Karuan saja orang itu menolak mentah-mentah perintah tersebut. Karenanya,
ia segera mendatangi satu per satu ketiga sahabatnya untuk dimintai pertolongan
agar ia tidak jadi pindah ke rumah baru.
Kepada sahabatnya yang pertama ia berkata, “Wahai, Sahabatku. Engkau
adalah seseorang yang paling kusukai dan kucintai dibandingkan dengan kedua
sahabatku yang lain. Aku rela menjaga dan membelamu siang malam. Apa pun
telah kulakukan demi engkau.Nah, sekarang aku meminta pertolonganmu agar
aku tidak jadi pindah ke rumah yang baru. Sudikah engkau menolongku?”
Apa jawaban sang sahabat? “Cih! Sedikit pun tak sudi aku menolongmu,”
ujarnya sengit
“Mengapa begitu?” protesnya. “Bukankah engkau selama ini telah kubela
habis-habisan?”.
“Siapa suruh membela dan memperhatikanku habis-habisan?”
Gagal meminta pertolongan dari sahabatnya yang pertama, ia mendatangi
sahabatnya yang kedua. “Wahai, Sahabat. Tolonglah agar aku jangan sampai
pindah ke rumah yang baru,” pintanya.
“Untuk menolak permintaan aku tak bisa. Tetapi aku bisa menyertaimu
sampai ke rumah yang baru,” jawab sahabat kedua.
Berangkatlah keduanya menuju rumah yang baru. Akan tetapi, tatkala
sampai di ambang pintu, sang sahabat kedua tersebut menghentikan langkahnya,
tak mau masuk menyertainya hingga ke dalam rumah. “Tidak, aku hanya mau
mengantarmu hingga di sini saja,” ujarnya.
Ketika itulah muncullah sahabatnya yang ketiga. “Baiklah. Meskipun selama
ini engkau tidak pernah memperhatikanku tetapi aku bersedia menemanimu
di rumahmu yang baru ini. Mudah-mudahan aku bisa membantumu,” ujarnya.
Tahukah Anda siapa seseorang dalam ilustrasi di atas? Dan siapa pula
ketiga sahabatnya itu?
Seseorang tersebut tiada lain adalah kita sendiri, manusia yang hidup
di alam fana ini. Kita mempunyai tiga sahabat. Sahabat yang pertama adalah
sosok yang mati-matian kita cintai, bahkan terkadang melebihi cinta kepada
yang lainnya. Apakah itu? Yakni, dunia berikut isinya, harta, gelar, pangkat,
jabatan, dan sejenisnya.
Lihatlah orang yang cinta dunia. Tiada pagi, tiada siang dan tiada malam.
Senantiasa ingat kepada harta, gelar, pangkat, dan jabatan yang ada dalam
genggaman tangannya. Rela bersimbah keringat, karena harta. Tega menganiaya
sesama lantaran ingin meraup suatu gelar, pangkat, ataupun jabatan. Bahkan
rela mengorbankan keluarga, silaturahmi dengan saudara sendiri menjadi
porak-poranda, juga demi mengejar dan memuaskan nafsu angkara dunia, meraup
harta sebanyak-banyaknya. Pendek kata, nyaris setiap desah nafasnya bergelimang
dengan nafsu memburu masalah duniawi!
Tiba-tiba datang sebuah surat yang isinya berbunyi, “Wa liuli ummatin
ajalun. Fa idzaa jaa-a a ajaluhum laa yasta-khiruuna saa’atan, wa laa yastaqdimuun.”
(Q.S. Al A’raaf 7:34). Artinya, tiap-tiap umat mempunya batas waktu (ajal).
Apabila telah datang waktunya, maka mereka tidak dapat mengundurkan barang
sesaat pun dan tidak dapat pula memajukannya.
Surat itu seakan-akan “secara paksa” memerintahkan, “Pindahlah dari
rumahmu di dunia ini ke rumahmu yang baru, yaitu alam kubur!”
Jadi, kita pasti pindah dari rumah yang kita tempati sekarang ini ke
“rumah” kita yang baru , yaitu kubur, yang hanya berukuran satu kali dua
meter. Sekaya apa pun, setinggi apa pun gelar, pangkat, dan jabatannya,
seseorang itu pasti mati!
Dan demi Allah, satu-satunya pihak yang pertama kali meninggalkan kita
saat malakal maut tiba adalah justru harta, gelar, pangkat dan jabatan,
yang notabene mati-matian kita kejar, kita raup, dan kita kumpulkan itu.
Pokoknya, tidak ada satu pun yang dapat menghalanginya.
