HARI PERTAMA di minggu keempat musim semi di London barat. Nick mengantarkan kedua adiknya ke sekolah dan setelah itu ia pun pergi bekerja.
Andy sampai di gerbang college tepat ketika bel tanda masuk berdering. Secepat kilat ia berlari melintasi lapangan olahraga college dan masuk ke dalam gedung. Lorong-lorong sudah kosong, yang menandakan bahwa semua murid sudah masuk ke kelas mereka masing-masing, dan ini artinya: ia terlambat!
Andy hampir saja mendobrak pintu kelasnya ketika ia sampai di sana. Mr. Watkins, guru aljabar yang paling diben-cinya di atas muka bumi ini, sudah berdiri di muka kelas dan langsung mengerutkan kening begitu melihatnya. Raut wajah pria setengah baya itu menampakkan ketidaksenangan.
“Akhir pekanmu menyenangkan, nona Broadley?” tanyanya sinis. Kedua bola matanya yang bersembunyi di balik kacamata minus lima itu menatap Andy tajam, seakan-akan gadis itu adalah seorang pembunuh kelas kakap yang ha-rus dihukum gantung. Seisi kelas mendadak hening. Semua murid memperhatikan Andy dan hanya bisa bertopang dagu dengan pasrah. Tiap hari pasti ada saja korban dari kedisiplinan Mr. Watkins yang sudah kelewat batas itu. Ia tak pernah mengenal kompromi, apapun alasannya. Tipe guru yang egois dan berpikiran sempit.
Andy memaki-maki Nick dalam hatinya. Padahal kemarin malam ia sudah mengingatkan kakaknya supaya tidak ti-dur terlalu larut, tapi Nick memang terlampau sulit diberitahu. Pemuda itu bangun sepuluh menit sebelum kelas perta-ma Andy dimulai. Bahkan pembalap Formula1 Michael Schumacher yang begitu dikagumi Nick pun tak akan sanggup mengejar waktu sepuluh menit untuk sampai di Acton college dari rumah Andy. Bagaimana bisa tidak terlambat bila semua jalan dipenuhi kendaraan yang berdesak-desakan tak keruan seperti itu?!!! Andy sudah kesal bukan main.
“Aaa... lumayan, Mr. Watkins. Saya pergi menginap di rumah kakak sulung saya di Merton.” Ia menjawab perta-nyaan Mr. Watkins.
“Benar?” korek pria itu. “Kalau begitu tentunya akhir pekanmu sangat menyenangkan, bukan?”
Andy tersenyum segan. “Bisa dibilang begitu, Sir. Saya sempat menonton pertandingan cricket di Lambeth.”
“Begitu menyenangkannya acara piknik keluargamu itu sampai-sampai kau terlambat masuk kelas aljabarmu pagi ini?” sindir Mr. Watkins.
“Sebenarnya bukan karena itu saya terlambat masuk kelas, Sir.” Andy membela diri.
“Oh ya? Jadi karena apa, nona Broadley?” Mr. Watkins membetulkan letak gagang kacamatanya yang sebetulnya tidak miring sama sekali.
“Mmm... ini salah kakak saya...” kata Andy ragu. Dalam hati ia sudah memutuskan bahwa ia akan melabrak Nick sepulang sekolah nanti, karena telah membuatnya harus berhadapan dengan manusia berdarah dingin yang paling di-bencinya di seluruh dunia! “...ia terlambat bangun, jadi ia terlambat mengantarkan saya ke sekolah.”
“Apa kau tidak bisa naik bus ataupun trem, Nona Broadley? Apakah ini bukti dari ketidakdewasaanmu atau mung-kin hubungan kalian begitu akrabnya sampai-sampai kau tak bisa melewatkan waktu sedetikpun tanpa berada di de-katnya? Apakah kakakmu itu terlalu sayang padamu sehingga kau tidak boleh pergi sendiri ke sekolah?” cerca pria itu tajam.
Dada Andy terasa panas. Ia sudah hampir meledak karena kata-kata pedas Mr. Watkins. Kalau saja ia tak bisa menahan emosi, mungkin rahang pria itu sudah diremukkannya. Andy tak keberatan kalau orang melecehkannya, ia tahu bahwa ia memang sangat bergantung pada Nick. Dan ia mengakui hal itu. Tapi Andy sama sekali tak bisa mene-rima kalau Mr. Watkins berkata seperti itu dan menghina Nick di depan seisi kelas! “Maaf, Mr. Watkins. Kakak saya memang sangat memperhatikan dan menyayangi saya, dan saya rasa tak ada masalah dengan hal itu. Perlu Anda ke-tahui, ia melarang saya untuk bepergian dengan kendaraan umum karena kedua orangtua kami meninggal dunia pada sebuah kecelakaan lalu lintas, dan ia sungguh-sungguh tak ingin hal yang sama terjadi pada saya. Jadi ini bukan soal ketidakdewasaan, Sir. Ini soal kasih sayang yang tulus yang diberikan oleh kakak saya yang juga sangat saya sayangi itu kepada saya! Anda tahu, Mr. Watkins? Hidup bukan sekedar hitungan matematika yang selalu Anda ceramahkan setiap hari di depan kelas. Hidup merupakan suatu hubungan dengan sesama manusia, dimana kita semua harus sa-ling tolong-menolong dan memperhatikan satu sama lain; karena hanya dengan hal-hal semacam itulah kehidupan di bumi ini tetap bisa berlangsung sampai sekarang! Mungkin Anda perlu lebih mendalami masalah-masalah itu, Sir. Karena berdasarkan semua hal yang saya lihat dan rasakan, mempelajari aljabar walaupun sampai tidak tidur berbu-lan-bulanpun sama sekali tidak membuat hidup saya lebih baik!” ujar Andy panjang lebar, yang langsung disambut riuh oleh seluruh murid.
“THAT’S EXACTLY RIGHT!!!!!!!” seru Lloyd, sambil mengacungkan ibu jari tangan kanannya ke atas. “Hilangkan saja aljabar dari muka bumi, supaya hidup menjadi lebih indah!!!!!!!! Setuju, guys?!!!”
