Six


Suasana lapangan sepakbola Westminster Elementary School terlihat hiruk pikuk sore itu. Di bangku penonton An-dy menggurat-guratkan pensilnya mencoba memvisualisasikan pertandingan ke atas kertas. Mike sibuk memikirkan taktik selanjutnya, sementara Nick yang sudah tidak sabar tak henti-hentinya berteriak mencaci-maki Alvin.

"TOLOL!!! Giring bolanya ke gawang!!!!" seru Nick kesal. "Go Alvin, GOOO!!!!"

Dari tengah lapangan Alvin mengernyitkan kening. Rekan-rekan setimnya hanya bisa menggaruk-garuk kepala melihat tingkah kampungan Nick.

"Kakakmu, Alv?" Seorang rekannya bertanya heran.

"Bukan! Aku tak kenal dia!" kilah Alvin. Ia malu setengah mati. Detik berikutnya ia maju ke depan untuk menerima bola. Kedudukan masih 0-0 sejak pertandingan dimulai 65 menit lalu. Ia tak menyangka kalau tim Hackney ternyata tangguh juga. Sedari tadi gawang Westminster hampir kebobolan 4 kali, namun untunglah sang kiper masih dapat me-nahannya. Kalau begini terus mereka bisa kalah, dan itu adalah hal terakhir yang Alvin mau. Kalau mereka sampai ka-lah hari ini, hancurlah rekor tak pernah terkalahkan di kandang mereka sejak satu setengah tahun lalu.

"ALVIN!!!! Tak akan kumaafkan kalau kau sampai kalah!!!!" Sekali lagi Nick memekik.

Alv mengoper bola lalu mendecakkan lidah. Ia akan kalah kalau kakaknya yang tak punya otak itu terus-menerus mengganggunya!

"Sudahlah, Nick!" tegur Andy jengkel. "Dasar tak tahu malu. Kau hanya mengganggu konsentrasinya saja, tahu?"

"OK, OK." Nick menyerah dan memilih untuk duduk diam di kursinya. Andy menggelengkan kepala lalu kembali si-buk dengan gambar yang tengah dikerjakannya.

"Wah… gawat." gumam Mike yang duduk di sebelah Andy. "Pertahanan Westwinster sudah kedodoran."

Nick memperhatikan pertandingan dengan serius. Kata-kata Mike memang benar. Stamina bek-bek Westminster sudah menurun drastis. Yang bisa diandalkan tinggal para gelandang lapangan tengah. Setidaknya mereka harus me-rebut bola sebelum penyerang lawan sempat memasuki daerah pertahanan.

"Jack!!! Oper bolanya ke sayap kanan!!!" Alvin memberi komando dari depan. Yang bersangkutan langsung me-nendang bola ke arah yang diperintah Alvin. Di sana sudah menunggu Sammy yang tidak dijaga. Ia membawa bola itu dan mengopernya sekali lagi ke arah Alvin. Alvin melancarkan tendangan super keras, sayang arahnya sedikit mele-bar dari tiang gawang. Terdengar riuh suporter dari bangku penonton. "Shit." Ia mengumpat. Padahal itu benar-benar kesempatan emas!

Nick menatap lapangan hijau dengan sebal. "Nah, inilah yang kubilang. Dia memang tolol!!!"

"Weits, jangan salah, Nick…" tukas Mike. "Serangan balasan Alvin itu membangkitkan kembali semangat pemain-pemain Westminster yang sudah pupus." Terlihat wajah rekan-rekan setim Alvin mencerah. Masih ada kemungkinan menang untuk mereka. Sejak siswa grade 6 Jeff Gray mundur sementara dari tim untuk memfokuskan diri pada ujian akhir, Alvinlah yang ditunjuk menjadi kapten kesebelasan Westminster. Ia memang belum sehebat Jeff dalam hal kepemimpinan, tapi se-bagai seorang playmaker ia sangat bisa diandalkan. Ia tahu kapan harus menyerang, kapan harus bertahan, dan ia benar-benar seorang ahli strategi yang cerdik; suatu hal yang termasuk luar biasa untuk seorang anak grade 5 ele-mentary school. Teman-teman Nick memperkirakan bahwa kemampuan Alvin di masa depan nanti akan jauh melebihi Nick dan bahkan Dennis, kalau saja ia mau bersungguh-sungguh mengasahnya.

Pertandingan berlangsung seru selama 15 menit berikutnya. Kedua kubu saling melancarkan serangan tapi tak a-da satupun yang berhasil memenangkan angka, dan tenaga sebagian besar dari mereka sudah terkuras habis. Alvin mendapat bola dan menggiringnya jauh ke jantung pertahanan lawan. Harapnya ia dapat mengoper bola itu ke Paul yang sudah siap di depan. Semoga saja ia tak terjebak perangkap offside, pikir Alvin. Begitu seriusnya ia membawa bola, tiba-tiba seorang pemain lawan melakukan sliding tackle yang amat keras ke arahnya.

