Republika, Senin 8 Januari 1998
Kwik: Selama ini Kami Tertekan
JAKARTA -- Intelektual dan Ketua Lembaga Studi
Antar-Agama 'Interfidei', Dr Th Sumartana, menilai penegasan
Presiden BJ Habibie ihwal keberadaan ethis Cina di Indonesia
merupakan permulaan yang menjanjikan. ''Kita menjadi lebih
optimis, karena Habibie menyodorkan perspektif baru (tentang
etnis Cina) dibanding pemerintahan sebelumnya,'' kata
Sumartana di Yogyakarta, kemarin. Penegasan Habibie yang
dimaksud Sumartana adalah mengenai tidak adanya diskriminasi
maupun larangan terhadap etnis Cina untuk menjadi pegawai
negeri. ''Di dalam ABRI juga ada keturuan Cina,'' ujar Habibie
dalam dialog dengan pimpinan media massa di Wisma Negara,
Jakarta, Sabtu lalu (6/6). Pernyataan Habibie itu dikuatkan
Menpen Yunus Yosfiah dalam forum tersebut. Pakar ekonomi
Kwik Kian Gie juga berpendapat sama. Ia menilai pernyataan
Habibie soal etnis Cina itu cukup menyenangkan. ''Pernyataan
itu bagus dan saya senang sekali karena selama ini kami
kelompok yang tertekan,'' ujar Kepala Litbang DPP PDI Munas
Jakarta ini, di Jakarta, kemarin. Dalam pandangan Sumartana,
baru kali pertama masalah etnis Cina dibicarakan secara terbuka
oleh Kepala Negara. Selama ini, menurut intelektual Kristen ini,
pembicaraan mengenai etnis Cina selalu dibayang-bayangi tabu
nasional bernama SARA. ''Apa yang dipaparkan Habibie,
memberikan perspektif baru yang mengatasi masalah SARA,''
tandasnya. Bagaimana pun, lanjut Sumartana, etnis keturunan
Cina sudah menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia.
Namun, tidak bisa dipungkiri, menurutnya, kalangan WNI ini
secara riil banyak menghadapi hambatan politis untuk berkiprah
secara lebih luas. ''Penegasan Pak Habibie tentang etnis Cina
merupakan awal yang positif, dalam memahami problema etnis
Cina di tengah etnis-etnis lainnya di Indonesia,'' ujarnya.
Penegasan Presiden itu juga memberikan basis bagi
hubungan-hubungan yang tertutup antara etnis Cina dan etnis
lainnya. ''Ini karena kita selalu ditakut-takui oleh tabu nasional
yang dinamakan SARA,'' jelasnya. Padahal, lanjutnya, secara
nasional sebetulnya masyarakat Indonesia siap menerima realitas
multietnik, termasuk di dalamnya etnis keturuan Cina. Hanya
saja, lanjut Sumartana, selama ini banyak prasangka akibat
ketertutupan yang bersandar pada ancaman SARA. Jika
dibiarkan, kondisi tersebut sangat potensial menimbulkan
keretakan dan perpecahan di masyarakat. Itulah sebabnya,
menurutnya, sikap Presiden mengenai etnis Cina yang
dikemukakan secara terbuka, sebagai terobosan yang
menyegarkan. ''Bukan saja bagi kalangan etnis Cina, tetapi bagi
kita semua, sebagai elemen bangsa,'' katanya. Ia menambahkan
bahwa komitmen Habibie itu perlu diteruskan dengan langkah
konkret. Antara lain, harus ada keputusan yang menjebol
tabu-tabu nasional yang berkedok SARA. Kemudian, memberi
tempat yang konkret dan seluas-luasnya bagi seluruh etnis, tak
terkecuali etnis Cina, untuk berkiprah dalam berbagai profesi
sesuai kemampuan mereka. ''Bisa dalam bidang keilmuan,
budaya, bahkan militer. Bukan sebatas dunia bisnis,'' jelasnya.
Seiring dengan itu, Sumartana meminta etnis Cina juga harus
memperbarui sikap dan perilakunya. ''Selama ini, ada sebagian
etnis ini yang tampak sangat eksklusif, memiliki ikatan tertutup
dengan komunitas sendiri, sangat komunal. Ke depan, tidak
boleh lagi ada eksklusifisme semacam itu,'' tandasnya. Dalam
kaitan ini, Sumartana menilai langkah pembentukan partai baru
bagi etnis Cina, merupakan konsekuensi logis dari perbaikan
perspektif terhadap etnis tersebut. Tetapi, keberadaan partai
baru Cina itu, kata Ketua Interfidei, harus tetap diserahkan
kepada dinamika masyarakat itu sendiri. ''Kalau
kelompok-kelompok politis menghendaki adanya partai Cina,
harus diterima sebagai bagian dari dinamika demokrasi,''
ujarnya. Sumartana juga menyatakan tidak setuju dengan istilah
pribumi dan nonpribumi. Penyebutan nonpri, menurutnya,
mengandung nuansa diskriminatif. ''Lebih baik disebut etnis Cina,
sebagaimana juga etnis Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Irian,''
tukasnya. @Ding:n