Wahai Dawud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu (penguasa) dimuka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

 

 

PEMIMPIN

Oleh: Prof Dr Nurkholis Madjid

Subhanallah, Alhgamdulillah, Allahu Akbar.

angsa Indonesia saat ini tengah mencari, mempersiapkan, serta mempertimbangkan siapa diantara 200 juta penduduk negeri ini yang layak menjadi pemimpin paska Pemilu Juni 1999.

Memiliki pemimpin yang bijaksana dan cerdas, dapat dipercaya, adil dan memiliki kapabilitas yang tinggi sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan, dsb. Merupakan dambaan setiap warga negara. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar berkualitas seperti yang didambakan setiap warga negara, maka perlu dilakukan pembinaan dan pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya yang komprehensisf dari sistematis atas setiap warga negara sehingga diharapkan muncul calon-calon pemimpin dari hasil pendidikan tersebut. Setidak-tidaknya dengan pendidikan semacam itu, setiap warga negara akan mampu memimpin dirinya sendiri.

Cuplikan firman Allah SWT pada halaman muka buletin ini boleh jadi membangkitkan kesadaran kita untuk mengetahui lebih jauh tentang siapa kita, siapa pemimpin kita, apakah kita memimpin diri kita sepenuhnya, siapa orang-orang tertanggung atas kita, adakah selama ini keputusan kita terpolusi oleh tuntutan hawa nafsu kita dan berbagai pertanyaan lain yang belum dapat kita temukan jawabannya secara meyakinkan.

Banyak sebetulnya kejadian-kejadian yang sering bisa kita persoalkan, yang berkaitan dengankemampuan kita menyuruh diri kita, dan menyuruh tubuh kita untuk mengerjakan sesuatu. Inilah salah satu contoh kepemimpinan diri kita atas nafsu kita.

Seorang bijak berkata: "Setiap musuh yang anda perlakukan dengan sopan akan menjadi kawan, kecuali nafsu, semakinlunak padanya malah akan makinmelawan."

Nafsu itu ibarat bocah, kalau engkau turuti, ia tumbuh terus menerus. Kalau kau sapih, ia lepas ( Al-Busiri, Qasidah Burdah).

Sesuai perang badar, dimana pasukan Islam berjaya dengan gemilang, Nabi bersabda: " Kita pulang dari perang yang lebih kecil untuk perang yang lebih besar." Sahabat saling berpandangan, bukankah perang yang baru berlangsung itu perang besar ? Salah seorang sahabat bertanya : " Apa perang yang lebih besar itu ya Rasulullah ? Jawab beliau :" Perang melawan hawanafsu ".

Betapa bahayanya memperturutkan hawa nafsu yang buruk, sudah banyak kita lihat dalam dunia yang makin "Kering " ini. Kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsu ini hanya bisa dilakukan dari dalam diri tiap individu.

Orang lain, tiak akan mampu untuk mengendalikan anda yang tengah digoyang nafsu. Kesuksesan hidup ini terletak dari kemampuan mengendalikan hawa nafsu, yaitu kemampuan kita mengkoordinasikan tubuh pikiran dan niat kita agar nafsu yang telah di anugerahkan Allah SWT. Kepada kita ini akan tersalur pada jalan yang benar.

Inilah kepemimpinan diri kita atas diri sendiri. Rasulullah bersabda : Setiap kamu adalah penggembala dan setiap penggembala bertanggung jawab atas apa yang ditgembalakan".

Disini kita melihat bahwa semuanya tiada terkecuali adlah penggembala atas diri kita sendiri Dan sudah barang tentu kita bertanggung jawab atas apa yang telah kita kerjakan dengan tubuh kita. Kepemimpinan akan diri sendiri merupakan basis dari segala bentuk kepemimpinan. "Self discipline" (menegakkan disiplin atas diri pribadi) merupakan aktivitas yang paling berat. Sebab ini berkaitan dengan diri sendiri dan dengan Allah. Tak ada orang lain yang terlibat didalamnya. Lain halnya dengan kepemimpinan umat. Dimana kita akan mendapat koreksi dari orang lain sekitaranya kita berbuat salah. Dalam kepemimpinan pribadi, kita mudah membuat "sel excuse" (mema’afkan diri sendiri) kalau kita berbuat salah ( menurut pikiran kita).

Dan kadang pula nekat, melakukan perbuatan yang bertentangan dengan suara hati nurani. Jadi, seandainya ada pertentangan batin dalam diri kita, itu pertanda ada hal yang tidak beres dengan diri kita. Untuk mengatasi dan mendidik self discipline ini, diperlukan latihan yang cukup panjang dan teratur.