"ARGGGGHHH!!!!!" Alvin menjerit kesakitan. Ia terjatuh ke atas rumput. Dengan sigap wasit membunyikan peluit.

"Ya ampun!!!" Hampir bersamaan Nick, Mike dan Andy bangkit dari kursi mereka. "Alvin!!!!!!" seru Nick panik.

Sammy dan beberapa pemain Westminster lainnya spontan menghampiri Alvin yang terus mengaduh-ngaduh sambil memegangi kakinya. Mereka membawanya ke pinggir lapangan. Wasit mengganjar pemain yang men-tackle Alvin tadi dengan kartu merah.

"Alvin!!!!" Nick menghambur ke pinggir lapangan, diikuti oleh Mike dan Andy. "Alv, kau tak apa-apa?!!"

Anak itu meringis menahan sakit. Serta-merta datanglah Mr. Ted yang adalah guru PE Westminster Elementary. Ia mengamati kaki Alvin sekilas, lalu berkata, "Lututnya terkilir. Ia harus dibawa ke rumah sakit. Segera."

"…Aku akan menyiapkan mobil!" balas Nick cepat. "Mike, kutemui kau di gerbang belakang! Tolong gendong Alv sampai sana!" Ia langsung mengambil langkah seribu menuju tempat parkir. "Sekarang, Mike!!!!"

"Tahan sebentar, Alv!" Andy tak kalah panik. "Tahan…"

Dengan penuh kehati-hatian Mike mengangkat tubuh Alvin yang cukup berat. Ia berusaha sedapat mungkin untuk tidak menyentuh kaki anak itu.

"Perlu kubantu?" Mr. Ted menawarkan bantuan.

"Oh, sure!" Mike langsung mengiyakan. Ia terlalu panik untuk mengatasi hal semacam ini sendirian.

Mr. Ted mengeluarkan sehelai saputangan dari saku celananya. Ia menyelipkan benda itu ke dalam mulut Alvin. "Gigit saja untuk mengurangi rasa sakit." katanya. Alvin hanya bisa menurut. "Nah, sekarang… tolong pegang pangkal pahanya." instruksi Mr. Ted pada Mike. Ia sama sekali tak kelihatan cemas barang sedikitpun. Pembawaannya benar-benar tenang dan profesional. "Hati-hati, jangan sampai kena lututnya. Alvin, tahan sedikit. Aku tahu rasanya pasti sa-kit sekali, tapi coba tahan." ujarnya ketika melihat Alvin yang mulai mencucurkan air mata.

Andy sudah ngeri setengah mati saat Mike mengangkat kedua belah paha Alvin. Alv memekik, dan Mr. Ted serta Mike tak membuang kesempatan lagi; mereka langsung membawanya pergi dari tempat itu.

Sammy hanya bisa melihat mereka dari jauh. Ia mengkhawatirkan keadaan Alvin, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya tadi ia sudah hendak ikut bersama mereka ke rumah sakit, namun ia mengurungkan niatnya. Alvin bisa marah besar kalau mereka sampai kalah dari Hackney, jadi lebih baik ia mengkonsentrasikan dirinya pada pertanding-an yang masih tersisa 10 menit. Semoga saja cedera kaki Alvin tidak gawat.





Dokter memvonis Alvin tidak bisa bermain sepakbola untuk dua bulan ke depan. Keadaan lututnya lumayan pa-rah, dan ia harus tinggal di rumah sakit selama beberapa hari dengan kaki terbalut gips tebal. Tiap hari ada saja yang datang menjenguknya, mulai dari Nick, Andy, Mike, Jon, James, Dennis, bahkan Sammy dan rekan-rekan setimnya.

Alv kesal setengah mati begitu Sammy memberitahu bahwa tim mereka hanya bisa menahan imbang Hackney. Percuma saja lututnya terkilir parah begini, terlebih lagi ia tak boleh bermain sampai sembuh total. Tapi bulan depan memang sudah mulai ujian, jadi lebih baik ia meluangkan waktunya untuk belajar saja.

Belakangan hari ini Andy pun tiba-tiba menjadi rajin. Ia senantiasa menghabiskan waktu istirahat dan makan si-angnya di perpustakaan. Pertama tentu saja karena ia harus belajar untuk persiapan ujian. Ia tak mau mau hasil ujian-nya sampai jelek. Kedua, ia sedang menghindar dari Gary, Maria dan komplotan mereka. Setelah insiden minggu lalu itu Maria terus menyebarkan gosip-gosip miring tentang dirinya, tapi ia tak peduli. Biar saja Maria menghina-hinanya dan menuduhnya macam-macam, toh ia sudah tak mau lagi berurusan dengan gadis kaya manja itu.

