Penyunting dan penyungging : Endroyono;
Produksi : Achmad Affandi, Ratih Christian, Eva Cyrill, Laurentius R.
Administrasi : Nuning Affandi
Pinpro : Tito G. Utiarto
- editoria
- Organisasi : Guliran Suksesi PPI Prancis
- Let's Say Goodbye to Yesterday
- Gerakan Pengumpulan Uang Emas
Kali ini Omnibus menyampaikan beberapa sisi penting dan menarik yang terungkap dan terjadi selama Seminar dan Sidang BAMUS PPI 1998 di Paris, yang menandai berakhirnya kepengurusan PPI Prancis 1996/1997 dengan president Endroyono.
Mewakili seluruh warga PPI Wilayah XI (komisariat Brest, Rennes, St. Nazaire dan Nantes), redaksi menyampaikan ucapan selamat bekerja dan berjuang kepada para anggota baru "bureau" PPI Prancis terutama kepada son president Mr. Ifan Kurnia Hadi Kusuma, son vice president pour l'affaire exterieur Mr. Wirawan, "son" secreatire générale Mr. Mustofa, dan perangkat yang lainnya.
Akhirnya, l'Omnibus de Rennes menyampaikan selamat jalan kepada 9 diplomat KBRI dan 20 staff lokal yang meninggalkan KBRI Paris. Semoga kerja-sama yang selama ini terjalin dapat berlanjut di tanah air dan di lain medan perjuangan.
Setelah melalui sidang Badan Musyawarah PPI (setara dengan MPR) yang berlangsung tiga hari (30 Januari - 1 Februari 1998), para wakil dari 11 wilayah PPI Prancis dan komisariatnya telah berhasil memilih ketua (president) baru yang fresh from the open dengan idealisme yang membara, Ifan Kurnia Hadi Kusuma (Marseille), yang baru saja datang untuk memulai program DEA dengan beasiswa BGF didampingi Mustofa (Montpellier) sebagai sekretaris jendral. Phenomena ini merupakan kejadian ketiga setelah terpilihnya duet Achmad Affandi dan Endroyono di tahun 1996 dan 1997 yang lalu, pada saat keduanya masih di tahun pertama troisième-cycle (DEA). Pada periode-periode sebelumnya president PPI selalu dipilih dari para pengurus yang dianggap sudah mempunyai pengalaman baik sebagai wakil president atau sekretaris jendral. Kelihatannya para wakil BAMUS telah dapat melihat bahwa pengalaman bukanlah kriteria utama untuk mengendalikan sebuah organisasi yang "sederhana" tapi mempunyai kompleksitas tinggi dan dalam skala nasional seperti PPI Prancis. Mengutip Ali Sugiharjanto, seorang thesar di bidang filsafat ekonomi dan sekaligus jurnalis, bahwa untuk mengembangkan "sesuatu" secara intelek tidaklah hanya cukup dengan logika dan pengalaman saja, tetapi harus didukung dengan sensibilitas moral dan etik, serta tanggung-jawab dan keberanian intelektual untuk berkembang.
Walaupun masih ada anggota BAMUS menginginkan ketua lama untuk kembali duduk sebagai president dengan alasan masih banyak program yang harus dituntaskan, telah ditolak oleh bekas president PPI dengan alasan "PPI membutuhkan sosok-sosok baru, dengan dinamisme baru dan visi baru". Yang terpenting adalah kemauan mengikuti garis besar program kegiatan jangka pendek dan jangka panjang yang sudah tersusun, anggaran dasar dan anggaran rumah-tangga.
Dan sidang BAMUS ternyata bisa dengan lapang dada mengerti dan menterjemahkan kondisi itu, dengan tetap menggunakan program yang telah dicanangkan tahun sebelumnya sebagai garis besar serta menyempurnakannya sesuai dengan lingkungan dan kondisi sumber daya yang baru.
