lognews.gif

Isi nomor ini


Berita Utama
Rangkuman tentang Kemiskinan di Indonesia

Kiat Keluar dari Krisis
E. Sulaiman, B.A.

Orang Biasa yang Berhasil
H. Moh. Irwan Suryanto

Pernik
Inilah The Real World

Wajah
Budi Sayuto

Relawan Redaksi:
Agus, Alen, Apit, Ary, Dan Satriana, Eunis, Gema, Herry Dim, Ina, Iwan, Kiki, Muhammad Ridlo 'Eisy, Perdana Alamsyah, Syaiful, Temi, Thamrin, Wulan, Yusuf

Alamat Redaksi:
Jl. Supratman No. 57
Bandung

Tlp: 062 22 705890
Fax: 062 22 705527

Suratkabar (newsletter) Bandung Peduli disebarkan kepada masyarakat umum, khususnya sebagai media komunikasi jaringan antar LSM dan masyarakat bawah dalam bentuk edisi cetak.
Catatan Bulan Ini
lihatlah lingkungan sekeliling, jika di sekitar anda masih ada yang susah, melarat, dan tidak berdaya, artinya lingkungan kita belum beres
Suratkabar
Bandung Peduli
Maret 1999 ............................................. Edisi No. 1 ............................................... Halaman 1
 

Berita Utama
Kemiskinan
di Indonesia

setiap satu orang warga negara Indonesia terbebani hutang sekitar 7,5 juta rupiah

Proses pembangunan selama tiga puluh dua tahun ternyata menghasilkan kondisi yang mengenaskan. Perkembangan dunia usaha, akumulasi ekonomi, seolah pergi bersama angin dengan begitu saja. Usaha-usaha besar berjatuhan dan mereka dililit oleh persoalan yang sangat sulit.
Di sisi lain, kelompok usaha kecil juga dihimpit oleh berbagai persoalan keterbatasan. Meningkatnya jumlah pengangguran, pemutusan hubungan kerja (PHK), meningkatnya jumlah penduduk miskin dari 30,88% menjadi 78,66% (versi BPS).
Dapat dikatakan krisis ekonomi di Indonesia saat ini merupakan krisis yang mengerikan, karena merupakan krisis yang terparah di kawasan Asia. Krisis ini mengakibatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) minus hingga 15%, tingkat inflasi 70%, merosotnya nilai tukar rupiah 80%, serta meningkatnya tingkat bunga perbankan hingga di atas 60%.
Utang negara kita pun meningkat dari US 138 Milyar Dollar pada bulan Juli 1998, pada tahun ini menjadi sekitar US 183,4 Milyar Dollar, sehingga bila kita konversikan dengan populasi penduduk Indonesia saat ini yang mencapai l.k. duaratus juta penduduk maka dengan patokan kurs saat ini Rp. 8.500/1 dolar AS membuat setiap satu orang warga negara Indonesia terbebani hutang sekitar 7,5 juta rupiah.
Catatan Bank Dunia dalam Buku Global Economic Prospect 1998-1999 : and The Developing Countries memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1999 ini minus 2,8%, sehingga angka kemiskinan diperkirakan akan terus bertambah melebihi 22 juta orang. Jadi, Indonesia diprediksi harus menanggung penduduk miskin lebih dari 5%. dibanding angka kemiskinan pada tahun 1998. Selanjutnya, bila batas garis kemiskinan dinaikan dari USD 1/hari menjadi USD 1,25/hari, angka kemiskinan akan bertambah menjadi 22 juta orang dari total penduduk miskin sebanyak 56,5 juta orang.
Sedang proses pemulihan ekonomi Indonesia juga dinilai terburuk, dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN lainnya.

