Perlahan Andy melangkah masuk ke dalam kamar Nick. Pemuda itu masih tidur, selimut menutupi seluruh tubuh dan wajahnya sehingga ia tampak bagaikan mayat; namun suara dengkuran halus yang terdengar dari balik selimut menandakan bahwa ia masih hidup. Andy menyingkap selimut bermotif Ferrari itu dan menemukan kakaknya tengah terlelap dalam posisi meringkuk seperti seorang bayi dalam kandungan ibunya, sambil memeluk bantal. Hidung dan dadanya kembang kempis seirama dengan napas lembutnya.
Di usianya yang tahun ini sudah dua puluh lima, rasanya Nick lebih cocok disebut baru berusia lima tahun. Wa-jahnya yang lucu dan kekanakan, dengan garis-garis tawa di sekeliling matanya, memang terlihat sangat imut dan menggemaskan. Ia memiliki lesung di kedua belah pipinya, dan juga dua buah gigi kelinci yang langsung terlihat tiap kali ia membuka mulutnya. Bola mata beningnya berwarna hijau kelabu dan terlihat sangat ramah. Ia benar-benar mu-rah senyum, sampai-sampai Andy menjulukinya 'The Smiley Face', karena tak ada satu haripun yang dapat dilewatkan Nick tanpa tertawa. Atau dengan kata lain, tak ada satu haripun dapat dilewatkan tanpa tawa bila berada di samping Nick! Setiap hari ia selalu punya lelucon baru untuk diceritakan, baik yang lucu maupun tidak. Yah, memang Andy me-ngakui kalau lelucon-lelucon Nick yang tidak lucu jauh lebih banyak jumlahnya daripada yang lucu, tapi dari cara Nick menyampaikan lelucon-leluconnya pun paling tidak sudah dapat membuat orang yang mendengarnya tersenyum geli melihat tingkahnya yang gila.
Sebenarnya Andy tidak tega membangunkan Nick yang sedang tertidur pulas. Wajah Nick terlihat begitu damai dan tentram; dan itu meluluhkan hati Andy. Gadis itu memang benar-benar sayang pada Nick. Mungkin kalau disuruh memilih dari antara ketiga saudara laki-lakinya, Andy akan memilih Nick. Bukan karena apa-apa, tapi Nicklah yang pa-ling dekat dengannya dan paling mengerti perasaannya. Nick memang sering membuatnya kesal dan jengkel, tapi An-dy tak bisa memungkiri bahwa Nick adalah segalanya dalam hidupnya. Dan tiap kali ia melihat Nick, ia makin merasa sayang pada pemuda imut yang hangat dan baik itu…
"Nick..." panggil Andy. Ia mengguncang-guncang bahu Nick. "Nick, bangun dong. Kau kan harus pergi kerja hari i-ni. Katamu kau harus sampai di redaksi jam delapan, ayolah Nick... sekarang sudah jam tujuh lima belas lo, kau bisa terlambat nanti."
Nick perlahan membuka mata. "…apa Andy? Kau bilang apa sih? Jangan ganggu aku dong, aku sedang mimpi in-dah, nih... Aku mimpi bertemu dengan Schummy…" Lalu ia kembali tidur tanpa menggubris perkataan Andy sedikitpun.
"Nick, sudahlah… nanti malam saja kau sambung mimpimu lagi, sekarang bangun!" Andy mengguncang bahu Nick lagi, namun Nick tetap tak bereaksi; bahkan ia memeluk bantalnya lebih erat seakan tak akan pernah mau melepas-kannya seumur hidupnya. "Nick, jangan buat aku kesal dong... ayolah, aku sudah siap nih. Aku harus pergi ke college, Nick. Aku bisa terlambat! Alvin juga sudah menunggumu, tuh. Cepat bangun, Nick!!!" Ia mulai kehilangan kesabaran. "Kalau tidak akan kusiram kau seperti dua hari lalu!"
Akhirnya Nick bangkit, walaupun pelupuk matanya masih terasa sangat berat. Wajah dan rambutnya kusut bukan main. Ancaman Andy tampaknya berhasil. Nick sudah kapok setengah mati saat dua hari yang lalu kedua adiknya me-numpahkan seember penuh air yang sedingin es di atas wajahnya karena ia tak mau beranjak dari tempat tidur, se-dangkan Andy dan Alvin harus pergi sekolah!
"Andy..." gerutu Nick lesu. "Kenapa sih kau tidak bisa membiarkanku tenang sehariiiiii... saja tanpa harus bangun pagi-pagi begini? Kenapa sih kau manja sekali? Tidak bisa melihat orang senang ya?" tanya Nick sekenanya. Ia meng-garuk-garuk kepala bagian belakangnya sambil sesekali menguap lebar.