Sebenarnya Andy agak seram juga dengan ancaman Maria untuk mengeluarkannya dari college. Kalau Maria sampai nekat membujuk ayahnya, keadaan bisa menjadi amat sangat gawat. Namun setidaknya Andy patut berterima-kasih pada Gary yang masih juga membelanya. Bukan apa-apa, tapi Gary-lah satu-satunya orang yang bisa meredam kedengkian Maria.

Dan alasan terakhir Andy betah duduk di perpustakaan berjam-jam… adalah kehadiran petugas perpustakaan ba-ru itu.

"Buku yang kautanyakan sudah dikembalikan, Andy." ujar Ethan dari meja kerjanya begitu gadis itu muncul. Ram-but gelapnya yang dipotong cepak hari ini ditata rapi dengan gel, dan sepasang mata kelabu bersinar lembut di balik kacamata minus setengahnya yang sangat modis.

Andy langsung menaikkan alis. "Oh. Dimana mereka sekarang?" Ia tak bisa menyembunyikan ketertarikannya ter-hadap petugas perpustakaan paling keren sepanjang sejarah itu. Wajah Ethan memang cenderung biasa-biasa saja, tapi gayanya sungguh cool dan enak dilihat, apalagi dengan kacamata berframe biru tipis yang selalu dikenakannya saat membaca. Sayang ia adalah seorang staff college, jadi Andy tidak berharap banyak.

Ethan bangkit dan melangkah ke rak nomor 3 yang letaknya agak terpencil. Ia mengambil dua buah buku dan me-nyerahkan mereka kepada Andy. "Kau akan menggunakannya untuk belajar?" tanyanya.

"Yep." balas Andy singkat.

"Hmm… gadis yang rajin." puji pemuda itu sambil tersenyum. "Kau kelas 3 kan?"

Andy mengangguk. "Tahun depan sudah tahun terakhir O-Levelku. Pasti tugas-tugas akan makin menumpuk." tu-kasnya dengan pasrah. Ia selalu mengeluarkan nada pasrah bila sudah membicarakan pelajaran. Mungkin ia terma-suk satu di antara murid-murid termalas Acton. Habis bagaimana? Pelajaran yang disukainya hanya Arts, Music, Eng-lish dan English Literature. Matematika memang mengasyikan, tapi faktor membosankannya pun tak kalah besar. Alja-bar? Jangan harap. Berpapasan dengan Mr. Watkins saja sudah membuatnya dilanda bad mood. Social Studies? Se-muanya serba teoritikal, pelaksanaannya hampir sama sekali tak ada. Science? Bukan bidangnya. Jadi apa yang bisa ia harapkan? Nilai-nilainya selama ini memang cukup tinggi, tapi ia tak bisa begini terus. Ia betul-betul harus belajar dengan sungguh-sungguh.

"Well, kalau begitu good luck, deh. Untungnya aku sudah berhasil melewati masa-masa neraka itu dengan sela-mat." Ethan tertawa kecil. "Padahal aku sudah takut akan gagal."

"Memangnya ujianmu dulu sesusah apa?"

"Lumayan lah. Dulu aku di sekolah swasta, jadi pelajarannya jauh lebih susah dan bertele-tele dari sekolah peme-rintah." jelas Ethan.

"Sekolah swasta mana?" tanya Andy lagi.

"Concord College, Shropshire."

Andy terdiam. Rasanya ia pernah mendengar tentang Concord College. Ia teringat bahwa itu adalah nama sebuah sekolah elite berjarak satu jam dari Birmingham. Fasilitas college itu terkenal lengkap dan canggih, jumlah siswanya pun amat sangat dibatasi. Untuk bersekolah di sana tidak hanya dibutuhkan banyak uang tapi juga otak cerdas. Kalau pemuda ini bisa bersekolah di sana, sudah bisa ditebak bahwa ia termasuk kategori orang berada, dengan kepandaian yang melebihi rata-rata pula. Mengesankan. "Kenapa akhirnya kau pindah ke London?" Pertanyaan itu meluncur dari kedua belah bibir Andy.

"Ayahku dimutasikan. Itu terjadi sebelum aku masuk universitas." jawab Ethan. "Mulanya sih agak sulit juga me-nyesuaikan diri, habis London benar-benar beda dengan Birmingham…" Ia terdiam sejenak. "Di Birmingham semua-nya serba sunyi dan alami, sedangkan London begitu meriah dan penuh atraksi. Jadi aku lumayan terpesona juga saat pindah kemari."

Andy mendengarkan cerita Ethan dengan serius. "Well… aku belum pernah pergi ke Birmingham, sih. Dulu kakak-ku sering bolak-balik London-Birmingham untuk manggung."

