|
Kesaksian: Setiap Anak adalah Anugerah
Termasuk Anakku yang menderita Down Syndrome
Inge Sidik
|
ukup banyak waktu saya jalani dalam ketidak puasan akan pemberian Tuhan.
Setelah memiliki dua orang anak perempuan, tiga tahun kemudian Tuhan menganugerahkan kami seorang bayi laki-laki. Tapi sukacita tersebut tidak berlangsung lama karena ternyata perkembangan anak kami sangat lambat. Ketika saya mengetahui bahwa anak saya mengalami kelainan kromosom, saya merasa sangat terpukul. Dokter mengatakan bahwa anak saya mengalami cacat mental. Sulit bagi saya untuk menerima kenyataan ini. Tiba-tiba saya merasa sangat kesepian dan tertekan. Sekalipun saya aktif dalam kegiatan paduan suara di gereja, tidak ada seorangpun yang datang dengan perhatian dan penghiburan yang saya butuhkan. Sampai pada akhirnya seorang guru sekolah minggu dari gereja lain yang dengan setia setiap hari Kamis datang ke rumah dan mendoakan saya. Sebenarnya ia adalah guru dari anak saya yang pertama, tapi dia mengasihi Joseph dan saya. Pada saat itulah saya dapat melihat bahwa masih ada orang yang betul-betul menerima Joseph sebagai ciptaan Tuhan yang sama berharganya dengan anak-anak lain. Guru sekolah ini mengatakan: "Ibu, semua rumah tangga mempunyai salibnya sendiri untuk dipikul. Bukan ibu sendiri yang menderita, sekalipun penderitaannya berbeda. Tuhan mengetahui kekuatan ibu dan mempercayakan Joseph pada ibu. Tuhan mempunyai rencanaNya sendiri untuk ibu dan Joseph." Melalui pelayanannya yang setia saya menjadi lebih kuat.
Joseph sangat membutuhkan saya. Saya tidak boleh malu karena saya adalah satu-satunya ibu bagi Joseph. Walaupun kadang-kadang Joseph mengungkapkan ekspresi yang berlebihan di tempat umum, seperti menari-nari atau tertawa keras-keras. Saya tahu itu adalah caranya sendiri untuk mengungkapkan perasaan senang. Sayapun senang melihat anak saya bahagia.
Banyak orang tua memasukkan anaknya ke dalam asrama anak-anak cacat. Mereka mengatakan bahwa kalau saya tidak membawanya ke asrama berarti saya tidak mengasihinya. Tapi, saya dan suami saya melihat bahwa tempat terbaik bagi Joseph adalah rumahnya sendiri.
Pertama, yang paling dibutuhkan Joseph adalah kasih sayang. Kapan saja Joseph merasa takut, sedih, atau gelisah, saya siap untuk menolongnya. Di asrama, belum tentu Joseph bisa mendapatkan pengasuh yang betul-betul mengasihinya dengan sepenuh hati.
Kedua, memang di asrama dia akan diajarkan bermacam ketrampilan. Akan tetapi itupun dapat saya berikan di rumah. Bahkan saya dapat memberikan lebih dari itu. Di rumah saya dapat melatih ketrampilan-ketrampilan yang ia butuhkan, selain saya bisa membawanya ke Sekolah Luar Biasa. Dia bisa belajar membantu mencuci piring sekalipun seadanya, belajar membereskan tempat tidur, dan lain-lain.
Ketiga, kalau mereka sudah terbiasa hidup di asrama, mereka akan merasa tidak betah untuk tinggal di rumah nantinya.
Keempat, dengan merawat dan mendidiknya sendiri di rumah, saya semakin dapat melihat keindahan dalam diri anak saya. Ternyata Joseph jauh lebih sabar dan peka akan kasih sayang. Dia lebih dapat menunggu ketika kita sedang sibuk. Dia lebih bisa mengekspresikan perasaan kasih kepada orang tua. Dia juga memiliki inisiatif yang baik untuk membantu.
Kelima, usia anak-anak seperti ini tidaklah panjang, karena itu saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan anugerahkan untuk saya dan Joseph. Saya akan merasa sangat menyesal jika saya tidak ada di sisinya pada saat ia sangat membutuhkan saya.
Memang tidak mudah menerima kenyataan ini. Salah satu kesulitan yang saya alami adalah bagaimana memberikan pengertian kepada kedua kakaknya. Saya harus memberikan pengertian kepada anak-anak saya yang lain bahwa kasih saya kepada mereka sama besarnya dengan kasih saya kepada Joseph. Sudah barang tentu waktu dan perhatian akan terlokasi lebih banyak untuk Joseph, itulah sebabnya mereka merasa kami lebih mengasihi adiknya.
Peranan suami juga sangat penting. Dukungan yang selama ini saya paling butuhkan adalah perhatian. Kita tidak boleh banyak membuang waktu dengan mempersalahkan satu dengan yang lain. Pertanyaan "siapa yang menyebabkan anak lahir seperti ini?" memang wajar pada awalnya. Tapi kita harus menyadari bahwa Tuhan lebih menginginkan kita melihat ke depan daripada melihat ke belakang. Kalau suami terus mempersalahkan istri, atau bersikap tidak perduli, yang menjadi korban adalah anak. Dengan hati yang jengkel, tidak mungkin kita dapat memberikan kasih sayang yang sepatutnya kepada anak kita. Apalagi untuk anak cacat mental dibutuhkan kesabaran yang lebih. Saya pikir, perhatian yang minimal dapat diberikan oleh suami adalah menemani istri dalam proses perawatan dan pengobatan. Pada saat menunggu atau mengatasi anak yang memberontak, kehadiran suami sangatlah menolong.
Pesan saya untuk rekan-rekan lain yang mengalami pergumulan yang sama: "Janganlah malu terhadap anak sendiri, karena setiap anak adalah anugerah Tuhan, tak terkecuali anak kita yang cacat mental. Kita adalah orang tua yang istimewa karena Tuhan mau mempercayakan tugas istimewa ini kepada kita."