“SETUJUUUU!!!!!!!!!” Suasana kelas menjadi kacau. Mr. Watkins yang dongkol setengah mati bergegas mening-galkan kelas.
“Kau akan menghadapi masalah besar, Nona Broadley. Sangat besar.” ancamnya pada Andy. “Dewan guru Acton College akan senang mendengar berita ini.” Lalu ia pun keluar.
“Keren juga kau, Andy! Aku sudah tak tahan melihat si Watkins yang menggelikan itu!!!” tukas Rachel girang. “Pe-lajaran aljabar memang tidak ada gunanya, jadi untuk apa dipelajari?!!!”
Andy tersenyum lalu mengangkat bahu. Ia melangkah santai ke arah meja tulisnya. “Habis ini pelajaran apa sih?” tanyanya.
“Economy. Katanya sih ada tes mendadak.” jawab Eileen. “Untung kau mengusir si Watkins pergi, jadi aku bisa be-lajar!”
“Hei, Andy, hati-hati lo dengan si Watkins itu. Dia bisa menekan nilaimu kalau kau menantangnya!!” George mem-peringatkan. “Si Lloyd saja sering mendapat nilai F pada tes aljabarnya, padahal dia kan lumayan pintar dalam hal hi-tungan begitu! Tapi tenang sajalah, kita semua pasti membelamu kalau memang si Watkins memberitahukan soal ini ke dewan guru.”
“Thanks. Tapi kurasa si Watkins tidak akan berani bertindak sejauh itu. Yah, kepala sekolah kita, Mr. Bailey, kan pernah bentrok dengan dia, sampai-sampai dia dibebastugaskan selama seminggu waktu itu. Ingat kan?” tanya Andy.
“Iya juga sih... baguslah kalau mereka terus bentrok!” lanjut George.
“Hei guys, kalian tahu tidak kalau Mr. Bailey sudah mulai mencari guru aljabar baru untuk kita?” Tiba-tiba Lloyd su-dah berada di depan mereka. “Artinya si Watkins bakal tergusur dalam waktu dekat ini!!!”
“Benar nih? Wah, dunia serasa surga dong!!!” Rachel ikut menimbrung.
“Jangan terlalu berharap, Rach. Katanya sih, guru baru kita itu lebih disiplin dari si Watkins!” timpal Kenneth dari sampingnya.
“Apa?!!!! Oh Tuhan, kenapa sih aku harus sekolah di tempat yang dipenuhi oleh vampir penghisap darah?!!!” geru-tu Rachel.
“Tenanglah, Rach. Kita punya Lloyd!!! Dia bisa membuat guru manapun langsung mengundurkan diri dari tempat i-ni pada hari pertama!!!” hibur George. “Dia kan pengusir vampir, buktinya tuh, lihat saja jimatnya!!!” Ia menunjuk tas Lloyd yang diganduli oleh sebuah kalung salib. “Selama ini dia selalu berhasil mengusir vampir-vampir di sekolah ini, kan?”
Andy menggelengkan kepala melihat tingkah aneh sahabatnya itu. Kapan sih mereka bisa dewasa?!!!
CAFÉTARIA COLLEGE selalu ramai pada jam-jam istirahat. Andy memutuskan untuk pergi ke sana bersama Eileen dan Rachel karena perutnya sudah keroncongan. Tadi pagi ia memang tak sempat sarapan karena harus marah-ma-rah dulu membangunkan Nick.
“Hai Andy... benar kan itu namamu?” sapa seorang pemuda yang mengantre giliran makan di belakangnya. Andy pun menoleh. Dilihatnya Gerard, atau yang biasa dipanggil Gary, sedang tersenyum lebar ke arahnya. Gary masuk da-lam tim sepakbola college dan termasuk populer di kalangan gadis-gadis. Ia setahun lebih tua dari Andy dan memiliki wajah yang keren serta tubuh yang atletis. “Kenalkan, namaku Gary.” Ia mengulurkan tangan.
Andy menyambut uluran tangan Gary. “Oh... ya, aku sudah tahu namamu. Kau murid kelas empat kan?” tebaknya.
“Darimana kau tahu?” tanya pemuda itu, walaupun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Tentu saja seluruh Ac-ton College mengenalnya. Ia tampan, berbakat, pandai dan sangat kaya. Ayahnya seorang yang sangat berpengaruh di kalangan perbankan Inggris Raya, yang juga donatur terbesar Acton College. Karena alasan itulah guru-guru selalu memperlakukan Gary seperti anak emas. Ia nyaris tak memiliki kekurangan, atau bisa dibilang seorang pemuda yang sempurna.
“Aku banyak mendengar tentangmu dari guru-guru.” kata Andy. “Mereka bilang kau jenius dan punya segudang bakat.”
Gary memamerkan senyum mautnya. “Ah, masa? Mereka terlalu berlebihan...”
Andy membalas senyumnya, walaupun ia tak begitu tertarik. Memang di matanya Gary cukup keren, tapi pemuda semacam itu bukan tipenya. “Lalu... ada yang bisa kubantu? Aku mau makan, aku belum sarapan tadi pagi.” tembak-nya langsung ke pokok permasalahan.
“Yah...” Gary menjadi salah tingkah. Biasanya tak pernah ada orang yang menolak bila diajak bicara olehnya. “...kudengar kau berhasil membuat Watkins dongkol setengah mati dan langsung keluar dari kelas.”
“Cepat sekali berita itu menyebar.” komentar Andy singkat.
“Kan selama ini tak pernah ada orang yang berani berbuat begitu. Kau yang pertama, lo!” seru Gary kagum.
“Aku hanya membela diri, kog. Dia juga sih yang salah.” kilah Andy. Kelihatan jelas sekali dari sikapnya kalau ia ti-dak suka masalah pribadinya dijadikan bahan pembicaraan. Dan untungnya giliran mengambil makanan Andy sudah tiba. “Sorry, aku mau makan.” Ia mengambil sepotong sandwich dengan selapis ham dan telur dadar di dalamnya. “Kau tidak keberatan kan?”