"Manggung?" Ethan menampakkan wajah kagum.

"Ya. Ia bersama teman-temannya. Dulu mereka tergabung dalam sebuah band, tapi sejak lulus A-Level masing-masing menempuh jalan mereka sendiri… jadi band itupun bubar."

"…kau lahir di London ya?" Ethan tersenyum manis.

Andy menganggukkan kepala. "Tahu dari mana?"

"Entahlah. Ada sesuatu dalam dirimu yang benar-benar mencerminkan ciri khas London."

"Ciri khas London?" Andy mengulangi kata-kata Ethan dengan heran. Hmm…

"Yeah." Ethan mengangguk. Tanpa disadari posisi tubuhnya semakin dekat dengan Andy. "Classy… mysterious…" Sinar matanya berubah. "Elegant and exotic…" Perlahan-lahan lengannya mengelilingi pinggang Andy yang curvy. "Tipe gadis Inggris kental kesukaanku…" Ia menatap Andy dengan penuh gairah, lalu didekatkannya wajah gadis itu ke wajahnya.

Jantung Andy berdegup kencang. Apa-apaan ini?!!! Serempak ia menghindar dari tubuh Ethan. Ia melihat sekeli-ling. Sama sekali tak ada orang!!! Mereka hanya berdua di dalam perpustakaan, dan keadaan bisa menjadi sangat berbahaya kalau begini. "Well, Ethan… maaf, aku bukan tipe gadis Inggris kental kesukaanmu atau siapapun juga. I-buku orang Jerman." Ia terpojok. "Erm… kurasa aku harus pergi sekarang, waktu lunch sudah hampir habis. Thanks untuk bukunya." Andy langsung pergi saja dari tempat itu. Ia tak berani menoleh ke belakang sekalipun.

Sesampainya di luar ia langsung mengumpat, "What the HELL was that?!!!" Apa maksud Ethan meraba-rabanya dengan penuh napsu begitu?!!! Ia menghambur ke kelas. Ia harus memberitahu Rachel dan Eileen! Secepatnya! Me-reka pasti kaget!!!

Dan benar saja, reaksi mereka tak kalah heboh setelah mendengar cerita Andy. "Ethan?!!" Rachel memekik. "Ya ampun, aku juga diberitahu kalau ia memang mata keranjang. Hampir semua ceweg Acton College digodanya! Tadi-nya aku tak percaya, tapi… Ihhhh, dasar lelaki buaya!!! Padahal ia lumayan keren lo!" Suaranya terdengar kecewa.

"Aku juga kaget setengah mati! Padahal kami sedang membicarakan tentang sekolah dan hal semacamnya!!!" An-dy kesal bukan main. Seumur-umur ia tidak akan berani datang ke perpustakaan lagi!!!

Eileen menimbrung, "Eh, tapi katanya dia ada affair dengan Tina! Banyak yang melihat mereka berpelukan dan berciuman begitu mesranya di pojok perpustakaan!"

"Yah, Tina kan memang murahan. Dia memakan apapun yang terlihat keren." ejek Rachel. "Kog selera Ethan bisa seburuk itu sih? Kebagusan kalau ia disejajarkan dengan Tina!" Wajahnya benar-benar kusut sekarang.

Andy menghela napas. Ia bisa menyimpulkan bahwa kawannya itu memendam perasaan khusus untuk Ethan, tapi apa daya… ternyata Ethan seorang pemuda brengsek. Siapa sih yang menyangka kalau ia sebejat itu? Sayang… pa-dahal seru juga kalau ia dijadikan pacar pura-pura seperti yang disarankan James minggu kemarin. Andy berpikir penuh kedongkolan, kenapa sih ia tak pernah beruntung dalam kehidupan cintanya?!!

"Nanti sore kaumau kemana, Andy?" Eileen mulai dengan topik baru. Ia tak begitu tertarik dengan masalah Ethan. Wajar saja, karena ia sudah punya seorang cowog yang keren. "Kau sudah jarang pergi keluar lagi belakangan ini." komentarnya.

Andy terdiam dan berpikir. Ia sudah jarang keluar lagi? Tidak juga. Terakhir kali ia pergi keluar adalah ketika ia pergi bersama Gary, dan itu baru dua minggu yang lalu. "Well, sepertinya aku tidak bisa pergi jalan-jalan sampai ujian berakhir. Pulang nanti aku harus menjenguk Alvin. Kakinya sudah mulai baikan, sih. Paling beberapa hari lagi ia sudah boleh pulang. Lalu malamnya aku berencana ingin belajar sebentar."

"Seluruh anggota keluargamu itu benar-benar hiper aktif ya?" sindir Rachel sinis. Ia masih kesal karena kehilangan kesempatan untuk flirting dengan Ethan. "Tiap akhir pekan pasti ada saja kejadian."

