Tempo Interaktif: http://www.tempo.co.id
Tuntutan Referendum
di Timor-Timur:
dari Kerikil Menjadi
Batu Besar
Referendum kembali
dicuatkan kelompok anti integrasi di Timtim. Teror
melanda, ribuan pendatang
mengungsi. Benarkah itu ulah kelompok
bentukan ABRI? Mengapa
RI begitu berkeras mempertahankan Timtim.
Bagi Menlu RI Ali Alatas,
soal Timor-Timur (Timtim) bagaikan kerikil di
dalam sepatu. Kecil
tapi mengganggu. Itu dulu. Ketika Timtim hanya
dimasukkan PBB sebagai
agenda di sebuah komisi yang tidak penting. Tapi
belakangan, kerikil
itu sudah jadi batu besar yang akan menjadi sandungan
bagi RI. Gelombang
demonstrasi menuntut referendum untuk propinsi ke-27
Indonesia itu makin
marak, terutama sejak akhir Juni lalu ketika delegasi
Dewan Uni Eropa berkunjung
ke Dili. Dan tuntutan referendum kembali
menguat.
Aksi oleh kelompok
pro-referendum ini makin marak mendekati hari
peringatan integrasi
Timtim ke dalam wilayah RI pada 17 Juli 1998 ini. Aksi
itu makin ramai ketika
muncul demonstrasi tandingan dari kelompok yang
pro-integrasi. Ramai
beredar isu di Dili bahwa akan ada gelombang
demonstrasi dahsyat
pada hari itu -- kendati ternyata demo itu tak jadi
berlangsung. Dikabarkan
sejumlah kapal perang RI disiagakan di perairan
Timtim. Seperti dilaporkan
reporter TEMPO Interaktif Purwani D. Prabandari
dari Dili, "Suasana
malam ini (Jum'at 17 Juli 1998) sangat sepi. Kota ini
terasa kosong." (Lihat:
Sepi, Peringatan HUT Integrasi Timor-Timur)
Dili memang terasa
lengang. Sampai akhir pekan ini ditaksir sudah 50 ribu
orang penduduk pendatang
meninggalkan Timtim. Kota Atambua, yang
letaknya di perbatasan
Timtim dengan Nusa Tenggara Timur, masih
dipenuhi kaum pendatang
yang ingin segera mengungsi ke luar Timtim.
Rupanya, demo diikuti
juga oleh aksi teror terhadap penduduk pendatang --
umumnya orang Sulawesi
Selatan, NTT dan lainnya.
Kaum pendatang ini
dianggap mendukung kelompok pro-integrasi Timtim.
Ada juga kecemburuan
sosial terhadap sukses bisnis kalangan pendatang ini
(lihat: Pegawai Negeri
pun Bayar Iuran untuk Perlawanan). Maka, sebulan
belakangan ini, aksi
teror meningkat tajam. Kabarnya ada serangan "ninja"
yang bertopeng terhadap
mereka yang anti-integrasi. Sebaliknya, kelompok
anti-integrasi dianggap
menyerang kelompok pendatang. Para pendatang
dicegat di jalan,
ditanya dalam bahasa Tetum, jika tak menjawab maka
"bogem mentah" akan
bicara. Rumah-rumah pendatang juga dilempari batu
di malam hari. Gelombang
eksodus pun tak tertahankan. Para pendatang ini
meninggalkan begitu
saja rumah-rumah mereka di Timtim. Harta benda
yang ada mereka jual
dengan harga murah.
Siapa pelaku teror
ini? Tak jelas juga. Uskup Ximenes Belo menjelaskan
kepada Edy Budiyarso
dari TEMPO Interaktif bahwa ia mendengar banyak
versi soal teror dan
gelombang pengungsi itu. Pertama, menyebutkan
bahwa ABRI sendiri
yang melakukan teror. Versi kedua, menyebut pelakunya
adalah pemuda Timor-Timor
yang bertopeng. Ketiga, menyebutkan mereka
pulang ke daerah asal
karena ekonomi mulai turun dan tidak adanya
pasokan barang-barang
dagangan. Versi terakhir, dari Komandan Korem di
sana, yang menyebutkan
bahwa karena hari libur maka 50 ribu orang pulang
ke daerah asal untuk
liburan (lihat: Referendum Harus oleh Badan
Internasional).
Hodu Ran Kadalak, representasi
CNRT (Dewan Nasional Perlawanan Timor)
yang tengah berseminar
di Jakarta, menunjuk bahwa aksi itu didorong oleh
oknum ABRI yang memberi
senjata untuk kelompok yang dinamakan
Gardapaksi. Kelompok
itu adalah bentukan satuan tugas intelejen militer di
Dili. "Mereka yang
bikin ninja-ninja itu. Mereka bikin kekacauan di kota Dili
untuk menunjukkan
kepada dunia luar atau kepada Indonesia sendiri bahwa
di sana sedang ada
kontroversi antara yang pro dengan yang anti," kata
lelaki berusia 40
tahun yang pernah 17 tahun bergerilya di hutan (lihat: Kita
Tidak Setuju dengan
Otonomi Khusus).
