OTTO
SUKANTO CR
DIALEKTIKA SEDERHANA
sekian kali,
anakku jatuh bangun belajar berdiri
tangannya menggapai-gapai gambar kaligrafi
yang terpajang terlalu tinggi
demikian negeri kami
sekian kali jatuh bangun belajar berdiri
tersandung nepotisme-kolusi-korupsi
tangannya menggapai-gapai
mengatasi krisis ekonomi dan sembelit
utang luar negeri
menjerat leher sendiri
sekian kali, anakku belajar berkata
mengeja pa pa ma ma
tangannya menggenggam pensil mencoba
menulis alif ba ta, doa
demikian negeri kami
sekian kali belajar mengeja pa pa pa
Pancasila, tangannya menggenggam pensil
mencoba menulis sesanti : adil makmur
sejahtera
kerna basah celana, anakku menjerit
tengah malam
mulutnya komat-kamit mita susuan
kerna melambung harga
rakyat menjerit ngigau tengah malam
mulutnya komat-kamit, basah dendam
dan harapan
kembalinya tentram damai dan kepercayaan
sekian kali anakku belajar bismikallahuma
doa
tangannya diangkat menggapai-gapai
udara
demikian bapaknya
belum selesai mengeja kata pe ha ka
tangannya menggenggam uang pesangon
yang tak seberapa
bagi anakku
menangis berkata dan berdoa, sama saja
derita bahagia, tak beda
ia terus meronta dan belajar bicara
sekenanya
dan begitulah bapaknya
di sel penjara,
bogem mentah popor sepatu lars, sama
nikmatnya
ia hanya meronta dan berusaha berkata
harga diri, kebenaran ditegakkan, sekenanya
!
anakku memang baru bisa tertawa dan
menangis
bapak-bapakku memang tetap tertawa
dalam krisis
berdikari : berdiri di atas - bangkai
- kawan sendiri
takut jaman edan
anakku minta pulang ke rahim lagi
ibunya pusing tujuh keliling
demikian ibu pertiwi
guling koming, mengembalikan janji
ke haribaan semesta
dan betapa terkejutnya aku
anakku telah bisa menggambar ular sanca
menelan ekornya !
yogyakarta,
1997
PANORAMA 1998
kubaca huruf-huruf, pamlet, lenguh-gerah,
sepatu lars dan sejarah.
kubaca, kalkulasi jiwa-jiwa error dan kematian
orang-orang yang terampas, kandas dan terhempas
makna diri dan kemanusiaannya
kubaca, senapan dan pentungan, laksana tongkat Musa
membelah lautan -- masa -- hitam, menjadi jembatan bagi tahta
melenggang-lenggok mempesona.
kubaca, air susu menetes jadi cairan timah hitam,
jadi darah, jadi dendam, jadi gading, jadi puing,
jadi santapan dan umpatan anjing.
kubaca, nafsu yang tegak, jadi relief tugu pahlawan
kubaca, anak-anak yang lupa, tak berani mengenali dirinya
setelah pulang dari medan juang.
kubaca hingga memutih mata. menunggu kabarmu
: Jakarta!
yogyakarta, 1998
juni
- 1999