Tahun Bahari 1996 Menurut Seorang ''Naval Architect'' (I Ketut Aria Pria Utama, Fakultas Teknologi Kelautan ITS Surabaya)

(Suara Pembaruan, 3 September 1996)

Kiranya tepat tahun 1996 dicanangkan sebagai tahun bahari khususnya bila dikaitkan dengan tekad pemerintah untuk mengembangkan kawasan timur Indonesia (KTI) dan penetapan sektor kelautan (GBHN 1993) sebagai salah satu sektor unggulan (leading sector) dalam pembangunan jangka panjang (PJP) II. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan geografis, karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah lebih kurang 8 juta km2 (luas daratan 2 juta km2 dan luas perairan 6 juta km2), serta pengalaman historis sebagai bangsa bahari.

Terdapat dua hal menarik yang patut dikaji berkaitan dengan tahun bahari 1996, mengingat penulis adalah seorang insinyur perkapalan (naval architect). Pertama adalah persoalan kecelakaan kapal laut (khususnya yang menimpa kapal-kapal penumpang) dan kedua adalah persoalan impor kapal ikan asing.

Berita tentang kecelakaan kapal laut menghiasi berbagai harian nasional, khususnya pada akhir 1995 dan sepanjang awal tahun 1996. Misalnya, kecelakaan yang terjadi di perairan Selat Bali pada jalur penyeberangan Ketapang-Gilimanuk, kecelakaan yang menimpa KM Gurita di perairan Aceh dan terakhir kecelakaan yang menimpa KM Agape II di perairan Teluk Tomini.

Bila diteliti dengan saksama, kecelakaan tersebut umumnya disebabkan oleh dua hal. Yaitu, kenyataan bahwa kondisi kapal yang kurang layak laut (unseaworthiness) dan karena faktor alam (cuaca yang sangat buruk). Penyebab kecelakaan KM Gurita, sesuai dengan pengisahan para korban dan berbagai pihak, adalah faktor fisik kapal yang sesungguhnya kurang layak laut, mengingat usia kapal sudah tua, kurang terawat dan kualitas pergerakan kapal di gelombang (seakeeping quality) yang buruk. Selain itu juga karena faktor cuaca yang sangat buruk pada saat kejadian, seperti dipaparkan Mahkamah Pelayaran. Sementara itu musibah yang menimpa KM Agape II lebih disebabkan oleh faktor cuaca buruk.

Musibah yang menelan korban jiwa dalam jumlah yang tidak sedikit itu, kecuali musibah KM Agape II, menyadarkan kita semua betapa penting dan mendesaknya berbagai upaya yang harus dilakukan untuk memperbaiki prosedur keselamatan pelayaran yang berlaku selama ini. Ibaratnya, bila sebuah pesawat terbang meng-alami kecelakaan maka seluruh seri pesawat yang sama harus diselidiki guna memastikan tingkat keamanannya. Demikian pula semestinya bila kecelakaan menimpa sebuah kapal laut.

Kegiatan ini seyogianya melibatkan berbagai pihak, antara lain instansi pemerintah terkait, perusahaan pengoperasi kapal dan juga masyarakat pengguna jasa khususnya dalam rangka perbaikan disiplin penumpang kapal. Penyelidikan penyebab kecelakaan hendaknya melahirkan suatu rekomendasi tentang prosedur pengoperasian kapal penumpang.

Hal itu kemudian ditindaklanjuti dengan penyelidikan terhadap seluruh kapal penumpang yang dioperasikan di Tanah Air untuk memastikan bahwa kapal-kapal tersebut telah memenuhi prosedur keamanan dan keselamatan yang ditetapkan, sehingga layak dioperasikan untuk mengangkut penumpang. Termasuk satu hal yang terpen-ting dan sangat mendesak adalah pemisahan pintu masuk/keluar antara penumpang dan kendaraan untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, penumpang tidur di dalam kendaraan selama pelayaran sehingga dikhawatirkan akan mempersulit proses penyelamatan bila terjadi musibah laut.