“Tentu tidak, mmm... kapan-kapan saja kita lanjutkan pembicaraan kita lagi, OK? Kau juga tak keberatan kan?”
Andy tersenyum. “Tidak. See ya, Gary.” Ia merogoh sakunya dan mengambil uang untuk membayar sandwich yang diambilnya itu ke kasir. Kemudian ia bergabung dengan Rachel dan Eileen yang sudah duduk di sebuah meja ca-fétaria.
“Tak terlalu berhasil ya, Gary?” Vince menepuk bahu Gary. “Rasanya kau dipermalukan habis-habisan oleh gadis itu.” Pandangannya terarah ke meja tempat Andy dan kedua temannya duduk.
Gary mengambil sekotak susu coklat dan membayarnya. “Baru kali ini aku ditolak. Shock juga, sih.” Ia ikut mena-tap Andy. “Gadis itu tampaknya sama sekali tak tertarik padaku.” Bola mata Gary yang berwarna hazel terus mengikuti gerakan Andy. “Ia berkesan menantangku...” Lalu ia menoleh ke Vince dan menyeringai. “...dan kau tahu kan kalau a-ku suka tantangan...” Dibukanya kotak susu di tangannya itu dan ia terus menatap Andy. “Kurasa aku akan mendekati-nya, Vince. Bagaimana menurutmu?”
Vince mengangkat bahu. “Kau memang playboy, sih. Tapi kurasa dia tak akan tertarik padamu, tuh. Sepertinya kau sama sekali tak menarik baginya.”
“Yah, kita lihat saja nanti, OK? See ya, Vince.” Gary beranjak, namun ia tak bisa melepaskan matanya dari Andy. Ia penasaran setengah mati dengan gadis yang satu itu. Andy memang berbeda dari gadis-gadis yang pernah diken-cani Gary sebelumnya, dan ia sudah sadar akan hal itu sejak pertama kali ia melihat Andy.
Tapi ia tak pernah menyadari bahwa Andy bukanlah gadis yang tepat untuknya.
JON menjemput Andy siang itu. Mike sedang memproses kontrak terbarunya dengan rumah mode Hugo BOSS dan James sudah mulai masuk studio lagi untuk mendiskusikan materi lagu gubahannya dengan pihak label Warner Music UK, jadi mereka berdua tidak punya waktu karena begitu sibuk.
“Kau sendiri tak punya kesibukan, Jon?” tanya Andy ketika Jon memberitahukannya soal James dan Mike.
Jon membelokkan setir ke kanan. “Aku masih mengajar tennis di beberapa tempat, tapi hanya hari Selasa, Rabu dan Jumat. Kurasa aku harus mencari pekerjaan sampingan lain, nih. Aku sih sudah mendaftar di beberapa night club untuk menjadi drummer yang mengiringi band di atas panggung, namun sampai sekarang masih belum ada tanggap-an, tuh.” jelasnya. “Yah, inilah akibatnya kalau kuliahku tidak selesai! Kakakmu sudah jadi sarjana akuntansi, Mike su-dah jadi sarjana bisnis dan James sudah jadi sarjana managemen, sedangkan aku masih tertinggal jauh di belakang!!! Memang harus kuakui kalau gelar itu penting, bahkan untuk melamar pekerjaan di Burger King dan McDonald’s sekali-pun!” Ia tertawa.
“Kau sih kuliahnya malas-malasan, jadinya begini deh!” kata Andy. “Tapi kau kelihatan makmur-makmur saja kog, berarti pekerjaanmu sebagai pelatih tennis juga sudah cukup menjamin kan?”
“Iya, tapi kapan aku bisa menikah kalau begini terus? Kalau untuk hidupku sehari-hari saja sih, penghasilanku me-mang termasuk lebih dari cukup, tapi kalau untuk menghidupi keluargaku... bisa dibilang kurang, lo.” Jon menyalakan radio mobil, stasiun BBC4. Penyiar sedang membacakan berita lokal dan Jon mendengarkannya sepintas. “Kau sendi-ri bagaimana? Sekolahmu, maksudku.”
“Aku sedang malas sekolah akhir-akhir ini.” jawab Andy. “Rasanya membosankan, pergi ke college dan duduk di-am di kelas mendengarkan guru berceramah tentang banyak hal yang sama sekali tak ada gunanya... lebih baik aku ti-dur di rumah.”
Jon tertawa. “Wah, kau sudah mulai ketularan malas dari Nick!!!”
Andy ikut tertawa. “Dia bisa berbuat begitu, kenapa aku tidak?” Ia menoleh ke arah Jon yang sedang menatap lu-rus ke depan. Pemuda berumur dua puluh enam tahun itu memang unik dibanding teman-teman Nick yang lain. Ia ter-kesan lebih santai menghadapi hidup ini, walaupun bukan berarti ia tak peduli. Ia hanya lebih cenderung berpendapat bahwa hidup adalah suatu anugerah yang senantiasa harus dilalui dengan kegembiraan, apapun situasinya. Hidup merupakan suatu hal yang harus dinikmati dan bukan malah diratapi. Jon memang begitu, ia tak pernah terlihat sedih sekalipun dan wajah tampannya selalu dihiasi oleh senyum yang simpatik.
Jon memiliki sepasang mata biru langit dan bulu-bulu mata pirang yang lentik. Hidung mancung dan bibir tipis ber-warna pink muda membuat wajahnya semakin manis; bertolak belakang dengan tubuhnya yang kekar dan macho ka-rena sering berkutat di atas lapangan tennis. Banyak wanita tergila-gila padanya, bahkan terkadang Andy pun bisa ter-pesona hanya dengan melihat sosoknya. Yah… memang bukan salah Andy kalau semua sahabat baik Nick tergolong keren dan tampan, sayangnya mereka semua sudah berumur dua puluh tahun ke atas! James yang paling muda saja sudah berusia dua puluh tiga tahun ini. Terkadang Andy berkhayal; seandainya ia dilahirkan lima tahun lebih cepat, mungkin ceritanya akan lain. Tapi bagi Andy semua itu tak terlalu penting, ia sudah senang mengetahui bahwa semua sahabat kakaknya bisa menjadi teman baiknya juga.