Andy menatap Nick sesaat. "Ya, mungkin kau benar, lebih baik aku naik bus, lebih cepat!" Ia langsung bangkit dari ranjang Nick dan berpura-pura hendak keluar. Benar saja, Nick langsung meraih lengannya secepat kilat.
"Bercanda, bercanda, aku cuma bercanda!" ralat Nick serius. "Sampai matipun tak akan kubiarkan kau naik bus a-tau apapun juga namanya itu. Lebih baik tiap hari aku bangun jam empat pagi daripada harus kehilangan kau dan Alvin!" serunya. Nick tak akan pernah melupakan kejadian tragis yang menimpa kedua orangtuanya -yang juga orang tua Andy, Alvin, dan Dennis- sembilan tahun lalu, saat bus yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan dan mene-waskan hampir seluruh penumpang di dalamnya. Saat itu Nick baru berusia enam belas tahun dan ia benar-benar shock atas kematian ayah dan ibunya yang begitu tiba-tiba; yang menyebabkan ia menjadi anti dengan semua jenis kendaraan umum dan bus sampai sekarang.
Andy kembali menatap Nick dengan lembut. Ia memang tak terlalu ingat akan apa yang terjadi, karena saat itu ia masih seorang gadis kecil berusia enam tahun; tapi ia bisa mengerti dan ia tahu persis bagaimana perasaan seorang anak yang kehilangan kedua orangtuanya yang sangat dicintainya. Direngkuhnya tubuh kakak laki-lakinya yang tersa-yang itu dan dikecupnya pipinya dengan penuh kasih sayang. "Aku sayang kamu, Nick... kau adalah kakakku yang ter-baik di dunia!"
"Hei, cepat menyingkir dariku! Katamu aku sudah terlambat, cepat menyingkir dariku!" usir Nick seakan-akan ia a-kan ditulari sejenis virus mematikan.
Andy tertawa renyah. Nick memang sering begitu, ia paling suka merusak suasana, walaupun tentu saja ia hanya bercanda. "Ya sudah, cepat ganti baju dan cuci mukamu sana! Lima menit lagi kau sudah harus turun ya! Awas kalau terlambat!" Ia mengultimatum Nick dan melangkah keluar, lalu menutup pintu kamar.
Sebersit senyum penuh kebanggaan terbentuk di wajah Nick saat Andy sudah menghilang dari kamarnya. Andy sudah dewasa sekarang, mungkin kedewasaannya jauh melebihi usianya yang sesungguhnya. Ia sudah berubah, ia tengah berada dalam tahap-tahap untuk menjadi seorang wanita dewasa. Nick bisa merasakan perubahan-perubahan mencolok dalam sikapnya, kemanjaannya, caranya berbicara, bahkan lekukan tubuhnya; semuanya berubah menjadi Andy yang baru, yang tentu saja lebih baik dari sebelumnya. Dan Nick tahu kalau dirinyalah yang harus melindungi a-dik perempuannya satu-satunya itu, karena ia juga sangat menyayangi Andy seperti gadis itu menyayanginya.
------------------------------
Sepanjang perjalanan Alvin terus berceloteh, sampai-sampai Andy dan Nick bosan setengah mati mendengar o-cehannya yang terus-menerus diulang dengan penuh keantusiasan itu. Alvin memang maniak sepakbola, dan semua artikel yang ada hubungannya dengan sepakbola pasti dikomentarinya panjang lebar, seperti ulasan di harian 'The Daily Telegraph' yang tengah dipegangnya itu. "Dengan kemenangan ini Lazio memastikan diri untuk melaju ke per-empat final Liga Champions dan akan bertemu dengan klub senegaranya, Internazionale Milan. Pertemuan kedua tim papan atas Italia ini akan menjadi ajang duel seru antara Christian Vieri dan Ronaldo Luiz Nazario da Lima dari Brazil." Ia terdiam sejenak. "Duel seru?!!! Gila, ini pelecehan namanya! Sudah pasti Vieri akan mencetak hattrick dan memba-wa Lazio ke semifinal! Ronaldo pasti dibantai habis-habisan olehnya dan Salas! Mana mungkin sih tim sekelas Lazio dikalahkan oleh Inter yang idiot itu?!!!" cercanya habis-habisan. "Bagaimana menurutmu, Andy?" Ia menoleh ke kursi belakang dan melihat Andy yang sudah kesal karena sedari tadi terus ditanyai Alvin tentang artikel-artikel sepak-bola itu.
Andy menggelengkan kepala tanpa gairah. "Aku tak tahu, tanya saja Nick." Ia sama sekali tak berminat menjawab pertanyaan adiknya.
