Ti Amo


Pesawatku mendarat pukul 14.32 waktu Milan, delapan menit lebih cepat dari perkiraan. Aku tak mem-bawa koper, jadi aku langsung keluar dari gate dan berjalan ke pintu kedatangan.

OK, siapa kira-kira yang akan menjemputku? Dia sendiri? Atau pelayannya? Setelah 30 detik mencari-cari, akhirnya kulihat juga sosok tubuhnya.

Wow, Vicky lumayan keren juga sekarang. Aku memang sering melihatnya di TV ataupun majalah olah-raga, tapi ia jauh lebih keren bila dilihat langsung. Saat itu ia memakai kemeja lengan pendek yang sangat casual dengan celana hitam dan sandal Nike. Keren. Begini rupanya gaya pesepakbola terkenal.

"Gue kira loe gak bakal dateng, Die." Itulah kalimat yang digunakannya untuk menyapaku.

Aku tersenyum. "Dasar. Promise is a promise, Vic. Janji harus ditepati kan?"

Ia ikut tersenyum, dan bisa kulihat bibirnya yang merekah itu. Rasa-rasanya aku menjadi teringat akan masa lalu... hehe.

"Sini, gue bawain barang loe." Ia meraih sportsbagku, namun kutarik kembali tasku.

"Nggak. Gue bawa sendiri aja. Emansipasi, lagi..." Keluarlah nada suaraku yang manja itu.

Ia tak peduli. "Bodo. Pokoknya gue yang bawa." Ia merebut tasku dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Bi-arlah, aku juga capai sih harus membawa tas itu. Lumayan berat oleh baju-baju dan laptopku. Biasa lah... a-ku tak bisa meninggalkan pekerjaan begitu saja. Tanggung jawab dalam tugas adalah salah satu syarat men-jadi seorang journalist profesional!

"Thanks." kataku.

"No problem. Ngomong-ngomong..." Ia memandangiku dari atas sampai bawah dengan tatapan nakal. "Loe emang cakep banget kalo kurus..."

"Emang." sahutku asal. "Tapi gue nggak kurus ya, sori aja... gue montoq." ralatku.

Ia tersenyum lagi. "Iya deh, baby doll Andie yang montoq..." godanya.

"Ihhh, BeTe!" Aku merajuk. "Jijik, tau gak sih?!!!" Kudorong ia perlahan, namun di luar dugaanku ia malah memelukku begitu eratnya.

Dadaku berdesir. Detik itu juga bayang-bayang masa lalu muncul bertubi-tubi di benakku. Pelukan-pelu-kan mesra kami, ciuman-ciuman penuh gairah kami, gigitan-gigitan gemasnya di leherku dan rengkuhannya yang begitu lembut... harus kuakui bahwa aku tak pernah lupa akan semua itu, walaupun begitu banyak hal telah berubah dalam kehidupan kami berdua... termasuk kehadiran James.

Jantungku seakan berhenti berdetak. Kenapa aku harus teringat pada James? Tiba-tiba raut wajahku be-rubah sedih. Tidak, James sudah tinggal kenangan. Aku yang memutuskan hubunganku dengannya, tak ada gunanya aku bersedih dan merasa kehilangan dirinya. Aku punya kehidupanku sendiri...

Vicky membelai wajahku. "Asli Die, gue kangen banget ama eloe..." ujarnya sungguh-sungguh.

Kami saling bertatapan. Kedua belah mata Vicky yang pekat dan hidungnya yang selalu dibanggakannya itu... bulu-bulu halus di atas bibirnya yang sexy... jambangnya yang rapi dan rambut hitamnya yang terbelah di pinggir... ia memang bukan James. Tak ada yang seperti James. Tapi James sudah kuanggap tak ada. Dan yang tengah berdiri di depanku kini adalah seorang Vicky Chandra Sutedja. Vicky yang lucu dan manis, yang pernah menawan hatiku bertahun-tahun yang lalu; Vicky yang bukan James...

"Gue juga kangen banget ama eloe, Vic." Lalu kubenamkan diriku dalam dekapannya, di bandara Milan yang hiruk-pikuk, di salah satu negara terindah di dunia yang menyimpan begitu banyak sejarah masa lalu.

Di sini jugalah aku akan mengukir sejarah hidupku.

Bukan bersama James.





Aku hanya diam ketika kami sedang dalam perjalanan ke rumah Vicky.

"Kenapa diem sih?" Ia bertanya sambil memasukkan CD ke dalam CDplayer mobil.

