Harga Seorang Wanita / Ngarto Fabruana; penyunting, Dede Azwar Nurmansyah. – Cet.1 – Jakarta : Dastan Books, 2006. – 356 P.; 18 Cm.
Ini adalah dunia laki-laki. Dunia di mana hak, kebahagiaan, dan juga perempuan adalah milik laki-laki. Ya, perempuan hanyalah sesuatu untuk dimiliki, tanpa hak apa pun, apalagi untuk bahagia.
Dunia seperti itulah yang dihadirkan Februana dalam novelnya ini. Sang tokoh perempuan dijual oleh suaminya sendiri untuk dijadikan penjaja cinta. Ya, lelaki yang mencintainya itu terpaksa menjualnya. Namun, bisakah seorang lelaki benar-benar mencintai seorang perempuan? Apakah keterpaksaan sang suami dilandaskan pada cinta? Atau pada ego purba seorang lelaki yang biasa memiliki perempuan sepenuhnya?
Sang tokoh perempuan kemudian diselamatkan dari lembah nista oleh seorang lelaki pelanggannya. Lelaki itu tulus menolongnya, tanpa menuntut macam-macam. Benarkah? Benarkah ada seorang lelaki yang bisa meraba perasaan perempuan? Ikut merasakan penderitaannya? Bisakah ketulusan benar-benar hadir di antara lelaki dan perempuan?
Februana tidak sekadar menyajikan kisah jual-beli perempuan. Noel ini tak akan mudah Anda lupakan, bahkan amat mungkin mengubah hidup Anda. Februana dengan luar biasa menyelam ke kedalaman jiwa-jiwa manusia demi menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Dunia Februana dalam novel ini tak lain merupakan cerminan tegas dari dunia kita. Ya, sadar ataupun tidak, kini kita tengah menghirup udara laki-laki, hidup di dunia laki-laki.
Cetakan
I Juni 1999; tebal 221, harga Rp 18.000; Penerbit Media
Pressindo, Yogyakarta
Cetakan
II 2000; harga 21.000
Novel perdana Ngarto
Februana ini bercerita tentang nasib seorang bocah
yang lahir dan tumbuh di kampung pelacuran. Karena tak
betah, si bocah minggat. Setelah dewasa ia kembali, dan
memulai pertarungan demi pertarungan. Ia bertarung
dengan "kelelakiannya": jatuh cinta pada
seorang pelacur. Bertarung entah atas nama dendam masa
lalu atau memprotes kesewenang-wenangan. Dan bertarung
dengan makhluk raksasa dalam mimpinya. Bertarung dengan
dirinya sendiri hingga pada suatu ketika ia harus
melupakan segalanya....
Pengantar:
Bakdi Soemanto; Cetakan I Juli 2000; tebal 206 halaman,
harga Rp 18.000; Penerbit Media
Pressindo, Yogyakarta
Novel berlatar budaya
suku Dayak, di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan.
Dengan membaca novel ini, kita banyak belajar tentang
suku yang sebelumnya tidak pernah kita kenal. Lengkap
dengan pelukisan upacara ritual. Juga tentang horor
pemenggalan kepala. Ada pula pertarungan kepentingan
antara pengusaha HPH dengan suku yang senantiasa
terasing itu. Lalu bagaimana nasib Utay, putra kepala
suku, yang mengkhianati tanah leluhurnya demi ambisi
pribadi?
TAPOL Cetakan
I September 2002; tebal viii + 173 halaman; harga Rp
22.800; Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta
Novel berlatar
sejarah peristiwa G30S, 1965, yang sarat kekejaman:
penculikan para jenderal, pembantaian kader dan
simpatisan PKI. Seorang bintara AU yang terlibat Gestok,
dipenjara 10 tahun tanpa proses pengadilan. Keluar
penjara, ia jadi pemulung untuk bertahan hidup,
menggelandang mencari anak istri yang sanak familinya
sudah habis dibunuh.
Sang anak
kemudian jadi aktivis gerakan kiri, penganut komunisme.
Tapi, ibunya menentang.
Bagaimana
kisah lengkapnya? Segera miliki novel ini.
Cetakan
I novel ini sudah habis terjual. Cetakan II masih
tersedia di toko-toko buku.
PERSOALAN itu muncul
setahun setelah kakek meninggal. Usiaku dua belas tahun
saat itu, tapi keingintahuanku sangat besar terhadap
persoalan rumit yang membuat nenek prihatin dan bersedih,
sehingga segala cara aku tempuh walau dengan
sembunyi-sembunyi dan main intip, untuk mengetahui
persoalan yang sesungguhnya....
Telah
kugadaikan kebebasanku dengan sebentuk ikatan perkawinan.
Tapi potensi terpendam yang melekat pada diriku ternyata
sulit untuk ditiadakan. Barangkali ini pembawaan setiap
lelaki. Dan, pemberontakan itu berakhir pada sebuah
tragedi.
Matahari nyelekit
menyengat apa saja. Tanah kering kerontang, meretak
pecah berbongkah-bongkah. Rerumputan kuning mengering.
Sumur-sumur tinggal lubang tanpa air. Udara kian pengap.
Atmosfer tercemar asap. Sudah terlalu lama hujan tak
menetes. Gerah!....
Malam
jahanam. Hujan lebat mengguyur tanah pekuburan itu.
Petir seakan men-cabik-cabik langit. Angin berembus
kencang. Pepohonan bergoyang. Rumpun-rumpun bambu
menggeliat gelisah. Gemeresek suaranya berpadu dengan
derai hujan dan petir. Dan, setan serta roh jahat
menyeruak dari lubang-lubang persembunyian....
kepada NS Engkau pernah datang bawa kembang Seharum parfum surga Kutanam di taman hatiku Hiasi mimpi-mimpiku Kini kau pergi ketika sadari cinta tak bisa kubagi Kurelakan kau pergi, kasih Tak kuharap akan kembali Biarlah cinta sebagai misteri
Pilihan
Surat-Surat Pribadi
Surat-surat politik
sewaktu ia jadi aktivis mahasiswa. Antara lain surat
itu ditujukan untuk kawan sesama aktivis di Filipina.
Juga ada surat balasan dari kawan tersebut. Dalam
suratnya, Ngarto Februana bercerita tentang kondisi
negeri ini, di saat rezim Orde Baru berkuasa. Juga
dalam surat balasan, Norchi, demikian nama sang kawan
itu, bercerita tentang negerinya yang juga penuh
dengan represi.