Kompas
Putra-Putri Soeharto Belum
Mundur dari MPR
Jakarta, Kompas
Pimpinan DPR/MPR belum menerima pernyataan pengunduran diri
putra-putri mantan Presiden Soeharto dari keanggotaan MPR. Menurut
Sekjen DPR/MPR Afif Ma'roef, sejauh ini telah 30 orang yang menyatakan
mengundurkan diri dari keanggotaan di DPR/MPR.
"Yang terakhir kami terima pengunduran diri Ny Oetari Hartono. Kalau
yang saudara tanyakan, sampai saat ini kami belum menerimanya," tutur
Afif
di Jakarta, Senin (8/6). Hal itu dikemukakan menanggapi pertanyaan
wartawan mengenai pengunduran diri putra-putri mantan Presiden Soeharto
dari keanggotaan MPR.
Anggota keluarga Soeharto yang menjadi anggota MPR adalah Siti
Hardiyanti Rukmana, Bambang Trihatmodjo, Hutomo Mandala Putra, Siti
Hediati Prabowo, Halimah Bambang Trihatmodjo, Prabowo Subianto, dan
Probosutedjo.
Sementara Wakil Ketua MPR Poedjono Pranyoto mengimbau agar anggota
MPR yang terkait dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
seyogianya mengundurkan diri. "Kita tidak bisa memaksa, tapi ini soal
tanggung jawab moral. Kalau merasa terkena KKN hendaknya mundur,"
tegasnya dalam jumpa pers di Gedung DPR/ MPR, Senin.
Dari 30 anggota yang mengundurkan diri, tidak satu pun yang menjadi
anggota Badan Pekerja (BP) MPR. Padahal, menurut Poedjono, materi
yang dibahas dalam Sidang Istimewa MPR disiapkan oleh BP MPR.
Anggota BP MPR terdiri 45 anggota tetap, dan 45 anggota pengganti. Di
jajaran anggota tetap BP MPR, antara lain terdapat Ny Siti Hardiyanti
Rukmana, Bambang Trihatmodjo Soeharto, R Hartono, Subiakto
Tjakrawerdaya, dan Abdul Latief.
Empat alternatif SI
Menurut Poedjono, seluruh pimpinan fraksi di MPR sepakat untuk
mengadakan Sidang Istimewa (SI) MPR, dan mempercepat pelaksanaan
Pemilu. Namun, untuk teknisnya, rapat konsultasi pimpinan MPR dengan
pimpinan fraksi di MPR tanggal 5 Juni 1998 menyodorkan empat alternatif,
yang dapat dijadikan landasan untuk menyelenggarakan SI MPR.
Alternatif pertama, pimpinan MPR dan fraksi di MPR menyepakati
pelaksanaan SI MPR. Atas dasar ini, pimpinan MPR mengundang anggota
MPR untuk melaksanakan SI. Alternatif kedua, pimpinan MPR
mengundang BP MPR untuk mengadakan rapat guna memutuskan perlunya
SI MPR. Selanjutnya, sesuai hasil rapat BP MPR, pimpinan MPR
mengundang anggota untuk mengadakan SI.
Alternatif ketiga, lanjut Poedjono, pimpinan MPR mengadakan rapat untuk
memutuskan perlunya SI, selanjutnya pimpinan mengundang anggota untuk
mengadakan SI. Pilihan keempat, Rapat Paripurna DPR menyetujui
kesepakatan antara pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi-fraksi di DPR
untuk melaksanakan Pemilu yang dipercepat, dan diadakannya SI untuk
mencabut Tap MPR yang berkaitan dengan Pemilu. Atas dasar ini pimpinan
MPR mengundang anggota untuk melaksanakan SI MPR.
"Dalam konsultasi, pimpinan fraksi cenderung memilih alternatif keempat.
Tapi ini masih harus dikonsultasikan dengan induk organisasi masing-masing.
Forum konsultasi akan dilanjutkan minggu keempat bulan ini," ungkap
Wakil
Ketua MPR Poedjono Pranyoto.
Empat alternatif tersebut ditawarkan, sebab SI MPR untuk mencabut
Ketetapan MPR tidak diatur secara eksplisit baik dalam UUD '45 maupun
Ketetapan MPR. Jenis SI MPR yang diatur oleh UUD 45 dan Ketetapan
MPR, menurut Poedjono, adalah bila DPR menganggap presiden melanggar
haluan negara, memilih presiden dan wakil presiden karena presiden
dan
wapres berhalangan tetap, atau memilih wapres atas permintaan presiden
atau DPR. "Tapi untuk mencabut Ketetapan MPR tidak diatur secara
eksplisit," tutur Poedjono.
Menjawab pertanyaan wartawan, apakah SI MPR yang direncanakan itu
tidak diagendakan untuk mencabut Tap MPR tentang Pengangkatan
Presiden/ Mandataris, Poedjono mengatakan, "Tidak. Acara SI MPR hanya
untuk membahas soal Pemilu dan Tap-Tap yang berhubungan dengan
Pemilu." (ely)