"Nggak... gue cuma mikir, elo bisa juga ya punya Ferrari?" sindirku bercanda. Seumur hidupku baru se-kali ini aku naik Ferrari F40 dengan kap terbuka. Bagus, karena dengan begitu aku bisa melihat pemanda-ngan seluruh kota Milan. Aku belum pernah berlibur kemari. Terakhir kali aku mengunjungi Italia adalah waktu aku masih berusia 12 tahun. Itupun aku hanya sempat pergi ke Roma dan Venice. Mungkin aku bisa sedikit shopping di sini!

"Bangke..." sahut Vicky, yang langsung membuatku terbahak-bahak.

"Ternyata elo belom berubah juga ya? Padahal udah 7 taon sejak masa-masa SMA kita..." Aku berko-mentar.

"Enggak, gue udah berubah koq. Sekarang gue nggak ceking lagi!" serunya bangga.

"Masa? Liat!!!" gurauku. Ia langsung menghindar.

"Woi Neng, gue lagi nyetir!" pekiknya panik. Aku tak bisa berhenti tertawa.

"Emangnya abs loe sekarang ada berapa sih?" tantangku. "Paling-paling masih 2... kecil-kecil lagi!"

Ia berkelit. "Éé, enggak yé! Abs gue udah delapan, udah gede, wee..." Dijulurkannya lidahnya sebagai pembelaan diri. "Kalo mao liat, nanti aja di rumah. Tapi elo harus bayar... hehe."

"Bayar berapa?"

"Nggak usah mahal-mahal, 700 miliar lira juga cukup..."

"Berapa tuh?"

Ia hanya tersenyum. Manis... sekali. "Ya, atau nggak gratis juga gak pada deh, asal gue juga boleh liat abs eloe..."

Aku menggelengkan kepala. "Nggak. Nanti elo horny lagi, kan gue yang repot!"

Ia tertawa. Rasanya aku sudah ingin memeluk dan menciuminya sampai seluruh wajah tampannya itu basah oleh air liurku! Hanya dia satu-satunya pria Asia yang bisa membuatku gemas sampai begini!

"Tapi emang bener koq..." lanjutku dengan kata-kata menggantung.

"Apanya yang bener?" Vicky menatapku dengan bingung.

"Elo sekarang cakep banget. Asli." Aku tersenyum. "Lebih cakep dari pas remaja dulu."

Ia tertegun sejenak. "Maksud loe?" Mungkin ia bingung dengan pernyataanku yang tiba-tiba itu.

"Ya, cakep aja gitu. Bodi loe udah lebih keker, pokoknya keseluruhannya bagus deh."

"Koq bisa gitu?" tanyanya lagi. Ya Tuhan, dia ini pura-pura tolol atau memang tolol sih?!

"Ya, bisa aja."

"Aneh loe." Kata-katanya tak sejalan dengan raut wajahnya yang jelas-jelas menunjukkan bahwa ia me-rasa senang dipuji seperti itu. Dasar pria...

Kupandangi bangunan-bangunan kuno kota Milan. Hampir sama dengan London, namun terus terang a-ku lebih menyukai gaya arsitektur London. Lebih tegas, lebih gothic dan lebih klasik... mendadak aku teri-ngat akan sesuatu. Kuraih tasku di belakang dan kukeluarkan laptop ozone blue-ku dari dalamnya.

"Ada apaan?" Vicky mengamati gerak-gerikku.

"Nggak, gue lupa..." Kunyalakan laptop dan kusambungkan modem dengan mobile-ku. "Gue musti nge-tik artikel tentang kota Milan. Tolongin ya?"

"OK, babe." balasnya genit.

Ia benar-benar tak berubah sama sekali.





Rumah Vicky agak jauh juga dari airport. Taman depannya cukup luas untuk dijadikan taman bermain anak-anak, dan di belakang rumahnya ada sebuah lapangan sepakbola mini yang biasa digunakannya untuk latihan dan bermain-main. Bangunannya terkesan megah dan modern, namun interior dalamnya terbilang klasik. Yang membuatku tercengang adalah, ia memajang fotoku di sebuah pigura di atas meja pajangan, bersama dengan pigura-pigura lain yang berisi foto-foto dirinya di lapangan hijau, dari majalah, ataupun bersama keluarga dan teman-temannya. Hebat.

"Foto gue kenapa bisa ada di sini?" Kuraih pigura fotoku dan aku tersenyum. Dulu aku lumayan gemuk juga ya?

"Ada aja." jawabnya misterius.

Kutolehkan wajahku ke arahnya. "Jangan sok maen rahasia-rahasiaan gitu deh. Kalo ngefans ama gue ngaku aja, nanti gue kasi loe tanda tangan gue sekalian." gurauku penuh percaya diri.

"Enggaklah... gue cuma seneng aja majang foto loe di situ, abisnya loe cakep sih... hehe. Tapi enggak, gue emang sengaja masang foto loe, itung-itung sebagai salah satu kenangan masa lalu gue." jelasnya.

