NINA MINARELI
|
SAJAK
PERLAWANAN
Kali ini ingin kutuliskan
sebuah sajak perlawanan
Dengan secangkir kopi pahit
yang kau sediakan
Di meja makan
Meskipun roda musim tak memuat
lagi angin rindu
Atau kicau burung di tengah
kota itu
Tapi langit dan lautan masih
tetap akan menyerap kata-kata
Di mana sebuah jembatan,
pohon-pohon dan pebukitan
Akan menerjemahkan segalanya
Biarkan saja kita di sini
meniti satu per satu malam
Dengan kegelisahannya yang
panjang
Walau nafas-nafas di sudut
kota mulai berbau bara
Walau harga luka melayang-layang
di atas telunjuk dunia
Biarkan saja sebab hujan
akan menjabarkan sajak-sajakmu
Sebagai kekuatan di luar
badai
Dan perlawanan di dalam penjara
angin
Yang bergaris pada bilik
nurani kita sendiri
Mulailah kawan
Lawanlah pelan-pelan !
1998
|
Kubaca tarian langit
dalam tidurmu
Di antara gerakan
awan dan sisa cahaya
Yang mengukir tubuh
sebuah kota
Di mana musik-musik
menjalin waktu
Mengalun bersama
deru angin dan kalbu
Kerusuhan di nafasmu
menerbangkan asap kekalahan
Bagi orang-orang
yang patuh pada ribuan matahari
Sedang kita yang
bermimpi hanya menggarisi kata-kata
Di antara lidah
yang memanjang dalam keredupan
Dalam pepatah-pepatah
iklan dan boneka-boneka
Kaset-kaset bajakan
serta model-model kepalsuan
Hingga kita pun
tumbuh sebagai pembenci rasa lapar
Dan segala hal membusuk
di bibirmu yang nakal
Sungguh sulit kita
mencari jawaban
Mencoba berlari
ke diskotik dan pangkalan narkotik
Mencari teman tertawa
sebelum dirantai penguasa
Sebelum matamu terbuka
memandang lautan peristiwa
Di pinggir jalan
di mana tempat lengan dan kakiku
Kau tinggalkan
1998
|
KOTA
BIRU
Lewat
jalur jalan di pinggir taman
Dan
rel-rel yang memanjang ke tengah perkotaan
Serta
suara lokomotif yang sebentar-sebentar mengerikan
Semuanya
seperti menyimpan keheningan
Sepanjang
ruang dan gemuruh para pejuang di jalan
Di
mana mereka tengah menghamburkan darah ke arah bulan
Tapi
matamu kali ini lebih terbuka dari kata-kata
Dari
sebuah jembatan yang menanjak ke angkasa
Atau
dari sebutir peluru yang ditembakkan ke angkasa
Hingga
di situ kudapatkan engkau mematung sendirian
Di
depan cermin langit yang letih
Di
mana seorang penari turut menggoyangkan hari
Memeras
dan memahat keringat waktu sendiri
Di
sekujur tubuh negeri ini
Malam
yang dingin di bibir kota ini
Di
tengah padang rumput yang tinggi
Dan
percikan air hujan yang mengguyurkan kegelisahan
Ada
sebuah tangga yang berputar menuju kamar impian
Dengan
diterangi sedikit cahaya bulan
Aku
hanya mampu menahan getaran musim di nafasmu
Tapi
angin seolah memaksaku untuk terus berkhayal
Seperti
musim yang kehausan melumat sisa waktu
Di
mana orang-orang tengah berlibur
Sebelum
kekalahan benar-benar terlanjur
1998
|