ESTELLE kecil berlari-larian di ruang tamu. Henrita sampai harus ikut berlari-lari juga untuk mengejarnya. "Estelle, jangan lari-lari dong, sayang... habiskan makananmu dulu!" serunya.
Terdengar suara klakson mobil dari luar. Dennis membuka pintu depan rumah dan melihat Ford Anglia Nick di de-pan halaman. Dihampirinya Nick yang baru saja keluar dari mobil bersama Andy dan Alvin. "Kenapa kalian lama sekali, sih? Aku sudah menunggu dari tadi, lo. Hampir saja kalian kutinggal makan malam."
Nick mengeluarkan sebuah sports bag dari dalam mobil. "Sebenarnya aku sudah sampai di rumah jam setengah lima sore, tapi penjahat-penjahat ini..." Ia menunjuk ke arah adik-adiknya. "...tidak ada di rumah melainkan jalan-jalan di King's Cross bersama teman-temanku!"
"Memangnya aku mau duduk diam seperti orang tolol menunggumu pulang? Lebih baik aku pergi saja dengan Mi-ke dan mereka semua!" Andy membela diri. "Lagipula, Dennis..." Ia mencoba meyakinkan kakak sulungnya itu. "... Mi-ke sudah berbaik hati mau mentraktir kami semua makan siang! Kan ada restoran Spanyol baru yang namanya 'La Fiesta Brava' di dekat stasiun King's Cross; kami semua diajak makan di sana! Makanannya enak dan seru, tidak se-perti frozen meat pie yang biasa kumakan sehari-hari! Dan lagi Nick lupa memberiku uang belanja, jadi aku tak bisa masak sendiri di rumah."
"Iya, tuh... bagaimana sih kamu ini, Nick?" Alvin ikut berceletuk. Mereka berdua memandang Nick dengan sinis.
"Hei, kenapa jadi aku yang disalahkan?!" Nick dongkol setengah mati. "Jangan jadikan aku kambing hitam dong! Kalian yang tak bisa diatur! Aku kan sudah bilang jangan pergi sampai malam, kita mau menginap! Kata-kataku cukup jelas kan? Tapi kalian tetap saja pergi jalan-jalan!" Ia masih kesal karena kedua adiknya pulang terlambat.
Andy dan Alvin sudah mau menjawab lagi, tapi Dennis segera menengahi, "Sudahlah, sekarang kalian masuk saja ke dalam. Kuharap kalian belum terlalu kenyang, karena Rita sudah menyiapkan makanan kesukaan kalian!"
"Tuh, Nick... kalau jadi kakak itu jangan marah-marah melulu! Coba kau lebih baik, seperti Dennis." kata Alvin.
Nick mendecakkan lidah. "Dasar kau memang..." Tapi Alvin dan Andy sudah mengambil langkah seribu masuk ke dalam rumah. Nick hanya bisa menggerutu. "Kenapa nasibku malang begini, sih? Gara-gara kau, Dennis! Kalau kau ti-dak menikah cepat-cepat, pasti aku tak perlu mengurus mereka berdua sendirian! Aku sudah hampir gila!!!" umpatnya.
"Jangan kambinghitamkan aku! Kau sendiri tak mau disalahkan, jadi jangan menyalahkan orang lain!" sahut Den-nis. "Mungkin kau saja yang salah dalam mengurus mereka! Mereka kan anak baik, Nick. Kalau mereka jadi berontak, pasti ada sesuatu yang salah pada dirimu!"
"Tak ada yang salah denganku!!!" tegas Nick.
"Bohong!!!" Andy berteriak dari pintu depan rumah. "Tiap hari ia selalu bangun kesiangan, dan sepanjang hari pe-kerjaannya hanya melawak terus!!!"
Dennis tertawa mendengarnya. "Tak ada yang salah denganmu, Nick?" sindirnya.
"Sialan. Hei Andy, kemari kau! Dasar kurang ajar!" Nick akhirnya masuk ke dalam rumah. Dennis mengikutinya dari belakang sambil terus tertawa. Nick memang begitu. Ia paling tak mau mengakui kesalahannya sendiri. Tapi Dennis tahu, tak ada yang lebih berarti bagi Nick daripada adik-adiknya.