Itulah Kenyataan Kita
Jatuh miskin? Ya, itulah yang dialami oleh sebagian besar masyarakan Indonesia sekarang, inilah kenyataan yang terjadi. Untuk memperbaiki keadaan tinggal menunggu nasib, karena kehidupan itu katanya bagaikan roda yang berputar, kadang di atas dan kadang di bawah. Akan tetapi apakah betul suatu saat kita akan bergerak lagi ke atas?
Jawabannya belum tentu. Mungkin saja kita terus menerus, terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang ada, jika kita tidak mampu memutus siklusnya.
Indikasi ke arah sana masih samar-samar, tetapi harus selalu diwaspadai, misalnya kesulitan keuangan sekarang menimpa semua pihak. Menimpa pemerintah dan BUMN, kecuali para pejabatnya. Menimpa perusahaan swasta besar, kecuali para pemiliknya, tentu saja menimpa masyarakat secara umum. Keadaan ini akan menjadi penyebab dari rendahnya pembentukan modal. Rendahnya investasi, yang dipercaya dapat memberikan return (pemulihan) kesejahteraan material di kemudian hari. Rendahnya pembentukan modal ini dapat dimengerti karena yang terjadi sekarang adalah pendapatan negara sedang seret, baik dari pajak maupun utang. BUMN dan perusahaan swasta menerapkan kebijakan zero investment (tidak ada investasi baru) karena kesulitan arus kas dan dililit hutang.
Selain itu, kemampuan masyarakat untuk menabung juga sangat menurun karena pendapatannya digerogoti inflasi yang demikian tinggi. Bagian pendapatan yang dapat ditabung menjadi lebih sedikit, atau bahkan minus karena malah harus menarik tabungannya sedikit demi sedikit. Jadi, otomatis uang yang dapat digunakan sebagai modal untuk menggerakkan aktivitas perekonomian, menjadi jauh berkurang. Keadaan ini diperparah juga oleh perilaku sebagian kecil masyarakat yang menguasai nilai kekayaan sangat tinggi, yang tetap memarkir uangnya di luar negeri dengan berbagai alasan. Kerusuhan demi kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah akhir-akhir ini juga sangat memperburuk keadaan. Perusakan terhadap infrastruktur ekonomi di daerah-daerah semakin menyengsarakan banyak orang.

Kesalahan Strategi Orde Baru
Mungkinkah kita keluar dari kesulitan ini? Untuk dapat bangkit, dari mana kita harus mulai? Rasanya sulit sekali dijawab. Akan tetapi harus disadari bahwa kondisi saat ini tidak terjadi begitu saja melainkan merupakan biaya yang harus dibayar dari kesalahan strategi pembangunan di masa lalu (Orde Baru).

cvrmrt.gif Rakyat juga harus punya akses yang lebih besar pada peningkatan sumber daya manusia (SDM), peningkatan kemampuan dalam teknologi. Karena itu, pusat-pusat pengembangan teknologi perlu didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia secara merata.

Kebijakan atau strategi pembangunan yang kita anut selama ini lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi untuk melakukan akumulasi faktor-faktor ekonomi.
Yaitu pertumbuhan industri skala besar dengan harapan bahwa pelaku industri skala besar bisa melakukan kegiatan usaha secara menguntungkan.
Namun, kebijakan itu mengabaikan perkembangan usaha kecil, usaha rakyat. Usaha rakyat diminta bersabar dengan harapan surplus yang diperoleh usaha besar akan diakumulasikan dan diwujudkan dalam dana tabungan untuk kegiatan investasi. Surplus yang diperoleh usaha besar tadinya diharapkan akan mengalir ke kantung-kantung perbankan. Dan perbankan akan menyalurkannya ke sektor usaha kecil untuk kegiatan investasi yang dilakukan pengusaha kecil, selanjutnya diharapkan bisa menggerakkan roda ekonomi pada lapisan bawah.
Dengan strategi pertumbuhan ini diharapkan akan terjadi tetesan ke bawah (trickle down effect) dari usaha besar kepada ekonomi rakyat (usaha kecil). Konsepsi tersebut ternyata tidak teruji oleh sejarah. Perjalanan sejarah kita tidak mengarah kepada kondisi semacam itu. Memang betul terjadi akumulasi oleh kelompok usaha besar namun tidak ada saving (tabungan) yang memungkinkan tersedianya dana untuk investasi.
Kenapa demikian? Karena banyak diantara pengusaha besar lebih tertarik menginvestasikan dananya dalam bentuk asset yang aman, baik dalam bentu fisik seperti mobil atau properti maupun dalam simpanan dolar di luar negeri yang dianggap paling aman sehingga terjadilah capital flight (pelarian modal ke luar negeri). Akibatnya investasi yang diharapkan mengalir ke rakyat banyak tidak terjadi. Inilah fenomena yang berlangsung selama ini sehingga output dari perjalanan panjang sejarah pembangunan ekonomi kita berakhir dengan ketimpangan ekonomi yang sangat mengenaskan dan menjadikan kemiskinan struktural terus menerus berlangsung.