Sahabat, saat-saat kita menghadapi proses kematian, betapa sakitnya sakaratul maut itu laksana terkena empat ratus sayatan. Bayangkanlah bagaimana ketika ayam atau kambing disembelih. Hewan-hewan itu adalah mahluk tak berdosa, yang setiap saat tak lelah bertasbih kepada ALLAH. Tatkala disembelih, mereka menggelepar-gelepar, tak jauh seperti itulah keadaan kita menghadapi betapa dahsyatnya penderitaan menahan sakit saat sakaratul maut.
Kalau kita sudah mati, maka nanti akan kita lihat sendiri ternyata deposito, dompet, mobil, gedung serta villa mewah, dan seluruh harta kekayaan yang mati-matian kita kejar dan kumpulkan, tak ada satu pun yang mampu membela kita. Kita hanya berbekal selembar kain kafan yang membungkus jasad tak berdaya.
Yang paling menyedihkan, adalah kalau kita punya anak keturunan, tetapi mereka tidak benar. Ketika meninggal, mereka tak tahu harus berbuat apa. Tidak tahu cara membimbingkan kalimat thayyibah, tidak tahu cara menyalatkan, dan mendoakan pun tak pernah. Bahkan yang terpikir dalam benak mereka hanya soal bagi-bagi harta warisan.
Tampak jasad kita dimandikan, dibungkus dengan kain kafan, disholatkan , dan kemudian diusung menuju “rumah” kita yang baru: liang lahat yang hanya berukuran satu kali dua meter itu. Berangkatlah kita ke sana dengan diantar oleh sahabat kita yang kedua, yakni keluarga, saudara, dan handai taulan.
Ketika kita menghuni “rumah” yang baru, demi ALLAH, betapa pun besarnya
cinta isteri dan anak-anak kepada kita, namun tidak akan ada seorang pun
di antara mereka yang sudi menemani kita di lubang kubur. Pelan tapi pasti
kita akan dimasukkan ke dalam kubur yang gelap gulita. Jasad kita akan
dimasukkan ke dalam kubur, jasad kita akan dimiringkan menghadap
kiblat. Kemudian akan dibuka sebagian kain kafan pembungkus. Papan-papan
pun dipasangkan satu per satu menutup rapat-rapat sang jasad. Dan orang
-orang yang pertama kali menjatuhkan bongkah demi bongkah tanah itu justru
orang-orang yang kita cintai.
Semakin lama semakin gelap. Akhirnya sendirianlah kita di dalam kubur.
Anak-anak, isteri, ataupun suami; mereka semuanya akan pulang. Harta yang
kita kumpulkan dan keluarga yang kita bela, semuanya meninggalkan kita.
Hanya tinggal satu-satunya sahabat yang akan menemani kita di lubang kubur,
yaitu amal-amal yang selalu kita lalaikan.
Berbahagialah orang-orang yang semasa hidupnya sibuk menjadikan segalanya jadi amal shaleh. Ia mencari dunia, tetapi ikhtiarnya itu telah diniatkan menjadi ladang amal. Ia mendidik isteri dan anak-anaknya, namun terlebih dahulu terpancang niat untuk menjadikannya sebagai ladang kebajikan. Sehingga, ketika masuk ke dalam kubur, maka alam kubur itu persis seperti seorang ibu yang teramat rindu akan anaknya yang telah sekian lama pergi merantau jauh. Asal kita dari tanah, maka sang tanah pun membuka pintu lebar-lebar, penuh kerinduan menyambut kepulangan kita.
Bagi orang-orang yang shaleh yang ketika hidupnya sarat dengan berbagai amal kebajikan, maka di alam kubur mereka selalu merasakan aneka kenikmatan, kesejukan, dan kelapangan. Tak ubahnya limpahan kasih sayang seorang ibu yang sangat mencintai anaknya.
Sebaliknya, bagi orang-orang yang selama hidupnya banyak bersikap dan berperilaku kurang ajar terhadap ALLAH, jauh dari tuntunan agama, hidup bergelimang aneka kemaksiatan, maka tatkala masuk ke dalam kubur, itulah saat-saat yang paling mengerikan.