Impor Kapal

Berita yang tidak kalah menariknya adalah deregulasi di bidang perikanan dalam bentuk izin impor kapal ikan asing. Keputusan pemerintah ini di satu sisi, mau tidak mau harus diakui membawa semacam angin segar bagi kalangan perikanan. Angin segar ini diharapkan dapat dinikmati oleh semua kalangan, tidak hanya oleh pengusaha kakap tetapi juga oleh para nelayan kecil.

Selain kondisinya masih cukup baik, harga kapal ikan asing bekas ternyata jauh lebih murah dibanding dengan harga sebuah kapal baru produksi galangan kapal di dalam negeri. Perbandingannya lebih kurang adalah sebuah kapal baru produksi dalam negeri bernilai sama dengan tiga buah kapal ikan bekas yang diimpor. Kekhawatiran akan kondisi kapal ikan bekas tersebut dapat diantisipasi dengan kejelian dan kehati-hatian dalam proses pembelian. Ibaratnya membeli mobil bekas, jika cermat dan teliti, akan diperoleh kapal bekas yang bagus dengan harga murah.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah ini jelas merupakan pukulan bagi galangan kapal di dalam negeri. Kenyataannya, pemakai kapal lebih memilih kapal impor, bekas. Hal ini tentu merupakan suatu pukulan bagi galangan kapal dalam negeri yang secara teknis mampu memproduksi kapal-kapal ikan standar.

Namun demikian, jika disimak lebih lanjut, kenyataan ini sesungguhnya dapat dianggap sebagai suatu tantangan sehingga, galangan kapal dalam negeri nantinya mampu memproduksi kapal ikan dengan kualitas baik dan harga yang bersaing. Usaha-usaha yang dapat dilakukan antara lain dengan memperbaiki prosedur pembangunan kapal, khususnya berkaitan dengan persoalan manajemen dan peningkatan efisiensi perusahaan.

Kapal-kapal ikan impor tersebut hendaknya memiliki perlengkapan navigasi yang memadai dan kecepatan yang cukup. Dengan bantuan satelit kapal itu mampu melacak kumpulan ikan (Pembaruan, 14/6/ 1996), sehingga bisa diharapkan armada kapal ini beroperasi secara optimal untuk meningkatkan produksi perikanan di Tanah Air. Armada kapal ini diharapkan juga mampu membantu tugas-tugas kapal patroli TNI AL, yang jumlahnya tidak banyak, menjaga perairan dan kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dari usaha-usaha pencurian oleh kapal ikan asing.

Secara teknis kapal ikan cukup rawan terhadap musibah kecelakaan, sehingga kondisi kapal hendaknya dijaga dan secara periodik diperiksa untuk memastikan tingkat keamanannya. Salah satunya adalah berkaitan dengan intact stability seperti yang dituangkan di dalam peraturan SOLAS 1960/1974 (Bab II, Regulasi No 7).

Kapal-kapal bekas tersebut (idealnya) secara teratur direparasi di dalam negeri, tidak lagi di luar negeri sehingga, diharapkan mampu menggairahkan partisipasi galangan kapal dalam negeri dalam bentuk penyediaan sarana perawatan dan perbaikan kapal.

Peranan perguruan tinggi (PT), khususnya sebagai penyelenggara pendidikan tinggi di bidang teknologi perkapalan/kelautan, sesungguhnya sangat besar. Peneli-tian penyebab kecelakaan kapal, dalam pengertian teknis, sesungguhnya dapat dilakukan di PT. Salah satunya adalah di Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS yang saat ini dikembangkan menjadi pusat riset dan pendidikan tinggi di bidang teknologi kelautan. FTK ITS mempunyai fasilitas uji berupa kolam uji (towing tank) dengan ukuran 50 x 3 x 1,8 meter (sarat air maksimum) serta sejumlah pakar di bidangnya.

Kemampuan ini sesungguhnya sudah ditingkatkan lebih jauh dengan dibukanya kerja sama riset dengan Laboratorium Hidrodinamika Indonesia (LHI) dan sebuah lembaga riset di Australia (AMECRC). LHI yang berlokasi di dalam kampus ITS, mempunyai kolam uji dengan panjang 200 meter dan sejumlah fasilitas uji lainnya yang boleh dikatakan paling lengkap hingga saat ini di kawasan ASEAN.