“Makanya, cari sesuatu yang menarik dong. Biasanya kalau ada hal yang menarik, kita jadi semangat pergi ke se-kolah walaupun banyak tes dan pe-er. Kau sudah punya pacar belum?” Jon bertanya.
Andy menaikkan satu alisnya. “Pacar? Wah, kenapa banyak orang yang menanyakan soal itu sih?” Ia balik berta-nya. Baru dua hari yang lalu rasanya Dennis mengajaknya bicara soal pacar.
“Itu kan hal yang wajar bagi gadis seusiamu, Andy. Masa kau tidak punya pacar sih? Kau tidak laku ya? Hahaha...” gurau Jon dengan tawa yang dibuat-buat. “Kau tidak laku, kau tidak laku!!!”
“Terserah apa katamu lah... memangnya kenapa? Kau mau jadi pacarku?” balas Andy sambil tersenyum nakal. “Boleh juga lo kalau aku bisa punya pacar sepertimu!!!”
Jon mencibir. “Sorry deh, sudah banyak yang mengantre di depanmu, kau terlambat mendaftar!!!”
Andy tertawa. “Ya, ya, aku tahu kau memang keren dan banyak wanita yang mengejar-ngejarmu!”
“Ya... baguslah kalau kau tahu! Hehe...” Jon tersenyum nyengir.
“Tapi yah… aku memang belum mau punya pacar dulu. Repot. Buang-buang waktu.” komentar Andy.
“Siapa bilang? Jangan terlalu skeptis, Andy. Pacaran itu seru, pacaran itu sarana paling efektif untuk bisa mema-hami sifat-sifat dan karakter manusia. Funky deh. Aku saja sekarang sedang ingin mencari pacar lagi. Kan hati ini ra-sanya damai, kalau kau tahu bahwa ada seseorang yang memperhatikanmu, menyayangimu dan mencintaimu tiap sa-at...”
“Yeee… tak usah cari pacar segala, Jon. Nick kan selalu memperhatikan dan menyayangiku! Yeah... walaupun ka-dang aku agak ragu!” timpal Andy cepat.
“Beda dong, Andy. Coba deh kau pacaran sekaliiiiiiiiiiiiii... saja, lalu lihat apa yang terjadi. Kau sudah lima belas ta-hun kan? Kurasa tak ada salahnya kalau kau pacaran dengan seorang pemuda yang cukup keren, teman collegemu mungkin! Masa sih tidak ada satu pemuda pun yang menarik hatimu?”
“Sudahlah, kau diam saja, Jon! Aku tak mau pacaran, tak ada gunanya! Kuberi kau saran, lebih baik kaukemudi-kan saja mobil ini sekencang-kencangnya supaya kita cepat sampai di rumah, dan kau bisa bermain Playstation sepu-asnya bersama Alvin!!! Lagipula aku juga ingin menelepon ke redaksi Nick, aku perlu bicara dengannya. Akan kumara-hi dia habis-habisan, karena gara-gara dia terlambat bangun tadi pagi aku sampai harus mengusir guruku keluar dari kelas!!!” Andy masih ingat dengan jelas, saat Mr. Watkins yang menyebalkan itu menyindir dan menghinanya di hada-pan seluruh murid. Lebih baik guru semacam itu mati saja.
“Wow, kau hebat juga! Aku dulu juga sering begitu, makanya kuliahku tak selesai-selesai! Hati-hati saja, siapa tahu kau akan jadi seperti aku nanti!” wanti Jon. “Kau tidak mau jadi sepertiku kan? Nah, sekolah yang benar dong! Tak u-sah kaupedulikan guru tolol macam itu, yang penting kan pelajarannya. Kalau kau menilai semua pelajaran berdasar-kan gurunya sih... bisa-bisa kau bosan bukan main! Guru itu kan manusia juga, Andy. Mereka juga bisa bertingkah no-rak, sentimentil, bahkan mereka bisa menangis di depan kelas!”
Andy tersenyum. “Kau sudah ahli dalam menilai guru ya? Kau selalu membuat masalah di sekolah, sih!!!”
“Yup. Aku sadar kalau aku salah, tapi semua itu sekarang sudah terlambat! Lagipula aku sudah malas kuliah lagi, jadi ya... aku akan begini terus seumur hidupku.” Kali ini ucapan Jon bernada pesimis. “Aku sih tidak menyesal, tapi a-ku agak dongkol juga, seharusnya kan hidupku bisa lebih baik dari ini. Gara-gara mengejar cita-cita untuk menjadi pe-tennis profesional, aku sampai menelantarkan kuliahku dulu. Kau tahu sendiri, waktu itu aku berumur dua puluh tahun dan mentalku masih belum stabil. Aku sedang tergila-gilanya pada tennis sampai-sampai aku khusus pergi ke Amerika untuk belajar tennis secara intensif... kalau dipikir-pikir aku benar-benar gila saat itu!!!” Ia tersenyum mengenang masa lalunya di Nick Bolletieri Tennis Academy di Florida, Amerika Serikat, beberapa tahun yang lalu.
“Kau masih lebih beruntung, kau tahu tujuan dan target hidupmu! Kalau aku? Cita-cita saja aku tak punya, bagai-mana mungkin aku bisa memilih jalan hidupku?!!” Andy mengeluarkan sebungkus permen karet dari kantongnya. “Ma-u?” tawarnya pada Jon.
