"Saya tetap tinggal di Dili..." (III)
Dukungan dari pasukan bersenjata pun kelihatannya minim sekali. Hanya saja ia
dibiarkan Fretilin untuk mengibarkan bendera merah putih di rumah-rumah anggota
partai itu. Karena umumnya mereka tidak bersenjata, maka untuk pelaksanaan
tugas pengungsian, organisasi politik ini tidak menjadi masalah.
Kira-kira 30 menit kemudian, komandan Fretilin datang, disertai 4 pembantunya.
Semuanya memakai seragam tentara kolonial Portugal. Pada umumnya rambut dan
janggut mereka tidak terurus, kulitnya kehitaman dan mukanya penuh rambut
tidak beraturan. Sedangkan para pembantunya kelihatan masih muda, satu di antaranya
adalah bekas bintara Tropaz.
Umumnya mereka tidak mengerti bahasa Inggris, sehingga perlu penerjemah -salah
satu staf konsulat- dari bahasa Portugis campur tetun ke bahasa Indonesia.
Pembicaraan berkisar pada keamanan rencana pengungsian, di mana Lobato
menyatakan ia siap menjamin keamanannya selama UDT juga bersikap demikian.
Lobato juga menjamin, delegasi UDT dapat melintasi garis pertahanannya tanpa
diganggu, asal dijemput anggota konsulat dan dikawal marinir Indonesia. Ia
juga mengusulkan gencatan senjata berakhir saat kapal terakhir Indonesia
meninggalkan Dili. Mereka mengajukan persyaratan-persyaratan yang wajar,
disertai sikap yang wajar dan bersahabat.
Pertemuan pertama di Konsulat RI diadakan dengan pimpinan partai Apodeti, yang
dipimpin oleh Sekjennya : Osorio Soares. Tampang orang ini menyenangkan, serta
bersikap santun sekali. Setelah diskusi sebentar, terlihat pengetahuan politiknya
sedikit dangkal, apalagi setelah ia menyinggung alasan mengapa ia bekerja sama
dengan Fretilin. Alasan yang diajukan sangat sederhana, yaitu karena UDT sangat
menentang kehendak Apodeti mengenai penyatuan.
Komandan kontingen setelah itu minta konsul untuk menjemput rombongan komandan UDT. Penjemputan ini merupakan suatu kegiatan penuh risiko, karena harus menerobos garis pertahanan Fretilin di sebelah timur pelabuhan. Keberhasilannya akan bergantung pada keberanian para komandan UDT dan kemampuan Fretilin untuk menepati jajnjinya kepada komandan kontingen Indonesia.
Rombongan konsul segera berangkat dengan menggunakan kendaraan sedan, dikawal 1 regu marinir yang menggunakan truk kecil dari konsulat. Dengan tegang dan berdebardebar, orang-orang Indonesia di konsulat menanti kedatangan rombongan UDT bersama konsul. Setelah menunggu kira-kira 40 menit, mobil konsul datang dengan membawa 2 tokoh UDT yaitu Ir. Mario Carrascalao (Sekjen, kelak menjadi gubernur ke-3 Timtim) didampingi kakaknya Joao (panglima pasukan UDT, kelak menjadi tokoh di luar negeri antipenyatuan Timtim).
Pembicaraan berjalan lancar, karena keduanya dengan baik menguasai bahasa Inggris. UDT tidak memberikan sama sekali persyaratan dan sepenuhnya akan memenuhi keinginan komandan kontingen. Melihat raut muka keduanya, nyata sekali mereka dalam keadaan resah dan khawatir. Mungkin karena berada di wilayah yang dikuasai musuh bebuyutannya.
Setelah pembicaraan selesai, mereka bersiap untuk dikembalikan ke pos komandonya. Namun tiba-tiba komandan kontingen "menerima" firasat kurang baik, karena ada kemungkinan mereka akan dihadang orang-orang Fretilin saat melintasi daerah tidak bertuan dan dibunuh serdadu-serdadu yang tidak bertanggung jawab.