Jumlah populasi anggota yang semakin kecil dan distribusi yang semakin luas, telah membuat PPI Prancis 1998/1999 memutuskan untuk tetap mempertahankan sistem komisariat. Dan karena sebagian peran PPI untuk membantu para pelajar baru, sangat tergantung kecepatan akses informasi dan komunikasi dengan bidang dikbud KBRI, sidang BAMUS kemudian menetapkan wakil ketua khusus di Paris, yang akan berfungsi untuk melakukan komunikasi intensif dengan KBRI di Paris (sebab ibukota PPI selalu berada di luar kota, tahun lalu berada di Rennes dan tahun ini berada di Marseille yang jaraknya ratusan km dari Paris). Untuk itulah, Wirawan yang sedang meneliti di ENST (Ecole National Superieur de Telecommunication) de Paris bidang pengolahan citra, dipilih menjadi wakil president PPI yang berkedudukan di Paris.
Secara berkelakar, bekas president PPI yang secara implisit mengamati proses demokrasi tersebut, melihat adanya kecenderungan mengikuti budaya politik Prancis yaitu terjadinya "cumule mandat" atau jabatan rangkap executif - legislatif (yang ingin dihapuskan oleh PM Lionel Jospin), dan budaya "recyclage". Meskipun hal ini terjadi akibat sedikitnya jumlah anggota PPI dan secara praktis tidak mempengaruhi aktifitas PPI, namun hal ini mungkin perlu diluruskan, sebab para eksekutif nantinya akan kagok bila harus mempertanggung-jawabkan bagian dirinya sendiri.
Bagaimanapun, pelaksanaan sidang BAMUS yang didahului dengan seminar yang berhasil menampilkan lebih dari 22 makalah kali ini patut diacungi jempol. Karena, dalam suasana krisis ekonomi yang melanda tanah air dan adanya pengurangan bantuan konsumsi dan akomodasi, para wakil BAMUS dan para pembawa makalah masih bersedia hadir dan melakukan banyak diskusi selama tiga hari dari pagi hingga tengah malam dilanjutkan dari tengah malam hingga pagi.
Dari diskusi terbukti bahwa para anggota PPI tidak hanya "tenggelam" di kolamnya masing-masing tetapi masih sempat memperhatikan nasib bangsanya dari lingkup yang ditekuninya masing-masing : politik, ekonomi, biologi, kedokteran, hingga berbagai aspek teknologi.
Dan harus juga diakui, bahwa dalam keprihatinan, ternyata para anggota PPI dan BAMUS justru menjadi lebih arif dalam membedakan "myth and reality", sehingga lebih bijaksana dalam menyampaikan masalah, membahas dan menelurkan keputusan dan program kerjanya.
Semoga dengan koordinasi yang baik, komunikasi, dan saling pengertian, kiprah PPI Prancis dapat lebih besar meskipun jumlah anggotanya relatif kecil dan susah mencari sponsor di Prancis.
Selamat berjuang Bung !!! (End/3298)
"Di dunia ini tak ada yang tidak berubah,
kecuali perubahan itu sendiri "
Cacuk Sudaryanto
Saat Cacuk menyatakan itu didepan para karyawan dan staff PT. TELKOM sebelum "meninggalkan" perusahaan yang telah ikut dibesarkannya, orang menganggap itu hanyalah ungkapan dari seorang yang sedang menghibur dirinya sendiri. Namun kini semua orang tahu bahwa setiap orang harus siap untuk berubah : mengubah dirinya sendiri atau diubah oleh lingkungannya, dan dalam skala besar negarapun tidak akan bisa menghindarkan diri dari perubahan global dunia di segala bidang : politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam hingga IPTEK.
Tiada yang mengira bahwa dalam waktu hanya enam bulan, Indonesia yang termasuk negara "teladan" dan berada di kelas pendapatan menengah serta terbebas dari kelaparan, buta huruf dan sejenisnya, tiba-tiba terpuruk jatuh kedalam jurang kemiskinan, di kelas negara-negara tanpa sumber daya seperti Haiti. Menurunnya daya beli membuat sebagian warga harus kembali menikmati makanan pokok non-beras. Perubahan itulah yang kini terjadi, dan pada gilirannya para diplomat kita juga terkena imbasnya.
Ketika ada berita pemerintah memutuskan memanggil kembali 206 diplomatnya dari luar negeri, para pelajar menganggap itu hal yang wajar. Tapi ketika tahu bahwa 9 orang diplomat KBRI di Prancis juga harus pulang dan 20 orang local staff harus berhenti bekerja, terbayang bahwa akan ada yang berubah, akan ada yang hilang.
