I puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil I time line
 I 
catatan harian I surat-surat I proses kreatif I
I artikel I komentar & resensi] I berita I

 

The Collected Stories and Others

Home I EnglishI

MY NOVELS:

abrlorong.JPG (9170 bytes)

Lorong Tanpa Cahaya
(Yogyakarta: Media Pressindo,1999)
Bercerita tentang nasib seorang bocah yang lahir dan tumbuh di kampung pelacuran....

menolak.JPG (9181 bytes)

Menolak Panggilan Pulang
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2000)
Novel berlatar budaya suku Dayak, di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Dengan membaca novel ini, kita banyak belajar...

TAPOL
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2002)
Berlatar sejarah G30S, 1965, yang sarat kekejaman: penculikan para jenderal, pembantaian kader dan simpatisan PKI. Seorang bintara AU yang terlibat Gestok....
Resensi Tapol 
Komentar tentang Tapol



Harga Seorang Wanita
(Jakarta: Dastan Books, 2006)
Ini adalah dunia laki-laki. Dunia di mana hak, kebahagiaan, dan juga perempuan adalah milik laki-laki. Ya, perempuan hanyalah....

Kirim Komentar 

 

 

 

 


 

Google

 

Abebooks.com - Because You Read.

Tom Wolfe

Naturalisme dan Jurnalisme Baru
(Pernah dimuat di tabloid DeTAK)

Menulis novel bisa berangkat dari sebuah reportase mendalam, seperti ketika wartawan mencari berita. Dan, menulis berita bisa dengan gaya seperti sebuah novel. Tom Wolfe telah melakukan keduanya, dan sukses. Penghargaan pun kerap dimenangi, baik berkat karya jurnalistiknya maupun novel-novelnya, sehingga memapankan namanya sebagai penulis yang menonjol di Amerika Serikat saat ini.

Wolfe lahir dan besar di Richmond, Virginia. Tampaknya doktor pada bidang studi Amerika ini lebih tertarik pada jurnalistik. Maka, pada Desember 1956, ia memulai karir kewartawanan sebagai reporter Springfield (Massachusetts) Union. Empat tahun kemudian, Wolfe mencatat prestasi gemilang. Waktu itu ia menjadi koresponden The Washington Post's untuk Amerika Latin, selama enam bulan pada tahun 1960. Atas liputannya mengenai Kuba  dia memperoleh penghargaan Washington Newspaper Guild's.

Bukunya yang pertama terbit pada tahun 1965; berjudul The Kandy-Kolored Tangerine-Flake Streamline, yang ditulis ketika ia menjadi reporter Herald Tribune. Sebuah buku yang menjadi bestseller dan memapankan Wolfe sebagai tokoh dalam eksperimen kesastraan dalam nonfiksi yang terkenal sebagai jurnalisme baru.

Karir Wolfe kian cemerlang. Tiga tahun berikutnya, dia menerbitkan dua bestsellers pada hari yang sama: The Pump House Gang, dan The Electric Kool-Aid Acid Test. Selanjutnya Wolfe mencetuskan gagasan-gagasan kontroversial dalam buku yang terbit kemudian. Radical Chick & Mau-Mauing the Flak Catchers (1970), buku tentang friksi rasial di Amerika Serikat. Dan melalui buku The Painted Word (1975), Wolfe menunjukkan perhatiannya pada komunitas di pinggiran wilayah metropolitan New York.

Tahun 1979 adalah tahun banjir penghargaan bagi Wolfe. Bayangkan saja, bukunya The Right Stuff  menjadi bestseller dan memenangi American Book Award untuk nonfiksi, the National Institute of Arts and Letters Harold Vursell Award untuk gaya prosa, dan the Columbia Journalism Award.

Selanjutnya, pada tahun 1984 dan 1985, Wolfe menulis novel pertama, The Bonfire of the Vanities, sebagai cerita bersambung untuk majalah Rolling Stone. Pada tahun 1987, novel yang berkisah demam uang pada tahun 1980 di New York itu dibukukan. The Bonfire of the Vanities adalah salah satu dari bestseller New York Times selama dua bulan dan tetap ada pada daftar lebih kurang satu tahun, terjual lebih dari 800.000 eksemplar.

Novel Tom Wolfe yang lain, Ambush at Fort Bragg (1997), dalam bahasa Prancis dan Spanyol, semula adalah cerita bersambung di majalah Rolling Stone. Kemudian, A Man in Full, diterbitkan pada November 1998. Novel ini masuk dalam daftar teratas bestseller New York Times selama sepuluh minggu dan terjual mendekati 1,4 juta eksemplar hardcover.


Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.


Wolfe dan Naturalisme

Apa yang menarik pada novel Wolfe? Gaya naturalismenya, kuantitas detail-detailnya! Itulah Wolfe. Saking fanatiknya terhadap gaya ini, dalam sebuah tulisannya di majalah Harper, Wolfe mengemukakan bahwa masa depan novel Amerika hanya berharap pada gaya naturalisme ala Emile Zola (novelis Prancis); seorang novelis sekaligus reporter. Dan Wolfe telah melakukannya ketika menulis The Bonfire of the Vanities. Bahkan, lebih ekstrem, ia menganjurkan novelis untuk meniru hasrat Zola dalam mendokumentasi informasi dalam novel.