Aku merasa betul-betul bersalah. Ia memajang fotoku di mejanya, sedangkan fotonya sendiri berserakan tak keruan di dalam boks kenanganku yang sudah dipenuhi debu dan sarang laba-laba; dalam gudang sempit yang gelap pula! Aku benar-benar kejam. Tapi tak mungkin juga aku memajang fotonya, James bisa-- ya ampun, kenapa aku memikirkan dia lagi?!!! URGHH!!! Guna-guna apa sih yang dipakainya sampai aku tak bisa menghilangkannya dari pikiranku? Bisa-bisa aku menulis artikel tentang voodoo saking stresnya! Sia-lan...

Tapi apa yang dikatakan Vicky barusan? Aku adalah salah satu kenangan masa lalunya? Yeah, aku me-mang hanya sebuah bagian kecil dari masa lalunya. Dan aku tinggal kenangan sekarang... sama halnya de-ngan James. Aku bukan apa-apa lagi dalam kehidupan Vicky. Aku hanya teman dekat seorang pesepakbola muda yang tampan dan kaya raya, yang diminta datang dari London ke Milan khusus untuk mendampingi-nya di sebuah jamuan makan malam penting. Tidak lebih. Entah kenapa hatiku terasa sedih mendengarnya. Aku harus jujur kalau aku memang tak pernah berhenti menyayangi Vicky barang sedetikpun, tapi aku tak tahu apakah rasa sayangku itu hanya sebatas teman dekat... atau perasaan seorang wanita terhadap lawan je-nisnya yang begitu memikat hati. Aku tak tahu, dan aku tak pernah memikirkannya lagi sejak aku berangkat ke London lima tahun lalu. Kisah cinta kami yang harus terputus di tengah... aku tak pernah mau mengingat-ngingat semua itu lagi. Lima tahun belakangan aku mencoba melupakan dirinya dengan menyibukkan diri-ku, dengan belajar maupun bekerja. Namun ketika aku sudah hampir berhasil melakukannya dan menemu-kan pria lain untuk menggantikan posisinya, tiba-tiba semua berubah. Hubunganku dan James tidak berha-sil, dan foto-foto Vicky yang kusimpan rapat-rapat di dalam boks kenanganku tiba-tiba jatuh berserakan ke lantai saat aku tengah membereskan gudangku. Hebat. Kurasa aku memang tak bisa melupakannya sampai akhir waktu. Tapi apa yang bisa kulakukan kini? Vicky bukanlah Vicky yang dulu lagi. Ia bukan lagi seo-rang remaja 17 tahun yang pernah terlibat narkotik -walaupun tidak parah, ia bukan lagi seorang anak lelaki sederhana yang tinggal di rumah 2 kavelingnya yang ramai oleh pegawai, ia bukan lagi anak seorang apote-ker wanita yang mencari nafkah dengan membuka sebuah toko obat di Pasar Kopro, ia bukan lagi murid pemberontak yang dikenal sering membuat masalah dengan guru-guru, dan ia bukan lagi kekasih seorang Andrea Tejokusumo yang senantiasa mengunjungi gadis itu tiap Sabtu siang... dengan motornya yang setia itu. Ia sudah berubah. Ia sudah berubah menjadi seorang pria berusia 25 tahun yang begitu dewasa. Ia su-dah menjelma menjadi sosok yang begitu diidolakan oleh berjuta-juta orang di berbagai benua. Dengan ti-ming dan nalarnya yang tinggi, kedua belah kakinya yang haus gol dan tekniknya yang amat mengagumkan, ia berhasil membawa klub Internazionale Milannya menuju puncak tangga juara. Berita tentang dirinya me-menuhi headline media cetak dan berita olahraga televisi di seluruh dunia. Tawaran-tawaran iklanpun ber-datangan tanpa henti, dari produk olahraga sampai kosmetik pria yang tak ada hubungannya sama sekali de-ngan pekerjaannya. Uang dan ketenaran kini tak habis menguntitnya kemanapun ia pergi. Gadis-gadis muda yang begitu tergila-gila pada ketampanannya dan para wartawan yang selalu memburunya... sungguh suatu anugerah bahwa ia masih dapat tinggal di sebuah rumah mewah di pinggir kota Milan tanpa diganggu siang dan malam oleh nyamuk-nyamuk pers yang gatal bukan main itu. Dan sekarang, kekasih masa lalunya yang juga sudah banyak berubah ini sibuk merenung di tempat ia berdiri, sambil memandangi foto dirinya dalam pigura yang tengah digenggamnya. Rasa-rasanya ia rindu akan masa lalu mereka yang penuh canda tawa i-tu... saat mereka berdua hanyalah sepasang muda-mudi yang baru mengerti akan kehidupan dan saat semua-nya masih berjalan mulus tanpa masalah...