Sesampainya di dalam, Nick langsung menyapa Henrita dan Estelle. "Hai Rita, hai Estelle." Ia mengecup pipi Hen-rita sekilas dan melakukan hal yang sama pada Estelle. "Apa kabarmu, Estelle?" Dibelainya rambut pirang Estelle de-ngan halus. Anak perempuan itu semakin mirip dengan kedua orangtuanya dari hari ke hari. Rambutnya pirang seperti Dennis, dan bola matanya coklat muda seperti Henrita. "Kau makin lucu saja, cium Uncle Nicky dong..." Nick menyo-dorkan pipi kirinya. Estelle tertawa dan ia terlihat sangat cantik. Umurnya baru mau menginjak dua tahun sekarang, dan ia sudah bisa berbicara sepatah dua patah kata.
Estelle langsung menyambut girang saat Andy mendekatinya. "Hello, Estelle..." Andy mengecup pipi anak itu. "Ya Tuhan, kau lucu sekali sih!!! Boleh kugendong, Rita?" pintanya. Henrita mengangguk sambil tersenyum, yang lang-sung dibalas Andy dengan senyuman termanis yang pernah diperlihatkannya. Ia mengangkat tubuh mungil Estelle dan terus menciumi kedua belah pipinya yang kemerahan. Andy terlihat sangat manis. Matanya yang berbinar-binar penuh kelembutan, Nick sampai terbengong-bengong sendiri melihatnya. Ia tak pernah menyangka kalau adiknya bisa beru-bah jadi semanis itu. Anehnya, hal itu malah membuatnya terpingkal-pingkal.
"Kau kenapa sih, Nick?!" tanya Andy heran. "Kerasukan setan?!" Ia bingung karena tiba-tiba Nick tertawa tanpa se-bab.
"Tak tahulah!!! Wajahmu begitu manis sampai aku mau muntah!" Ia terus terbahak. Andy memandanginya dengan tatapan aneh, lalu ia menoleh ke Rita.
"Kurasa kakakmu harus masuk rumah sakit jiwa, Andy..." komentar wanita itu. "Hei, makanlah sekarang, sebelum spaghetti kesukaanmu dingin! Ayo ke ruang makan!" ajaknya. Diraihnya Estelle dari pelukan Andy dan segera beranjak ke sana.
Andy sempat melihat Nick sekilas dan ia menarik lengan pemuda itu. "Berhentilah tertawa, Nick. Kau tidak akan ja-di lebih tampan walaupun kau tertawa sampai mati!" Lalu ia menggiringnya ke ruang makan.
"Jadi apa yang harus kulakukan kalau ingin jadi lebih tampan?" gurau Nick.
"Operasi plastik!" sahut Andy cuek.
Dennis muncul dari belakang mereka bersama Alvin. "Nick, mengapa tidak kauajak saja teman-temanmu tadi ke-mari? Mereka bisa menginap di sini, masih banyak kamar kosong. Kan lebih seru kalau di rumah ini banyak orang. La-gipula besok kan hari Sabtu, jadi mereka bisa menginap di sini sampai Minggu." tawar Dennis.
"Benar, Nick! Aku bisa main Playstation dengan Jon semalaman!" sembur Alvin antusias.
"Akan kubuang Playstation itu ke tempat sampah." sela Andy kesal. "Kau tidak ada bosan-bosannya ya memain-kan barang rongsokan macam itu?"
"Siapa bilang rongsokan? Hei Andy, aku menabung selama setengah tahun untuk membelinya!" Alvin tak mau ka-lah.
"Apa bedanya? Playstation hanyalah barang rongsokan yang mahal!" balas Andy.
"Wah, kalau aku sedang kesulitan uang, kujual saja Sony Playstation itu!" canda Nick. "Kau tidak keberatan kan, Alv?"
Alvin merengut karena kesal. "Tidak lucu, tahu?" Ia langsung meninggalkan mereka dan duduk di kursi meja ma-kan sambil menampakkan wajah marah. Nick, Andy dan Dennis hanya tersenyum-senyum melihat tingkah adik bung-su mereka. Anak itu memang sering merengut, dan wajahnya yang bulat terlihat semakin lucu dan menggemaskan bi-la sedang marah. Karena itulah ketiga kakaknya senang menggodanya.
Mereka semua duduk di depan meja makan berbentuk persegi panjang itu.
"HEI, ANDY..." Dennis menepuk bahu adik perempuannya. Gadis itu sedang melamun sendirian di balkon atas ru-mah Dennis sambil menatap pemandangan kota London raya yang gemerlap. "Kau belum tidur?" Sekarang sudah le-wat tengah malam dan semua penghuni rumah yang lain sudah terlelap.