Ada kesedihan, karena bagaimanapun telah terjalin ikatan yang erat antara para pelajar Indonesia di Prancis dengan para penasehatnya di KBRI. Hubungan yang dulu official kini telah menjadi personal, bahkan emosional; sedekat hubungan bapak-anak, kakak-adik ataupun hubungan antara dua orang sahabat yang sama-sama berjuang untuk mencapai cita-cita dan menjalankan tugas masing-masing.
Tidak aneh apabila ada pelajar yang panik dengan kejadian ini, sebab ada perasaan ia akan kehilangan sosok-sosok yang selama ini bersedia meluangkan waktu untuk mendengar, untuk berdiskusi dan untuk membantu memecahkan semua masalah bahkan masalah-masalah yang sebenarnya bersifat pribadi, masalah antara pelajar dan profesornya dan sebagainya. Ketakutan ini wajar sebab ketika jauh dari negeri, anak dan istri serta kekasih hati, kita sering perlu sosok-sosok yang bisa menampung segalanya, keluh dan juga kesah. Namun, betapapun sedihnya menghadapi berbagai kejadian akhir-akhir ini, harus disadari bahwa inilah saatnya belajar untuk berani mengucapkan "good bye for yesterday" dan "back to future" kembali menoleh ke masa depan , sebab ke sanalah kita akan menuju.
Kita perlu mengenal arti penderitaan dalam arti segalanya, namun dalam keyakinan bahwa manusia adalah species yang "super adaptive" yang mampu beradaptasi dengan kondisi apapun dan dalam kesulitan yang bagaimanapun. Yang penting, sebagai anggota komunitas sosial kita harus siap untuk saling bantu dan berkomunikasi dengan baik. Dengan demikian, tentu tak akan ada lagi yang perlu ditakutkan, sebab Tuhan akan bersama kita. Dan apabila nanti kitapun dipanggil kembali, itupun bukan tanpa arti.
"Ce n'est qu'au bord de l'effondrement que l'on atteint la perfection"
C.N. Parkinson
Tulisan ini hanyalah sedikit rangkuman yang disusun secara bebas dan personalisée dari seminar yang merupakan bagian dari rangkaian acara "Seminar dan Sidang BAMUS PPI Prancis 1997" telah dibuka oleh DUBES RI untuk Republik Prancis Prof. Dr. S.B. "Billy" Joedono pada tanggal 30 Januari - 1 Februari 1998 bertempat di Ruang Graha Budaya KBRI. Turut hadir dalam acara tersebut Kepala bidang Pendidikan dan Kebudayaan Bp. Bagiono JS., Kepala Bidang Penerangan Bp. Soelaiman A. dan beberapa staff. Setelah membuka acara Dubes RI sekaligus menyampaikan makalah pertama bertemakan "Krisis Keuangan Indonesia dan Dampaknya pada Perekonomian dan Kesejahteraan". Seminar kemudian disusul dengan penyampaian 22 makalah lain yang bertemakan politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi serta pameran dan diskusi seni lukis.
Halal bi halal
Acara Seminar dan Sidang BAMUS PPI 1997 ini sengaja tidak dilaksanakan pada akhir desember seperti biasanya dengan dua alasan tambahan yaitu: memperingati ulang tahun PPI dan Silaturahmi dalam rangka hari Raya Idul Fitri 1418 H. Itulah sebabnya setelah acara pembukaan, diskusi dengan Dubes RI dan Sholat Jum'at, seluruh peserta menghadiri acara halal bi halal yang dilaksanakan di kediaman Bapak-Ibu Soedarso Joyonegoro, duta besar RI untuk UNESCO.
Ekonomi kita
Tidak ada yang mengira bahwa dalam waktu hanya 6 bulan Indonesia telah jatuh dari negara berekonomi menengah ke negara miskin, akibat perubahan nilai dollar terhadap rupiah. Pendapatan perkapita penduduk yang tadinya telah lebih dari USD 1000 tiba-tiba turun relatif mendekati Senegal (
Pengaruh dari kejatuhan ini sudah jelas, yakni menurunnya daya beli masyarakat dan perlunya pengencangan ikat pinggang di segala bidang. Syukurlah, untuk sementara belum ada pengaruh langsung terhadap nasib pelajar dan karya-siswa.