Kuletakkan kembali pigura fotoku ke tempatnya semula. Semuanya tak bisa kembali lagi kini. Life goes on, Andie... life goes on.

"Mao liat kamar elo?" Kata-kata Vicky membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum. "Sure." Dalam sekejab aku sudah kembali ke dunia nyata. Kemampuan aktingku me-mang patut diacungi jempol.

"Luigi!" Vicky memanggil. Seorang pria tua ber-tuxedo hitam muncul di ruang tamu. Wajahnya cekung dan rambutnya sudah memutih semua. Dengan tubuh tinggi kurusnya ia terlihat seperti zombie. Vicky me-ngatakan sesuatu padanya dalam bahasa Italia yang -tentunya- tak kumengerti, kemudian pria bernama Luigi itu tersenyum ramah ke arahku dan berkata,

"Benvenuto."

Kubalas ucapan selamat datangnya dengan -setidaknya- salah satu phrase Italia yang kutahu, "Grazie."

Ia membawa sportsbagku ke lantai atas.

"Itu Luigi." Vicky menjelaskan. "Kepala pelayan gue. Orangnya baek sih, cuma gimana ya... cerewetnya itu lo... gue asli gak tahan."

"Tapi nggak keliatan koq." Kupandangi Luigi dari belakang.

"Belom. Tunggu aja, entar juga elo bakal tau." Ia merangkul pinggangku. "Udah, yok ke atas." ajaknya.

"Tadi loe ngomong apa aja ama dia?" tanyaku penasaran sambil melangkah.

"Ya... gue bilang elo dateng dari London buat nemenin gue ke pesta hari Minggu nanti."

"Eloe bisa bahasa Itali juga ya?"

"Bisa, lah! Gue kan tinggal di sini udah 3 taonan! Dari tadi kayanya gue disindir mulu sama elo, Die..." Vicky menampakkan wajah jengkelnya.

"Gue kan cuma bercanda, Vic..." Tanpa sadar tanganku bergerak dan membelai rambutnya yang lembut. Sekali lagi kami saling bertatapan dan aku merasakan suatu keganjilan dalam sinar matanya. Terakhir kali ia menatapku dengan cara demikian, kami tengah berada di ruang tamuku, di rumahku di Jakarta dulu. Semua-nya terjadi begitu cepat; ciuman mesra kami berlanjut ke pelukan dan saling meraba, dan tanpa disadari ia sudah berada di atasku dan semuanya berjalan terlampau jauh, walaupun tidak separah yang kaubayangkan. Itulah pengalaman seksku yang paling dasar. Aku masih ingat urutan kejadian itu dari awal sampai akhir bahkan sampai sekarang, dan satu hal yang tak bisa lepas dari bayanganku adalah sinar mata Vicky yang ba-gaikan seorang pemuda yang tengah dimabuk cinta... seperti saat ini.

Jantungku berdegup kencang. Vicky merengkuh tubuhku dan perlahan-lahan namun pasti wajah kami semakin dekat dan dekat...

"Jangan." Aku menghindar. Seluruh wajahku merah merona. Aku belum siap melakukannya lagi. Aku tak mau. Aku tak bisa.

Ia menghela napas dengan penuh rasa bersalah. "Sori, Die... gue nggak maksud melakukan itu--"

"Gue ngerti." potongku cepat. "Gue yang salah. Lupain aja kejadian barusan."

"OK." Hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Suasana hening.

"Ng..." Vicky terdengar ragu. "Loe mao liat kamar loe di atas kan?"

Aku mengangguk pelan. Ia mempersilakanku berjalan di depan.

"Ladies first." ujarnya memberi alasan.

Aku tersenyum. Dipaksakan.





Kuhempaskan tubuh letihku ke atas kasur. Ya Tuhan, aku tak bisa mengerti perasaanku sendiri! Kenapa tiba-tiba aku merasa sedih dan bingung?! Kenapa jantungku berdegup tak keruan ketika Vicky menatapku dan kenapa aku tak bisa berhenti memikirkan James?!!! Seharusnya aku tak datang kemari, keadaan malah bertambah kacau!

Beberapa saat aku terdiam, sebelum akhirnya kupaksakan diriku untuk bangkit dari tempat tidur. Percu-ma saja aku menyumpah-nyumpah sekarang, toh aku sudah ada di sini. Aku sudah bertekad untuk melupa-kan James, dan aku akan bersenang-senang di Milan. Titik. Habis perkara. Sudah, jangan pikirkan itu lagi.

Aku menyibakkan tirai jendela kamarku. Lapangan bola mini Vicky terlihat jelas dari atas sini. Kulihat seseorang memasuki lapangan itu... ya, siapa lagi? Sang tuan rumah tentunya.

