Tom Wolfe
Naturalisme dan Jurnalisme Baru
(Pernah dimuat di tabloid DeTAK)
Menulis novel bisa berangkat dari sebuah
reportase mendalam, seperti ketika wartawan mencari
berita. Dan, menulis berita bisa dengan gaya seperti
sebuah novel. Tom Wolfe telah melakukan keduanya, dan
sukses. Penghargaan pun kerap dimenangi, baik berkat
karya jurnalistiknya maupun novel-novelnya, sehingga
memapankan namanya sebagai penulis yang menonjol di
Amerika Serikat saat ini.
Wolfe lahir dan besar di Richmond,
Virginia. Tampaknya doktor pada bidang studi Amerika ini
lebih tertarik pada jurnalistik. Maka, pada Desember
1956, ia memulai karir kewartawanan sebagai reporter
Springfield (Massachusetts) Union. Empat
tahun kemudian, Wolfe mencatat prestasi gemilang. Waktu
itu ia menjadi koresponden The Washington Post's
untuk Amerika Latin, selama enam bulan pada tahun 1960.
Atas liputannya mengenai Kuba dia memperoleh
penghargaan Washington Newspaper Guild's.
Bukunya yang pertama terbit pada tahun
1965; berjudul The
Kandy-Kolored Tangerine-Flake Streamline,
yang ditulis ketika ia
menjadi reporter Herald Tribune. Sebuah buku
yang menjadi bestseller dan memapankan Wolfe
sebagai tokoh dalam eksperimen kesastraan dalam nonfiksi
yang terkenal sebagai jurnalisme baru.
Karir Wolfe kian cemerlang. Tiga tahun
berikutnya, dia menerbitkan dua bestsellers pada
hari yang sama: The Pump
House Gang, dan
The Electric Kool-Aid Acid
Test. Selanjutnya
Wolfe mencetuskan gagasan-gagasan kontroversial dalam
buku yang terbit kemudian. Radical Chick & Mau-Mauing
the Flak Catchers
(1970),
buku tentang friksi rasial di Amerika Serikat. Dan
melalui buku The Painted
Word (1975),
Wolfe menunjukkan perhatiannya pada komunitas di
pinggiran wilayah metropolitan New York.
Tahun 1979 adalah tahun banjir
penghargaan bagi Wolfe. Bayangkan saja, bukunya The
Right Stuff menjadi bestseller dan memenangi
American Book Award untuk nonfiksi, the National
Institute of Arts and Letters Harold Vursell Award untuk
gaya prosa, dan the Columbia Journalism Award.
Selanjutnya, pada tahun 1984 dan 1985,
Wolfe menulis novel pertama,
The Bonfire of the Vanities,
sebagai cerita bersambung untuk majalah Rolling Stone.
Pada tahun 1987, novel yang berkisah demam uang pada
tahun 1980 di New York itu dibukukan. The Bonfire of
the Vanities adalah salah satu dari bestseller
New York Times selama dua bulan dan tetap ada
pada daftar lebih kurang satu tahun, terjual lebih dari
800.000 eksemplar.
Novel Tom Wolfe yang lain, Ambush at Fort Bragg
(1997), dalam bahasa Prancis dan Spanyol, semula adalah
cerita bersambung di majalah Rolling Stone.
Kemudian, A Man in Full,
diterbitkan pada November 1998. Novel ini masuk dalam
daftar teratas bestseller New York Times
selama sepuluh minggu dan terjual mendekati 1,4 juta
eksemplar hardcover.
Wolfe dan Naturalisme
Apa yang menarik pada novel Wolfe? Gaya
naturalismenya, kuantitas detail-detailnya! Itulah
Wolfe. Saking fanatiknya terhadap gaya ini, dalam sebuah
tulisannya di majalah Harper, Wolfe mengemukakan
bahwa masa depan novel Amerika hanya berharap pada gaya
naturalisme ala Emile Zola (novelis Prancis); seorang
novelis sekaligus reporter. Dan Wolfe telah melakukannya
ketika menulis The Bonfire of the Vanities.
Bahkan, lebih ekstrem, ia menganjurkan novelis untuk
meniru hasrat Zola dalam mendokumentasi informasi dalam
novel.
Dalam novelnya A Man in Full, yang
tebalnya mencapai 754 halaman, menurut Michael Lewis,
tampak sekali bahwa Wolfe seperti pemandu wisata yang
tajam dan bersemangat. “Dia bisa menunjukkan kepadamu
segala sesuatu yang kelihatan asing; dia melihatnya
dengan mata kepala sendiri. Kamu ingin mendengar 14
dialek yang berbeda, yang diucapkan orang, di wilayah
Atlanta?” Demikian tulis Michael Lewis dalam The New
York Times (28 Oktober 1998). Lewis, penulis buku
tentang kampanye presiden 1996 itu, ingin menunjukkan
betapa detailnya Wolfe dalam menggambarkan sesuatu.