Penyebab Krisis Ada beberapa penyebab langsung dan tidak langsung terjadinya krisis ekonomi Indonesia, diantaranya adalah sistim administrasi yang terlalu bebas namun sangat lemah sehingga tidak mampu menghadapi pengaruh ekonomi global, besarnya utang "swasta" yang tidak terkontrol, adanya hubungan antara masalah politik dengan ekonomi serta adanya dugaan konspirasi asing untuk menjatuhkan Indonesia dan tentu masalah sikap-mental bangsa Indonesia itu sendiri.
Ungkapan pembicara utama bahwa penyebab pokok krisis (setelah ulah George Soros) adalah murni utang swasta dalam dollar dan secara logis tidak ada hubungan antara utang swasta dengan masalah politik saat ini, telah dibantah oleh seorang peserta seminar bahwa meskipun "benar" tidak ada logika langsung antara krisis yang terjadi sekarang dengan masalah politik, tetapi akan sangat tidak mungkin melakukan perubahan terhadap pola aktifitas ekonomi "swasta" tanpa adanya reformasi politik. Sebab aktifitas ekonomi saat ini masih berada di sekitar pengendali aktifitas politik. Dengan mengambil contoh bagaimana semangat rakyat Thailand dan Korea dalam mendukung pemerintahnya untuk mengembalikan aktifitas ekonomi, dapat dilihat bahwa di Indonesia telah terjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah yang diakibatkan oleh praktek korupsi, kolusi, monopoli dan nepotisme serta berbagai tekanan selama ini. Di sini kesimpulannya akan sangat tergantung dari cara pembuktian berbagai hipotesa di atas.
Lemahnya sistem administrasi juga menjadi kunci terjadinya krisis : institusi ekonomi yang kurang kuat dan tidak disiplin sangat mudah diguncang baik secara reel atau virtuel, sistim perbankan yang tidak transparan, kebijaksanaan investasi yang terlalu bebas dan tidak terarah, mengakibatkan sistem ekonomi sangat sulit untuk diawasi dan dikendalikan. Untuk itulah pembaharuan disegala bidang sangat diperlukan, demikian kata seorang kepala bidang KBRI. Terjadinya kesalahan "treatment" oleh IMF dan kesalahan kalkulasi bank dunia dalam memprediksi perkembangan ekonomi Indonesia merupakan satu bukti kelemahan sistem administrasi kita, sebab ternyata banyak hal yang "liar" dan tidak terdeteksi di sistem kita.
Adanya dugaan terjadinya persekongkolan negara-negara besar untuk menjatuhkan negara-negara Asia yang sedang tumbuh (teori konspirasi) juga menjadi salah satu tema diskusi yang panas. Adanya bukti "pembelaan" departemen luar negeri AS terhadap Soros menimbulkan hipotesa bahwa Soros tidak sendirian. Upaya embargo "tidak langsung" oleh negara-negara barat terhadap produksi Asia dengan alasan hak asasi manusia, demokratisasi dan sebagainya, merupakan contoh lain bahwa ada konspirasi untuk mengendalikan arah politik negara-negara Asia sebagai bentuk penjajahan baru.
Setelah berbagai ancaman terhadap negara-negara Asia ternyata tidak mempan dan ASEAN tetap berani menerima anggota yang tidak direstui (Myanmar) atau berani berdagang peralatan militer langsung dengan Rusia dan sebagainya, telah membuat negara-negara "kuat" sepakat untuk memberikan hukuman. Setelah membandingkan kasus Mexico dengan kasus Asia, para penganut teori konspirasi semakin yakin bahwa ada maksud lain dibelakang krisis ekonomi Asia.
Namun bagaimanapun sikap negara-negara Asia secara umum sangat dipengaruhi oleh sikap mental Asiatique (yang "tepo sliro", tidak banyak bicara, tidak mau menyerang, lebih mengutamakan kewajiban daripada haknya dan selain sikap-sikap lain yang negatif seperti kepatuhan kepada "penguasa" yang terbawa oleh agama lama, kerajaan atau penjajahan), sering membuat Asia sulit menjadi dirinya sendiri, dan ini berakibat penduduk atau negara-negara Asia (kecuali Cina yang besar) secara umum mudah dibawa ke kiri dan ke kanan oleh para penguasa dunia.