Karena, orang yang tidak memiliki bekal amal shaleh, saat menguni alam kubur, kurang lebih ia akan mendapat pertanyaan seperti ini. “Hai, jasad. Apa yang telah engkau perbuat selama di dunia? Tidakkah engkau pakai akal pikiranmu? Bukankah yang menciptakan dan mengurus tubuhmu adalah ALLAH, tetapi mengapa sepanjang hidupmu tidak pernah engkau mau mengabdi kepada-Nya? Mata bergelimang maksiat, segla dilihat, sedangkan Al Qur’an yang akan membuat engkau merasakan kebahagiaan tidak pernah engkau baca. Telinga selalu engkau gunakan untuk mendengarkan suara dan musik maksiat, sedangkan kebenaran yang dapat membuatmu memiliki kemuliaan tidak pernah engkau simak. Harta yang dititipkan kepadamu begitu banyak, namun kau anggap terlalu sedikit…”
Karenanya, tidak usah heran. Ketika itulah akan dirasakan gemeretaknya tulang-belulang di sekujur tubuh, hancur luluh lantak dihimpit oleh kubur yang benci kepada jasad yang sarat dosa. Orang boleh saja tidak percaya akan adanya siksa kubur. Akan tetapi, saya yakin siapa pun akan meyakini kebenarannya saat merasakannya sendiri kelak. Na’udzubilaahi min dzalik!
Sahabat, satu-satunya yang harus kita miliki adalah bahwa kita harus memiliki benteng. Mencari duniawi bukanlah suatu kejelekan. Kita boleh mencari harta, gelar, pangkat, dan jabatan dengan sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, hencaknya kita ingat mbhwa rizki kita hanyalah tiga jenis. Yakni, yang kita makan kemudian menjadi kotoran, yang kita pakai lalu menjadi usang, dan yang kita jadikan amal shaleh. Hanya itu!
Walaupun seseorang memiliki harta kekayaan bermilyar-milyar, demi ALLAH, semua itu belum tentu menjadi rizkinya. Lihatlah, tak sedikit orang yang secara syariat begitu kaya raya, tetapi makanan yang disantapnya sehari-hari ternyata jauh sederhana daripada yang dimakan oleh orang miskin. ALLAH menetapkan saja baginya penyakit usus buntu, ALLAH timpakan saja kepadanya penyakit maag, maka paling-paling makanannya hanya bubur yang lunak; paling-paling rizkinya hanya biskuit.
Orang yang tidak tahu rahasia hidup ini, ia akan semakin cinta dunia ini secara berlebih-lebihan, sehingga pastilah ia akan semakin hina. Persis seperti seorang anak kecil yang menginginkan petasan. Ia merengek-rengek kepada ibunya agar dibelikan. Dilarang, malah menangis. Ketika diberinya uang, ia segera berlari ke pasar sampai bersimbah keringat. Tatkala petasan sampai didapatkan dengan penuh suka cita ia berlari pulang, sehingga terjatuh dan berlumur darah.
Air mata keluar, keringat bersimbah, darah bercucuran demi petasan. Tetapi, lihatlah kelakuan anak kecil. Ketika petasan akan disulut, ternyata malah diberikannya kepada orang yang lebih besar untuk disulutkan. Sementara ia sendiri malah menutup telinganya rapat-rapat karena takut mendengar bunyi ledakannya. Petasan pun meledak tanpa ia dengar sendiri. Ia yang mati-matian mencari, ia yang bercucuran keringat, tetapi giliran menikmatinya malah ke orang lain.
Itulah perumpamaan orang-orang yang tidak mengerti hidup. Setiap hari ia pontang-panting ke sana ke mari. Ia kumpulkan harta, ia kkumpulkan segalanya tanpa ingat shalat, zakat, tanpa ingat akan ibadah kepada ALLAH. Akan tetapi, adakah semua itu dapat ia nikmati?
Adakah orang yang memiliki puluhan rumah dan kendaraan mewah dapat ia nikmati sekaligus? Adakah orang yang memiliki tanah ribuan hektar, semua ia tempati? Tentu tidak. Paling-paling ia hanya tidur di suatu rumah, dan itu pun kalau ALLAH memberinya rasa kantuk. Rumah yang banyak adalah rizki para pembantu rumah tangganya. Ia pun tak lebih hanya mengendarai satu mobilnya, sedangkan selebihnya adalah rizki para sopirnya. Dan jangan heran kalau ada tuan tanah yang menguasai ribuan hektar, ketika mati ternyata hanya menempati sepetak tanah ukuran satu kali dua meter.
Sahabat, karena itu janganlah terkecoh. Kita hidup didunia sebentar saja. Esok lusa bisa jadi hidup kita berakhir. Akankah hidup kita ingin seperti anak kecil yang menginginkan petasan? Sibuk sendiri, tetapi tidak semua yang kita dapatkan bisa kita nikmati.
Kita boleh sangat menginginkan punya tanah yang luas, kita boleh sangat
menginginkan punya perusahaan yang besar, dan kita pun tak dilarang menginginkan
punya harta yang banyak. Tetapi, kita tahu persis bahwa yang dapat kita
nikmati pasti hanya sedikit.