Andy menoleh ke arah Dennis dan tersenyum. "Aku belum mengantuk. Kau sendiri juga belum tidur?"
"Ya... aku juga belum mengantuk, tuh." jawab Dennis. Ia membalas senyuman Andy, lalu dirangkulnya gadis itu dari belakang. "Sedang apa sih kau di sini? Memikirkan pacarmu ya?"
"Sejak kapan aku punya pacar?"
"Jangan bohong... mana mungkin sih kau tidak punya pacar? Pasti ada dong pemuda di college yang kaukagu-mi?" Dennis merapatkan tubuhnya ke tubuh Andy karena angin malam terasa sangat dingin menusuk tulangnya.
Andy berpikir sesaat. "Rasanya tidak ada, tuh. Di collegeku jarang ada pemuda yang tampan." Ia tersenyum. "Lagi-pula aku tidak terlalu tertarik untuk pacaran." ujarnya jujur. "Biasa-biasa saja, lebih baik berteman. Teman-temanku sih memang kebanyakan sudah punya pacar, tapi aku tak begitu berminat."
"Mungkin perkembangan mentalmu terlambat ya?" goda Dennis. "Kau kan sudah lima belas tahun! Masa sih kau sama sekali tidak tertarik terhadap yang namanya laki-laki?!"
"Tertarik sih tertarik, tapi yah… aku tak tahu. Lagipula siapa sih yang butuh laki-laki? Aku bisa menjalani hidup ini sendiri, kog. Kakak-kakakku dan adikku sudah cukup." cetus Andy.
"Benar?" Senyum Dennis mengembang. "Wah, aku jadi bangga nih!"
Andy tersenyum pada dirinya sendiri. Benar juga, siapa yang butuh laki-laki kalau tanpa merekapun kita tetap bisa hidup bahagia? Itulah yang ada di benaknya sampai sekarang. Namun ia tidak tahu, bahwa pemikirannya itu salah. Benar-benar salah.
"Estelle... semakin mirip denganmu." Andy membuka pembicaraan baru. "Dia benar-benar cantik dan manis, aku semakin jatuh cinta tiap kali melihatnya!!!"
"Tampaknya Estelle juga suka padamu, tuh. Ia senang sekali kalau kau datang. Ia memang lucu, sih. Dan ya, se-pertinya memang ia semakin mirip aku, terutama warna rambutnya itu!" kata Dennis.
"Kalau saja rambutku bisa pirang seperti rambutmu dan Estelle, wah... seru mungkin!" Ia meraih rambut pendek model bobnya yang kecoklatan dan agak bergelombang. Rambut yang sewarna dengan rambut Nick dan Alvin.
Bila diperhatikan sekilas, Andy dan Dennis memang sama sekali tak memiliki kesamaan. Warna rambut mereka begitu kontras, begitupula warna bola mata dan bentuk wajah mereka. Mata Dennis biru jernih bagaikan telaga dan se-akan bisa memperlihatkan seluruh isi hatinya, sedangkan mata Andy coklat pekat dan misterius. Wajah Dennis benar-benar wajah Inggris tulen, tegas dan berahang tegas, tapi wajah Andy lebih oval seperti kedua saudara mereka yang lain.
Dennis bukanlah kakak kandung dari Nick, Andy dan Alvin. Ibu Dennis meninggal saat melahirkannya tiga puluh tahun yang lalu, dan kemudian ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita Jerman yang kelak melahirkan adik-a-diknya. Dennis memang sering berselisih dengan ibu tirinya, namun ia sama sekali tak pernah menyangkut-pautkan soal perselisihan itu dengan kasih sayang yang diberikannya pada adik-adiknya. Ia menyayangi mereka apapun yang terjadi. Ia menyukai Nick yang humoris dan tak pernah serius, Alvin yang cepat marah dan gila bola, dan tentu saja Andy yang argumentatif dan jauh lebih dewasa dari remaja-remaja seusianya pada umumnya.
"Andy..." Mata Dennis menerawang jauh ke langit malam yang cerah dan bertaburan bintang. "Masih ingat tidak, waktu kau masih berumur tiga tahun dulu. Aku sering mengajakmu jalan-jalan di Hyde Park bersama Nick dan Dad, ki-ta berempat main kejar-kejaran sampai mandi keringat. Kau lucu sekali, sama seperti Estelle. Waktu kau lahir aku juga ikut menunggu di rumah sakit, waktu itu kira-kira umurku sama denganmu sekarang. Sepertinya waktu berlalu begitu cepatnya. Semua itu terasa baru kemarin..."