Kadalak ingin menunjukkan
bukti. Ia mencontohkan saat dubes-dubes Uni
Eropa datang di Dili
pada 26-27 Juni lalu. Ketika itu ada 200 ribu orang
turun ke jalan menuntut
referendum, tapi kerusuhan tak terjadi. Tidak ada
yang dibunuh, tidak
ada yang dibakar. Semuanya berjalan tertib. Jika kini di
Timtim berlangsung
teror, kata Kadalak, itu ulah Gardapaksi bikinan militer
Indonesia tadi.
Hodu mengatakan bahwa
referendum adalah hal yang mutlak bagi
pihaknya. Otonomi
khusus yang ditawarkan pihak Deplu RI menurutnya
hanya membunuh hak
masyarakat Timtim untuk menentukan nasibnya
sendiri. Selama 32
tahun, kata Hodu, kelompoknya berjuang untuk
memperoleh suatu kesempatan,
hak untuk menentukan nasib sendiri melalui
suatu referendum.
Ia menunjuk adanya 250 ribu orang yang mati di Timtim
untuk tujuan itu.
"Maka tidak mungkin kami melupakan begitu saja
pengorbanan rakyat
Timtim dan menerima suatu otonomi khusus, apakah itu
lebih luas atau kurang
luas. Kami tidak akan bisa menerima otonomi seperti
itu karena tidak akan
menyelesaikan masalah Timtim," tegasnya.
Bagi Uskup Belo, yang
baru bertemu Ketua Umum NU Gus Dur di Jakarta,
referendum adalah
jalan terbaik. Dan pemungutan suara itu haruslah
didasarkan kesepakatan
antara Indonesia, Portugal dan PBB. Di mata Belo,
referendum haruslah
dilakukan oleh badan internasional yang mapan,
misalnya PBB.
Pemimpin pergerakan
Timtim merdeka, Xanana Gusmao yang sudah
mendekam enam tahun
di penjara di Jakarta mengatakan bahwa tak akan
pernah ada solusi
bagi masalah Timor-Timur tanpa referendum. "Kalau itu
tak dilaksanakan,
situasi seperti saat ini akan terus berlanjut seperti yang
pernah terjadi di
Palestina," katanya dalam wawancara dengan Majalah
TIME edisi 13 Juli
1998. Menurutnya, otonomi bisa diusulkan, tapi yang
pertama diperlukan
adalah referendum (lihat: Saya Merasa Sangat Optimis).
Sementara itu, bekas
gubernur Timtim Manuel Viegas Carrascalao
menangkap "isyarat
bahaya" jika referendum dilaksanakan
sekarang-sekarang
ini. "Kalau pemerintah Indonesia berani menantang
untuk melakukan referendum
di Timor-Timur, bagi saya itu adalah tindakan
bunuh diri," tegas
anggota DPA-RI itu. Kata bekas Dubes RI di Norwegia ini,
mayoritas rakyat Timor-Timur
yang dulunya mengambang antara
pro-integrasi atau
anti-integrasi sekarang kebanyakan berpindah ke kelompok
anti-integrasi.
Mengapa? Banyak hal
salah yang dilakukan pemerintah setempat, terutama
pihak militer. Antara
lain kerasnya perlakuan militer pada penduduk
setempat. Soal lain,
Carrascalao menunjuk keharusan memberikan jaminan
untuk orang Timtim
yang meminta kredit bank. Padahal pemerintah tahu
bahwa pada awal integrasi,
ekonomi Timor-Timur itu mulai dari nol lagi,
dan Indonesia sudah
berada pada Pelita ketiga. Uang Portugal yang
tadinya dipakai dihilangkan
semua dan tanah-tanah disertifikat ulang. "Dari
mana rakyat Timor-Timur
memiliki barang jaminan, kalau mereka tidak
punya uang dan tanah
mereka belum disertifikat. Orang-orang Timor-Timur
menganggap hal ini
sebagai suatu tindakan diskriminasi terhadap mereka,"
katanya tegas.
Carrascalao juga membongkar
adanya proyek-proyek yang jatuh kepada
pengusaha tertentu.
Ketika ia menjabat gubernur, putra daerah kebagian
proyek sesuai dengan
kemampuan perusahaannya, tapi aturan itu kini tak
jalan. "Akibatnya
proyek di Timtim dikuasai orang-orang itu saja," katanya.
Ini memicu kemarahan
rakyat Timtim. Itulah yang memicu keributan
terus-menerus.
Lalu sikap RI? Nugroho
Wisnumurti, bekas perwakilan tetap RI di PBB,
mengatakan bahwa referendum
tak mungkin diberlakukan di Timtim.
Karena, integrasi
dianggap sudah final. Karena itu, semua keributan dan
pengungsian ke luar
Timtim harus dipandang sebagai urusan dalam negeri.
Sebuah sikap yang
tak berubah dari pihak pemerintah RI (lihat: Xanana
Gusmao Bisa Menjadi
Gubernur).
Dengan sikap "keras"
itu, agaknya urusan Timtim terus menerus akan timbul
-- seperti penyakit
ayan yang sesekali datang. Tampaknya jelas, RI
menganggap jika referendum
dilakukan di Timtim, bukan tak mungkin
gerakan separatis
akan kembali marak dan mengancam negara kesatuan RI.
Tapi gerakan pro-referendum
kian hari juga kian kuat di Timtim. Dan, jika
Menlu Alatas selama
ini menganggap urusan Timtim ini seperti "kerikil
dalam sepatu", bisa
jadi kelak akan berubah menjadi "batu besar yang
menghadang di jalan".
TH, Wens, PDP, EB, MIS