check@bimamail.com
Fri, 12 Jun 1998
Republika Jumat, 12 Juni 1998
Reformasi Indonesia di Mata Mahasiswa
Amerika
Alwi Shihab
Staf Pengajar
Hartford Seminary, USA
Pada kelas seminar ''Tradisi Islam'', tidak lama setelah penulis
memulai lecture, mahasiswa meminta agar kelas mendiskusikan
perkembangan terakhir di Indonesia. Sebabnya sangat sederhana.
Pertama, karena saya dari Indonesia, dan kedua, karena situasi
Indonesia begitu gencarnya diliput bukan saja oleh CNN, ABC,
NBC, tapi bahkan oleh hampir seluruh stasiun televisi lokal di AS.
Bukan hanya itu, sampai pada sekolah dasar Amerika, informasi
tentang perkembangan situasi Indonesia ikut diberikan.
Pada umumnya sumber informasi mereka adalah media Amerika.
Oleh karenanya tidak banyak yang mengetahui secara persis
sejarah modern Indonesia, apalagi latar belakang dari krisis yang
melanda Indonesia akhir-akhir ini. Dalam diskusi, banyak
pertanyaan yang dilontarkan yang mengundang analisis mendalam
walau ada juga pertanyaan-pertanyaan mendasar dan sepele yang
cenderung lucu.
Misalnya pertanyaan ''Mengapa begitu gencar liputan tentang
Indonesia sedang bangsa Amerika tidak terlalu banyak
berhubungan dengan negeri ini. Lain halnya RRC yang hasil
produksinya kita jumpai di mana-mana''. Seorang menjawab
bahwa Amerika sangat berkepentingan dengan stabilitas negeri ini
-- yang jumlah penduduknya mendekati jumlah penduduk
Amerika. Di samping itu kawasan ini (selat Malaka) dilalui
tanker-tanker yang mengangkut sebagian kebutuhan minyak
Amerika dari Timur Tengah. Tidak kalah menariknya, karena
Soeharto merupakan presiden paling lama berkuasa setelah Fidel
Castro. Ada juga yang nimbrung dan mengatakan bahwa
Indonesia kita kenal melalui suara-suara senator yang bersimpati
terhadap rakyat Timor Timur.
Sebagai moderator sekaligus narasumber dalam diskusi kelas
tingkat S2, penulis berada di posisi dilematis. Dari satu sisi, penulis
harus menunjukkan objektifitas dan kejujuran, namun di sisi lain
penulis tidak dapat melepaskan diri dari keterikatan emosional
kebangsaan yang sering terusik apabila diskusi mengarah kepada
pencemoohan atau penghujatan terhadap sekelompok bangsa
Indonesia. Penulis harus mengakui bahwa tidak sedikit pertanyaan
mereka yang sulit dijawab, tapi banyak pula yang harus tanggapi
secara serius.
Pada dasarnya para mahasiswa bersimpati terhadap perjuangan
bangsa Indonesia untuk melakukan reformasi total. Mereka
menyadari bahwa dalam suatu proses perjuangan, pengorbanan
merupakan syarat mutlak bagi tercapainya tujuan. Layaknya suatu
diskusi, pro dan kontra, pandangan ekstrim dan moderat, dan
ungkapan radikal dan akomodatif, mewarnai diskusi tentang sosok
Soeharto dan BJ Habibie.
Unsur positif tentang kearifan Soeharto dengan mengundurkan diri
tanpa membiarkan terjadinya pertumpahan darah banyak
dilontarkan di kelas. Hal ini diperkuat dengan membandingkan
pengunduran diri beberapa presiden dunia dengan didahului
pertumpahan darah dan kontak senjata. Contoh terakhir adalah
Mobutu yang juga berkuasa cukup lama.