Dalam novelnya A Man in Full, yang tebalnya mencapai 754 halaman, menurut Michael Lewis, tampak sekali bahwa Wolfe seperti pemandu wisata yang tajam dan bersemangat. “Dia bisa menunjukkan kepadamu segala sesuatu yang kelihatan asing; dia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Kamu ingin mendengar 14 dialek yang berbeda, yang diucapkan orang, di wilayah Atlanta?” Demikian tulis Michael Lewis dalam The New York Times (28 Oktober 1998). Lewis, penulis buku tentang kampanye presiden 1996 itu, ingin menunjukkan betapa detailnya Wolfe dalam menggambarkan sesuatu. Sampai-sampai bisa melukiskan 14 dialek yang berbeda yang dipakai orang Atlanta.


 Chronicles


Wolfe dan Jurnalisme Baru

Dalam kursus jurnalisme kesastraan yang diselenggarakan oleh Institut Studi Arus Informasi, akhir Mei lalu, nama Tom Wolfe sering disebut-sebut oleh instruktur kursus, Janet Steele. Profesor dari George Washington University itu mengatakan bahwa Tom Wolfe adalah pencetus jurnalisme baru. Ia mencetuskan genre baru ini pata tahun 1965. Maka, Wolfe pun dikenal sebagai bapak jurnalisme baru. “Wolfe suka bermain dengan kata-kata yang berasal dari iklan untuk menciptakan suasana,” kata Janet Steele pada salah satu sesi kursus itu.

Gagasan Wolfe banyak ditentang oleh penulis lain. Tapi, Wolfe jalan terus dan sejumlah penulis juga memakai gaya ini. Sementara itu, sejumlah media yang menerapkan genre jurnalisme kesastraan ini, antara lain The New Yorker, Harpers, halaman tengah di The Wall Street Journal. The New Yorker, misalnya, di edisi Agustus 1946 sudah memuat berita dengan gaya jurnalisme kesastraan. Pada edisi itu, setahun setelah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, The New Yorker memuat satu tulisan panjang berjudul “Hiroshima” yang ditulis oleh John Hersy. Untuk menulis artikel itu, John melakukan reportase berbulan-bulan dan mewawancarai ratusan narasumber. Sebuah kerja yang tidak main-main. Berkat artikel itu, The New Yorker edisi Agustus 1946 itu habis terjual. Albert Einstein, fisikawan dari Jerman, ketika hendak membeli seribu eksemplar untuk dibagikan kepada teman-temannya, harus gigit jari, lantaran kehabisan. Dampak yang dahsyat: Amerika guncang dan akhirnya pemerintah Amerika memutuskan: tidak ada lagi bom atom!

Apa dan bagaimana jurnalisme kesastraan? Menurut Wolfe, wartawan dapat membuat serangkaian adegan dan penokohan seperti halnya novelis—tapi apa yang ditulis wartawan adalah fakta yang benar-benar terjadi. Pada prinsipnya, berita dengan genre jurnalisme kesastraan ini menggunakan unsur-unsur dalam novel: menggambarkan suatu peristiwa dengan adegan, menggunakan plot (alur), ada karakter (tokoh), suspense atau ketegangan, dan sudut pandang (point of view). Sudut pandang bisa berubah-ubah. Bahkan, reporter bisa menggunakan sudut pandang orang pertama (saya), sehingga reporter menjadi bagian dari berita. Ini bisa kita lihat dalam artikel “The Riverman”. Menurut Janet Steele, dosen mata kuliah jurnalisme itu, bisa juga kita menggunakan sudut pandang orang kedua (kamu). 

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Steve Hammer dari NUVO Newsweekly edisi Februari 1998, Tom Wolfe mengatakan: Hal baru dalam Jurnalisme Baru adalah pemanfaatan teknik dalam jurnalisme yang sebelumnya telah digunakan hanya dalam fiksi. “Kini, teknik tersebut sangat dikenal oleh penulis untuk surat kabar dan majalah. Dan mereka baru saja melakukannya dan menggunakannya, saya sebutkan, Rolling Stone,” kata Wolfe.

Dalam wawancara itu, Wolfe juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap berita sekarang ini, khususnya di Amerika. “Sekarang ini, sangat sedikit berita yang benar-benar didapatkan dari reportase…. Dan kesalahan itu karena kamu tidak mengirim dua orang untuk meliput sebuah peristiwa yang diharapkan dapat menimbulkan persaingan dan memperbaiki peliputan. Agaknya berita sekarang ini lebih buruk daripada 75 tahun lalu karena kemunduran pada sejumlah surat kabar di beberapa wilayah.”

Wolfe dengan keyakinan naturalisme untuk novel dan jurnalisme barunya adalah tantangan buat kita, para jurnalis dan novelis Indonesia.

ngarto februana (bahan: situs tomwolfe.com, The New York Times, NUVO Newsweekly)


 TULISLAH RINGKASAN BUKU DAN DAPATKAN UANG


 



I puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil I time line I catatan harian I surat-surat I
proses kreatif 
I artikel I komentar & resensi] I berita I


 Copyrights©2000 Ngarto Februana. All rights reserved.
Designed by Ngarto Februana

1