Andy tersenyum. "Ya, terkadang aku juga berpikir begitu sih. Alvin, misalnya. Aku sering lupa kalau ia sekarang su-dah sepuluh tahun. Di mataku rasanya ia masih Alvin kecil yang sering kugendong dulu, padahal badannya sudah be-sar begitu!"
Dennis menatap wajah Andy. "Sama, tuh. Di mataku kau masih tetap adik perempuan kecilku yang manis, yang sering kunyanyikan lullaby dan baru mau tidur kalau digendong olehku atau Nick..." Tiba-tiba ia mengangkat tubuh ga-dis itu ke udara seraya tersenyum lebar.
"Hei, Dennis!!! Turunkan aku!!! DENNIS!!!!!!" pekik Andy panik. "Jangan, Dennis! Turunkan aku, aku bisa jatuh!!!" Tapi Dennis sama sekali tak menggubrisnya. Ia tertawa-tawa dan mulai memutar-mutarkan tubuh Andy. "DENNIS!!!!! Dennis, jangan bercanda dong!!!"
Dennis menurunkan Andy kembali ke tanah. "Habis sudah tengah malam begini kau belum mau tidur juga sih, jadi kugendong saja! Siapa tahu kau akan terlelap dalam gendonganku seperti dulu lagi…"
"Aku kan bukan anak kecil lagi!" bentak Andy jengkel. "Uh, Dennis... kau nyaris membuatku jantungan, tahu? Kau senang ya kalau aku mati?!"
"Sudahlah, kau tidur saja! Besok kau bisa telat bangun kalau tidur kemalaman." perintah Dennis. Ia mengantar An-dy sampai ke depan pintu kamar. "Mau kuceritakan dongeng dulu tidak? Ini dongeng sebelum tidur yang sering diceri-takan Rita pada Estelle, walaupun tentu saja anak itu belum bisa mengerti apa yang dikatakan oleh ibunya. Tapi ini ce-rita yang bagus kog! Mau dengar?" Ia menawarkan.
"Ya, boleh juga. Tapi ceritanya benar-benar bagus tidak?" Andy sempat ragu. "Kalau biasa-biasa saja sih aku ma-las mendengarnya."
Dennis tersenyum. "Cepat masuk ke tempat tidurmu sana!" Dibukanya pintu kamar dan Andy langsung menyusup masuk ke dalam selimut. Lalu Dennis masuk dan menutup pintu. Ia menarik kursi meja tulis yang berada di dekatnya, merapatkan kursi itu ke tepi ranjang dan duduk di sana. "OK, sudah siap dengar ceritaku?"
Andy mengangguk bagaikan seekor anjing yang penurut pada tuannya.
"Dahulu kala..." Dennis mulai berkisah. "...ada seorang gadis Inggris bernama Andrea Broadley, yang biasa di-panggil Andy. Andy mempunyai seorang kakak laki-laki yang sangat tampan yang bernama Dennis Broadley..."
"Dasar gila." potong Andy. "Sudahlah, aku mau tidur saja. Bye, Dennis." Gadis itu menarik selimutnya, namun Den-nis mencegahnya.
"Hei, tunggu dulu dong! Dengar sampai selesai, cerita ini bagus!"
Andy mencibir, tapi Dennis terus melanjutkan ceritanya.
"Pada suatu hari Andy berjalan-jalan di Nottingham Forest dengan kudanya. Setelah capai berjalan-jalan, Andy bermaksud pulang. Sayangnya ia tersesat, dan hari sudah mulai gelap. Suasana Nottingham Forest saat malam hari sangat menyeramkan, maka Andy merasa ketakutan. Ia mencoba mencari bantuan, tapi tak ada seorangpun di sana. Tiba-tiba muncullah seekor serigala dari balik pepohonan. Andy bertambah takut begitu melihat binatang ganas itu. Saking takutnya, Andy jatuh pingsan dan tak ingat apa-apa lagi. Kemudian saat Andy bangun..." Dennis berhenti. Dita-tapnya wajah Andy yang sudah begitu cepatnya terlelap, lalu ia tersenyum. "Pada pagi hari yang begitu cerah keesok-an harinya, Andy terbangun. Ternyata semua yang dialaminya semalam hanyalah mimpi. Andy menghela napas lega, dan pada saat yang bersamaan kakaknya masuk ke dalam kamarnya dan berkata--" Ia mencium kening Andy dengan penuh kelembutan, "'--aku sayang kamu, Andy.'"