Untuk menghindari hal ini, 1 regu marinir diperintahkan mengawal pengembalian 2 tokoh UDT ini melalui laut, tidak lagi lewat daratan seperti ketika mereka datang. Dengan pengawalan kuat mereka dibawa ke pantai yang jaraknya hanya 300 meter dari kantor konsulat dan dinaikkan ke atas kapal pendarat. Atas isyarat komandan kontingen, kedua kapal berangkat melambung mengitari KRI Monginsidi, diikuti salah satu komandan peleton marinir.
Rupanya perubahan rute seperti itu diikuti oleh pasukan Fretilin di sebelah timur pelabuhan. Ketika rombongan akan sampai di pantai di sebelah barat mercu suar di daerah kekuasaan UDT, jatuhlah sebuah peluru mortir di sekitarnya. Rupanya arah dan elevasi senjata mortir itu kurang diperhitungkan, sehingga jatuhnya peluru melebihi sasaran dan jatuh di laut. Yang jelas, senjata itu sengaja ditembakkan guna menghancurkan perahu yang digunakan pimpinan UDT.
Dengan selesainya perundingan dengan ketiga pihak, berlakukah gencatan secara efektif, sampai kapal terakhir RI meninggalkan Dili. Waktu yang tersisa hari itu digunakan komandan kontingen untuk mengunjungi keluarga Sekjen Apodeti dan rumah-rumah pimpinan lain partai Apodeti.
Di rumah Osorio Soares (Sekjen Apodeti), diskusi mengenai teori strategi front partai komunis dilanjutkan. Ada sedikit benarnya mengenai pendapatnya, mengapa mereka mendekati Fretilin. Mereka tidak mempunyai senjata, sedangkan UDT bersikap amat memusuhi sebelum dan pada saat itu. Sedangkan Fretilin -setelah berpisah dengan UDT dalam memojokkan Apodeti yang propenyatuan- bersikap lebih bersahabat.
Ketika komandan kontingen menanyakan bagaimana kelanjutan strategi Apodeti setelah UDT nanti dikalahkan, Osorio tidak dapat menjawab. Ia hanya tahu di daerah Atambua (Timor Barat) ribuan pemuda Apodeti sedang dilatih kemiliteran oleh anggota pasukan RPK Indonesia untuk dijadikan partisan.
Komandan kontingen juga menerangkan, kekuatan ini nanti belum boleh dikatakan profesional, apalagi jika nanti digunakan untuk menghadapi pasukan Fretilin yang berasal dari Tropaz yang kebanyakan suah berpengalaman beroperasi antigerilya di Angola dan Mozambique.
Di dalam kata-kata Osorio, terasa bahwa masalah sulit seperti itu diserahkan sepenuhnya kepada Indonesia. yang menjadi masalah sekarang adalah tidak adanya hubungan antara pimpinan partai dan pasukannya di perbatasan. Perlindungan pasukan bersenjata kepada mereka sama sekali tidak ada. Kenyataan ini merupakan risiko besar terhadap keselamatan pimpinan kalau nanti Fretilin berhasil mengalahkan kekuatan bersenjata UDT. Apodeti akan segera menghadapi kegiatan likuidasi yang dilakukan Fretilin, seperti halnya nasib partai-partai yang masuk front pembebasan-pembebasan partai komunis di luar negari sebelumnya.
Mengahadapi kenyataan yang dikatakan komandan kontingen ini, Osorio tertegun, diam seribu bahasa. Ketika ditawarkan untuk diungsikan bersama anggota penting lain pimpinan, ia tidak memberikan jawaban hingga hari terakhir gencatan senjata, saat komandan kontingen bersiapsiap untuk naik perahu pendarat menuju KRI Monginsidi.
