M u s y a w a r a h
H.M. Nabhan Husein
" Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, dan mendirikan Shalat, sedang urusan mereka dimusyawarahkan antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka" (QS As-Syura 38)
IMAN kepada Allah ditandai oleh fenomena naik-turunnya kadarnya. Kenaikan kualitas Iman akan mencapai klimaknya pada titik Tawakal. Maka yang bersangkutan mencapai derajatsebagai mu’min yang tawakal.
Ada tujuh ciri pokok mu’min yang tawakal itu. Tiga di antaranya dengan Allah (hablum minallah) dan empat dalam hubungan dengan sesama manusia (hablun minannas) .
Ketujuh ciri dimaksud ialah: 1. Menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji. 2. Menerima dan mematuhi seruan-seruan Allah. 3. mendirikan Shalat. 4. Mampu memberi maaf meski dalam keadaan marah. 5. Menetapkan keputusan-keputusan lewat musyawarah. 6. Memberikan infaq. 7. Membela diri dari kezaliman yang dilakukan orang kepadanya.
Musyawarah
Ayat diatas tergolong kedalam ayat makkiyah yang ditujukan kepada setiap muslim. Ketentuan tentang musyawarah (Syura) dirangkaikan dengan enam ciri mu’min lainnya, antara lainnya untuk menunjukkan bahwa musyawarah antara orang-orang yang tidak menerima dan mematuhi seruan Allah disatu pihak dengan orang-orang yang menerima dan mematuhi Allah. Dilain pihak, umpamanya:
Musyawarah sesama muslim, tanpa terkait dengan jabatan dalam kekuasaan kenegaraannya, dalam ajaran Islam disebut Musyawarah sesama Rakyat (Syura baina’r-ra’iyah). Islam mewajibkan adanya kepemimpinan kenegaraan untuk memelihara, membangun,dan memimpin rakyat ke jalan yang benar. Dus pastilah terbentuk peme-rintahan. Para pejabat negara ini juga diwajibkan bermusyawarah. Ini untuk pertama kalinya diwajibkan Allah kepada Allah kepada Nabi Muhammad saw melalui ayat 159 Surat Ali Imran:
Artinya : "Maka disebabkan rahmat Allah jualah engkau (Muhammad) berlaku lemah-lembut kepada mereka. Sekiranya engkau bersikap kasar agi berhati keras tentulah mereka menjauhkan diri darimu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka,dan bermusyawarahlah denagan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang bertawakalah kepadaNya"(Q.S. Ali Imran: 159).
Oleh karena ayat ini termasuk ayat Madaniyah, maka perintah kepada Nabi saw agar bermusyawarah ditujukan kepada baginda dalam kepastiannya sebagai kepala negara/kepala pemerintahan. Tegasnya pada pejabat pemerintahan wajib bermusyawarah dengan rakyatnya. Dengan ajaran Islam ini disebut Syura baina ‘I-hakim wa ‘rra’iyah.
Manakala rakyat dan pemerintah wajib bermusyawarah berarti sistem pemerintahan yang diajarkan Islam adalah Pemerintahan Syura, di mana rakyat berkewajiban membentuk pemerintahan dansecara mufakat wajiib pula mengangkat kepala negara, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil rakyat yang juga ditentukan secara Syura; dan kepala pemerintahan dan kepala itu wajib musyawarah dengan seluruh jajarannya atau tak langsung. Demikian lah tolok ukur sah atau tidaknya suatu negara dan pemerintahan.
Ketentuan dan Batasan
Musyawarah Islami merupakan prinsip yang ideologis berkenaan dengan semua persoalan Ipoleksosbud suatu bangsa. Teknis pelaksanaan dan kelengkapan-kelengkapan operasionalnya tidaklah ditetapkan secara baku dan kaku, melainkan diserahkan kepada masyarakat itu sendiri. Sebab prinsip terpenting didalam Syura itu ialah terwujudnya kehidupan yang baik dan maju, dan tidak terpasungnya kemerdekaan yang merupakan hak semua pihak; adanya negara dan pemerintahan tidak menghapuskan kemerdekaan individu, adanya wakil-wakil rakyat, jika dibentuk, tidak untuk mengelabui rakyat, adanya pemerintah han tidak menjadi lembaga yang menjajah rakyatnya. Semua harus terjamin hak dan kemerdekaannya, semua pihak dituntutbertanggung jawab atas keputusan-keputusan Syura, semua orang diminta untuk betawakal dan berahlak alkarimah, semua harus mengamankan dan mensejahterakan semua.
Para Ulama sepanjang masa mencatatkan dua batas mengenai Syura ini, yaitu:
Pertama: Tidak dibenarkan memusyawaratkan suatu ketetapan agama yang telah diputuskan secara jelas dan tegas oleh Al-Quran dan Sunnah. Dalam kaitan ini musyawarah hanya boleh dilakukan untuk memecahkan soal-soal tehnis pengaturan dan pelaksanaanya saja.
Kedua: Keputusan-keputusan yang diambil dalam Syura itu dinyatakan tidak sah bila bertentangan dengan semangat atau jiwa syari’at Islam, dan atau bertentangan dengan hukum-hukum baku Islam .
Bekal Musyawarah
Seseorang yang akan terjun ke gelanggang musyawarah, menurut Imamal Mawardi, perlu memiliki lima kelengkapan:
Kelima bekal inilah yang seyogiayanya dimiliki, baik oleh ahli Syura dari kalangan rakyat atau wakil rakyat maupun dari kalangan pengemban mandat pemerintahan. Musyawarah yang dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi syarat-syarat demikianlah yang bisa dijamin akan membawa rahmat. Rasullah saw pernah menggaris bawahi yang demikian dan menekankan agar dapat dilaksanakan:
Artinya : "Siapa melakukan musyawarah (yang memenuhi syarat) tidaklah akan kehilangan kepintaran. Siapa meninggalkan musyawarah (yang benar) belum tentu terjamin dari kesalahan".
Inilah sebabnya Rasullah sering bermusyawarah dengan sahabat-sahabat, baikberkenaan masalah-masalah kehidupan masyarakat luas maupun dalam menghadapi peperangan melawan musuh.
Beda Pendapat
Meski ada ketentuan dan batasan musyawarah, tapi tetap saja ada kemungkinan beda pendapat yang boleh jadi disebabkan oleh perbedaan sudut pandang atau oleh perbedaan skala prioritas menurut ruang, waktu, dana dan daya. Perbedaan seperti ini dibenarkan, dan oleh para Ulama disebut Ikhtilafu Tanawwu’ yang dapat ditolerir. Bila perbedaan dimaksudkan tidak dapat diselesaikan dalam waktu musyawarah karena menemui jalan buntu, maka Islam menganjurkan agar kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasullah bersabda yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman ! taatilah Allah dan taatilah RasuluNya dan Uli Amri di kalangan kamu. Maka jika kamu berbeda pendapat tentang suatu (urusan), kembalilah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasullah (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akherat. Yang demikian itu lebih utama bagi kamu dan lebih baik kesudahannya". (QS an-Nisa’:59)
(Buletin Dakwah – No.10Thn.XXV – Jum’at ke-1 Zulqa’idah 1418H/Maret 1998M)
H.M. Nabhan Husein