Ada dua aspek penting dari awal sejarah film untuk melihat bagaimana status dan peranan film ditumbuhkan.
Dalam pertumbuhannya, baik film hiburan yang mengacu pada Hollywood ataupun film-film seni kadang tumbuh berdampingan, saling memberi namun juga bersitegang. Masing-masing memiliki karakter diversifikasi pasar, festival dan pola pengembangannya sendiri.
Sementara pada proses pertumbuhan film Indonesia tidak mengalami proses kelahiran kembali, yang awalnya dicap rendahan menjadi sesuai dengan nilai-nilai seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah ke atas, juga intelektual dan budayawan.
FIlm merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film -yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat- dicangkok dan dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan teknilogi media, dan seni lainnya.
Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak mendapatkannya dalam film.(1)
Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail
menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar.
Tahun 1991 jumlah produksi hanya 25 judul film (padahal rata-rata produksi
film nasional sekitar 70 - 100 film per tahun). Yang menarik, krisis kedua
ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam
tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan
itu didukung oleh kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan
mata rantai penciptaan dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan,
namun juga masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar
struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan
hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua
perfilman nasional setelah bioskop.(2)
Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya
adalah rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi
perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi
untuk berkembang.
Penurunan jumlah film maupun penonton di Indonesia sudah memprihatinkan. Jumlah penonton dalam skala nasional tahun 1977/78 - 1987/88 tercatat 937.700.000 penonton dan hingga tahun 1992 menurun sekitar 50 persen. Bahkan di Jakarta dari rata-rata 100.000 - 150.000 penonton, turun menjadi 77.665 penonton tahun 1991. Demikian juga dengan jumlah film, dari rata-rata 75 - 100 film pertahun, tahun 1991 / 92 menurun lebih daripada 50 % tahun 1993 surat izin produksi yang di keluarkan Deppen RI, sampai bulan Mei baru tercatat 8 buah film nasional untuk diproduksi.(3)
Berikut tabel jumlah produksi film nasional sejak tahun 1987 (4)
1990 | 1991 | 1992 | 1993 | 1994 |
115 | 57 | 31 | 27 | 32 |
Mengapa mereka menonton film Indonesia ? (5)
Daya tarik utama mereka menonton film Indonesia karena
Kelompok 1.
Cenderung memilih mutu film sebab menonton film bukan sekedar mencari
hiburan tapi menikmati karya seni film dalam arti yang lebih luas.
Kelompok 2.
Cenderung mengikuti arus. Pertimbangan mutu film tetap merupakan referensi
bagi mereka.
Kelompok 3.
Tidak terlalu memilih, sekedar mencari hiburan saja.
Berdasarkan angket penonton tahun 1988 dan 1989 yang dilakukan di Bandung, penonton film Indonesia adalah sebagian besar berusia antara 15 - 35 tahun (90%) dengan tekanan usia pada 20 - 25 tahun (40%), lelaki (57%) dan wanita (43%) yang berpendidikan SMA dan perguruan tinggi sebanyak 42% sedangkan 50% mengaku abstain. Mereka ini mengaku menonton film Indonesia lebih dari sekali selama sebulan (59%) dan ada 12% yang menonton lebih dari 5 kali dalam sebulan.
Film Indonesia sekarang ini adalah kelanjutan dari tradisi tontonan rakyat sejak masa tradisional, masa penjajahan sampai masa kemerdekaan ini. Untuk meningkatkan apresiasi penonton film Indonesia adalah menyempurnakan permainan trick-trick serealistis dan sehalus mungkin, seni akting yang lebih sungguh-sungguh, pembenahan struktur cerita, pembenahan setting budaya yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, penyuguhan gambar yang lebih estetis dsb.
Peningkatan mutu filmis dari genre-genre film nasional yang laris sekarang ini dapat meningkatkan daya apresiasi film bermutu di lingkungan penonton urban yang marginal ini, tetapi mungkin juga dapat ditonton oleh golongan penonton yang terpelajar dan intelektual.
Ketidakadilan produksi film nasional sekarang ini terletak pada pelayanannya yang hanya kepada penonton 'berbudaya daerah' semacam di atas. Dugaan sementara bahwa golongan terpelajar di Indonesia dipenuhi selera seni pertunjukannya oleh film-film impor yang kondisi atau referensi budayanya cukup baik diapresiasi oleh mereka. Namun kondisi semacam ini tidak dapat terus menerus dilakukan karena film-film impor tersebut jauh dari sejarah, mitos, kondisi dan masalah-masalah Indonesia sendiri.
Untuk membuat film bermutu yang laris di semua golongan penonton dengan latar belakang budaya mereka yang berbeda-beda adalah dengan memberi kesempatan kepada para sineas.
Dibangun diatas tanah seluas 1,8 Ha di kawasan Kuningan Jakarta Selatan. Luas bangunan seluruhnya meliputi 11.550 M2 yang terdiri dari :
1. Bangunan induk (perkantoran) seluas 1.620 M2 terdiri dari 3 lantai :
2.Ruang Preview, lobby, ruang proyektor, cafetaria dan ruang sidang sebanyak 3 buah keseluruhannya seluas 1.250 M2 . Ruang preview berkapasitas 200 orang dan dapat berfungsi sebagai ruang sidang dan pertemuan.