Setelah kita memahami seluk beluk kepemimpinan untuk diri sendiri, marilah kita sekarang beranjak kepada kepemimpinan ummat. Seorang pemimpin ummat diharapkan mampu menjadi panutan bagi orang yang dipimpinnya baik di dalam organisasi maupun diluar organisasi. Seorang pemimpin hakekatnya adalah kaki tangan dari orang yang dipimpinnya.

Prinsip yang ditanamkan Rasulullah: "The leader of the nation Is their servant" (pemimpin sebuah bangsa sebenarnya pelayan bagi mereka) harus ditanamkan kuat pada diri masing-masing ummat. Sehingga, pada saat kita diberi amanah untuk menjadi pemimpin ummat, kita tidak bertingkah sebagai "pejabat" yang selalu meminta fasilitas dari orang yang kita pimpin dan atau menyalahgunakan jabatan yang kita pangku.

Takala Abu Bakar RA dilantik menjadi khlifah, maka beliau menyampaikan dalam pidato pelantikannya : " Wahai ummat manusia, aku telah diangkat menjadi khalifah, padahal aku tidaklah lebih baik dari tuan-tuan. Kalau aku berbuat baik maka bantualah aku dan kalau aku menyeleweng luruskanlah jalanku, Kebenaran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang tertinda diatara kamu, adalah kuat dalam pandanganku, sehingga akan kuserahkan kepadanya haknya. Dan orang perkasa diantara kamu adalah kuanggap lemah sehingga aku akan mengambil hak daripadanya Insya Allah. Janganlah tuan tuan meninggalkan jihad, sebab Allah SWT menimpakan kehinaan kepada kaum yang tidak berjihad. Taatilah aku selama aku tetap mentaati Allah. Tunaikanlah shalat semoga Allah akan memberi rahmat kepadamu".

Inilah garis-garis kebijaksanaan seorang pemimpin didikan Rasulullah SAW dengan tegas dan lugas telah menyatakan hak-hak rakyat dan tekadnya untuk senantiasa berada di atas kebenaran. Sejak awal sudah dimintanya agar rakyat bersikap kritis terhadap jalannya pemerintahan. Apa yang diucapkannya itu bukanlah sekedar pemanis bibir. Akan tetapi semuanya dibuktikan dengan nyata.

Sebagai kepala negara, Abu Bakar semestinya berhak untuk mendapatkan nafkah atas keluarganya dari Baitul Mal. Namun selama enam bulan hak itu tidak diambilnya. Sehingga beliau menggunakan separuh harinya untuk berdagang, usahanya sebelum menjabat khalifah.

Setelah enam bulan terasakan oleh Abubakar tidaklah cukup apabila waktunya dipakai mengurusi pemerintahan sekaligus berdagang. Semestinya waktunya hanya dipakai untuk memimpin ummat. Dari hasil musyawarah akhirnya ditetapkan gaji sebanyak 600 dirham setahun, sekedar cukup untuk ongkos hidupnya sendiri dan keluarganya.

Demikian bertaqwanya Abu Bakar, sekalipun telah diberi nafkah kepadanya dari harta negara dengan cara sah oleh rakyat. Namun beliau berpesan kepada ahli keluarganya, agar jumlah gaji yang telah diambilnya itu dibayar kembali dengan sia kekayaannya sebagai hutang, setelah beliau wafat nanti.

Dengan kata-kata yang terputus-putus disaat ambang wafatnya beliau berpesan kepada ‘Aisyah RA.

Sesungguhnya kai semenjak diangkat menjadi khalifah, tidak pernah kami ambil barang sedinar atau sedirham pun harta kaum muslimin tetapi kami telah memakai kain kasar mereka dan telah memakan makanan tumbuk kasar mereka. Kini tidak ada lagi sisa harta fa’I padaku, kecuali seorang budak ini, seekor unta ini dan sebatang sayur qatiyah ini. Kalau nanti aku telah meninggal, jadikan semua itu sebagai pembayar hutangku.

Khalifah Umar menerima harta peninggalan Abu Bakar sebagai penebus gaji 14 bulan dengan cucuran air mata haru. Katanya, "Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakar. Sesungguhnya almarhum telah membuat penggantinya menjadi letih ".

Alangkah bahagianya ummat manusia ini apabila pribadi pribadi seperti Abu Bakar ini tampil menjadi pemimpin. Kedamaian dan ketentraman akan terwujud. Kedholiman dan ketidak adilan akan lenyap.

Seorang pemimpin ummat mempunyai beban tanggung jawab yang besar, sehingga beberapa persyaratan hartus dipenuhi seperti ketaqwaan kepada Allah, kepahaman kepada syari’at Ilahi, keadilan, kemampuan dan kecakapan serta kondisi jasmani dan rohani yang memungkinkan.