Ia melakukan stretching selama beberapa menit, lalu ia berlari mengelilingi lapangan. Berikutnya ia mu-lai memainkan bola dengan kakinya. Aku tak pernah melihat seorang pesepakbola profesional berlatih sebe-lumnya, jadi spontan aku langsung meraih tasku untuk mencari camera. Coba kulihat, mungkin ada berita yang bisa kutulis.

"Woi, Die!!!" Vicky melambaikan tangannya dari bawah. "Sini, turun aja!!"

"Hah?" Aku tersentak. "Oh, OK deh. Bentar!" Kusambar file-ku dan keluar dari kamar dengan camera tergantung di leher, lalu aku bergegas menuruni tangga.

Rumah ini termasuk mahal, kurasa. Di tiap sudut ruangan selalu ada sebuah benda antik yang unik. Aku tak tahu Vicky mengkoleksi benda-benda macam begitu. Dan rupanya ia masih suka memainkan gitar, bisa kulihat dari jumlah gitar koleksinya yang mencapai 6 buah. Ia menaruh mereka di ruang bacanya. Kuambil beberapa gambar dengan camera-ku, kemudian aku menuju ke halaman belakang.

"Mao maen, Die?" tawar Vicky sambil menyodorkan sebuah bola sepak padaku.

"Well... gue nggak bisa maen..." tolakku pasrah.

"Mao gue ajarin?"

Aku menggeleng. "Nggak deh. Loe maen aja, gue liatin. Boleh moto-moto kan?" pintaku.

"Enak aja. Bayar!"

"Ya ampun, dasar pesepakbola profesional, bawaannya komersial mulu! Gue aja disuruh dateng kemari jauh-jauh dari London, gak dibayar sepeserpun tuh!" sergahku.

"Kan yang bayarin tiket dan akomodasi loe, gue!" Ia membela diri.

"Ye, nggak bisa--"

"Wee..." Dijulurkannya lidahnya.

"Idih!"

"Apa?"

"Nggak bisa dong, gue kan harus pake waktu cuti gue buat kemari, mana kerjaan gue banyak banget, la-gi. Respek dikit napa!"

"Ya udah, gue nyerah aja deh. Teserah loe mau moto atau ngapain juga, tapi ada satu syarat."

"Syarat apaan?" tanyaku waswas.

"Loe musti bantuin gue."

"Bantuin gimana?"

"Pilihin baju yang harus gue pake buat ke pesta nanti."

"OK, nggak masalah."

"Satu lagi. Elo musti pake baju yang seksiiiiii... banget pas ke pesta."

"Nggak mau!!!" seruku spontan.

"Ya udah, perjanjian batal!" ancamnya.

"Koq gitu?!!! Tapi... OK aja lah. No problem. Gue emang lagi pengen pake baju sexy sih..."

"OK. Deal."

"Deal." kataku mantap.





Keesokan paginya Vicky pergi ke San Siro untuk berlatih. Ia sudah janji bahwa besok malam kami akan pergi makan di pusat kota sekaligus mencari baju untuk jamuan makan malam hari Minggu nanti. Kadang-kadang aku berpikir, apakah dia tidak punya teman wanita lain untuk diajak ke pesta sampai-sampai ia me-mintaku yang tinggal nun jauh di bagian lain benua untuk datang? Jalan pikiran Vicky sedari dulu memang sulit kumengerti.

Aku sibuk mencari Luigi pagi itu. Kukelilingi seluruh pelosok rumah dan kutemukan ia tengah menye-trika baju di laundry.

"Aa, Luigi..." Tiba-tiba aku tersentak. Aku tak bisa bahasa Italia! "Aa... do you... speak English?"

Ia memandangku dengan aneh. Aku sudah bingung setengah mati. Bagaimana aku bisa berkomunikasi dengannya kalau ia tak bisa bahasa Inggris pula?!

"Well, yes I do." Akhirnya ia menjawab dengan kata-kata yang sungguh melegakanku. "What can I do for you, Miss Andrea?"

"Erm... I was wondering whether you could tell me where the shopping malls are."

"Of course I can. I'll accompany you there." Ia sibuk membereskan pekerjaannya.

"Thank you so much but I don't want to disturb your work so... I think it's better for me to go there by myself, isn't it?"

“Well Miss Andrea, Master Vicky told me to keep my eyes on you. I’m afraid I’ll have to go with you.”

“He told you to WHAT?!!” Aku tak percaya.

“I’m sorry, but you are not permitted to go anywhere without company.”

“What right has he got to do this to me?” Kutampakkan wajah tak senangku.