Keesokan harinya perahu-perahu rakyat dan perahu-perahu pendarat sudah disiapkan untuk mengangkut pengungsi naik ke kapal dagang RI, yang umlahnya 6 buah, yang datang satu per satu sejak sore kemarinnya. Kapal-kapal dagang yang dimiliki berbagai perusahaan angkutan laut semua lego jangkar di sekitar KRI Monginsidi.
Konsul telah berhasil mengajak anggota konsulat Taiwan turut di dalam penyusunan kelompok-kelompok dan dengan kapal apa kelompok-kelompok ini nanti akan diangkut. Ternyata warga negara Taiwan merupakan bagian terbesar jumlah pengungsi. Sisanya adalah warga negara Australia, India dan Inggris.
Pukul 09:00 WIB, rombongan pertama pengungsi telah siap di pantai, disusun dalam kelompok-kelompok keluarga beserta barang-barang yang sangat diperlukan di perjalanan dan barang berharga masing-masing. Mereka telah diberi tahu, kapal yang akan mengangkut mereka adalah kapal barang, karena itu kebanyakan mereka membawa bantal-bantal dan kasur-kasur secukupnya.
Setelah pemeriksaan terakhir kapal dilaksanakan, perintah segera diberikan untuk segera berangkat. Satu per satu kapal meninggalkan tempat berlabuhnya dan berlayar menuju Benoa (Bali) sebagai tempat transit pertama bagi pengungsi dalam perjalanannya menuju tempat-tempat tujuan mereka di Australia, Hong Kong, India, Inggris, Makau dan Taiwan.
Kapal terakhir berangkat pada malam hari, sedangkan KRI Monginsidi tetap berada di depan pelabuhan Dili sampai pagi harinya. Setelah yakin tidak ada satu pun pengungsi yang tertinggal, kapal destroyer RI perlahan mengangkat jangkar dan bergerak menuju ke barat.
Pada saat-saat terakhir sebelum komandan kontingen menaiki perahu pendarat marinir untuk menuju ke kapal, Sekjen Apodeti masih sempat menemui komandan kontingen di tepi pantai. Ia mengatakan dengan tenang setelah dipikir masak-masak, ia sebagai pemimpin partai bersama anggota lain tidak akan ikut mengungsi. Masih terngiang ucapan terakhir, "I will stay in Dili with my people, whatever happened" dan komandan kontingen menjawab, "OK then, good luck !" lalu kemudian saling berpelukan.
Apa yang telah diperkirakan sebelumnya terjadi. Seperti halnya anggota-anggota partai lainnya yang masuk front komunis di negara-negara lain, mereka akhirnya mengalami nasib yang sama. Semua pemimpinnya dibunuh. Jenazahnya dikubur secara massal di Aileu, kira-kira 30 kilometer di selatan Dili. Kuburan-kuburan massal ini ditemukan berkat laporan penduduk setempat, setelah ABRI bersama para partisan mengadakan operasi ke selatan Dili pada Januari 1976. Pada umumnya keadaan jenazah sudah rusak dan hampir semua kedua tangannya diikat ke belakang dengan tali kawat.
Dalam kuburan itu, dikenali jenazah Osorio Soares, karena baju yang mulai hancur dan surat-surat jati dirinya yang masih tersimpan di saku. Penggalian kembali jenazah secara menyeluruh segera dilakukan, disaksikan pejabat-pejabat PMI.
Selanjutnya melalui radio, KRI Monginsidi diperintahkan Menhankam untuk segera menuju Kalabahi di Pulau Alor guna mengadakan rendezvous dengan eskader ALRI yang dikirim kemudian untuk memberi dukungan kekuatan, jika timbul keadaan darurat.
Begitu kota Dili terlihat samar-samar, terdengarlah ledakan-ledakan berturut dari peluru-peluru mortir, yang membuktikan bahwa permusuhan telah dimulai kembali dan perang saudara telah berkecamuk dengan hebatnya. Begitu KRI Monginsidi berlabuh di Teluk kalabahi bersama kapal-kapal perang RI yang telah berlabuh terlebih dulu, "Operasi Prihatin" dinyatakan selesai.