Panjimas, Edisi 64
Panggung Sandiwara: Ada yang bilang kehidupan di dunia ini
adalah panggung sandiwara. Situasi yang tersumbat memerlukan
saluran. Bentuknya adalah lelucon atawa anekdot yang
bertaburan pada hari-hari terakhir Orde Baru.
Pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Bung Karno muncul
banyak lelucon atawa anekdot atau jokes atawa humor di
tengah masyarakat. Berbagai hal diplesetkan. Ada
laporan-laporan Asal Bapak Senang (ABS) bahkan meningkat
sampai pengkultusan. Menyusul kemudian berbagai
kebobrokan, misalnya tentang korupsi, bahkan sampai tentang
seksualitas. Yang jadi objek lelucon adalah pusat kekuasaan itu
sendiri dan sekitarnya. Tidak lama kemudian Bung Karno jatuh.
Hal yang sama kemudian juga berlangsung pada tahun
1997-1998. Tidak tahu apa hubungannya, ketika beberapa
waktu yang lalu bertebaran lelucon tentang tokoh-tokoh Orba,
orang menduga satu hal. Jangan-jangan pemerintahan Pak
Harto akan jatuh. Jangan-jangan Pak Harto ada yang memaksa
hingga lengser keprabon. Akhirnya "jangan-jangan" itu menjadi
kenyataan.
Ada yang mengatakan itu gejala biasa. Ada pengulangan
sejarah. Dulu, sebelum Bung Karno jatuh harga bensin juga
naik, tarif angkutan juga naik, dan barang-barang kebutuhan
pokok sulit dicari. Wajar-wajar saja.
Boleh saja itu dianggap wajar. Namun, orang lain
menganggapnya tidak wajar. Harga bensin yang tiba-tiba naik,
tidaklah wajar. Demikian juga tentang lelucon. Lawakan atau
lelucon biasanya ada di panggung tontotan atau di layar televisi.
Tiba-tiba bahan lawakan tersebar banyak di tengah masyarakat
yang kemudian dikembangkan lagi kepada banyak orang. Ada
apa gerangan?
Adanya lelucon atau jokes di tengah masyarakat, benar
bukanlah sekadar pengulangan sejarah. Di sana ada perhatian
yang serius dan kritis dari masyarakat terhadap kekuasaan.
Karena tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya, dibuatlah
berbagai lelucon. Cara penyebarannya yang paling mudah
adalah dari mulut ke mulut dalam perjumpaan tatap muka. Ini
adalah cara berkomunikasi sederhana dan yang paling mudah.
Banyak yang mengatakan, dengan tertawa himpitan bisa
dilepaskan. Masyarakat yang sedang sakit agak merasa ringan
badan bila tertawa. Dalam kasus yang demikian, tertawa
berfungsi sebagai katarsis, yaitu saluran agar bendungan tidak
jebol. Segala macam yang ditabukan dibuat cair dalam bentuk
lelucon.
Berikut ini ada contoh humor yang mengeritik pusat kekuasaan
dengan program pengentasan kemiskinannya (mestinya yang
dientaskan adalah orang yang diangkat dari comberan
kemiskinan). Tersebutlah tiga kepala negara sedang
menghadap malaikat. Kepada ketiganya malaikat bilang
bahwa hari Jumat depan akan kiamat. Kabar tersebut
harus disampaikan kepada seluruh rakyat secepatnya.
Kepala negara A berpidato kepada rakyatnya bahwa ada
satu kabar buruk dan satu kabar baik. Kabar buruknya
adalah Jumat akan kiamat. Kabar baiknya, ternyata
memang benar Tuhan itu ada. Kepala negara komunis
berpidato bahwa ada dua kabar buruk. Keduanya adalah
akan ada kiamat dan ternyata Tuhan ada. Kepala negara
berikutnya pidato lewat TVRI, dengan optimistis bilang
bahwa ada dua kabar baik. Keduanya adalah hari Jumat
akan kiamat, dan itu berarti jutaan rakyat yang miskin
tidak akan ada lagi.
Menurut istilah psikologi yang dikutip Prof. Dr. Sarlito
Wirawan, katarsis semacam itu dikenal sebagai teori sublimasi.
Rakyat sebelum ini tidak mempunyai saluran untuk
menyampaikan aspirasinya dengan leluasa. Mereka bikin
saluran sendiri. Segala sesuatu yang terasa dilarang atau tabu,
ditekan ke alam bawah sadar. Anekdot politik itu begitu juga.
Orang tak punya saluran bicara, padahal ingin membicarakan
penguasa.
Dedi Gumelar alias Miing dari grup humoris Bagito menyebut
hal itu sebagai katup pengaman sosial politik. Karena bernama
katup, maka bisa dibuka dan ditutup. Manakala suasana sosial
politik sesak, katup perlu dibuka. Jika keadaan sebaliknya,
biarkan katup tertutup.
