jadi pasien. Tanpa pandang bulu dan tanpa memberi perlakuan khusus bagi sektor-sektor yang unggul. Si pasien hanya diberi obat yang menyakitkan, tapi tidak diberi saran untuk mengencangkan otot-ototnya atau vitamin untuk memulihkan staminanya.
Tak pernah misalnya, IMF menganjurkan Indonesia berkonsentrasi pada produk-produk pertanian yang bisa menghasilkan devisa bagi negara dan membantu meringankan beban utang, Juga secara khusus tak ada pemberian akses pasar pada produk-produk berorientasi ekspor seperti itu. Barangkali, ini sudah di luar wewenang IMF. Tapi, barangkali juga, karena negara-negara maju yang posisinya kuat dalam IMF tidak menginginkan produk dalam negeri mereka dikalahkan oleh produk Indonesia dalam persaingan global. Padahal, tak mungkin Indonesia bangkit dari krisis jika hanya mengandalkan utang dari IMF.
Lantas, haruskah IMF dimusuhi? Agaknya tidak bisa sesederhana itu. Sebab, selain Indonesia amat perlu uang, - oleh para investor asing - IMF masih dianggap sebagai stempel yang menandai sudah layak atau belumnya modal asing masuk ke suatu negara. Bila IMF sudah mencairkan dananya, ada kemungkinan modal lain akan mengikuti. Namun, bila IMF tak melakukan itu, tak ada kemungkinan modal lain yang lebih dibutuhkan akan masuk. Memusuhi lembaga ini juga berarti semakin menjauhkan diri dari akses pasar negara-negara maju - yang di era pasar bebas ini, amat penting untuk meraup devisa.
Karena itu, dana IMF tetap harus dimanfaatkan. Tentu saja terapinya bukan lagi harga mati. Dan seperti sudah sering didiskusikan oleh para pakar, pengelolaan uang itu perlu dipadukan dengan strategi pengembangan ekonomi yang sesuai dengan sumber daya yang dimiliki Indonesia, yaitu pertanian dan maritim.
Selama ini, kedua sektor ini diabaikan pemerintahan Soeharto karena terpukau dengan daya tarik industri manufaktur canggih berteknologi tinggi. Padahal, sektor ini tidak tergantung pada bahan baku impor dan amat penting menopang dari ancaman bahaya kelaparan, bila industri manufaktur mengalami kehancuran.
Menurut pengamat ekonomi Aan Effendi, di Eropa Barat, AS, Kanada dan Jepang serta negara-negara industri lainnya, sektor pertaniannya justru tetap dilindungi dari persaingan yang dapat melumpuhkan. Strategi ini dilakukan bukan lantaran krisis saja, tapi "karena perekonomian modern yang sektor sekunder dan tersiernya berkembang pesat, bila tidak didukung oleh sektor primer akan menjadi pecundang dalam persaingan global."
Soalnya, untuk melakukan hal ini, dibutuhkan figur pemimpin yang punya visi dan bebas KKN. Habibie? Wah, berat. (*)
Reformatted for mugajava website.
For any comments send e-mail to mugajava@geocities.com
Visit http://geocities.datacellar.net/Eureka/Concourse/8751/