Unsur negatifnya tidak sedikit yang dilontarkan, antara lain adalah
usahanya untuk berkuasa begitu lama walaupun rakyatnya sudah
enggan untuk menerimanya; membiarkan sekelilingnya
memperkaya diri secara mencolok yang mengakibatkan terjadinya
krisis ekonomi dahsyat.
Segi positif BJ Habibie adalah usahanya yang cepat menangkap
aspirasi masyarakat dengan membebaskan tahanan politik, berjanji
untuk mengadakan Pemilu, dan membersihkan pemerintahnya dari
bakteri KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di samping
melakukan pendekatan serta mendengar masukan tokoh
masyarakat dan agama untuk bersama-sama mengantar bangsa
ke era reformasi. BJ Habibie pun memberi contoh dalam
membersihkan dirinya dari bakteri tersebut.
Masih segi positif Habibie, adalah ia mengajak bangsa Indonesia
mengingat jasa-jasa Soeharto dan tidak hanya terpaku pada
kekeliruan-kekeliruannya. Namun tidak sedikit yang meragukan
kemampuan BJ Habibie untuk memimpin bangsa Indonesia,
mengulangi beberapa pendapat yang ditulis pengamat Amerika.
Memang demikian halnya apabila wapres menggantikan presiden.
Ia selalu dibayangi oleh kharisma bekas presiden, kata seorang
mahasiswa. Contohnya, wapres Anwar Sadat ketika
menggantikan Gamal Abdul Naser, bangsa Mesir dan dunia luar
meragukan kemampuannya. Namun ia ternyata berprestasi lebih
gemilang daripada Naser dengan memenangkan perang 1973
melawan Israel. Untuk itu, lanjut mahasiswa tadi, BJ Habibie pun
harus diberi waktu untuk menunjukkan prestasinya. Bahkan
Tuhan Yang Maha Kuasa sekalipun membutuhkan enam hari
untuk menciptakan alam semesta ini, lanjutnya.
Segi negatif BJ Habibie menurut sementara mahasiswa, antara
lain bahwa dalam menyusun kabinetnya ia masih menunjuk
menteri-menteri yang berbau KKN, yang mengundang protes
masyarakat. Bahkan seorang mahasiswa secara lantang bersuara:
''Bukankah BJ Habibie bersama beberapa menteri itu ikut
bertanggung jawab atas kebijaksanaan Soeharto selama ini?''
Nada akomodatif dan moderat lalu menyambung bahwa pada
masa Soeharto, mereka yang menentang kebijakannya pasti akan
dicopot. Hanya yang mengiyakan saja yang akan langgeng pada
posisinya. Contoh soal, Mar'ie dan Soedradjad Djiwandono.
Perlu digarisbawahi bahwa pada umumnya mahasiswa merasa
khawatir akan masa depan Indonesia yang mereka anggap akan
menampakkan corak ''Fundamentalisme Islam'', apabila pengaruh
BJ Habibie dan tokoh-tokoh reformasi semacam Amien Rais dan
Nurcholish Madjid melaju tanpa dibendung. Bukankah BJ Habibie
pernah menjadi ketua Umum ICMI -- yang dikenal secara luas
sebagai muslim yang menjalankan ritual agama secara konsisten?
Atau Amien Rais adalah pencipta kader-kader muslim yang
mendalami gerakan puritan Ichwanul Muslimin? Atau
bukankah Nurcholish Madjid pendidik umat dengan
pandangan-pandangan jernihnya? Tidakkah ketiga tokoh
ini seirama untuk memperjuangkan agar Indonesia lebih
bercorak Islam?
Kekhawatiran ini disebabkan karena mahasiswa Amerika
masih sulit melepaskan diri dari persepsi keliru terhadap
Islam -- yang selama ini terbentuk dalam benaknya. Islam
diidentikkan dengan kekerasan dan intoleransi. Hal yang
menambah kukuhnya persepsi keliru ini karena ia terkadang
diperkuat oleh segelintir bangsa kita sendiri, baik muslim
atau nonmuslim, yang kurang mendalami esensi Islam.