Penelitian teknis yang dapat dilakukan, antara lain pengujian model disertai dengan pemberian gelombang pada angka beaufort (indeks yang menentukan besarnya suatu gelombang) tertentu untuk mengetahui seberapa besar pengaruh gelombang (dan juga cuaca) sebagai penyebab kecelakaan. Model yang dipergunakan dikondisikan sesuai kondisi terakhir kapal sebelum mengalami musibah, sehingga faktor kesalahan operator (seperti lupa menutup pintu rampah, kebocoran kecil yang tidak segera ditutup, dan lain-lain) akan bisa diungkapkan.

Pengadaan kapal ikan impor pun semestinya melibatkan kalangan PT khususnya untuk maksud alih teknologi. Kalangan PT diharapkan memperoleh pelajaran yang berharga, yang nantinya mampu mengembangkan suatu bentuk kapal ikan yang efisien berikut metode dan manajemen pembangunannya sehingga, dihasilkan kapal-kapal ikan berkualitas baik, ramah terhadap lingkungan (tidak seperti kapal-kapal trawl yang terkenal rakus) dan tentunya dijual dengan harga yang murah.

Kerja sama ini pun tentu bisa ditingkatkan lebih lanjut dalam bentuk pemberian kesempatan kerja praktek dan pengerjaan tugas akhir kepada mahasiswa PT. Diharapkan generasi penerus ini, bila bekerja pada industri perkapalan/perikanan, akan mampu berprestasi secara optimal. Terlebih lagi dengan akan diberikannya sertifikat Persatuan Insinyur Indonesia (PII) kepada sarjana teknologi kelautan mulai tahun 1997. Nantinya mereka memperoleh pengakuan sebagai insinyur profesional dan bisa bekerja di 30 negara, antara lain Australia (Pembaruan, 27/7/1996).

Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah peran serta organisasi profesi, dalam hal ini Himpunan Ahli Teknik Maritim Indonesia (HATMI). Peran organisasi semacam ini di negara-negara maju sangat besar. Misalnya,the Royal Institution of Naval Architects (RINA) di Inggris. Bila terjadi kasus kapal tenggelam atau kasus menarik lainnya di bidang kemaritiman, biasanya akan ada konferensi yang membahas kejadian tersebut. Konferensi itu nantinya melahirkan semacam solusi dan rekomendasi untuk mengantisipasi kejadian semacam itu di masa mendatang.

HATMI, yang notabene beranggotakan para pakar dari PT, lembaga riset dan kalangan industri, semestinya diikutsertakan dalam setiap persoalan di bidang teknologi kelautan/maritim. Keterlibatan ini dalam cakupan yang lebih luas diharapkan akan mampu menggairahkan riset serta meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di bidang teknologi kelautan.

Tantangan

Adalah tepat bila Tahun Bahari 1996 disambut dengan kerja keras dan semangat untuk meningkatkan kecintaan akan dunia kelautan, khususnya dalam rangka pengembangan wilayah KTI. Dua contoh berikut kiranya perlu disimak dengan seksama. Kalau melihat ke belakang, sesungguhnya cukup banyak ekspedisi bahari yang patut dibanggakan. Misalnya, perjalanan kapal Pinisi Nusantara yang mengikuti Expo di Vancouver serta ekspedisi Amana Gappa yang mengarungi Samudera Hindia menuju Madagaskar.

Di bidang teknologi, beberapa perusahaan asing telah mempercayakan pembangunan kapalnya kepada galangan kapal di Indonesia. Ini berarti, sesungguhnya masih banyak potensi yang bila digali dari bidang kelautan termasuk peningkatan kemampuan di bidang teknologi. Sehingga nantinya bangsa kita mampu memproduksi kapal-kapal yang dibutuhkannya. Bahkan, suatu saat nanti bukan tidak mungkin, negara kita tercinta menjadi salah satu negara pengekspor kapal yang potensial di dunia. Semoga!*** 1