Nick juga sebenarnya sudah bosan dengan masalah sepakbola, tapi ia masih mau juga memberi komentar, "Seju-jurnya kukatakan Inter bisa menang, asal mereka mau merekrut seorang pemain muda berbakat yang aku tahu pasti bisa membendung aksi Vieri, Salas, Mancini dan Mihajlovic."
"Siapa?" potong Alvin heran.
"Nicholas Robert Daniel Broadley dari Inggris." Nick menunjuk ke arah dirinya sendiri dengan bangga, dan gaya-nya yang menggelikan itu langsung membuat Andy tertawa terbahak-bahak. Alvin menggerutu penuh kejengkelan ka-rena merasa dipermainkan.
Andy menyela, "Kau tahu, Nick? Menurutku Inter bisa menang, asal Lazio mengontrakmu!"
Nick ikut tertawa. "Yeah, betul sekali. Kau tahu sendiri kan kalau Nicholas Broadley adalah pemain muda yang sa-ngat berbakat... berbakat mengacaukan jalan pertandingan!"
Alvin pun kali ini ikut terbahak. Kedua bola mata hitamnya seakan menghilang, tertelan oleh kedua belah pipinya yang gempal. Anak itu berusia sepuluh tahun sekarang, tapi tubuhnya tinggi besar dan kekar, sehingga ia selalu diper-caya untuk menjadi penyerang utama dalam tim sepakbola sekolahnya. Ia sendiri bangga dengan postur tubuhnya yang besar, karena katanya mirip dengan pesepakbola Italia Christian Vieri! Ia begitu memuja penyerang klub Lazio itu, sampai model rambut Vieri pun ditirunya. Benar-benar pendukung yang fanatik.
Entah apa yang membuatnya begitu menyukai Vieri, tapi yang jelas darah sepakbola memang mengalir deras di dalam tubuh Alvin. Kedua kakak laki-lakinya, Dennis dan Nick, juga berbakat dalam olahraga yang satu itu. Dulu Den-nis pernah menjadi pemain klub lokal Arsenal selama satu musim. Walaupun namanya tak terlalu dikenal dibanding re-kan-rekan setimnya yang lain, namun bisa dibilang bahwa ialah otak dari separuh kemenangan yang diraih Arsenal musim itu. Umpan-umpan lambungnya selalu diarahkan tepat ke jantung pertahanan lawan; dan biasanya akan jadi sangat berbahaya kalau ia dibiarkan bebas di kotak penalti. Sebenarnya posisi Dennis di tim hanya sebagai seorang pemain cadangan, tapi akhirnya ia malah lebih sering diturunkan ke lapangan daripada pemain-pemain inti. Sayang, pada suatu pertandingan ia mengalami cedera pada pangkal pahanya; yang membuatnya tak bisa bermain sepakbola lagi sampai sekarang.
Lain halnya dengan Nick. Semasa kuliah di Southampton University dulu, ia menempati posisi sebagai kiper utama tim universitas dan paling diandalkan saat menghadapi tim-tim universitas lain. Ia termasuk kiper yang tangguh, yang akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan gawangnya. Bahkan bola-bola yang tingginya jauh melebihi kepala sekalipun, ia tetap mencoba menangkapnya. Tak jarang Nick melompat-lompat untuk meraih bola; sampai-sampai ia mendapat julukan 'The Cat', karena ia selalu melompat seperti kucing liar!
Tapi sama seperti kakaknya, karir sepakbola Nick pun tak berlanjut. Setelah lulus dari Southampton, ia memutus-kan untuk berhenti dan memilih untuk menekuni pekerjaan yang dapat mencukupi kehidupannya dan kedua adiknya. Apalagi setelah Dennis menikah, praktis hanya dirinya yang bisa menunjang biaya hidup Alvin dan Andy. Mungkin Nick masih menyimpan keinginan untuk menjadi seorang pesepakbola profesional, jauh di lubuk hatinya. Namun ia sudah meredam kesemuanya itu, karena baginya keluarga jauh lebih penting daripada sekedar mengejar ambisi pribadi. La-gipula bila boleh memilih, ia lebih suka jadi pembalap Formula1.
Mobil Ford Anglia yang dikemudikan Nick berhenti di depan gerbang Acton College. Andy sudah bersiap-siap kelu-ar. "Hei Andy, mungkin nanti sore aku tak akan sempat kembali kemari lagi, jadi akan kuminta Mike atau James saja yang menjemputmu pulang sekolah nanti, OK?" tanya Nick. Redaksi tempat Nick bekerja terletak di Jalan Fleet di pusat kota dan lumayan jauh dari Acton, sehingga tak mung-kin rasanya ia bisa menjemput Andy; apalagi dengan kemacetan kota London yang benar-benar parah pada jam-jam bubar sekolah. Dalam hal ini Alvin cukup beruntung karena di sekolahnya tersedia fasilitas antar jemput.