“No, thanks.” balas Jon. Ia sibuk berpikir. “Mm, Andy... sepertinya aku tahu jalan terbaik yang harus kautempuh se-telah kau selesai college. Bagaimana kalau kau menikah saja?!! Cari suami yang kaya dan sudah tua, jadi begitu dia meninggal kau bisa menguasai seluruh hartanya dan mencari suami baru yang muda, tampan dan sexy seperti aku!!!” Ia membusungkan dada.
“Aku tidak materialistis sepertimu, tahu?” Andy mencibir. “Kenapa tidak kau saja yang cari istri yang kaya dan su-dah tua? Kau kan bisa memperoleh warisannya begitu ia meninggal.”
“Wah, ide yang bagus! Mulai besok akan kucoba untuk mencari wanita tua yang kaya raya, kan lumayan kalau aku bisa kaya mendadak! Nanti kalau aku benar-benar jadi jutawan, akan kubelikan kau apapun yang kau mau, soalnya kau yang memberiku ide cemerlang ini! Kau mau apa? Pasti kubelikan deh!” Jon meyakinkannya.
Andy memutar otaknya dan berpikir keras. “Well... bagaimana kalau kaunikahi saja aku, jadi aku juga bisa mengu-asai hartamu yang banyak itu, dan aku juga bisa membunuhmu untuk mendapatkan warisan yang banyaaaaak... seka-li.” Ia mengunyah permen karetnya.
“Dasar otak licik...” sergah Jon. “Sebenarnya sih aku mau-mau saja menikahimu, kau kan lumayan sexy, hehe... Tapi menikahimu itu artinya sama saja dengan membunuh diriku sendiri! Well, tapi kau memang lumayan pintar sih, a-ku salut padamu. Kau pasti akan jadi seorang janda muda yang kaya raya di masa depan nanti. Aku yakin.” Ia menga-cungkan kedua ibu jari tangannya ke atas.
Andy hanya mengangkat bahu sambil terus mengunyah permen karet. “Yeah, kita doakan saja.” Lalu ditampak-kannya senyum manisnya itu.
NICK sedang membongkar meja kerjanya yang penuh dengan kertas-kertas bertumpuk tak keruan, ketika tiba-tiba telepon di sampingnya berdering. “Nick Broadley, editor majalah olahraga Golf News, ada yang bisa saya bantu?” Ia mengangkat gagang telepon sementara tangannya yang lain masih terus mengorek-ngorek tumpukan berkas itu. “Oh, kau, James... kenapa? Tumben kau menelepon kemari.”
“Hei, Nick. Sorry mengganggumu nih. Aku cuma mau bilang, mungkin aku tidak akan bisa menjemput Andy sela-ma beberapa minggu ini, karena pihak label menginginkan agar aku selalu ada di studio tiap kali band-band itu berlatih di sana. Gila, lagu-laguku dipakai semua oleh mereka! Bahkan aku diminta untuk membuat beberapa buah lagi untuk b-sides track single terbaru dari beberapa pop group di bawah label Warner! Mati aku, inspirasiku sudah habis semu-a!!! Aku perlu refreshing, tapi mereka tak mengijinkanku cuti barang seharipun! Kepalaku rasanya penuh oleh lirik-lirik lagu, dari tadi pagi aku sudah menelan tiga buah aspirin karena peningnya!” seloroh James panjang lebar. Dari nada suaranya tertangkap jelas kesan bahwa ia sedang benar-benar tertekan. “Jadi sorry kalau aku tidak bisa menjemput Andy, ya?”
“Tak apa-apa kog, aku tahu bagaimana stresnya kalau kau dikejar deadline. Lebih baik sekarang kau istirahat dulu seharian penuh, lalu besok baru mulai bekerja lagi. Bisa-bisa kau sakit kalau terus bekerja tanpa henti, OK? Soal An-dy, kau tak perlu memikirkan hal itu. Aku akan minta tolong pada Jon atau Mike.” ujar Nick. “Ya sudah, sekarang kau istirahat saja dulu.”
“Thanks, Nick. Tolong bilang sorry juga ke Andy, katakan padanya kalau aku sayang dia...” ujar James setengah bercanda. “Dan kalau kesibukanku sudah selesai, pasti dengan senang hati aku akan kembali menjemputnya di seko-lah! Swear! OK, Nick. Itu saja. Sekali lagi aku minta maaf, dan thanks untuk nasehatmu itu, kurasa memang lebih baik sekarang aku tidur dan bermimpi indah supaya besok aku sudah segar lagi! Bye, Nick.” Ia memutuskan hubungan.
“Bye, James.” Nick meletakkan gagang telepon itu kembali ke tempatnya, lalu ia memejamkan mata dan bersan-dar pada kursi kerjanya. Sama seperti James, ia pun capai dan bosan karena pekerjaan yang begitu banyaknya. Hari Senin memang hari paling menyebalkan dalam satu minggu, karena kita harus kembali bekerja setelah menikmati li-buran akhir pekan yang menyenangkan.
Nick menatap ke luar jendela kaca kantornya. Permukaan jernih sungai Thames berkilau karena tertimpa oleh ca-haya matahari dan terlihat bagaikan berlian. Pohon-pohon sudah mulai menghijaukan daunnya yang rimbun dan bu-rung-burung yang hinggap di sana berkicau begitu merdunya. Musim semi sudah berjalan sebulan, dan Nick tak bo-san-bosannya memandangi langit biru nan cerah itu. Musim semi adalah empat bulan terindah dalam setahun bagi ke-banyakan orang Eropa. Saat salju perlahan-lahan mencair dan kuncup-kuncup bunga mulai merekah, atau saat kelinci dan marmut beramai-ramai keluar dari sarang mereka di bawah tanah setelah tidur panjang di musim dingin, semua-nya terasa begitu indah. Dan Nick merasa seperti orang tolol yang mau-maunya duduk diam di depan meja kerjanya, padahal di luar sana pemandangan kota London terlihat begitu menakjubkan!
