ENDANG SUPRIADI
Tak bosan kujelaskan lagi padamu, Ibu,
bahwa pikiran-pikiran kami seperti halaman
koran hari ini
selalu bersambung ke halaman lain.
Tapi, sejak anak-anakmu tumbuh jadi benalu
di rumah sendiri
engkau tak pernah lagi melihat matahari
bertengger di atas kepala kami
Kami sudah belajar dari buku, dari sejarah
atau dari para musafir yang mati sia-sia.
Tapi kami merasa telah jadi kecoa dalam
tabung.
Bagaimana kami bisa berkata-kata lagi
bila lidah kami terjepit pagar kemunafikan?
Di musim menangis ini,
engkau tak pernah memegang sapu tangan.
Benang kesabaran dan ketabahan telah menghapus
airmatamu.
Tapi, katakan, Ibu, harus di mana kami
tinggal.
Harus bagaimana kami berjalan.
Sejak kebebasan terbelenggu oleh kekuatan-kekuatan,
kami jadi lumpuh.
Di tubuh kami cuma ada darah dan mata
yang masih bisa bergerak.
Entah di mana pikiran kami
Orang-orang belajar menggali sumur dari
dalam rumah sakit.
Satu keluarga atau mungkin sendirian menaiki
tangga hari
dengan hati was-was dan gelisah
namun kami tetap menanam keyakinan bahwa
air matamu
bisa memercikkan api semangat pada kami
yang terkungkung
Tak bosan kujelaskan lagi padamu Ibu,
bahwa kami sudah tak punya tempat untuk
melukis wajahmu yang sejuk.
Kami sudah kehilangan ruang dan waktu
untuk bicara.
Entah di mana kami terdampar.
Semua gelap dan kami tak bisa melihat.
Tengoklah, Ibu,
anak-anakmu kini tengah mengais-ngais
kebenaran di jalan berdebu.
Jakarta, April
1998
juni
- 1999