Andy tak mempedulikan sindirannya. "Can't help it. It's in the blood." Ia beranjak sambil memegang perutnya. "Aku ke toilet dulu, guys. Insiden tadi membuatku mulas."





Suara pancuran shower terdengar jelas dari dalam kamar mandi apartemen Jon dan Mike.

"Jon, aku pergi dulu! Aku akan kembali saat makan malam!" Mike berseru tergesa-gesa. "Ingat, hari ini giliranmu memasak! Jangan pura-pura lupa lagi!!! Jon?!!! Kau dengar aku, Jon?!!!"

"Iya, temanku yang cerewet!!!!" Dari dalam shower Jon membalas. "Pergi sajalah kau!!!"

Mike meraih kunci mobil sportnya di atas meja dan keluar. Lalu terdengarlah suara bantingan pintu yang begitu ke-ras. Pikir Jon, lama-lama pintu itu bisa lepas kalau Mike tetap tinggal di sini. Pemuda itu memang tidak pernah sadar. Ia selalu mengejek dan menghina Jon, tapi tak bisa menerima kalau Jon balas memarahinya.

Yah, tapi bagaimanapun juga Mike tetap sahabat baiknya. Ia sudah menganggap Mike saudara kandungnya sen-diri, bahkan mungkin jauh lebih dekat dari itu. Tidak bertemu Mike sehari saja rasanya seperti kehilangan sebuah ben-da berharga yang tak bisa diganti dengan apapun. Ia tidak bisa membayangkan kalau nanti salah satu dari mereka akan menikah dan pindah dari apartemen ini…

Jon mematikan shower. Ia menggapai handuk putih yang tergantung di dinding dan melingkarkan handuk itu me-nutupi bagian bawah tubuhnya. Lalu dilihatnya bayangan dirinya di hadapan cermin. Otot-otot perutnya yang berkon-traksi dan bisepnya yang kekar… harus diakui kalau ia memang memiliki tubuh yang bagus. Ia mengambil tube gel da-ri dalam lemari di atas wastafel dan menuangkan sedikit ke telapak tangannya, kemudian ditatanya rambutnya dengan gaya biasa. Highlight bleach rambutnya sudah mulai memudar, menampakkan warna pirang gelap rambut aslinya. Ia malas mengecatnya lagi, toh ia masih terlihat keren dengan rambutnya yang sekarang.

Mungkin hari ini ia akan pergi ke gym. Lalu sorenya ia harus mengajar tennis di Acton Park, selesai kira-kira jam e-nam kurang. Dan ia masih harus memasak makan malam untuk dirinya dan Mike. Yah… daftar kegiatan hari ini luma-yan padat juga. Siapa yang hari ini menjemput Andy di sekolah? Rasanya sih Mike. Tapi bukankah Mike ada pemotret-an di agency-nya? Jon berpikir sejenak. Well… gampang lah. Ia akan membawa mobile. Nick bisa menghubunginya kalau-kalau ia diperlukan.

Ia keluar dari kamar mandi dan mengambil baju yang sudah disiapkannya di atas ranjang. Dikenakannya baju itu dengan sedikit tergesa-gesa. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Ia harus bergegas pergi ke gym supaya dapat mengejar waktu mengajar tennisnya. Setelah semuanya selesai, ia mengambil raket tennis dan mobile-nya lalu beranjak pergi.

Hampir saja ia menabrak sebuah koper besar yang melintang begitu saja di depan pintu apartemennya. "O God!" serunya kehilangan keseimbangan, namun untunglah ia sempat menyandarkan sebelah tangannya pada dinding. Ia lupa, kemarin Mike memberitahunya bahwa di apartemen seberang akan ada tetangga baru. Mereka akan pindah hari ini. Terlihat pintu apartemen mereka terbuka lebar dan semuanya serba berantakan.

"Ya ampun… maafkan aku! Dasar adikku, ia menaruh koper sembarangan di depan apartemen orang lain!" Seo-rang gadis berwajah Asia keluar dan menghampiri Jon. "Anda tidak apa-apa kan?" Ia mencoba menyingkirkan sebuah koper besar dari depan pintu apartemen Jon, namun tak berhasil karena tubuhnya yang begitu mungil.

"Biar kubantu." Spontan Jon menawarkan bantuannya. Dengan mudahnya ia memindahkan koper itu ke pinggir. "…kalian tetangga baru kami, ya?" tanyanya.

"Ya." Gadis itu mengulurkan tangan. "Namaku Anne. Sekali lagi maaf ya."

"Tidak apa-apa. Aku Jon." Jon menyambut uluran tangan Anne. "Mungkin kau sudah bertemu dengan teman se-apartemenku, Mike."