Beratnya kewajiban ini seimbang dengan besarnya hak seorang pemimpin terhadap yang dipimpinnya. Adalah menjadi kewajiban bagi seseorang yang dipimpin untuk, taat kepada pimpinannya yang mana ini adalah hak seorang pemimpin. Sebagaimana Rasulullah telah bersabda : "Siapa yang taat padaku, berarti taat kepada Allah dan siapa yang melanggar padaku berati melanggar kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada pimpinnya berarti taat padaku, dan siapa yang maksiat kepada pimpinannya berarti maksiat kepadaku"( HR Bukhari Muslim).

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An Nisa:59)

"Seorang muslim wajib mendengar dan taat kepada pemimpin, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat" (HR Bukhari Muslim).

Pelaksanaan tanggung jawab kepemimpinan seseorang akan ditanyakan oleh Allah di hari akherat nanti, sesuai dengan tingkatan kepemimpinannya. " Kamu sekalian pemimpin dan kamu akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Suami akan ditanya dari hal yang dipimpiannya. Istri memelihara milik majikannya dan akan ditanya dari hal yang dimitanya" (HR Bukhari, Muslim).

Islam menempatkan kepemimpinan sebagai amanat, yang akan diberikanhanya kepada orang yang mampu menunaikannya. Rasulullah pernah berpesan kepada Abu Dzar ketika dia meminta jabatan "Hai Abu Dzar, kau seorang yang lemah dan jabatan itu sebasgai amanah yang pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan kecuali orang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya dan memenuhi tanggung jawabnya " (HR Nuslim).

Sesuai dengan beratnya tuntutan tugas seorang pemimpin, maka Allah SWT menjajikan kepada para pemimpin yang adil balasan pahala yang besar. "Ada tujuh golongan yang bakal bernaung dibawah naungan Allah pada hari tiada naungan kecuali naungan Allah : Imam ( pemimpin) yang adil.. … " (HR Bukhari Muslim).

"Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak disisi Allah akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya, ialah mereka yang adil dalam hukum terhadap keluarga dan apa saja yang diseahkan ( dikuasakan) kepada mereka " (HR Muslim).

"Orang-orang ahli surga ada tiga macam : Pemimpin yang adil, mendapat taufiq hidayah ( dari Allah) dan orang belas kasih lunak hati kepada sanak kerabat dan orang muslim dan orang miskin berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri" ( HR. Muslim).

Namun demikian tidak bisa dibenarkan apabila tidak dianggkat pemimpin disebabkan tak ada seorang muslimpun bersedia diangkat menjadi pemimpin. Karena hal ini akan menyebabkan kekacauan dan terhambatnya proses dakwah.

Apabila seorang muslim telah ditunjuk untuk menjadi pemimpin maka tidak dibenarkan baginya untuk menolak jabatan itu, kecuali dengan alasan yang bisa diterima syariat.

Dengan demikian menjadi tugas kita untuk mempersiapkan diri dan ummat menjadi kader-kader, agar bisa muncul dari generasi ini para pemimpin yang berkualitas tinggi. Sebagaimana Rasulullah telah mengkader pada sahabat sehingga telah muncul pula pemimpin-pemimpin tangguh seperti Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khathab,, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abu Thalib, Hudzaifah al Yamani dan sebagainya..

Selama tiga belas tahun berikutnya, di Madinah mulailah Rasulullah mencontohkan bagaimana caranya mewujudkan suatu masyarakat yang berlangsung dibawah bimbingan hidayah Allah.

Proses pangkaderan yang dilakukan Rasulullah benar-benar sukses. Terbukti setelah Rasulullah wafat, kepempinan tidak lantas berhenti. Perjalanan dakwah tidak menjadi mandek. Justru sebaliknya, para sahabat dengan penuh semangat dan ketangguhan tetap meneruskan misi kerasulan yakni dakwah Islam hingga tercapainya keadilan dan kemakmuran di atas bumi ini. Mereka telah selamat dari penyakit figuritas dan mengkultuskan individu Rasulullah. Mereka tidak hanya bersemangat karena ada Rasul atau karena terdorong oleh kepiawaian seorang pemimpin belaka. Namun semua jalan, sebab semua hati telah hidup oleh tauhid, sudah terikat janji lewat syahadat.

Saatnya telah tiba bagi kita untuk membina diri kita. Kita jadikan aqidah Islam sebagai keyakinan kita dan Ridho Allah tujuan hidup kita. Kita selesaikan permasalahan hidup kita dengan cara yang telah diajarkan Islam. Kita wujudkan nilai-nilai Islam dalam perilaku keseharian kita.

 

 

 

 

1