Langkah Penyelesaian
Disimpulkan bahwa bagaimanapun kita membutuhkan pembaharuan di segala bidang: ekonomi, politik dan bidang-bidang lain serta merubah pola fikir (dari pola fikir patronal dan tergantung, ke bentuk baru yang lebih terbuka dan maju). Upaya-upaya mencari kambing hitam hendaknya digantikan dengan diskusi positif untuk menggulirkan kembali ekonomi Indonesia. Terbentuknya team penanggulangan utang luar negeri swasta (PULNS) dan dewan pemantapan ketahanan ekonomi dan keuangan (DPKEK) merupakan contoh aktifitas positif yang patut didukung.
Dari sisi pelajar Indonesia di Prancis ada satu kesimpulan bahwa pembaharuan (terutama pembaharuan ekonomi dan reformasi politik) perlu dilakukan secara bijaksana sebab keaneka-ragaman bangsa Indonesia selain membawa berkah juga bisa menjadi malapetaka bila tidak dilakukan dengan bijaksana. Berbagai isyu dibalik pemilihan presiden dan wakilnya tentu harus ditelaah dan dikaji dalam proporsi yang benar dalam kerangka nasional dan bukan emosional.
Bagi anggota PPI Prancis, salah satu cara mempersiapkan diri adalah dengan berusaha menjalankan tugas masing-masing dengan "benar". Itu sebabnya selain berbicara masalah ekonomi dan politik (SB. Joedono, Soelaiman A., Ifan Kurnia, Dindin W, Darianto H., Ali S.), Seminar PPI Prancis 1997 lebih banyak membahas berbagai masalah yang sebenarnya menjadi kunci kembalinya bangsa dan negara ke rel pembangunan semula, yakni profesionalisasi di segala bidang : perlunya sistem informasi dan komunikasi yang robust dan transparant serta menggunakannya secara strategis dan intelligent dalam aktifitas politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam di era global (Sunaryo, Yadi Supriadi, Endroyono, Wirawan, A. Affandi), perlunya meningkatkan kesehatan masyarakat di segala aspek (Mustofa, Asmarani K.,), perlunya mencari berbagai sumber pangan baru (Bambang AH., Nugroho S., Endang K.), tak kurang pentingnya adalah upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang seperti perumahan (Eddy, syahrul, Jeffrey), lingkungan dan sumber daya alam (Gusti Z. Mulki), material elektronik dan mekanik (Yanuar, Agus Sigit), perangkat lunak (Laksono A.) hingga teknik sipil kelautan (Imam W dan Haryadi P.). Tak ketinggalan sebagian warga PPI (Esti dan Intu) menampilkan karya seni lukisnya, sebagai sarana peningkatan apresiasi.
Walaupun tidak menelurkan pernyataan kebulatan tekad, kecaman ataupun berbagai dukungan semu, seminar PPI Prancis yang berlangsung dua hari itu telah menandai aktifitas beberapa "manusia" Indonesia untuk berdiskusi tentang masa depan bangsa dan negaranya dalam kerangka pola-fikir dan karya nyata. Menurut Prof. "Billy" Joedono, dalam keadaan dan kondisi saat ini, ada yang penting untuk diingat, yaitu : selalu berupaya jujur, merenung dan berfikir logis, tidak berpraduga dan menduga-duga serta selalu menggunakan hipotesa yang layak : "think with your head" begitu kata beliau. (Tito&End)
Selama ini kita sudah sering mendengar dan mungkin bahkan sudah berpartisipasi pada gerakan "Pièce Jaune" di kantor pos, dengan cara mengumpulkan uang "receh" kuning sisa belanja di super market atau sisa beli pain dan baguette. Apabila kita hitung dengan "nilai" di Prancis, uang itu memang sangat kecil nilainya, sehingga petit piece yang diminta pengemispun minimal 2 francs. Tapi ternyata, dengan uang kuning tersebut, asosiasi pecinta anak di Prancis mampu mengumpulkan uang jutaan francs untuk melengkapi rumah sakit untuk anak-anak.