"Oh, tadi adikku yang bertemu dengannya. Aku sedang sibuk mengatur furniture di dalam, sih."

"Kalian tinggal sekeluarga?"

"Ya. Aku bersama adikku dan ayahku." Anne tersenyum manis. "Semoga kami bisa menjadi tetangga yang baik."

Jon membalas senyumannya. "Well, sebenarnya aku ingin berkenalan dengan kalian lebih jauh, mungkin mem-bantu-bantu sedikit… tapi aku harus pergi dan baru pulang sekitar jam setengah enam nanti." Ditunjukkannya raket tennis yang sedari tadi dipegangnya. "Aku harus mengajar tennis di Acton Park."

Anne berdecak kagum. "Cool. Enjoy your time, then. Tak usah repot-repot, kami bisa mengerjakan semuanya sen-diri, kog. Apakah malam nanti kalian ada acara? Mungkin kami akan datang dan kita bisa mengobrol bersama."

"Wah, silakan. Kebetulan aku yang akan memasak makan malam."

"Benarkah? Thanks very much."

Sekali lagi Jon tersenyum. "Kalau begitu sekarang aku pergi dulu. Sampai jumpa malam nanti, Anne."

"Bye, Jon." balas Anne. "Have a nice day."

Lalu ia masuk ke dalam dan melanjutkan pekerjaannya.

Jon berjalan ke arah lift. Tetangga barunya itu lumayan sexy juga. Jon menebak ia hanya beberapa tahun lebih tua dari Andy. Hmm… seorang gadis keturunan Asia yang manis. Lumayanlah… akhirnya ada juga objek pencuci mata di apartemen gersang ini, batinnya.





Suasana Central Middlesex Hospital lumayan ramai juga sore itu. Beberapa dokter dan perawat sibuk berlalu la-lang di koridor, sedangkan petugas resepsionis sedang sibuk dengan berkas-berkas yang harus dikerjakannya; ketika seseorang tiba-tiba muncul dari arah lorong,

"Permisi… bisa saya tahu dimana kamar Alvin Broadley?"

"…anda keluarganya?"

"Bukan, tapi saya memiliki urusan penting dengannya… sangat penting."

"Oh. Tolong tunggu sebentar…"


Sedari tadi Alvin terus mengeluh di atas ranjang. Dengan kaki dibalut gips setebal itu ia sulit sekali bergerak. "Ka-pan sih aku boleh pulang? Aku mau main Playstation…" gerutunya. "Aku bisa mati kebosanan di sini, mana makanan-nya tidak enak, lagi."

"Sabar, Alv. Dua hari lagi." balas Nick dengan nada cuek. Ia tengah serius meng-edit file-file dengan laptopnya. "Well, rumah kita terasa lumayan sepi juga lo tanpa celotehanmu." Senyumnya mengembang lebar.

"Hehe, lucu." Alvin mencibir. "Matilah aku. Sudah tak boleh bermain sepakbola dua bulan… masih juga timku dita-han imbang Hackney. Padahal Westminster dikenal sebagai tim yang selalu menang di kandang…"

"Yah, pantas saja kalian tidak bisa menang!" cela Nick. "Seranganmu saja tumpul setengah mati! Koordinasi para pemain juga tidak bagus. Bayangkan, dari pinggir lapangan pun Mike bisa melihat kalau stamina bek kalian benar-be-nar payah!"

"Bagaimana kami bisa berkonsentrasi bertanding kalau ada seorang gila yang berteriak-teriak seperti orang kese-tanan begitu dari bangku penonton?!!"

"Hey, aku hanya memberi dukungan!!!" Nick membela diri. "Masih untung ada suporter yang menyoraki tim kali-an!!"

"Dukungan?!! Kausebut itu dukungan?!!! Teriakanmu itu malah menguntungkan Hackney, tolol!!!"

"APA?!!!" seru Nick. "Dasar tak tahu cara berterima kasih!!"

"Untuk apa aku berterima kasih?!! Toh kerjamu hanya mengacaukan pertandingan saja!!!"

"Kau memang-"

"Permisi, apakah ini kamar Alvin Broadley?" Terdengar suara dari arah pintu.

"Hah?" Nick membalikkan tubuh. Dilihatnya seorang pria berkacamata umur tiga puluhan tengah berdiri di sana.

"Maaf… sudah beberapa kali saya mengetuk pintu namun tak ada jawaban, jadi saya masuk saja. Apakah benar i-ni kamar Alvin Broadley?"

Nick bangkit dari kursinya dengan malu. "Benar… oh, kami benar-benar minta maaf… begitu seriusnya kami berbi-cara sampai-sampai tidak mendengar bunyi ketukan pintu." Ia tertawa kecil. "Silakan masuk."

Alvin memutar-mutarkan bola matanya. Dasar tukang bohong, ujarnya dalam hati.