3.Gedung Bioskop seluas 3400 M2 dengan kapasitas 800 orang yang terdiri dari ruang mekanik, ruang menyimpan film, lobby dan gudang.
Kompleks Pusat Perfilman terdiri dari 3 buah gedung yaitu :
a.Gedung Bioskop yang terletak pada bagian depan komplek menghadap jalan Rasuna Said
b.Ruang Preview Room terletak dibagian belakang komplek
c.Gedung Pusat Perfilman yang terdiri dari kantor organisasi dan perusahaan perfilman, kantor Pusat Perfilman, dan Sinematek.
Gaya bangunan seperti juga bangunan-bangunan perkantoran yang dibangun pada tahun 70-an bergaya International Style, bercat putih dengan dominasi garis-garis horizontal. Bangunan ini baik exterior maupun interiornya tidak mencerminkan bangunan kesenian yang umumnya representatif.
Arsitek : Medium Architekten
Lokasi : Ottensen, Hamburg
Ide membuat Media Center ini datang dari The Hamburger Filmburo - sebuah badan yang menyokong pembuat-pembuat film swasta- yang membutuhkan sarana perkantoran dan studio.
Media Center ini merupakan restrukturisasi dari bangunan lama yang sejak tahun 1868 berfungsi sebagai pabrik besi baja yang memproduksi baling-baling kapal. Pabrik ini bangkrut dan diubah fungsinya menjadi Media Center. Sejak 1970 Medium Architekten, Peter Wiesner, Thiess Jentz, Heiko Popp dan Jan Stormer menitik beratkan pada pembentukan kembali, pengembangan dan penambahan struktur bangunan tambahan yang dapat melayani penggunaan modern. Mereka menggambarkannya sebagai Soft Architecture yang mencangkokkan fungsi dan bentuk-bentuk baru pada bangunan lama. hasilnya berupa ekspresi dari struktur bata merah yang masif dengan rangka baja yang diekspos seperti struktur pabrik.
Di bagian manapun dari bangunan dapat terbaca masa lalu dan kekinian. Bangunan ini lebih sebagai sebuah sculpture darpada arsitektur. Seperti dalam perancangannya, Arsitek selalu membawa kapur dan menggambarkannya langsung di lokasi.
Ruang- ruang :
Merupakan bagian dari komplek Seoul Arts Center yang terdiri dari Concert Hall, Calligraphy Hall, Festival Hall, Arts Gallery, Korean Music Center, dan Arts Library. Kompleks ini dibangun di atas tanah seluas 234.385 M2 dengan luas total bangunan 120.000 M2 . Arts Library ini memiliki total luas 23.175 M2 yang dibagi menjadi 4 lantai.
Pada Lantai Basement terdapat Perpustakaan Film yang memiliki 2 bioskop dengan kapasitas 100 dan 140 orang, studio workshop, ruang kuliah, ruang penyompanan film, dan perpustakaan rujukan. Perpustakaan ini menjadi tempat untuk mencari informasi, mempelajari, mengembangkan dan menyajikan program-program film dimana film dinikmati dan dipelajari sebagai salah satu bentuk seni.
Pada lantai 1 terdapat Ruang Pelayanan Referensi yang menyediakan berbagai informasi tentang seni. Di lantai ini juga terdapat Perpustakaan anak yang dimaksudkan untuk memperkenalkan seni pada anak-anak sejak dini.
Pada lantai 2 terdapat perpustakaan seni, koleksi barang cetakan dan ruang mikro film. Perpustakaan ini menggunakan sistem pelayanan komputer untuk memudahkan pencarian informasi.
Ruang Audio-Visual terdapat di lantai 3 yang dilengkapi dengan ruang-ruang saji untuk perorangan maupun kelompok.
Konsep Arts Library ini mengikuti Master Plan konsep Seoul Arts Center yaitu sebuah tempat interaksi. Interaksi antara Tua dan Muda, interaksi antara Barat dan Timur dan interaksi antara masa lalu dan masa kini. Hal ini terlihat dari ekspresi bangunan yang mencerminkan kombinasi antara teknologi Barat dengan bentuk-bentuk eksotis Dunia Timur.
<1>)Disarikan dari tulisan Garin Nugroho : "Krisis sebagai Momentum Kelahiran", Kompas, Agustus 1991
<2> )Nugroho, Garin, "Film Indonesia, Antara Pertumbuhan dan Kecemasan" Tempo, Mei 1993
<3> )Nugroho, Garin, "Seks clip : Dunia Fragmentasi", Kompas, 24 Juli 1994
<4> )Data dari Pusat Perfilman Usmar Ismail
<5> )Angket penonton film di Bandung tahun 1990
<6> )Sudwikatmono, "Sinepleks dan Industri Film Indonesia", dalam Layar Perak, Jakarta : Gramedia, 1992
<7> )Disarikan dari Diskusi Perfilman 1990, Liga Film Mahasiswa ITB, Bandung, 1990