Kini, kita menghadapi kenyataan bahwa akibat kenaikan nilai dollar, negara kita menghadapi "krismon" alias krisis moneter dan ekonomi, yang dampaknya sangat berat bagi rakyat kecil. Yang paling menyedihkan adalah kondisi kependidikan "anak-anak" kita di sana. Bagaimana tidak, selain anggaran pendidikan yang memang sudah kecil, saat ini harga buku naik bahkan hingga tiga kali lipat, harga kertas naik hingga empat kali lipat, alat tulis demikian juga dan bahkan ada juga yang terpaksa kembali makan kurang dari tiga kali sehari seperti jaman penjajahan dulu. Akibatnya bisa diduga, aktifitas belajar terganggu dan dalam jangka panjang hal ini sangat berbahaya bagi kualitas generasi muda dan bangsa kita.
Dari omong-omong secara lisan terungkap bahwa hampir semua pelajar dan juga keluarga franco-indonesia mempunyai "kebiasaan" menyimpan uang pecahan kuning (5, 10 dan 20 centimes) yang memang "susah" dibelanjakan. Dan tenyata, setelah dihitung, masing-masing mampu mengumpulkan hingga puluhan francs tanpa terasa.
Nah, apabila kita bisa mengumpulkan uang itu secara bersama, menukarkannya di banque serta kemudian mengirimkannya ke Indonesia, tentunya hasilnya akan merupakan sesuatu yang cukup berharga, meskipun tidak sampai jutaan francs. Kita misalkan, setiap orang mempunyai 10 francs, kalau ada 200 orang akan terkumpul 2000 francs atau sekitar Rp. 2 juta dan uang tersebut akan cukup untuk membelikan beberapa ratus buku tulis untuk satu atau dua sekolah dasar (SD), itu contoh yang sederhana. Apabila yang terkumpul lebih banyak dari itu , tentu lebih besar lagi yang bisa kita lakukan.
Jadi, bagi yang tersentuh, mari kita kumpulkan uang kuning kita pada pengurus PPI wilayah dan ajaklah teman-teman terdekat kita baik warga negara Indonesia atau Prancis untuk bergabung menyumbangkan uang kuningnya. Dalam skala besar, mungkin ketua PPI Prancis (Mas Ifan atau mas Wirawan) dapat juga mengkoordinasikan hal ini.
PPI Wilayah XI Bretagne mencoba mengkoordinir hal ini dan bila ada yang ingin berpartisipasi silahkan mengirimkan hasil pengumpulannya kepada :
Mr. TITO G. UTIARTO
Res. Beaulieu Bat. A Ch. 268 33,
avenue des Buttes de Coesmes 35700 Rennes France
Kalau dikirimkan dalam bentuk telah ditukar atau syukur-syukur kalau kuningnya bukan cuma "centime" akan merupakan hal yang lebih memperingan tugas koordinator.
Sekali lagi marilah kita manfaatkan sedikit sisa "keberuntungan" kita untuk menyumbang sebagian dari "anak-anak" kita yang sedang menderita di sana. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang berkenan memberikan kasih dan cintaNya pada kita agar lebih mengasihi dan memperhatikan nasib saudara-saudaranya yang menderita. (Endro)
.
Nilai segala perbuatan sangat tergantung pada niatnya.
Percaya atau tidak anggun telah secara tidak langsung mengangkat citra Indonesia di negara Prancis setelah menjadi nominatrice "la revelation de l'année" dalam pesta "les victoires de la musiques". Meskipun pada akhirnya si francophone dari Kanada Lara Fabien yang mendapatkan trophy, Anggun telah membuktikan bahwa belajar berbicara Prancis 2 tahun sudah cukup untuk menjadi penyanyi pujaan remaja Prancis. Simak kutipan wawancara Anggun dengan wartawan Nouvelle Observateur Francois Armanet (FA) lumayan buat belajar bahasa prancis.
Introduction :
La chanson qui l'a révélée, "la Neige au Sahara", évoque plutôt les fantômes de Paul Bowles que les foudres du Krakatau. Anggun Cipta Sasmi ressemble à une princesse des "Mille et Une Nuits". Normal, son nom signifie "la grâce qui se crée dans une rêve". Née à Djakarta, grandie à Jogjakarta, capitale artistique de l'archipel Indonésien, cette Javanaise de 23 ans a rencontré sous latitude un jolie succès avec son album en français "Au nom de la lune". Propulsée sur scène à 7 ans, Anggun a été élu dix ans plus tard "Indonesian Most Popular Artist". En, 1994, après avoir vendu 5 millions d'albums et chanté dans des stades des 80.000 personnes, elle a débarqué en Europe.