London sungguh sebuah kota yang tak bisa dibandingkan dengan kota manapun di dunia. New York memang pe-nuh dengan gedung pencakar langit yang tinggi dan megah, menara Eiffel di Paris memang anggun dan romantis ti-ada tara, dan Italia memang sebuah negara yang menarik hati dengan katedral Vatican maupun kanal-kanal Venezia-nya. Namun semua itu tak ada artinya bagi Nick bila dibandingkan dengan London. Karena kemanapun Nick pergi, bahkan sampai ke pelosok-pelosok kota sekalipun, ia bisa merasakan sentuhan seni yang tak ternilai mengiringi setiap langkahnya. Trafalgar Square di pusat kota, Tower of London beserta para penjaga istana dan burung-burung gagak-nya di tepian sungai Thames, Katedral St. Paul dan gereja Westminster Abbey yang menjulang tinggi menentang la-ngit, Piccadilly Circus yang tak kalah semarak dengan Las Vegas pada malam hari, The Houses of Parliament yang a-gung, Big Ben yang selalu setia mendentangkan waktu bagi seluruh penduduk London, taman-taman besar seperti Hyde, Regent, Green, juga Kensington Gardens yang jauh dari kebisingan dan keramaian kota, teater Stratford-upon-Avon yang selalu memainkan karya-karya agung William Shakespeare, Royal Opera House yang senantiasa menam-pilkan pentas-pentas balet dan opera di Covent Garden, Lord’s Cricket Ground yang merupakan lapangan cricket un-tuk para bangsawan dan masyarakat umum, padang rumput Hampstead Heath yang adalah sebuah bukit kecil di Lon-don utara, taman St. James yang terkenal dengan burung pelikan dan angsa-angsanya, dan tentu saja Buckingham Palace yang terkenal itu... tak ada kota manapun di dunia ini yang bisa menyaingi London.
London merupakan kota untuk semua orang. Dari lantai teratas gedung bertingkat yang super sibuk pada hari-hari kerja pun, para businessman masih bisa menikmati keindahan kota dan mendecakkan lidah karena kagum. Kota Lon-don seakan tak pernah kehilangan keremajaannya. Nick, Andy dan Alvin lahir di London, dan sedetikpun mereka tak pernah berpikir untuk meninggalkan kota itu. Bila seseorang sudah jemu terhadap kehidupan kota London, itu berarti i-a sudah jemu hidup; kata seorang penulis Inggris abad ke-18, Samuel Johnson. Pernyataan ini masih tepat hingga ki-ni. London atau ‘Londie’ -julukan sayang yang sering diucapkan Andy untuk menyebut nama kota kesayangannya itu- memang kota yang istimewa untuk setiap orang.
Teristimewa lagi untuk Nick, yang telah menghabiskan seperempat abad hidupnya dengan ditemani oleh bunyi lonceng gereja St. Mary-le-Bow; yang merupakan suatu pertanda bahwa ia adalah seorang Londoner sejati.
ANDY memanaskan tiga buah chicken pie di oven. Satu untuk Jon, satu untuk Alvin dan satu untuk dirinya sendiri. Jon mengorek-ngorek lemari es untuk mencari minuman. Ia menemukan sekaleng Coca-cola dingin di sana dan lang-sung mengambilnya. Dibukanya penutup kaleng itu. “Mau, Andy?” tawarnya.
Andy menggeleng. “Tak usahlah, tadi siang aku sudah minum dua kaleng Sprite.”
“Baru dua kaleng saja sudah menyerah... Mike bisa minum Red Bull sampai tujuh botol lo!!!” gurau Jon. “Aku saja lima gelas sudah kembung!” Diteguknya isi kaleng Coca-cola di tangannya itu.
“Kau masih tinggal berdua dengan Mike ya?” tanya Andy sambil menatap pengatur waktu di oven. Tinggal tiga me-nit lagi dan makan siangnya akan siap untuk disantap. “Wah, aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau kalian berdua tinggal di satu apartemen, bisa-bisa kalian bertengkar terus tiap hari!”
Jon menggigit bibir atasnya. “Yeah... memang sih, aku sering bertengkar dengan dia. Tapi coba bayangkan, kau tahu sendiri kan betapa baunya kaus kaki yang sudah kaupakai seharian penuh, bercampur dengan keringat dan mungkin kotoran-kotoran yang tak dikenal, ergh...” katanya geli. “...masa tiap kali pulang ia selalu meletakkannya di a-tas ranjangku sih? Itu kan namanya mengajak perang!!!”
“Masih lebih baik begitu daripada ia meletakkan celana dalamnya di atas bantal kepalamu.” Andy membuka laci dapur untuk mengambil tiga buah piring dan tiga buah garpu.
Jon tersenyum. “Celana dalam Mike ukurannya XXXL, lo. Gila, dia benar-benar macho.” tuturnya kagum.
Andy menoleh ke arah Jon dan menaikkan satu alisnya. “Jon, kurasa kau homo.”
Jon meletakkan kaleng Coca-colanya di atas meja dapur. “Tentu tidak. Aku cuma mengagumi Mike saja kog. So-alnya selama ini kan tak ada seorang pria pun yang bisa menyaingi kemachoanku. Aku ini ultra-macho lo!!! Hahaha...” candanya. Lalu ia mendekatkan wajahnya ke wajah Andy. “... mau membuktikan?”
Andy menggeleng. "Tidak, terima kasih. Aku tak begitu suka dengan pemuda yang kelewat macho...” Kata-katanya terhenti begitu melihat kedua bola mata biru Jon yang menatapnya dengan penuh kelembutan.
“Yakin kalau kau tak suka pria macho?” Jon terus menatap Andy, dan dadanya terasa bergemuruh saat gadis itu membalas tatapannya dengan mata bulatnya yang kecoklatan. Hidung mancung gadis itu, bibir kemerahan gadis itu, bulu-bulu mata hitamnya yang bagaikan runjung-runjung pinus musim gugur, rambut ikalnya yang coklat kemerahan... tenggorokan Jon serasa tercekat. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia melihat seorang gadis berusia lima belas ta-hun sesensual itu. Dalam sekejab mata ia sudah dikuasai oleh gairah tak tertahankan yang muncul tanpa sadar dari dalam dirinya. Hampir saja Jon mentautkan bibirnya di atas bibir Andy, ketika tiba-tiba pengatur waktu oven di bela-kang Andy berbunyi dan mengembalikannya ke dunia nyata. Suasana menjadi hening seketika.