Menanggapi kekhawatiran ini, saya berusaha menjelaskan
bahwa pada dasarnya nilai-nilai universal Islam yang
diperjuangkan tokoh-tokoh di atas justru sejalan dengan
nilai-nilai agama besar lainnya. Gerakan ''Liberation
Theology'' Kristen, misalnya, banyak persamaannya dengan
gerakan reformasi Indonesia. Untuk itu, merupakan suatu
kekeliruan nyata, bila menunjuk nama-nama di atas sebagai
''Muslim Fundamentalis'' dalam pengertian bahasa jurnalistik
Barat.
Apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh reformasi dengan
memberdayakan hak tiap individu untuk bersuara,
melakukan kritik sosial, adalah ciri utama seorang mukmin.
Alquran menempatkan pada peringkat pertama atribut
seorang mukmin pada sikapnya dalam menyuarakan serta
mengajak kepada yang benar dan menghindarkan yang
batil, pada peringkat berikutnya baru diberikan pada
mereka yang menjalankan ritual agama (Q:9-71).
Islam yang juga dikenal sebagai agama keadilan dan agama
moderat sama sekali tidak mentolerir sikap intoleransi
apalagi penganiayaan terhadap hak pihak lain. ''Jangan
karena kebencianmu terhadap kelompok lain atau kebencian
kelompok lain padamu mengantarmu untuk berlaku tidak
adil pada mereka, berlaku adillah karena hal tersebut,
adalah jalan terdekat kepada ketaqwaan'' demikian Alquran
(5:8).
Olehnya, untuk menunjukkan nilai-nilai Islam ini hendaknya
kita harus dapat menahan diri, jangan sampai berlaku tidak
adil terhadap siapa pun -- terlepas dari latar belakang suku,
ras, atau agama -- atas nama reformasi. Hendaknya kita
mawas diri bahwa tindakan balas dendam dengan dalih
reformasi jauh dari anjuran agama. Demikian pula
penggunaan kata-kata yang buruk terhadap yang bersalah
sekalipun, harus kita hindari.
Kita harus belajar dari sejarah Nabi Muhammad SAW saat
meraih kemenangan di Mekkah. Beliau mengampuni yang
mengakui kesalahannya, sambil mengembalikan hak mereka
yang telah dirampas. Namun agar tidak terulang sejarah
pahit umat Islam pasca generasi formatif Islam, mereka yang
dimaafkan ini harus tetap diwaspadai agar tidak diberi
kesempatan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai
non-Islam yang masih tertanam dalam jiwanya. Dalam
konteks Indonesia, kita pun harus mewaspadai mereka yang
meneriakkan reformasi -- yang justru tadinya ikut
mengukuhkan status quo. Apa yang kita lakukan atas nama
reformasi sekarang ini diteropong oleh bangsa lain. Jangan
sampai keindahan dan keluhuran nilai budaya bangsa kita
tercemar karena emosi yang meluap dari sekelompok bangsa
kita dalam memperjuangkan reformasi. Bersikap tegas
terhadap kebatilan tidak harus dibarengi dengan makian.
Untuk itu salah satu tugas tokoh-tokoh reformasi dalam
memperjuangkan aspirasi masyarakat adalah meluruskan
yang keliru, menanamkan kembali nilai-nilai moral agama,
dalam kehidupan sosial, ekonomi politik, serta hendaknya
mereka bersama-sama berupaya memelihara wajah baik
bangsa kita yang selama ini dikenal sebagai bangsa toleran
dan santun. Apabila mereka berhasil, paling tidak, persepsi
keliru mahasiswa Amerika terhadap Islam serta
kekhawatiran tumbuhnya ''Fundamentalisme Islam'' di
Indonesia dapat diluruskan. Karena betapun kita berdalih,
bangsa lain akan tetap mengaitkan nilai Islam dengan
perilaku bangsa kita yang secara mayoritas memeluk Islam.