"Yah, perkenalkan dulu… nama saya William Kent." Pria itu menjabat tangan Nick.

"Nick Broadley." balas Nick.

Berikutnya William Kent mengulurkan tangan pada Alvin. "Dan Anda pasti Alvin Broadley."

Alvin mengangguk heran sambil menyambut uluran tangan pria itu.

Nick pun tak kalah herannya. Ia mengambil sebuah kursi yang terletak di sudut ruangan. "Silakan duduk, Mr. Kent. Maaf, tapi saya tak merasa mengenal Anda… mungkin Anda bisa menjelaskan ada urusan apa antara Anda dengan adik saya?"

William Kent mengambil duduk. "Yah… sebelumnya saya minta maaf terlebih dulu. Saya muncul tiba-tiba dalam waktu yang kurang tepat pula…" Pandangannya terarah pada kaki Alvin yang terbalut gips. "…seharusnya saya me-nunggu sampai keadaan Alvin membaik, tapi sebagai seorang profesional saya merasa tidak boleh melewatkan ke-sempatan yang sudah berada di depan mata… jadi saya langsung saja menemui kalian. Semoga Anda tidak kebera-tan."

Nick dan Alvin saling berpandangan. Sekarang mereka betul-betul bingung!

"Well…" Nick mengerutkan kening. "Saya pribadi sama sekali tidak keberatan… tapi saya sungguh tidak mengerti akan kepentingan Anda dengan Alvin."

Mr. Kent tersenyum. "Begini… saya adalah seorang pengamat sepakbola. Sudah berbulan-bulan saya memperha-tikan pertandingan-pertandingan Alvin, dan saya bisa dengan aman mengatakan bahwa Alvin memiliki potensi yang sungguh besar. Saya rasa sayang kalau bakat sebesar itu disia-siakan, jadi saya berpikir, bagaimana kalau Alvin di-masukkan ke dalam klub junior tertentu? Dengan begitu bakatnya akan semakin terasah, dan jalannya menuju sepak-bola profesional nanti akan semakin mudah."

Alvin menaikkan sebelah alisnya. Nick membelalakkan mata.

"Mungkin ini terdengar seperti bualan besar…" Mr. Kent melanjutkan, "…tapi saya yakin Alvin akan menjadi seo-rang pesepakbola terkenal di masa depan, asal kita bisa mengarahkannya untuk belajar sepakbola secara formal se-jak usia dini. Menurut pengamatan saya, Alvin mampu berprestasi melebihi Michael Owen ataupun David Beckham dengan bakatnya itu."

Sekarang kedua belah mata Nick sudah hampir keluar dari kantongnya. Michael Owen?!!! David Beckham?!!! Apa-kah orang ini sedang bermimpi?!!

Kembali Mr. Kent tersenyum. "Saya tahu kata-kata saya memang kedengaran tidak masuk akal… namun saya su-dah menggeluti dunia sepakbola sejak saya berusia tiga tahun. Ayah saya dulu seorang pesepakbola profesional, dan saya sudah mengenal bola sepak sejak pertama kali saya belajar merangkak. Saya tahu hampir semua seluk-beluk sepakbola, mulai dari peraturan yang paling detail sampai peta kekuatan tim-tim di seluruh dunia. Sedikit banyak saya bisa melihat potensi yang ada dalam diri seseorang, dan sejak pertama kali saya melihat Alvin bermain…" Ia menatap Alvin dan menampakkan kekaguman yang amat sangat, "I knew this kid's special."

Wajah Alvin memerah dalam sekejab. Banyak orang pernah mengatakan kalau ia hebat, banyak yang bilang ia berbakat… tapi special? Itu sebuah istilah yang baru pertama kali didengarnya.

"Saya telah melakukan banyak pengamatan terhadap Alvin… sekali lagi saya minta maaf kalau Anda mengang-gapnya sebagai pelanggaran privacy…"

"Tidak… tidak apa-apa." Nick tergagap. Ia masih menganggap orang ini seratus persen tengah bercanda! Mungkin orang ini akan meminta sejumlah uang yang besar dengan alasan untuk mengorbitkan Alvin! Mungkin saja ia seorang penipu kelas tinggi!

Mr. Kent membuka folder yang dibawanya. "Saya mendapat informasi bahwa Alvin memiliki dua orang kakak laki-laki. Yang pertama adalah Dennis Broadley, mantan pemain klub Arsenal musim 1990-1991; dan yang kedua adalah Anda, Nick Broadley, mantan goalkeeper Southampton University angkatan '93. Dengan melihat sejarah keluarga An-da yang berlatar belakang sepakbola murni, saya rasa ini juga merupakan faktor pendukung Alvin untuk meraih suk-ses dalam sepakbola profesional."