“…kau terangsang ya?” goda Andy.
Wajah Jon memerah. “Tidak.” jawabnya, tapi sikapnya sama sekali tak mendukung pernyataannya.
Senyum Andy melebar dan ia mulai tertawa, yang membuat Jon merah padam karena malunya.
“Jangan menertawakanku begitu dong!” Jon berkilah, namun Andy terus saja tertawa dan tertawa, sampai tiba-tiba Jon menerjangnya dan mereka berdua jatuh di atas lantai dapur.
Jantung Andy berdegup kencang. Tubuh Jon tepat berada di atas tubuhnya, dan dada Jon yang bidang tepat me-ngenai dadanya! Ia merasakan aliran listrik bertegangan tinggi melewati ubun-ubunnya ketika ia memandang wajah dan rambut pemuda itu.
“Nah, sekarang siapa yang terangsang?” tanya Jon dengan senyum kemenangan tersungging di wajahnya. “ Ja-ngan bertindak macam-macam, aku bisa melakukan apapun terhadapmu, apapun yang kumau.”
Andy benar-benar merasa takut sekaligus bingung. Dan kali ini pun Jon kembali tertegun saat melihat kemurnian Andy yang begitu jelas terpancar dari wajahnya. Seakan-seakan seluruh sarafnya terstimulasi dan tanpa sadar jari-je-marinya mulai menggerayangi bagian bawah tubuh gadis itu…
“Andy, makan siangku mana?” Tiba-tiba Alvin muncul di dapur dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati mereka berdua dalam pose yang sebenarnya sungguh tak layak ditonton oleh anak usia 10 tahun. “Ya ampun, Jon!!! Apa yang kamu lakukan pada kakakku?!!!” pekiknya kaget. “Awas, akan kulaporkan pada Nick kalau kamu mencoba berbuat se-suatu yang tidak baik pada adik kesayangannya!!!!” Ia mengancam Jon.
Jon spontan bangkit dari atas Andy dengan wajah merah. Ia membantu gadis itu berdiri. “Aku tak melakukan apa-apa kog. Aku terpeleset dan Andy ikut jatuh.” Ia berbohong. Nick bisa mencincangnya menjadi tiga belas bagian kalau ia sampai tahu tentang hal ini!
“Bohong!!!” protes Andy dengan wajah yang tak kalah merahnya. “Biar saja Nick tahu, kalau kau pemuda breng-sek!” makinya pada Jon.
“Jon, kamu benar-benar seorang pemuda yang tak berguna!” Alvin ikut berkomentar. “Kamu tak berbakat main Playstation, kerjamu hanya omong besar saja, dan kamu brengsek!”
“Alvin, kau jangan kurang ajar dong, aku ini jauh lebih tua darimu!!!” seru Jon kesal.
“Ingat, Jon... hadapi saja kenyataan hidup ini. Kamu memang brengsek, jadi tak usah protes!” tukas Alvin lagi.
“Sudahlah, kalian jangan seperti anak kecil deh. Alv, chicken pie-mu ada di oven. Piring dan garpunya ada di meja, tuh.” Andy menunjuk ke arah piring dan garpu yang tadi dikeluarkannya. “Nanti cuci piring sendiri!”
Alvin mengambil makan siangnya, lalu kembali ke ruang tamu untuk melanjutkan permainan Playstation-nya yang tadi tertunda. Andy menatap Jon dengan penuh kejengkelan. “Yah, kau memang brengsek, Jon.”
“Jangan marah dong, Andy...” pinta Jon. Ia mengecilkan volume suaranya. “Jujur ya, aku jujur padamu, nih. Aku memang… terangsang saat melihatmu tadi, tapi aku cuma bercanda waktu aku bilang bisa melakukan apa saja terha-dapmu! Mana mungkin sih aku mau berbuat jahat terhadapmu? Ya kan? Sorry, aku benar-benar tak bermaksud...” Ia terlihat serba salah.
Andy menghela napas. “Ya sudah, aku juga tahu kalau kau hanya bercanda kog.” Ia berkata begitu, padahal hati-nya masih berdebar-debar tak keruan. Diambilnya chicken pie dari dalam oven. “Ambil makan siangmu, sana. Ingat, cuci piring sendiri kalau sudah selesai.” Ia melangkahkan kaki untuk menuju ke ruang tamu, namun Jon menggamit le-ngannya.
“Aku mau mengakui satu hal lagi padamu.” ujarnya pelan. Tenggorokan Andy serasa tercekat. “Apa?” Jon menatap Andy lekat-lekat. “Aku tidak bohong… kau memang berbakat membuat orang terangsang. Siapapun yang akan jadi pacarmu nanti, ia adalah seorang pemuda yang sangat beruntung.”
Andy terpana sesaat, lalu ia tersenyum manis. “Dasar. Kaukira pacaran itu hanya masalah rangsangan saja?!!”
“Setidaknya itu berpengaruh!” Jon mencari-cari alasan.
Andy menggelengkan kepala. “Kau memang… thanks anyway.” Ia mengecup bibir Jon dengan begitu lembutnya.
Jon menatapnya dengan sepasang mata biru yang penuh kekosongan.
“Jon, ya ampun... kau terangsang lagi ya?!!!”
NICK sampai di rumah pada pukul sebelas malam, saat Alvin sudah tidur. Ia tampak begitu lelah. Begitu masuk ke dalam, ia langsung melangkah menuju kamarnya dengan lunglai dan langsung terlelap begitu tubuhnya menyentuh ranjang nan empuk.
