Berita Utama
Kemiskinan
di Indonesia
setiap satu orang warga negara Indonesia terbebani
hutang sekitar 7,5 juta rupiah
Proses pembangunan selama tiga puluh dua tahun
ternyata menghasilkan kondisi yang mengenaskan. Perkembangan dunia usaha,
akumulasi ekonomi, seolah pergi bersama angin dengan begitu saja. Usaha-usaha
besar berjatuhan dan mereka dililit oleh persoalan yang sangat sulit.
Di sisi lain, kelompok usaha kecil juga dihimpit oleh berbagai persoalan
keterbatasan. Meningkatnya jumlah pengangguran, pemutusan hubungan kerja
(PHK), meningkatnya jumlah penduduk miskin dari 30,88% menjadi 78,66% (versi
BPS).
Dapat dikatakan krisis ekonomi di Indonesia saat ini merupakan krisis yang
mengerikan, karena merupakan krisis yang terparah di kawasan Asia. Krisis
ini mengakibatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) minus hingga
15%, tingkat inflasi 70%, merosotnya nilai tukar rupiah 80%, serta meningkatnya
tingkat bunga perbankan hingga di atas 60%.
Utang negara kita pun meningkat dari US 138 Milyar Dollar pada bulan Juli
1998, pada tahun ini menjadi sekitar US 183,4 Milyar Dollar, sehingga bila
kita konversikan dengan populasi penduduk Indonesia saat ini yang mencapai
l.k. duaratus juta penduduk maka dengan patokan kurs saat ini Rp. 8.500/1
dolar AS membuat setiap satu orang warga negara Indonesia terbebani hutang
sekitar 7,5 juta rupiah.
Catatan Bank Dunia dalam Buku Global Economic Prospect 1998-1999
: and The Developing Countries memperkirakan pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada tahun 1999 ini minus 2,8%, sehingga angka kemiskinan diperkirakan
akan terus bertambah melebihi 22 juta orang. Jadi, Indonesia diprediksi
harus menanggung penduduk miskin lebih dari 5%. dibanding angka kemiskinan
pada tahun 1998. Selanjutnya, bila batas garis kemiskinan dinaikan dari
USD 1/hari menjadi USD 1,25/hari, angka kemiskinan akan bertambah menjadi
22 juta orang dari total penduduk miskin sebanyak 56,5 juta orang.
Sedang proses pemulihan ekonomi Indonesia juga dinilai terburuk, dibandingkan
dengan negara-negara di kawasan ASEAN lainnya.
Itulah Kenyataan Kita
Jatuh miskin? Ya, itulah yang dialami oleh sebagian besar masyarakan
Indonesia sekarang, inilah kenyataan yang terjadi. Untuk memperbaiki keadaan
tinggal menunggu nasib, karena kehidupan itu katanya bagaikan roda yang
berputar, kadang di atas dan kadang di bawah. Akan tetapi apakah betul
suatu saat kita akan bergerak lagi ke atas?
Jawabannya belum tentu. Mungkin saja kita terus menerus, terjebak dalam
lingkaran kemiskinan yang ada, jika kita tidak mampu memutus siklusnya.
Indikasi ke arah sana masih samar-samar, tetapi harus selalu diwaspadai,
misalnya kesulitan keuangan sekarang menimpa semua pihak. Menimpa pemerintah
dan BUMN, kecuali para pejabatnya. Menimpa perusahaan swasta besar, kecuali
para pemiliknya, tentu saja menimpa masyarakat secara umum. Keadaan ini
akan menjadi penyebab dari rendahnya pembentukan modal. Rendahnya investasi,
yang dipercaya dapat memberikan return (pemulihan) kesejahteraan material
di kemudian hari. Rendahnya pembentukan modal ini dapat dimengerti karena
yang terjadi sekarang adalah pendapatan negara sedang seret, baik dari
pajak maupun utang. BUMN dan perusahaan swasta menerapkan kebijakan zero
investment (tidak ada investasi baru) karena kesulitan arus kas dan
dililit hutang.
Selain itu, kemampuan masyarakat untuk menabung juga sangat menurun karena
pendapatannya digerogoti inflasi yang demikian tinggi. Bagian pendapatan
yang dapat ditabung menjadi lebih sedikit, atau bahkan minus karena malah
harus menarik tabungannya sedikit demi sedikit. Jadi, otomatis uang yang
dapat digunakan sebagai modal untuk menggerakkan aktivitas perekonomian,
menjadi jauh berkurang. Keadaan ini diperparah juga oleh perilaku sebagian
kecil masyarakat yang menguasai nilai kekayaan sangat tinggi, yang tetap
memarkir uangnya di luar negeri dengan berbagai alasan. Kerusuhan demi
kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah akhir-akhir ini juga sangat memperburuk
keadaan. Perusakan terhadap infrastruktur ekonomi di daerah-daerah semakin
menyengsarakan banyak orang.
Kesalahan Strategi Orde Baru
Mungkinkah kita keluar dari kesulitan ini? Untuk dapat bangkit, dari
mana kita harus mulai? Rasanya sulit sekali dijawab. Akan tetapi harus
disadari bahwa kondisi saat ini tidak terjadi begitu saja melainkan merupakan
biaya yang harus dibayar dari kesalahan strategi pembangunan di masa lalu
(Orde Baru).
|
Rakyat juga harus punya akses yang lebih besar pada peningkatan
sumber daya manusia (SDM), peningkatan kemampuan dalam teknologi. Karena
itu, pusat-pusat pengembangan teknologi perlu didistribusikan ke seluruh
wilayah Indonesia secara merata.