Tentang objek lawakan, Miing membaginya ke dalam tiga
tingkat. Tingkat pertama, kita menertawakan orang lain.
Tingkat kedua, sebaiknya kita bisa menertawakan keadaan.
Tingkat ketiga, sebaiknya kita bisa menertawakan diri sendiri.
Akan halnya anekdot atau lawakan masa kini barulah pada
tingkat mampu menertawakan orang lain.
Meski baru pada tingkat itu, Miing berpesan agar dalam
menyampaikan anekdot atau lawakan jangan mengandung
dendam. Sebaiknya penyampaiannya tidak vulgar, apalagi sinis.
Akibatnya, jika tidak ada jalan keluar berbentuk anekdot,
lelucon atau jokes, masyarakat bisa jadi lebih sakit. Tekanan
yang menumpuk bisa meledak, yang bentuknya bisa
macam-macam. Kalau memang kemampuannya masih rendah,
apa salahnya hanya mampu menertawakan orang lain?
Apa boleh buat, tidak apalah kalau begitu. Karena itu, jangan
terlalu mengerutkan dahi menghadapi kehidupan yang makin
menghimpit. Sesekali mengapa kita tidak tertawa bersama.
Tersebutlah suatu ketika seorang tokoh Indonesia (sebut
saja si A) bertamu ke Singapura. Lee Kuan Yew
menerimanya dengan sukacita. Dengan jenaka negarawan
negara-kota ini mengeluarkan tebakan kepada tamunya.
‘’Kalau Anda tiga bersaudara, siapakah yang tidak
dipanggil abang dan tidak dipanggil adik?’’ Tokoh A,
setelah diam beberapa waktu, dengan sopan tersenyum
sambil mengangkat bahu. Lee Kuan Yew lalu memanggil
Goh Choh Tong. Kepadanya diajukan pertanyaan yang
sama. Goh Choh Tong menjawab, ‘’Itu adalah saya.’’
Begitu tiba di Jakarta, tokoh A lalu menemui kenalannya,
tokoh juga (sebut saja B). Diceritakannya tebakan dari
Singapura tersebut. Kepadanya juga ditanyakan,
‘’Siapakah dari tiga bersaudara Anda yang tidak dipanggil
kakak atau adik?’’ Si B tidak menjawab, tapi dipanggilnya
seorang dirjennya, Subrata namanya. Pertanyaan tebakan
tamunya diajukan kepada Subrata. Subrata dengan
tangkas menjawab, ‘’Sayalah itu.’’
Si B mengutip jawaban Subrata, ‘’Jawabnya ialah
Subrata.’’ Tokoh A menyela, ‘’Salah! Jawaban yang benar
ialah Goh Choh Tong!’’
Menertawakan orang lain sangatlah mudah, sebab
menertawakan diri sendiri selain sulit juga memerlukan
perenungan. Mungkin jenis lawakan pantomim atau Mr. Bean
ada bagian yang menertawakan diri sendiri. Khalayak akan
mengalami kesulitan dalam menangkapnya, setidak-tidaknya
akan diperlukan waktu beberapa saat untuk mencernanya.
Beberapa waktu yang lalu ada lomba prangko
internasional. Kali ini yang dilombakan bukan usia
prangko atau gambarnya yang bagus, tapi daya rekatnya.
Inilah lomba yang paling aneh. Prangko dari berbagai
negeri diikutkan dengan kualitas bahan perekatnya yang
luar biasa. Sekali bagian belakang prangko dijilat dan
ditempelkan, sulit untuk dibuka kembali. Cocoklah
perumpamaan dua sejoli yang mesra sebagai lengket
seperti prangko. Prangko Indonesia yang diikutsertakan
adalah prangko Orba. Petugas Indonesia dalam lomba itu
tidak berhasil menempelkan prangkonya, meski sudah
menjilatinya berkali-kali. Panitia pusing tujuh keliling.
Setelah diperiksa dengan cermat diketahui bahwa yang
dijilat bukan bagian belakang prangko tapi bagian
depannya!
Tertawa dalam kesulitan adalah sebuah kebahagian, meski
sesaat. Dalam situasi yang demikian, tertawa hampir sama
mahalnya dengan harga sembako. Ada yang mengatakan,
dengan tertawa kita menjadi lebih sehat. Tertawa adalah tanda
kita masih hidup. Karenanya, jangan disebabkan oleh tertawa
lalu kita mati. Masyarakat tidak boleh mati karena tertawa,
apalagi menertawakan Orba. Tidak benar juga manakala kita
terus-menerus tertawa sebab akan sulit dibedakan antara kita
dan penghuni rumah sakit jiwa.