“That’s not what he meant, Miss. It’s dangerous for a stranger to wander alone in Milan, especially if she is a beautiful young woman with a large amount of money. Besides, you would probably need my assistance in carrying your shopping bags…” Luigi menjelaskan. “You don’t know the papparazzi, Miss. They smell gossip like police dobermanns do.”

Aku menaikkan satu alisku. “I see.” Bisa mulai kumengerti mengapa Vicky menyebut kepala pelayannya ini cerewet. “I guess I’ll have to change first, Luigi… I’ll see you in 5 minutes.”

“The vehicle will be waiting for you outside, Miss Andrea.”

“Thank you, Luigi.”

Lalu aku pergi.





Kubuka mini bar dalam limousine Vicky yang tengah melaju. Tak ada apa-apa kecuali beberapa kaleng beer dan sebotol Gatorade Lemon. Kebetulan. Kuambil Gatorade itu.

“So, Luigi, how did you learn to speak English this fluent?” Aku memulai percakapan.

“I’ve been learning English since 5th grade, Miss Andrea. I used to have a lot of girlfriends, and most of them speak English.” jawab Luigi. Konsentrasinya tetap terarah ke jalan di depan.

“You were a Casanova, weren’t you?” Kubuka penutup Gatorade dan kuteguk isinya sekali.

“As far as I’m concern, one of my girlfriends’ name was Andrea.” katanya lagi.

Aku tertawa kecil. “Really? Excellent. Where was she from?”

“Germany, I guess. She came to Milan to study.”

“Have you got married yet?” Aku memancing.

“No. I’m not interested in marriage.”

“Are you an Atheist?”

“I am not. I just dislike marriage. Commitments and all that sorts… how about you, Miss Andrea?”

Aku tersenyum. “I would love to get married one day. I love children, commitments and all that sorts…”

“…and Master Vicky?”

“Pardon?”

“Never mind.” balasnya dengan sikap misterius.

“What has Vicky got to do with me getting married?” Aku tak putus asa.

“I was just asking, Miss.” Ia memandangku lewat kaca spion. “Master Vicky told me a lot about you.”

“I bet he did.” Kubalas tatapannya. “He told me a lot about you too.”

“Really? Such as?” Ia mulai tertarik.

“You go first.” Aku mengajukan syarat.

“I’m a believer of ‘Ladies First’ custom.”

“I’m not. Sorry.” Kusunggingkan senyum manisku.

Ia mengalah. “Master Vicky told me that you’re a genius. But now I’m starting to realise that you’re also smart and slick as well.”

“I’ll take that as a compliment, thank you.”

Aku benar-benar semanis seorang bidadari saat mengatakan kalimat itu.





Luigi memang cerewet, tapi ia benar-benar orang yang tepat untuk menemaniku shopping. Bayangkan, kami tak bisa berhenti berbicara satu sama lain barang sedetikpun! Hebatnya, aku sama sekali tak perlu ke-luar uang selirapun jua. Luigi mensabotase semua pembayaran dengan mengatakan, “Master Vicky ordered me to arrange all your articles. He said that it has got something to do with the deal that he had made with you.”

Aku tersenyum. “Oh, that deal.” Seluruh biaya akomodasiku akan dipenuhi oleh Vicky kan? Aku hanya perlu membantunya memilihkan baju dan berpakaian se-sexy mungkin di pesta Asosiasi Sepakbola Italia. Aku memborong cukup banyak barang. Biar sajalah, toh Vicky sudah janji akan mengurus semuanya. Aku tidak materialistis, tapi kesempatan seperti ini tidak boleh disia-siakan begitu saja. Memintaku memakai ga-un sexy bukanlah bantuan yang murah.

Luigi bercerita banyak tentang dirinya dan diri ‘Master Vicky’. Ternyata walaupun tuannya seorang pe-main Internazionale Milan, Luigi lebih menyukai klub seri B Torino.

“Master Vicky is a miracle. I knew it since the very moment I saw him, he’s going to be a great player.” katanya. Ia juga bercerita tentang prestasi-prestasi yang pernah diraih Vicky dan kehidupan pribadinya. “Master Vicky had had several serious girlfriends, but none of them had ever really worked. He wasn’t rea-dy for commitment. After all, he's only 25.”

Aku mendengarkan cerita Luigi dengan serius sambil menghirup cappucino dengan choco granulé-ku. Kami beristirahat sebentar di sebuah restoran fastfood.

“Do you love him?” tanya Luigi tiba-tiba.

“Love whom?” Tenggorokanku serasa tercekat.

“Master Vicky.”

“That’s private.” sahutku cepat.

Luigi menghirup kopinya. “How private?”

“Do you always want to know other people’s business?” Kutatap ia dengan kesal, namun ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku tak bisa merahasiakan apapun. “…why would you like to know about that?”