Bagaimana Keluar dari Krisis?
Menurut para pakar ekonomi, kita harus mengubah kebijakan tersebut dengan strategi yang lebih berorientasi kepada upaya untuk menggerakkan sektor ekonomi rakyat. Intinya adalah redistribution with growth (pemerataan untuk pertumbuhan). Pertumbuhan ekonomi juga harus dinikmati oleh usaha kecil yang digerakkan oleh ekonomi rakyat. Dengan demikian, pertumbuhan yang terjadi pada ekonomi rakyat akan mampu menggerakkan kembali roda ekonomi kita. Konsentrasi dan polarisasi kepemilikan pada beberapa gelintir orang harus dihindari.
Inilah yang diharapkan mendasari konsep ekonomi kerakyatan yang sekarang giat dikampanyekan. Jadi, hal-hal ini merupakan tantangan yang perlu diakomodasikan sebagai masukan untuk reorientasi pembangunan ekonomi kita.
Rakyat juga harus punya akses yang lebih besar pada peningkatan sumber daya manusia (SDM), peningkatan kemampuan dalam teknologi. Karena itu, pusat-pusat pengembangan teknologi perlu didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia secara merata. Pendekatan seperti ini kiranya akan menjanjikan masa depan yang lebih baik, juga menjanjikan terbangunnya demokrasi ekonomi.
Karena sejak awal masyarakat dilibatkan dalam proses produksi, pengelolaan kegiatan ekonomi, sekaligus di dalam hasil-hasil yang dicapai dari proses-proses produksi tersebut. Intinya adalah bagaimana memotong siklus lingkaran kemiskinan yang ada, sehingga kemakmuran bisa tercapai tanpa harus menimbulkan kesenjangan sosial dan akhirnya mengarah pada persoalan politik yang serius. Mencuatnya masalah politik selama ini karena adanya kesenjangan semacam itu. Sejarah telah mengatakan bahwa "revolusi berangkat dari perut yang kosong". Kalau perut rakyat kosong pasti akan menimbulkan kericuhan politik, ketidakstabilan sosial dan akan menghambat kegiatan ekonomi. Inilah yang harus kita renungkan dan fikirkan bersama.*

Dirangkum dari berbagai sumber oleh: Thamrin, Iwan, Apit, Wulan

Sumber:
- Harian Umum Republika; Senin, 8 Februari & Kamis, 11 Februari 1999.
- Sutrisno Iwantono, Menggerakkan Ekonomi Rakyat, Tabloid Aksi Vol. 3 No. 116, 9 - 15 Februari 1999.
- Yudi P Mochtar, Jebakan Lingkaran Kemiskinan, Harian Umum Pikiran Rakyat. Sabtu , 6 Februari 1999.
- Harian Umum Pikiran Rakyat, Krisis Indonesia Paling Buruk di Asia, halaman 8. Senin, 22 Februari 1999.

1