[INDONESIA-VIEW] Kompas -- Soeharto Gunakan Pengacara Asing 

check@bimamail.com
Fri, 12 Jun 1998


Kompas Jumat, 12 Juni 1998

Soeharto Gunakan Jasa Pengacara Asing

Jakarta, Kompas

Jaksa Agung Soedjono Chanafiah Atmonegoro membenarkan, ia sudah dihubungi pengacara asing
yang diberi kuasa oleh Soeharto, mantan Presiden RI. Meski demikian, Jaksa Agung belum bersedia
mengungkapkan siapa pengacara dimaksud dan dalam rangka apa pengacara itu diberi kuasa.

Soedjono mengungkapkan hal itu, Kamis (11/6), di Jakarta usai menerima delegasi Senat Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sebelumnya, pers meminta penjelasan soal perkembangan
penyidikan harta kekayaan Soeharto dan keluarga serta pejabat negara lainnya.

Menjawab pers apakah benar Soeharto menggunakan jasa pengacara asing, Jaksa Agung langsung
mengiyakannya. "Benar, saya sudah dihubungi para pengacara asing itu. Maksudnya memanfaatkan
pengacara asing itu juga baik, yaitu untuk mencari keadilan dan mengungkap kebenaran," kata
Soedjono singkat.

Ditanya mengapa Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara tidak menjadi pengacara Soeharto,
Jaksa Agung melihat hal itu bukan hal yang tepat. "Kalau itu yang terjadi, itu akan konflik. Tidak bisa
begitu. Saya ini sebagai pengacara negara ialah mewakili negara. Siapa Pak Harto sekarang?" tanya
Jaksa Agung kepada wartawan.

Sebelumnya, Jaksa Agung menerima delegasi Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Delegasi yang dipimpin Koordinator Rifkqi Sjarief Assegaf itu mempertanyakan soal penyidikan harta
kekayaan pejabat serta konsep reformasi hukum yang ditawarkan Kejagung.

Di antara tuntutannya, mahasiswa meminta agar Kejagung mewujudkan kemandirian kekuasaan
kehakiman dan menegakkan hukum secara bersungguh-sunguh, menghapuskan praktek korupsi, kolusi
dan pelanggaran HAM dalam setiap proses peradilan, meningkatkan profesionalisme aparat penegak
hukum, dan menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya proses peradilan.

Pembelaan diri

Menteri Kehakiman Muladi secara terpisah mengatakan, bila yang bersangkutan merasa dirugikan,
Soeharto bisa saja melakukan pembelaan diri dengan mengajukan gugatan balik. "Sesuai asas
persamaan di muka hukum, kalau merasa dirugikan, boleh saja melakukan pembelaan diri. Itu harus
dihormati. Pengadilan yang nanti menentukan benar atau tidaknya," ucap Muladi.

Mantan Presiden Soeharto, kata Muladi lagi, boleh-boleh saja menunjuk pengacara asing untuk
membela kepentingannya. Tetapi diingatkannya, sesuai ketentuan hukum yang berlaku, pengacara asing
itu tak bisa beracara di pengadilan. Pengacara asing itu juga harus bekerja di law firm Indonesia,
kecuali bila cuma bertindak sebagai konsultan serta terkait dengan kepentingan perusahaan asing.

"Harus diingat, pengacara asing itu pun harus menaati ketentuan yang berlaku di Indonesia. Jika mau
beracara di pengadilan, ya pasti harus bekerja sama dengan pengacara Indonesia. Tidak bisa lain," ujar
Muladi.

Moerdiono diperiksa

Pada hari yang sama, sekitar pukul 08.45 WIB di Gedung Bundar Kompleks Kejaksaan Agung,
mantan Menteri Negara/ Sekretaris Negara (Mensesneg) Moerdiono dimintai keterangan berkaitan
kasus pembangunan Kondominium Otoritas Kemayoran. Ia diperiksa sebuah tim jaksa yang dipimpin
langsung Kepala Pusat Operasi Intelijen (Kapusopsin) Kejagung Sudibyo Saleh selama sekitar 2,5 jam.
Tim jaksa yang dipimpin Sudibyo beranggotakan Jusuf Sjamsoeddin, Budiman Rahardjo,
Widyopramono, Achmad Tahir, Anang Basuni, dan Erwin.

Moerdiono yang ketika itu duduk sebagai Ketua Badan Pelaksana Pengendalian Pembangunan
Kondominum Kota Baru Bandar Kemayoran (BP3K2) diperiksa sebagai saksi, dalam kaitan perkara
penggelapan penyertaan modal sebesar Rp 90,9 milyar yang dilakukan Dirut PT Duta Adi Putra (DAP)
Seno Margono alias Tjiong Tjek Seng, sebagai tersangka.

Pengambilalihan

Sementara Komisi Masyarakat untuk Penyelidikan Korupsi (Indonesian Corruption Watch) tentang
Pengambilalihan Harta Kekayaan Soeharto, Keluarga, dan Kroninya, kemarin di Kantor Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta menggelar jumpa pers tentang hal yang sama.
Mereka menekankan, tuntutan masyarakat untuk mengusut dan mengambil alih harta dan kekayaan
mantan Presiden Soeharto, keluarga, dan kroninya harus segera diwujudkan oleh pemerintahan
Presiden BJ Habibie. Tuntutan itu perlu menjadi gerakan moral, tambahnya, untuk membentuk
pemerintahan yang bersih.

Komisi tersebut terdiri dari Dewan Etik dengan nama-nama antara lain, Adi Andojo Soetjipto,
Bambang Widjojanto, Christianto Wibisono, Todung Mulya Lubis, Sonny Keraf, dan Daniel Dhakidae.
Sedangkan Dewan pekerja terdiri dari Teten Masduki, Robertus Robert, dan Radhar Tribaskoro.

Dalam pandangannya, komisi menyebutkan, perlunya pengusutan terhadap harta dan kekayaan yang
diindikasikan sebagai hasil dari praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) antara lain karena
adanya kesepakatan sosial bahwa struktur sosial politik pasca Soeharto adalah struktur reformasi yang
menentang praktek KKN.

Tekad untuk menghentikan KKN ini, lanjutnya, perlu dibuktikan dengan menghadapkan Soeharto ke
hadapan hukum dan minta harta dan kekayaannya dikembalikan kepada rakyat. Ketegasan sikap
politik ini juga perlu memiliki landasan hukum yang kuat. "Karena itu, MPR perlu mengadakan sidang
istimewa untuk menetapkan Tap MPR tentang pengambilalihan harta kekayaan Soeharto, keluarga, dan
kroninya."

Komisi berpandangan, ketegasan sikap ini diharapkan dapat memberikan jaminan terbentuknya
pemerintahan yang bersih (clean government), penataan masyarakat yang baik (good governance),
dan mengikis akar-akar yang membuat terjadinya biaya ekonomi tinggi (high cost economy). Untuk itu,
salah satu strategi yang dijalankan Komisi adalah mendorong gerakan anti-korupsi yang populis, yaitu
yang dapat diterima semua lapisan masyarakat, baik dari dari sudut pandangan moral, maupun kelas.
(tra/bb/bw/fan)

 


1