HARI BERIKUTNYA Dennis mengajak Alvin, Andy dan Nick mengelilingi seluruh London selatan. Mereka mengunjungi Sutton, Croydon, Bromley dan daerah-daerah sekitar Lambeth. Di Lambeth mereka sempat melihat the Oval, lapangan cricket terbesar kedua di London setelah Lord's Cricket Ground yang terletak di pusat kota. Musim pertandingan cricket baru saja dimulai seiring dengan bergantinya musim semi sebulan lalu dan para pemain sedang sibuk berlatih di kandang mereka masing-masing, jadi lapangan itu kini boleh digunakan oleh umum. Alvin yang tak begitu tertarik dengan permainan cricket terus merengek-rengek ingin pulang, tapi Dennis dan Nick tak mempedulikan rengekannya. Mereka sendiri tengah asyik memperhatikan sekelompok orang bermain di lapangan. Andy duduk diam di atas rumput sambil mengunyah permen karet dan sesekali membentuk balon-balon berwarna pink. Akhirnya karena tak tahan de-ngan rengekan Alvin, Andy mengajak adiknya itu berjalan-jalan di sekitar lapangan. Mereka membeli dua buah hot dog untuk makan siang, dan membelikan dua buah lagi untuk Dennis dan Nick. Setelah itu mereka kembali ke tempat ke-dua kakak mereka.
Menjelang malam mereka berempat pulang ke Merton melalui Wandsworth. Dennis turun sebentar di supermarket untuk membeli beberapa botol besar soft drink sebagai pelengkap makan malam nanti. Andy sempat melihat-lihat kios majalah dan membeli majalah Sugar terbaru. Alvin ikut bersama Andy dan membeli tabloid British Soccer Week atau BSW yang rutin dibelinya tiap minggu. Mereka tiba di rumah setengah jam sebelum makan malam.
"Chelsea akan berhadapan dengan dengan Tottenham Hotspurs jam delapan nanti malam!" seru Alvin saat mema-suki rumah Dennis. "Aku mau nonton!!!"
"Wah, aku juga mau nonton. Sepertinya bakalan seru, nih!" kata Dennis. "Kira-kira siapa yang menang?"
"Kurasa sih Chelsea." komentar Alvin. "Tapi tak tahulah! Lihat saja nanti." Ia kembali membuka BSW yang dipe-gangnya dan meneruskan bacaannya. "Hei Dennis, Arsenal akan melawan Southampton! Mainnya sih di Highbury, jadi mereka lebih diunggulkan."
"Southampton pasti menang dong!!!" Nick tak bisa menerima. "Arsenal memang jago, tapi aku akan tetap membela Southampton! Sekali Southampton tetap Southampton! Hidup 'The Saints'!!!!!" Ia mengangkat kedua tangannya.
"Dasar gila! Mentang-mentang kuliah di sana..." cela Andy.
"Eits, jangan salah! Walaupun cuma sebentar aku main di tim universitas, tapi itu pengalaman yang benar-benar berharga!!!" Nick membela diri. "Tahu tidak? Aku pernah menahan gol David Beckham!!! Dia sampai terpaku di tempat-nya karena tak bisa mempercayai hal itu!" kobarnya berapi-api. Namun ketiga saudaranya menatapnya dengan alis terangkat.
"Dennis, mana Estelle? Lebih baik aku panggil dia dan Rita dulu deh. Bye." Andy langsung pergi.
"Ya, Dennis. Aku ke kamar dulu, mandi." Alvin mengikuti jejak Andy.
"Aku ke mobil dulu, rasanya tadi ada yang ketinggalan. Bye, Nick." Dennis pun melakukan hal yang sama.
Tinggallah Nick seorang diri di sana. "Hei, guys, aku tidak bohong!!! Sumpah, aku pernah menahan gol Beckham!!! Kalian tidak percaya ya?!! Sumpah!!!"
"Whatever." balas ketiganya hampir bersamaan.
Dan malam itupun, sesuai rencana, mereka duduk di hadapan televisi untuk menyaksikan pertandingan Liga Pri-mer Inggris antara Tottenham Hotspurs dan Chelsea. Sementara Andy dan Henrita mencuci piring, Estelle dipangku o-leh Dennis dan ikut menonton.
