Tanggal 23 Agustus 1975 di Markas Hankam (II)
Tiba-tiba Assintel Hankam Mayjen LB Moerdani masuk ruangan dan memanggil Paban
Renintel Kol (Art) Soebijakto untuk datang di kamar kerjanya. Setelah bertemu
empat mata, Assintel menyampaikan perintah pendek Menhankam :
Pukul 15:00 WIB ketua misi sampai di Surabaya, dijemput Assintel Armada Letkol
(P) Moh. Arifin di Bandara Juanda. Ketua misi langsung menuju ke pangkalan AL.
Di sana telah menunggu Panglima Armada Laksamana Rudi Purwana. Panglima menerangkan,
kapal baru saja selesai mengisi bahan bakar dengan menggunakan mobil-mobil
tangki sipil, karena Armada kekurangan mobil seperti itu. Pasukan marinir juga
belum lengkap, karena para anggota yang bediam di luar kota sedang dijemput.
Pada pukul 17:00 WIB, kompi marinir telah siap dan berbaris dengan rapi di
kade. Setelah laporan kepada Panglima Armada, dengan teratur mereka menaiki
tangga KRI Monginsidi. Pada pukul 18:00 WIB kapal mulai bergerak berlayar
perlahan menuju Laut Jawa. Malam pertama diisi taklimat mengenai tugas yang
diemban kepada para perwira dan komanda kompi marinir.
Pada pagi hari dari jendela kapal terlihat daratan tandus di sebelah kanan kapal.
Menurut komandan kapal, itu adalah daratan Madura. Padahal seharusnya kapal
sudah sampai di sebelah utara Sumbawa, setelah berlayar semalaman. Komandan
kapal Mayor (P) Harianto melaporkan semalam terjadi kebakaran cerobong, karena
bahan bakarnya tidak murni. Ternyata minyak diesel sebagai bahan bakar mesin
kapal telah tercampur bensin dan minyak tanah, disebabkan truk angkut bahan
bakar sipil yang disewa. Mungkin saja sebagian masih terisi bensin atau minyak
lainnya, yang menurut perwira mesin menyebabkan naiknya suhu.
Mesin kapal terpaksa dihentikan menunggu dingin kembali. Di depan kota Maumere
(Flores) kapal berhenti sebentar untuk mengambil 5 awak kapal yang disusulkan
dengan menggunakan pesawat terbang. Pada tanggal 26 Agustus -pagi- kapal sudah
berlabuh di Atapupu, suatu pelabuhan di kota Atambua di Timor Barat.
Pada pukul 20:00 WIB, KRI Monginsidi meninggalkan Atapupu dan berlayar perlahan
menuju ke arah timur. Kira-kira pukul 23:30 WIB, kapal sudah mendekati kota
Dili yang semua lampunya terlihat padam. Tembakan-tembakan mortir sudah mulai
terdengar beserta kobaran-kobaran api di daerah pegunungan yang tadinya terlihat
samar-samar sudah mulai tampak terang.
Pada saat gawat itulah misi Indonesia datang dengan kapal destroyer Monginsidi
dan muncul di depan kota dengan lampu-lampu menyala.
Tugas pertama yang semula adalah mengungsikan konsul Indonesia bersama staf
dan keluarganya, bertambah ketika datang perintah melalui radio sandi. Isinya
adalah mengungsikan orang-orang asing yang ada di Timtim.
Perintah ke-dua ini ditutup dengan peringatan bahwa Australia juga akan mengirim
sebuah kapal perang ke daerah itu. Karenanya, komandan misi supaya berhatihati.
Pada pagi hari tanggal 23 Agustus 1975 di Markas Hankam di jalan Saharjo di
Tebet (Jakarta), sedang diadakan rapat rutin membahas perkembangan terakhir
Vietnam dan kamboja, yang baru beberapa bulan sebelumnya jatuh ke tangan
kekuatan komunis.
Pada 26 Agustus pukul 24:00 WIB, KRI Monginsidi sudah berada 1,5 kilometer di depan Pelabuhan Dili. Dari kapal terlihat perang saudara berkecamuk dengan hebatnya. Dengan tidak hentihentinya pertahanan UDT di sebelah barat pelabuhan dibombardir mortir. Kebakaran terjadi di manamana, termasuk alang-alang di pegunungan di sekitar kota.
Tiba-tiba sekitar pukul 03:00 WIB terlihat sebuah kapal berukuran sedang dengan semua lampu dimatikan, berusaha keluar pelabuhan lewat jalur satusatunya yang ada. Melihat gerak-gerik mencurigakan itu, Mayor Herianto senagai komandan kapal segera diperintahkan secepatnya menghentikan kapal tadi dengan cara menutup pintu ke luar satu-satunya jalur ke luar pelabuhan.
Kapal tidak dikenal itu terpaksa berhenti. Selanjutnya kapal asing tadi diminta untuk membuka jati diri. Kapal tanpa lampu itu menyatakan diri sebagai milik pemerintah Portugal dan di dalamnya ada Gubernur Timor Portugis bernama Limos Pires sebagai penumpang. Gubernur disertai seluruh stafnya yang berbangsa Portugis, dikawal satu kompi para Portugal.
Kapal berlayar menuju Pulau Atauro, dalam rangka menghindari perang saudara, atas perintah pemerintah Lisbon. Komandan kontingen segera menawarkan bantuan untuk ikut menampung dan mengantar gubernur yang sedang lari itu, sampai di tujuan. Setelah menunggu beberapa saat, jawaban diberikan melalui radio, bantuan yang ditawarkan tidak diperlukan dengan ucapan terima kasih. Ia juga kirim salam kepada komandan kontingen dan minta agar diperkenankan meneruskan pelayaran.
