Puisi
ini ditulis oleh penyairnya dengan bahasa yang diusahakan
sangat seadanya, yang kira-kira bisa dipahami oleh setiap
anak yang baru mengenal sejumlah kata-kata, sebab penyair
itu merasa begitu ketakutan bahwa kematiannya akan
menjadi sempurna jika ternyata tak seorangpun memahami
kata-katanya.
Jangan salah sangka. Ia takut bukan karena kawatir akan
kehilangan kepala, melainkan justru ia sangat mendambakan
betapa bahagianya kalau pada suatu hari ia kehilangan
kepala. Masalahnya - terus terang saja - kepala itu sudah
bertengger di atas lehernya hampir tigapuluh tahun.
Baginya ini merupakan beban yang teramat berat dan
membuat ia merasa tidak normal. Karena teman-temannya
yang normal pada umumnya hanya menyangga satu kepala
paling lama lima tahun, bahkan ada yang hanya satu dua
tahun, malah ada juga yang sesudah dua tiga bulan sudah
berganti kepala.
Penyair kita ini sudah menghubungi Tuhan ribuan kali
melalui salat, wirit dan tarikat, demi memperoleh
kejelasan resmi mengenai keanehan ini. Bahkan sebelum itu
sudah ia datangi beratus-ratus dukun, kiai dan kantor
ikatan cendekiawan, namun tidak seorangpun sanggup
memberinya jawaban yang memuaskan hati. Tuhan sendiri
sepertinya terlalu bersabar menyimpan teka-teki ini,
bahkan sesekali ia merasakan Tuhan seakan-akan bersikap
ogah-ogahan terhadap masalah ini.
Matahari selalu terbit dan tetumbuhan tak pernah berhenti
mengembang, tapi itu hanya menambah ketegasan perasaan
penyair kita bahwa sesungguhnya yang berlangsung hanyalah
kemandegan. Ayam berkokok tiap menjelang pagi, kemudian
manusia bangun dan tidak melakukan apa-apa untuk mengubah
kebosanan yang sedemikian merajalela. Alam semesta ini
sendiri begitu patuh menggantikan siangnya dengan malam
dan menggilirkan malamnya dengan siang, tapi manusia
hanya sibuk memproduksi ungkapan yang berbeda untuk
kenyataan yang sama, manusia habis waktu dan tenaganya
untuk mengulangi kebodohan dan keterperosokan yang sama,
meskipun mereka membungkusnya dengan
perlambang-perlambang baru sambil ia meyakin-yakinkan
dirinya atas perlambang itu.
"Ya, Allah", seru penyair kita ini pada suatu
malam yang sunyi, "patahkan leherku agar kepalaku
menggelinding ke dalam parit, kemudian persiapkan kepala
yang baru yang bisa membuatku hidup kembali !".
Bisa dipastikan Tuhan mendengar doa itu, tetapi siapa
yang menjamin bahwa Ia bakal mengabulkannya? Bukankah
penyair itu sendiri yang dulu meminta kepalanya yang ini
untuk menggantikan kepala yang sebelumnya. Apa jawab
penyair kita ini seandainya Tuhan mengucapkan argumentasi
begini : "Bagaimana mungkin kuganti kepalamu,
sedangkan kepala-kepala lain di tanganKu belum punya
pengalaman sama sekali untuk bertindak sebagai kepala ?
Bukankah untuk menjadi kepala, segumpal kepala harus
memiliki pengalaman sebagai kepala sekurang-kurangnya
lima tahun ?".
Penyair kita sangat-sangat menyesal kenapa makhluk Tuhan
harus hidup dengan syarat mempunyai kepala. Pada mulanya
ia hanya badan saja, badan bulat yang seluruh
sisi-sisinya sama. Tapi kemudian karena ia kawatir akan
disangka sederajat dengan buah kelapa, maka ia memohon
kepada Tuhan serta mengupayakan sendiri pengadaan kepala,
lantas kaki dan tangan.
Tetapi ternyata inilah sumber utama malapetaka hidupnya.
Pada mulanya kepala itu berendah hati dan patuh
kepadanya, karena pada dasarnya kepala itu memang tidak
pernah ada seandainya ia tidak meminta kepada Tuhan dan
mengadakannya.
Kesalahan pertama yang dilakukan oleh penyair ini adalah
meletakkan kepala di bagian atas dari badannya, sehingga
badannya itu dengan sendirinya kalah tinggi dibanding
kepalanya, dan dengan demikian menjadi bawahannya.
Hari-haripun berlalu, sampai pada suatu saat ia menyadari
bahwa sang kepala ternyata telah mengambil alih hampir
semua perannya. Misalnya soal berpikir, sekarang telah
dimonopoli oleh kepala. Apa yang harus ia lakukan, kemana
harus melangkah, apa yang boleh dan tidak boleh,
ditentukan oleh kepala. Ia sendiri dilarang berpikir
karena segala gagasan telah disediakan oleh kepala,
sedemikian rupa sehingga ia bukan saja tak boleh
berpikir, tapi lama kelamaan ia juga menjadi tidak mampu
lagi berpikir.
Dulu ia membayangkan, tangan akan menggenggam fulpen atau
senapan, jari-jari hendak mengelupas buah nanas atau
menyogoki lubang hidung, dialah yang berhak menentukan.
Tapi ternyata ketika ada makanan, yang memerintahkan
tangan untuk mengambilnya adalah kepala, kemudia
diberikannya kepada mulut yang menjadi aparat sang
kepala, sedangkan badannya hanya menampung makanan itu,
tanpa ikut mengunyah dan merasakan nikmatnya.
Juga ia yakin bahwa apakah kakinya akan melompati sungai
atau dipakai untuk menjungkir badan, dialah yang
merancang dan memutuskannya. Tapi sekarang segala
sesuatunya menjadi jelas bahwa hak itu telah diambil alih
oleh kepala, dan ketika ia mempertanyakan hal itu,
tiba-tiba saja tangannya yang memegang pentungan
menggebugnya, dan kakinya yang bersatu tebal keras
menendangnya.
"Wahai Tuhan, pengasuh badan yang menderita",
guman penyair kita dengan nada yang penuh kecengengan,
"jikapun tanganMu terlalu suci sehingga jijik untuk
berurusan dengan segala yang kotor dalam kehidupan
hamba-hambaMu, tolonglah Engkau berkorban sekali ini
saja, sentuhlah kepalaku, pegang ia dan cabut dariku,
kemudian kuusulkan langsung saja dirikanlah kerajaanMu
dan Engkau sajalah yang mulai sekarang bertindak sebagai
kepalaku".
EMHA AINUN NADJIB
1994
DARI KUMPULAN PUISI "DOA MOHON
KUTUKAN"
( RISALAH GUSTI - 1995 )
disajikan oleh :
1998
[ PUISI BERIKUTNYA ]
[ RENDRA ] [ EMHA ] [ BUNG KARNO ] [ LAIN - LAIN ]
|
|