|
Dari Pembaca
|
aya seorang ibu rumah tangga, Sarjana Arsitektur, dengan dua anak balita (yang putri berusia 4 _ tahun dan yang putra berusia 13 bulan). Saya berhenti bekerja sejak melahirkan putri pertama karena ingin berkonsentrasi pada pendidikan anak. Sesungguhnya saya menikmati peran tersebut, sekalipun keadaan ekonomi pas-pasan. Namun disisi lain, saya tidak bisa memungkiri bahwa saya kehilangan hal-hal lain yang tak kalah pentingnya. Dengan menjadi ibu rumahtangga penuh waktu saya menjadi tidak berkembang. Bukan hanya dalam hal yang berkaitan dengan pendidikan saya, tapi dalam banyak hal yang (umumnya0 hanya didapat bila kita bekerja. Akibatnya saya menjadi kurang percaya diri, khususnya bila bertemu dengan mantan teman-teman kuliah atau sanak keluarga yang bekerja, dan yang lebih susah lagi apabila bertemu dengan rekan-rekan kantor suami, terutama yang wanita. Saya mengalami sukacita melihat perkembangan anak , tapi sekaligus menjadi kurang percaya diri karena merasa tidak berkembang.
Setelah putri kami berusia 13 bulan, saya memutuskan untuk kembali bekerja. Saya bersyukur karena pekerjaan saya sangat menarik dan kebijaksanaan pimpinan yang memungkinkan saya pulang teapt waktu dan kelonggaran lain pada waktu anak sakit.
Sayamempekerjakan seorang pengasuh yang cukup terampil dan menyayangi anak. Saya berusaha mengimbangi minimnya waktu dengan kualitas kebersamaan. Namun saya mengakui bahwa kualitas saja tidak cukup. Saya berupaya sebaik mungkin untuk memberikan yang terbaik bagi anak saya dengan banyak bertanya dan membaca, untuk meminimalkan segala dampak negatif. Saya sangat berbahagi pada waktu itu, saya menikmati pekerjaan saya dan peran saya sebagai ibu rumah tanga. Dalam suatu diskusi , suami saya mengatakan kalau lebih suka kalu saya bekerja, bukan karena keuangan yang lebih baik, tetapi karena dampak positifnya dalam diri saya.
Kini saya kembali menajadi ibu rumah tangga penuh waktu karena situasi yang berubah. Kami pindah ke kota kecil dimana tidak terbuka kesempatan bagi saya untuk bekerja. Tiga bulan pertama saya down. Saya merasa diperlakukan tidak adil, oleh siapa saya tidak tahu. Pertengkaran dengan suami kembali timbul, yang kalau dipikir secar jujur sayalah yang memulai. Segala kekesalan saya lemparkan kepada suami. Saya iri kepada suami saya yang memiliki kesempatan untuk terus bekerja sementara saya tidak. Tiga bulan yang berat saya lalui dengan penuh pergumulan dan hanya oleh pertolongan Tuhanlah saya dapat memenangkannya.
Kini sebagai ibu rumah tangga penuh waktu saya mengurus rumah tanga dengan sukacita. Saya mendidik anak dengan segenap hati, namun tetap berusaha mengembangkan diri sebaik mungkin. Saya dan suami sepakat bahwa dengan tetap mengutamakan pendiidkan anak, saya harus semakin maju sehingga dapat berperan sebagai penolong yang sepadan dalam segala aspek, sejalan dengan perkembangan suami. Saya dibantu oleh seorang pengasuh dan seorang tukang cuci yang memungkinkan saya untuk banyak belajar dan membaca koran, majalah, buku rohani dan buku pengetahuan. Saya membuat kliping untuk dimanfaatkan bagi pendidikan ibu-ibu dalam lingkup gereja dan Dharma Wanita. Saya juga sering menulis, umumnya untuk disimpan dan kadang dikirim ke media cetak. Sesekali saya diminta untuk memberikan ceramah. Dan yang paling membuat saya berbahagia adalah kesempatan untuk melayani Tuhan melalui persekutuan siswa (sebagai pembina dan pemimpin kelompok kecil).
Akhir kata saya simpulkan, bahwa bagi saya pribadi pendidikan anak adalah prioritas utama. Namun saya merasa harus terus mengembangkan diri dan tetap memiliki kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi orang lain (berkarya). Entah harus secara penuh waktu di rumah atau di kantor.