Ia mengangkat bahu. “I was just asking, Miss. There’s no harm in asking, I suppose.”

Aku terdiam. “…how about him? Does he love me?”

“I don’t know.” jawab Luigi. “But I don’t think a man would put a picture of a woman he doesn’t love on his desk.”

“I put Vicky’s photos in my closet.” Aku tersenyum.

“But you put the real him in your heart.”

Kembali kuhirup cappucino choco granule-ku. “Maybe.” ujarku klise. “Maybe not.”





Jumat malam.

Biasanya tiap akhir pekan aku dan James pergi makan malam ke Piccadilly ataupun Chelsea. Setelah itu kami akan berkeliling The City sampai puas, lalu kembali ke apartemen kami yang hangat untuk melewat-kan malam bersama. Hanya berdua. Gaya hidupku betul-betul hedonis semenjak aku lulus kuliah. Kerjaku tiap hari hanya bangun, pergi kerja sampai sore, jalan-jalan sebentar, pulang, memasak, makan mandi, have sex –kecuali kalau aku sedan period, lalu tidur. Lalu bangun lagi. Dan begitu seterusnya. Di akhir pekan bi-asanya jadwalku agak berubah. Sabtu, misalnya. Hari Sabtu adalah hari favoritku dan James. Sepanjang hari kami hanya berbaring dan bermalas-malasan di atas tempat tidur dalam keadaan telanjang bulat, saling ber-bagi dan bercerita tentang apapun –apapun juga. Mood sex kami berdua memang paling tinggi pada hari Sabtu pagi, entah kenapa. Mungkin sudah tersetel begitu sejak semula. Menjelang sore kami mulai ‘ba-ngun’, lalu pergi makan malam ke Chinatown. Pemandangan kota London benar-benar tak terlukiskan in-dahnya pada malam hari. Kami biasanya pergi ke dermaga Sungai Thames dan bersandar di pagar pembatas sambil menikmati segelas coklat panas. Sekitar subuh kami pun pulang dan tidur. Keesokan harinya kami bangun kira-kira jam sepuluh, pergi makan siang sebentar lalu diam di apartemen sampai malam, membe-reskan pekerjaan untuk besok.

Bisa dibilang aku menyukai hidupku dulu. Tahun-tahun itu merupakan masa peralihan yang sungguh menyenangkan. Bisa terbayangkan, seorang wanita menjelang usia dewasa menemukan seorang pangeran tampan berambut pirang dan bermata biru di negeri asing yang tak dikenalnya sama sekali. Mirip kisah fairy tale, namun jauh lebih romantis…

Tapi bukankah tak ada satu halpun yang abadi di dunia ini? Aku sayang pada James, tapi aku tak mau selamanya diperlakukan seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa. Aku tahu ia merupakan dewa penolongku di saat aku memerlukan bantuan di negeri yang waktu itu masih sungguh asing bagiku; tapi ia harus tahu kalau aku sudah berubah. Perbedaan usia 6 tahun seakan tak ada artinya dengan kedewasaanku yang terkadang malah melebihi kedewasaannya. Ia harus tahu kalau Andrea yang sekarang bukanlah Andrea yang dulu lagi…

Dalam hitungan detik semuanya lenyap begitu saja. Pertengkaran demi pertengkaran terus kami alami, sampai-sampai aku tak sanggup menghitungnya lagi karena seringnya. Suatu kali ia menamparku, dan aku tak bisa menerima hal itu. Aku seorang wanita. Aku tak terima diperlakukan seperti binatang. Saat itu juga aku langsung memutuskan hubunganku dengannya. Aku tak peduli walaupun ia merengek-rengek di bawah kakiku sampai seluruh wajahnya basah oleh air mata, keputusanku sudah bulat. Aku tak mungkin menarik kembali apa yang telah kukatakan. Aku hanya bisa mengatakan, “Good bye, James.”

Dan berakhirlah semuanya.

Jadi bukan salahku kalau tiba-tiba Vicky meneleponku dari Milan untuk memintaku mendampinginya pergi ke jamuan makan malam yang sungguh merepotkan itu, kan?

“Gue enggak bakal mau pake baju begituan!” bantahku sengit saat Vicky menunjukkan sebuah gaun ber-warna merah yang berpotongan ekstra mini. “Loe kira gue pereq, apa?!”

Vicky tertawa. “Kalo yang ini?” Ia mengobrak-abrik seluruh isi butik Giorgio Armani.

“Gimana kalo gue pilih sendiri gaunnya?” potongku tak sabar. “Selera loe tuh pereq abis.”

“Ye, gue kan cuma bercanda! Cuma mau bikin loe kesel doang.” katanya tanpa merasa bersalah sedikit-pun.