F.A : Depuis quand parlez-vous français ?
ACS : Bientôt deux ans. Mais je ne sais pas l'écrire. J'ai pris des cours à l'Alliance française, puis j'ai préféré me balader dans la rue, parler, regarder la télévision. Quand on a l'habitude d'apprendre des chansons, on enregistre plus vite les sons. En Indonésie, chacun parle son dialecte à la maison, l'indonésien à l'école, l'anglais au lycée. On a l'habitude de trois langues.
F.A : L'Indonésie, ces milliers d'Iles trois fois plus peuplées que la France, est un pays mayoritairement musulman. L'athéisme est interdit. Vous étés pratiquante ?
ACS : Je suis issue d'une famille musulmane mais mes parents m'ont envoyée dans une école chatolique en me disant que je choisirai ma religion adulte. Je suis croyante, je connais le Coran et la Bible. Et j'ai beaucoup d'amis bouddhistes.
F.A : On peut être une star en Indonésie sans pratiquer l'Islam ?
ACS : Mémé si l'islamisme s'est renforce, c'est le pays ou l'Islam rime avec tolérance. Dans le plus grand pays musulman de la planète, seule une minorité porte le voile, cela veut tout dire.
F.A. : Quelle est la différence entre une star en Indonésie et ici ?
ACS : La-bas, on n'est rien si l'on n'est pas gentil, Les star sont accessible. Ici elles sont intouchables. F.A.: La musique traditionnelle indo-nésienne vous-a-t-elle influencée ?
ACS : Enormément. Petite, je suivais des cours de danse balinaise et des leçon de piano. A la maison mon père nous jouait de la guitare et nous faisait des contes. Ma mère nous chantait des chanson javanaise. Mais elle adorait Elvis Presley et Aline de Christophe, la seule chanson française que je connaissais. J'ai grandi avec les traditions de ma mère et la vieille collection d'albums de mon père : Lad Zeppelin, Les Dors. Deux mondes cote à cote.
FA. : Quelle image aviez vous de l'occident?
ACS : La neige !, En Indonésie on imagine qu'elle ressemble à la neige du freezer. Ca na rien à voir !C'est en la voyant tomber ici que je suis devenue amoureuse de Paris.
F.A : Qu'aimez-vous d'autre en France ?
ACS : Le métissage, la world musc vivante encore qu'a Londres. Et puis ici, on sait dire non. La-bas, on préféré inventer d'autres réponses, on aime pas mettre les gens mal a l'aise. J'ai appris dire non. Et à expliquer pourquoi aussi.
F.A : Vous sentez vous en exil ?
ACS: Je suis lion de chez moi, mais ç'a me approché encore plus de mon pays. Les question que vous me posez m'y transportent. En fait, je ne suis jamais sentie aussi indonésienne que maintenant.
Prix Mahar SCHÜTZENBERGER 1998
Assosiasi Franco-Indonésienne untuk pengembangan ilmu pengetahuan AFIDES
memberikan lagi hadiah "Mahar SCHÜTZENBERGER"
berupa uang tunai FFr 5000,- bagi satu pelajar S3 Indonesia di Prancis.
Bagi doctorant yang berminat berpartisipasi,
diminta mengirimkan
kurikulum vitae, makalah "ringkasan" penelitian, publikasi ilmiah
dan rekomendasi profesor
sebelum 15 Mei 1998, kepada :
LIAFA
(AFIDES)
2, Place Jussieu
75251 Paris Cedex 05
Atau kontak ke pengurus PPI wilayah dan Pusat.
Selamat Berbahagia
buat Rekan Achmad Affandi dan Nyonya
atas kelahiran
Wahyu Alifya Yasmin Affandi
di Rennes, 22 Februari 1998
Semoga menjadi anak yang pintar dan berbakti.
Di bawah Lindungan Yang Maha Kuasa
Kembali ke PPI