Andy melepaskan sepatu dan kaus kaki Nick, lalu menyalakan pengatur suhu ruangan dan menyelimuti kakaknya. Ia pun sibuk merapikan berkas-berkas pekerjaan Nick yang berantakan bukan main. Bisa dilihatnya kalau pekerjaan pemuda itu memang benar-benar banyak.
Andy duduk di tepi ranjang dan memandangi wajah Nick yang penuh peluh. Dengan lembut ia membelai rambut Nick yang kecoklatan. Belakangan ini kakaknya memang sering pulang terlambat. Setelah terjadi pemangkasan tena-ga kerja karena masalah keuangan di redaksi majalah Golf News, pegawai-pegawai yang tertinggal terpaksa harus be-kerja ekstra keras untuk mengejar deadline. Apalagi posisi Nick sebagai editor memegang peranan yang sangat pen-ting dalam penerbitan majalah tiap edisi. Ia sering bekerja lembur sampai malam, bahkan pekerjaannya sering tidak selesai dan terpaksa dibawanya pulang untuk dikerjakan di rumah. Tapi itupun sama sekali tak membantu, karena ia tak sempat lagi melakukan apa-apa begitu sampai di rumah melainkan langsung tidur. Dengan keadaan seperti ini ra-sanya tak mungkin Andy bisa menyalahkan Nick bila ia bangun terlambat, sebab ia memang betul-betul letih dan tu-buhnya butuh istirahat.
Terkadang Andy merasa dirinya sangat tak tahu berterima kasih. Ia selalu menggerutu dan mengomel panjang le-bar tiap kali Nick melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Tadi pagi ia memaki-maki Nick hanya karena ia terlambat masuk kelas, padahal Nick pun sedang disibukkan oleh segala jenis pe-kerjaan di redaksinya. Andy sadar bahwa ia tak berhak menuntut apa-apa dari Nick. Pemuda itu menanggung beban yang begitu berat; ia harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan tiga orang sekaligus. Andy merasa sangat bersalah ketika menyadari bahwa ia hampir tidak pernah membantu meringankan beban Nick, baik dalam soal pekerjaan mau-pun soal rumah. Mungkin Andy bisa saja mencari-cari alasan untuk membela diri bila ia terlambat datang ke college, tapi kondisi kesehatan Nick jauh lebih rumit dari itu. Kalau cara ini terus dipertahankan, cepat atau lambat ia pasti jatuh sakit.
Andy menghela napas. Ia benar-benar ingin membantu Nick, mungkin dengan mencari pekerjaan sambilan atau sejenisnya. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia masih bersekolah dan otomatis hanya bisa bekerja saat liburan musim panas tiba. Andy termenung sesaat, sebelum pandangannya kembali tertuju ke arah berkas-berkas Nick yang sudah tertata rapi di atas meja. Ia sempat ragu, namun saat melihat wajah Nick yang begitu pulas, tergeraklah hatinya. Di-nyalakannya laptop Nick dan dibukanya file-file yang harus di-edit. Rasanya cukup gampang. Ia hanya perlu mengatur isi dan komposisi tulisan dan gambar, lalu mencocokkannya dengan latar belakang. Ada beberapa istilah bidang jur-nalistik yang tak dimengertinya, tapi bakat wartawan Nick sedikit banyak memang menurun padanya. Hampir semala-man ia bekerja di depan laptop, mengatur dan mengubah desain, dan keesokan paginya pekerjaan Nick sudah terse-lesaikan seperempatnya, walaupun dengan banyak kekurangan di sana-sini.
Nick memandang Andy dengan heran saat gadis itu menyerahkan sebuah disk padanya keesokan paginya. Mere-ka bertiga sedang sarapan, dan rencananya setelah ini mereka akan langsung berangkat.
“Itu pekerjaanmu. Aku hanya sempat menyelesaikan seperempat tadi malam, sampai halaman 15. Sisanya belum, karena aku benar-benar mengantuk.” ujar Andy dengan mata berat. Ia hanya sempat tidur selama lebih kurang dua jam tadi pagi.
Nick tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
“Sorry aku tak meminta ijin darimu dulu, Nick. Soalnya kau sudah tertidur pulas dan aku tak mau membangunkan-mu, jadi langsung saja kunyalakan laptopmu dan ku-edit pekerjaanmu sebisaku. Kan aku sudah sering melihatmu be-kerja sebelumnya, jadi kulakukan saja apa yang kau lakukan. Memang kurang bagus sih, tapi kuharap kau tidak ma-rah.” lanjutnya.
Dada Nick sesak oleh rasa haru. Diraihnya disk itu dari tangan Andy. “Kau benar-benar mengerjakan ini semua? Ya ampun, Andy... kau kan harus sekolah hari ini! Kalau kau sampai tertidur di kelas bagaimana?!!”
Andy tersenyum. Ia tahu kalau sebenarnya Nick bermaksud untuk berterimakasih, tapi pemuda itu memang paling tak bisa mengungkapkan isi hatinya dengan kata-kata yang tepat. Andy menghambur ke pelukan Nick dan menghadi-ahkan sebuah kecupan manis di pipinya. “Aku ingin berbuat sesuatu untukmu, habisnya kau kerja keras tiap hari…” Ia menatap Nick dalam-dalam. “…lagipula bakat mengalihkan pembicaraanmu itu kan menurun juga padaku, jadi kurasa aku bisa mengatasi kalau aku tertangkap basah tertidur saat pelajaran...”
Mata Nick berkaca-kaca. Ia mengecup kening Andy dengan hangat dan mempererat pelukannya. “Dasar kau… aku benar-benar sayang padamu.” Dilihatnya Alvin dari sudut matanya dan direngkuhnya anak bersama-sama di da-lam pelukannya. “Aku sayang kalian semua.”
Andy memejamkan mata. Kerja kerasnya semalaman ternyata tak sia-sia. Dalam hati ia berjanji untuk tidak marah-marah lagi pada Nick… dan belajar menghargai pengorbanan seorang kakak yang begitu besar untuk adik-adiknya.
(c)1999, 2001 AndreaHearn