“Makasih, gue udah cukup kesel sekarang. Boleh gue pilih sendiri gaunnya? Thanks.” Aku melangkah keluar butik dan menyusuri pusat kota Milan yang ramai dan gemerlapan saat malam hari. Vicky mengejar-ku dari belakang.

“Die! Ya ampun… gue cuma bercanda!” serunya.

“Becanda loe gak lucu.” balasku sinis.

“Loe tuh kenapa sih?”

“Loe yang kenapa! Becanda jangan ampe keterlaluan gitu dong!”

“Die?” Ia tak mengerti. Di saat itulah air mataku jatuh membasahi pipiku. “Die, gue asli bingung! Loe kenapa sih?”

Aku menggeleng. “Nggak papa, lupain aja.” Kuseka butiran air mata yang keluar dari sudut-sudut mata-ku. Aku sendiri tak mengerti kenapa aku bisa begini. Tiba-tiba aku teringat akan James…

“Andrea…” Vicky menggamit lenganku. “Kalo elo punya masalah, ceritain aja.” Ia menatapku sungguh-sungguh.

Tangisku makin tak terkendali. Suara Vicky yang lembut menyebutkan namaku… persis seperti masa remaja kami dulu.

“Nggak… nggak ada apa-apa, Vic. Bener.” Kucoba menyembunyikan perasaanku yang galau bukan ma-in.

Vicky terdiam. “Die, gue bukan lagi remaja 17 taon yang masih bisa loe bohongin. Kalo semua masalah loe simpen sendiri, buat apa kita temenan?”

Aku tak mampu menjawab apa-apa. Aku tak tahan lagi. Aku rindu James… aku tak bisa hidup tanpa dia di sampingku, ya Tuhan… Aku masih mencintainya. Tapi aku tak mungkin membicarakan tentang James di depan Vicky!

“Die?” Ia tetap menunggu jawabanku.

Kutatap ia. Bisa kutangkap sebersit kekhawatiran di wajahnya. Ia memang selalu begitu. Ia selalu meng-khawatirkan diriku, selalu berada di sampingku, membantuku dalam semua masalah tanpa mengharapkan balasan apapun. Ia tahu semuanya akan berakhir, tapi ia tetap mencintaiku sampai saat-saat terakhir… kena-pa aku tak bisa mencintainya saja? Kenapa aku tetap bersikeras akan hubunganku dengan James sementara di hadapanku berdiri seorang pemuda yang jauh lebih baik dan lebih mengerti diriku dari semua orang yang kukenal di dunia ini? Aku memang sungguh tolol. Percuma saja aku lulus dari Royal Holloway dengan nilai setinggi itu kalau ternyata aku tak bisa mengatasi masalah sepele macam ini.

“Andie…”

Hatiku tersentuh saat Vicky menyebutkan panggilan sayang masa laluku itu. Ia memelukku erat dan membiarkan dadanya basah oleh air mataku yang terus mengalir.

“Udah dong, Andie… jangan nangis lagi. Vicky kan jadi bingung… berhenti nangis ya? Please…”

Dadaku seakan tercabik-cabik oleh pedang bermata dua. Kenapa ia harus bertindak sebegitu baiknya sedangkan yang bisa kulakukan hanya memanfaatkan kebaikannya?

Ya ampun… aku tak bisa terus-menerus begini. Aku tak mau terus hidup dalam bayang-bayang James. Aku harus memutuskan sesuatu. Aku harus keluar dari semua ini. Aku harus-- ah, aku tahu. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Tapi aku tak yakin akan diriku sendiri…

Lima menit berlalu sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk memanggil namanya, “…Vicky…” Suaraku sudah jauh lebih tenang sekarang.

“Hmm?”

“Vicky janji… jangan tinggalin Andie sendirian…” Kata-kataku menggantung. “Andie nggak mau kehi-langan Vicky lagi seperti waktu Andie pergi ke London…”

Vicky terdiam. Ia menatapku dengan heran, namun detik berikutnya ia tersenyum. “Iya, Vicky janji. Ta-pi Andie juga harus janji mau terus terang tentang masalah-masalah Andie sama Vicky, ya?”

Aku mengangguk. “Janji. Tapi Andie nggak bisa cerita sekarang…”

“Apapun yang terjadi, Vicky bersedia nunggu sampai Andie siap untuk nyeritain semuanya. OK?”

Aku mengangguk untuk kedua kalinya.

“Ya udah, sekarang Andie berhenti nangis. Vicky lebih suka ngeliat Andie senyum daripada nangis…”

Kutampakkan senyumku yang termanis, lalu dengan mata berkaca-kaca kubenamkan diriku dalam pelu-kannya.

Aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang… aku harus belajar mencintai Vicky.


...to be continued.



Home

(c)2000 AndreaHearn 1