Sampai-sampai bisa melukiskan 14 dialek yang berbeda
yang dipakai orang Atlanta.
Wolfe dan Jurnalisme Baru
Dalam kursus jurnalisme kesastraan yang
diselenggarakan oleh Institut Studi Arus Informasi,
akhir Mei lalu, nama Tom Wolfe sering disebut-sebut oleh
instruktur kursus, Janet Steele. Profesor dari George
Washington University itu mengatakan bahwa Tom Wolfe
adalah pencetus jurnalisme baru. Ia mencetuskan genre
baru ini pata tahun 1965. Maka, Wolfe pun dikenal
sebagai bapak jurnalisme baru. “Wolfe suka bermain
dengan kata-kata yang berasal dari iklan untuk
menciptakan suasana,” kata Janet Steele pada salah satu
sesi kursus itu.
Gagasan Wolfe banyak ditentang oleh
penulis lain. Tapi, Wolfe jalan terus dan sejumlah
penulis juga memakai gaya ini. Sementara itu, sejumlah
media yang menerapkan genre jurnalisme kesastraan ini,
antara lain The New Yorker, Harpers,
halaman tengah di The Wall Street Journal. The
New Yorker, misalnya, di edisi Agustus 1946 sudah
memuat berita dengan gaya jurnalisme kesastraan. Pada
edisi itu, setahun setelah dijatuhkannya bom atom di
Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, The New Yorker
memuat satu tulisan panjang berjudul “Hiroshima” yang
ditulis oleh John Hersy. Untuk menulis artikel itu, John
melakukan reportase berbulan-bulan dan mewawancarai
ratusan narasumber. Sebuah kerja yang tidak main-main.
Berkat artikel itu, The New Yorker edisi Agustus
1946 itu habis terjual. Albert Einstein, fisikawan dari
Jerman, ketika hendak membeli seribu eksemplar untuk
dibagikan kepada teman-temannya, harus gigit jari,
lantaran kehabisan. Dampak yang dahsyat: Amerika guncang
dan akhirnya pemerintah Amerika memutuskan: tidak ada
lagi bom atom!
Apa dan bagaimana jurnalisme kesastraan?
Menurut
Wolfe, wartawan dapat membuat serangkaian
adegan dan penokohan seperti halnya novelis—tapi apa
yang ditulis wartawan adalah fakta yang benar-benar
terjadi. Pada prinsipnya, berita dengan genre jurnalisme
kesastraan ini menggunakan unsur-unsur dalam novel:
menggambarkan suatu peristiwa dengan adegan, menggunakan
plot (alur), ada karakter (tokoh), suspense atau
ketegangan, dan sudut pandang (point of view).
Sudut pandang bisa berubah-ubah. Bahkan, reporter bisa
menggunakan sudut pandang orang pertama (saya), sehingga
reporter menjadi bagian dari berita. Ini bisa kita lihat
dalam artikel “The Riverman”. Menurut Janet Steele,
dosen mata kuliah jurnalisme itu, bisa juga kita
menggunakan sudut pandang orang kedua (kamu).
Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan
Steve Hammer dari NUVO Newsweekly edisi Februari
1998, Tom Wolfe mengatakan: Hal baru dalam Jurnalisme
Baru adalah
pemanfaatan teknik dalam jurnalisme yang
sebelumnya telah digunakan hanya dalam fiksi. “Kini,
teknik tersebut sangat dikenal oleh penulis untuk surat
kabar dan majalah. Dan mereka baru saja melakukannya dan
menggunakannya, saya sebutkan, Rolling Stone,”
kata Wolfe.
Dalam wawancara itu, Wolfe juga
mengungkapkan keprihatinannya terhadap berita sekarang
ini, khususnya di Amerika. “Sekarang ini, sangat sedikit
berita yang benar-benar didapatkan dari reportase…. Dan
kesalahan itu karena kamu tidak mengirim dua orang untuk
meliput sebuah peristiwa yang diharapkan dapat
menimbulkan persaingan dan memperbaiki peliputan.
Agaknya berita sekarang ini lebih buruk daripada 75
tahun lalu karena kemunduran pada sejumlah surat kabar
di beberapa wilayah.”
Wolfe dengan keyakinan naturalisme untuk
novel dan jurnalisme barunya adalah tantangan buat kita,
para jurnalis dan novelis Indonesia.
ngarto februana (bahan: situs tomwolfe.com,
The New York Times, NUVO Newsweekly)
TULISLAH RINGKASAN BUKU DAN DAPATKAN UANG
|