Kebijakan atau strategi pembangunan yang kita anut selama ini lebih
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi untuk melakukan akumulasi faktor-faktor
ekonomi.
Yaitu pertumbuhan industri skala besar dengan harapan bahwa pelaku industri
skala besar bisa melakukan kegiatan usaha secara menguntungkan.
Namun, kebijakan itu mengabaikan perkembangan usaha kecil, usaha rakyat.
Usaha rakyat diminta bersabar dengan harapan surplus yang diperoleh usaha
besar akan diakumulasikan dan diwujudkan dalam dana tabungan untuk kegiatan
investasi. Surplus yang diperoleh usaha besar tadinya diharapkan akan mengalir
ke kantung-kantung perbankan. Dan perbankan akan menyalurkannya ke sektor
usaha kecil untuk kegiatan investasi yang dilakukan pengusaha kecil, selanjutnya
diharapkan bisa menggerakkan roda ekonomi pada lapisan bawah.
Dengan strategi pertumbuhan ini diharapkan akan terjadi tetesan ke bawah
(trickle down effect) dari usaha besar kepada ekonomi rakyat (usaha
kecil). Konsepsi tersebut ternyata tidak teruji oleh sejarah. Perjalanan
sejarah kita tidak mengarah kepada kondisi semacam itu. Memang betul terjadi
akumulasi oleh kelompok usaha besar namun tidak ada saving (tabungan)
yang memungkinkan tersedianya dana untuk investasi.
Kenapa demikian? Karena banyak diantara pengusaha besar lebih tertarik
menginvestasikan dananya dalam bentuk asset yang aman, baik dalam bentu
fisik seperti mobil atau properti maupun dalam simpanan dolar di luar negeri
yang dianggap paling aman sehingga terjadilah capital flight (pelarian
modal ke luar negeri). Akibatnya investasi yang diharapkan mengalir ke
rakyat banyak tidak terjadi. Inilah fenomena yang berlangsung selama ini
sehingga output dari perjalanan panjang sejarah pembangunan ekonomi
kita berakhir dengan ketimpangan ekonomi yang sangat mengenaskan dan menjadikan
kemiskinan struktural terus menerus berlangsung.
Bagaimana Keluar dari Krisis?
Menurut para pakar ekonomi, kita harus mengubah kebijakan tersebut
dengan strategi yang lebih berorientasi kepada upaya untuk menggerakkan
sektor ekonomi rakyat. Intinya adalah redistribution with growth
(pemerataan untuk pertumbuhan). Pertumbuhan ekonomi juga harus dinikmati
oleh usaha kecil yang digerakkan oleh ekonomi rakyat. Dengan demikian,
pertumbuhan yang terjadi pada ekonomi rakyat akan mampu menggerakkan kembali
roda ekonomi kita. Konsentrasi dan polarisasi kepemilikan pada beberapa
gelintir orang harus dihindari.
Inilah yang diharapkan mendasari konsep ekonomi kerakyatan yang sekarang
giat dikampanyekan. Jadi, hal-hal ini merupakan tantangan yang perlu diakomodasikan
sebagai masukan untuk reorientasi pembangunan ekonomi kita.
Rakyat juga harus punya akses yang lebih besar pada peningkatan sumber
daya manusia (SDM), peningkatan kemampuan dalam teknologi. Karena itu,
pusat-pusat pengembangan teknologi perlu didistribusikan ke seluruh wilayah
Indonesia secara merata. Pendekatan seperti ini kiranya akan menjanjikan
masa depan yang lebih baik, juga menjanjikan terbangunnya demokrasi ekonomi.
Karena sejak awal masyarakat dilibatkan dalam proses produksi, pengelolaan
kegiatan ekonomi, sekaligus di dalam hasil-hasil yang dicapai dari proses-proses
produksi tersebut. Intinya adalah bagaimana memotong siklus lingkaran kemiskinan
yang ada, sehingga kemakmuran bisa tercapai tanpa harus menimbulkan kesenjangan
sosial dan akhirnya mengarah pada persoalan politik yang serius. Mencuatnya
masalah politik selama ini karena adanya kesenjangan semacam itu. Sejarah
telah mengatakan bahwa "revolusi berangkat dari perut yang kosong".
Kalau perut rakyat kosong pasti akan menimbulkan kericuhan politik, ketidakstabilan
sosial dan akan menghambat kegiatan ekonomi. Inilah yang harus kita renungkan
dan fikirkan bersama.*
Dirangkum dari berbagai sumber oleh: Thamrin, Iwan, Apit, Wulan
Sumber:
- Harian Umum Republika; Senin, 8 Februari & Kamis, 11 Februari
1999.
- Sutrisno Iwantono, Menggerakkan Ekonomi Rakyat, Tabloid Aksi Vol.
3 No. 116, 9 - 15 Februari 1999.
- Yudi P Mochtar, Jebakan Lingkaran Kemiskinan, Harian Umum Pikiran
Rakyat. Sabtu , 6 Februari 1999.
- Harian Umum Pikiran Rakyat, Krisis Indonesia Paling Buruk di Asia,
halaman 8. Senin, 22 Februari 1999.
|