Setelah jalur pelayaran dibuka oleh KRI Monginsidi, kapal pelarian segera diberi tanda agar melanjutkan perjalanannya. Dalam beberapa saat kapal itu telah ditelan kegelapan malam di pagi dini hari tanggal 27 Agustus 1975.
Dengan hilangnya kapal pelarian Gubernur Limos Pires, timbul pertanyaan besar di benak segenap awak kapal KRI Monginsidi. Kalau penguasa tunggal berketatapan menghindari tanggung jawabnya, lalu siapa yang akan membawa rakyat Tmtim mencari jalan keluar dari anarki sebagai akibat kebijaksanaan tinggal glanggang colong playu [ini bahasa Jawa, saya ndak ngerti ! ;-)] pemerintah Portugis itu ?
Jawaban yang paling tepat adalah : "Tidak Ada". Dengan demikian -oleh pemerintah Portugal- nasib rakyat diserahkan kepada hasil kekacauan dan hasil saling bunuh antarrakyat yang bertikai sendiri.
Pada waktu hari mulai terang, tiba-tiba saja tembakan berhenti. Kemungkinan besar kehadiran negara tetangga besar yang diwakili kapal perang KRI Monginsidi adalah penyebabnya. Hal ini -belakangan- dibenarkan konsul Indonesia, saat terjadi pertemuan yang diadakan komandan kontingen dengan tokoh-tokoh kedua belah pihak yang bertikai.
Dalam kesenyapan pagi tanpa tembakan itu, komandan kontingen memerintahkan Assintel Armada untuk mengadakan pengintaian pantai, dikawal 1 regu marinir bersenjata lengkap yang dipimpin sendiri oleh komandan kompinya. Dua perahu karet bermotor segera diturunkan dan setelah siap kedua perahu mendekati pantai dengan sangat hati-hati.
Di pelabuhan, terlihat bendera putih dengan ukuran besar berkibar. Di tengah pelayaran, perahu-perahu patroli disongsong sebuah perahu motor kecil yang membawa bendera putih. Ternyata di dalam perahu itu selain awak kapal juga ada seorang staf konsulat Indonesia yang mencoba mengetahui maksud kedatangan kapal perang, atas permintaan pihak Fretilin.
Pejabat ini lalu diminta segera naik kapal perang untuk memberikan taklimat mengenai situasi dan saran-saran yang diperlukan. Takliman singkat berisi soal politis prinsipil yang tampaknya akan sulit untuk diatasi dalam waktu pendek.
Pokok-pokoknya adalah sebagai berikut :
Kepada anggota staf konsulat itu, kemudian diberikan perintah agar disampaikan kepada para komandan yang bertikai, bahwa komandan kontingen akan mendarat dengan pengawalan 1 peleton marinir melalui pelabuhan, yang waktunya akan ditentukan lebih lanjut. Tujuannya untuk mengkoordinasikan pengungsian anggota-anggota konsulat Indonesia dan orang-orang asing yang ingin meninggalkan Dili. Diminta agar pertempuran dihentikan sementara, sampai nanti ada persetujuan dari para komandan bersangkutan mengenai lamanya berlaku gencatan senjata.
Pertemuan dengan para komandan pasukan yang bertikai akan diadakan esok paginya, pukul 09:00 WIB, dimulai dengan orang-orang Apodeti, disusul pertemuan dengan orang-orang Fretilin dan terakhir dengan UDT. Tempat pertemuan oleh konsul diusulkan di kantor konsulat Indonesia.
Utusan konsul RI, Tomodok, lalu mengusulkan agar esoknya komandan kontingen mendarat setelah terlihat sedan putih konsul Indonesia diparkir di tepi pantai di sebelah Hotel Turismo. Adanya sedan itu menandakan bahwa perintah komandan kontingen telah berhasil dilaksanakan dan semua komandan yang bertikai setuju untuk bertemu dengan komandan kontingen pada saat yang telah diusulkan.
Setelah anggota konsulat meninggalkan kapal, terlihat ada kapal motor kecil mendekat dengan membawa bendera Australia. Penumpangnya seorang kulit putih dengan pakaian sipil. Dengan isyarat ia minta agar diperkenankan naik ke kapal. Ia lalu memperkenalkan diri sebagai seorang warga negara Australia yang bergerak di bidang perdagangan. Setelah berbasabasi seperlunya, ia mengatakan mengingat begitu besar pengaruh RI di daerah ini, ia mengusulkan agar kesempatan berhentinya pertempuran antar Fretilin dan UDT seperti sekarang digunakan untuk mengusahakan adanya rekonsiliasi.
Mengingat besarnya perbedaan sasaran-sasaran strategi pihak-pihak yang bertikai, ditambah lagi kedaulatan yang masih di tangan Portugal, usaha seperti yang diusulkan orang Australia itu sangat jauh dari tugas yang dibebankan kepada komanda kontingen. Karena itu usul ditolak secara halus, dengan perkataan, "I like to, but this is beyond my mission". Melihat dalamnya pengetahuan mengenai masalah politik Timtim dan peristilahan yang ia gunakan, komandan kontingen yakin, ia adalah seorang anggota intelijen. Pekerjaan sebagai pedagang tentunya sebagai topeng belaka...