"Erm…" sela Nick. "Maaf kalau saya berkesan tidak mempercayai Anda, tapi jaminan apa yang bisa Anda berikan pada kami tentang hal ini?"

Mr. Kent menghela napas. "Yah, inilah beban yang harus saya tanggung sebagai seorang promotor. Saya rasa Anda tahu persis bahwa dunia sepakbola profesional sangat penuh dengan resiko. Sebagai contoh, untuk menggeluti sepakbola profesional tentu saja Alvin harus meninggalkan bangku sekolahnya yang sekarang dan menjalani pendidik-an khusus untuk calon pesepakbola… saya tidak bisa menjamin semuanya akan berhasil. Saya tahu persis resiko yang akan timbul bila ia gagal; pada akhirnya ia akan tumbuh dewasa tanpa pekerjaan… dan tanpa ijazah sekolah pula. Itu sama saja dengan menghancurkan seluruh hidupnya. Karena itulah saya tidak bisa menjamin apa-apa. Saya harus akui kalau jalan yang paling aman adalah untuk menempuh pendidikan secara formal, tapi jujurnya saya juga merasa sayang jika bakat seseorang yang begitu besar dibiarkan begitu saja. Jadi semua keputusan saya serahkan pada pihak Alvin, dalam hal ini orangtua atau walinya; mengingat Alvin masih di bawah umur."

"…lalu bagaimana dengan masalah biaya?" tanya Nick lagi.

"Untuk masuk ke dalam sebuah klub junior, Anda tidak akan dikenakan biaya yang mahal. Dan tentang sekolah sepakbola, kami bisa mengusahakan beasiswa untuk Alvin di sekolah sepakbola klub-klub ternama Inggris maupun U-ni Eropa, jadi praktis Anda tidak akan dikenakan biaya sama sekali."

Nick terdiam. Rasanya sulit untuk mempercayai tawaran besar semacam ini. Ia harus mengkonsultasikannya de-ngan Dennis. Kakaknya itu pasti lebih berpengalaman daripada dirinya kalau mengenai sepakbola profesional.

"Saya tidak akan memaksa." ujar Mr. Kent, "Anda bisa memikirkan tentang hal ini terlebih dahulu, dan bisa meng-hubungi saya kapanpun Anda merasa yakin." Ia menyodorkan kartu namanya. "Anda juga bisa menghubungi saya bila Anda membutuhkan informasi tambahan. Kalaupun Anda memutuskan untuk menolak tawaran ini, tidak apa-apa. Tapi kalau boleh berpendapat, saya rasa Alvin patut mencobanya. Apapun keputusan Anda nanti, tolong hubungi saya."

Nick mengangguk. "Ya, saya akan berdiskusi dulu dengan seluruh anggota keluarga kami."

Mr. Kent tersenyum dan bangkit berdiri. "Kalau begitu saya permisi dulu. Alvin, semoga cepat sembuh." Ia mene-puk bahu anak itu. "Saya yakin kau akan menjadi seorang pesepakbola terkenal di masa datang."

"Well… thanks." jawab Alvin gugup.

Lalu pria itu mengulurkan tangannya pada Nick. "Senang bertemu dengan Anda, Mr. Broadley. Saya menunggu jawaban Anda."

Nick membalas uluran tangan Mr. Kent. "Ya. Terima kasih, Mr. Kent."

"Sama-sama."

Kemudian ia melangkah keluar dari ruangan dan menutup pintu.

Spontan Nick dan Alvin saling menatap. "Kau percaya apa yang baru saja dikatakannya?" Nick bertanya.

Alvin menggeleng. Namun detik berikutnya ia menampakkan senyum yang sungguh nakal. "Tapi setidaknya dia ta-hu bagaimana caranya menghargai bakat seseorang! Sudahlah, Nick… akui saja, aku memang berbakat. Atau seti-daknya, jauh lebih berbakat darimu!!" cemoohnya.

"Dasar anak kurang ajar!!" Nick tak bisa menerima perkataan adiknya. "Sini kau, kuhancurkan kakimu!!! Kau tidak akan bisa bermain sepakbola lagi selamanya!!!!" Ia menerjang Alvin. "HAHAHA!!!!"

"WAAAAAA!!!!!!!!!!!!" jerit Alvin panik. "Lepaskan aku!!!! NIICCCCKKKK!!!!! KUBUNUH KA-"

Mereka berdua tersentak ketika Mr. Kent tiba-tiba berada di hadapan mereka.

"Ah… ma-maaf. Saya hanya ingin mengambil folder saya yang tertinggal-" Secepat kilat ia mengambil foldernya di atas kursi dan pergi dengan membanting pintu.

Kembali Nick dan Alvin saling berpandangan. "Oops…"



Next
Previous
Home

(c)1999, 2001 AndreaHearn 1