"Siapa yang akan menang ya?" Nick masih ragu. Kekuatan kedua tim kota London itu tidak begitu jauh berbeda, hanya saja mungkin belakangan ini Tottenham sempat terseok-seok di arena liga. "Aku sih lebih condong ke Chelsea, tapi rasanya Tottenham juga berpeluang tuh." Ia memandangi layar televisi yang didominasi oleh hijaunya rumput la-pangan stadion. Babak pertama baru berjalan sekitar sepuluh menit dan belum ada pemain yang berhasil mencetak gol. "Hei Alvin, kog pertandingan Southampton vs Arsenal tidak ditayangkan sih? Payah, padahal aku mau melihat ak-si tim kesayanganku itu!"
"Nonton saja sendiri di stadion Highbury! Dekat kog dari sini." sahut Alvin seenaknya. Ia sedang berkonsentrasi memperhatikan jalannya pertandingan. Dennis tersenyum mendengar kata-kata adik bungsunya itu. Beda umur mere-ka berdua mencapai dua puluh tahun, jadi Dennis lebih menganggap Alvin sebagai anaknya sendiri. Ia selalu membela dan memanjakan Alvin, sehingga Alvin cenderung lebih suka berada di dekat Dennis daripada di dekat Nick.
"Kau sinis sekali, sih. Aku kan cuma bertanya, tak usah sampai menyindir-nyindir begitu dong." cibir Nick. Lalu ia kembali menatap layar kaca. Umpan-umpan lambung terus digulirkan oleh Chelsea, tapi sejauh ini belum membuah-kan gol. Sementara itu Tottenham pun sibuk menata ulang lini belakang yang agak rawan.
"Hei, siapa pemain nomor 6 itu?" Andy tiba-tiba duduk di sebelah Nick dan menunjuk seorang pemain berkostum putih dengan nomor punggung 6 yang tampak di televisi. Ia baru saja selesai mencuci piring, dan lebih baik ia ikut me-nonton televisi daripada hanya terbengong-bengong saja di malam Minggu.
"Nielsen. Allan Nielsen, lengkapnya. Ia pemain asal Denmark." Alvin menjawab. Ia memang paling hafal kalau di-suruh menyebutkan nama-nama pemain sepakbola. Sayangnya, hal yang sama tak berlaku bila ia disuruh belajar un-tuk menghadapi tes. "Memangnya kenapa, Andy? Keren?"
"Bukan soal itu. Dia mirip James!"
"Hah?" Nick dan Alvin melongo. "Matamu rusak ya?" Lalu mereka berdua pun memandangi pemain tengah Totten-ham Hotspurs berambut pirang itu.
"Ya... masih lebih kerenan James kemana-mana, sih. Tapi dari jauh dia kelihatan seperti James!" sambung Andy.
"James Lipschutz teman baik Nick itu ya?" tebak Dennis bingung. Ia tak terlalu dekat dengan sahabat-sahabat Nick. "Memang agak mirip sih..."
"Memangnya nama belakang James itu Lipsz... siapa tadi? Lipziuts?" tanya Andy heran.
"Lipschutz. Dia bukan orang Inggris ya, Nick?" Dennis bertanya pada Nick.
"Ibunya orang Inggris, ayahnya keturunan Yahudi Jerman. Jadi dia campuran Jewish-English." kata Nick singkat.
"Pantas saja rambutnya bisa pirang!" seru Andy. "Makanya aku heran, kan kebanyakan orang Yahudi berambut gelap!" Ia gemas setengah mati tiap kali melihat rambut James yang berwarna pirang emas asli dan silau bukan main itu. Rasanya ia ingin meremas-remas dan memotongnya sampai habis!
"GOOOOOOLLLLL!!!!!!" seru Alvin histeris. "GOL!!!!! Nielsen membuat gol!!!!"
Andy, Dennis dan Nick langsung menoleh ke layar televisi. Mereka tidak begitu memperhatikan jalan pertandingan, jadi mereka sempat terkejut juga saat terjadi gol tiba-tiba itu. Allan Nielsen, pemain tengah Tottenham Hotspurs dari Denmark berhasil memanfaatkan kesalahan barisan pertahanan Chelsea dan menggetarkan jala kiper Ed de Goey.
"Gila, si Nielsen itu benar-benar panjang umur!" sembur Nick. "Baru saja kita membicarakan dia, dia langsung membuat gol!!! Wah, kalau begitu ayo kita bicarakan soal dia lagi, mungkin dia akan mencetak hattrick!"
"Norak." komentar Andy.
(c)1999, 2001 AndreaHearn