"OK. See ya, Nick..." Andy mencondongkan tubuhnya ke depan dan mengecup pipi Nick. "Bye, Alv." katanya pada Alvin yang duduk di sebelah Nick dan ia pun mengecup kening adiknya itu.
"Jangan lupa, nanti malam kita menginap di rumah Dennis." Nick mengingatkan.
"Aku tak akan lupa, tenang saja." balas Andy. Ia keluar dari mobil.
"Andy, kalau James atau Mike belum muncul, tunggu saja. Jangan pulang sendiri!" kata Nick lagi.
"Iya, Nick. Kau cerewet sekali, sih! Pergi sana!" seru Andy kesal.
Nick tersenyum sekilas, dan Ford Anglia biru muda itupun kembali meluncur di jalan raya.
------------------------------
Sekolah bukanlah tempat yang tepat untuk Andy. Walaupun Andy pandai bergaul dan tak punya masalah dengan lingkungan, walaupun ia senang pergi ke college dan bersosialisasi dengan banyak orang, tapi ia tetap lebih senang saat bel pulang berbunyi dan ia boleh pulang ke rumah. Rasanya ia lebih menemukan dirinya yang sesungguhnya bila berada di rumah. Bersama Nick, Alvin, dan setiap seminggu sekali mengunjungi Dennis dan keluarganya yang tinggal di Merton, London selatan; ia lebih menyukai kesemuanya itu. Banyak teman-teman Andy yang justru lebih senang menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabat mereka, pergi ke mall, jalan-jalan di pusat kota, atau pergi kemana sa-ja asal mereka tidak harus diam di rumah bersama keluarga yang membosankan, tapi Andy lebih memilih untuk me-ngusili Nick daripada pergi shopping!
Andy selalu pergi ke pusat kota pada akhir pekan. Ia juga seperti layaknya remaja-remaja lain, senang melihat-lihat butik baju, aksesoris, sepatu, dan gaya berpakaiannya pun modis. Ia sama seperti mereka, selalu ingin mencoba hal-hal baru, berani mengemukakan pendapat dan punya jaringan pergaulan yang luas. Namun entah kenapa, Andy tetap merasa lebih kerasan di rumahnya, sebuah rumah yang tak terlalu besar namun manis dan hangat di distrik Ealing di London barat, dimana ia melewati hari-harinya dengan penuh canda dan tawa bersama orang-orang yang dicintainya. Andy bersyukur bahwa ia memiliki keluarga yang harmonis, yang mungkin tak dimiliki oleh sahabat-sahabatnya yang lain. Ia merasa sudah cukup beruntung. Ia punya teman-teman yang baik, meskipun ia sendiri merasa bahwa sifatnya tak cukup baik untuk itu. Kalau ia sudah marah atau merasa disakiti, sifat kurang ajarnya bisa meledak-ledak tanpa bi-sa dikendalikan lagi. Dalam hal ini yang paling sering menjadi korban adalah para guru Acton. Untung saja nilai-nilai Andy termasuk tinggi dan bisa dibanggakan, sehingga guru-guru tak berkutik menghadapinya. Malah banyak murid yang merasa kagum terhadap Andy dan keberaniannya. Andy memang unik, tapi bagi Nick itu bukanlah suatu hal yang patut disyukuri. Ia hampir kewalahan sendiri kalau sudah berdebat dengan Andy. Hanya Andy satu-satunya orang yang bisa menyaingi bakat diplomatisnya! Belum lagi kalau gadis itu sedang dilanda bad mood, wah... Nick langsung angkat tangan karena tak tahu lagi harus bagaimana.
Namun setidaknya Nick sekarang sudah mulai bisa belajar untuk menghela napas dengan lega. Entah kenapa si-fat-sifat jelek Andy jarang muncul lagi. Tanda-tanda kedewasaan? Mungkin. Yang pasti perubahan-perubahan positif mulai dilakukan Andy dan ia semakin membuat semua orang terkagum-kagum dengan semua kelebihan yang dimiliki-nya.
Menjelang sore saat pelajaran berakhir, murid-murid saling berdesakan keluar gedung. Suhu udara panas bukan main dan keringat mengucur deras di kening tiap murid Acton. Gedung Acton College adalah bangunan tua, dan mes-kipun sudah berkali-kali diadakan renovasi, kerapuhan gedung itu tetap saja terlihat. Kemarin pengatur suhu ruangan mati, jadi murid-murid sudah hampir mati terpanggang di siang hari terik seperti ini.
Andy berjalan ke arah tempat parkir. Biasanya Mike, Jon dan James selalu memarkir mobil di situ tiap kali mereka menjemputnya. Ia langsung mengenali mobil sport Mike yang diparkir tak jauh dari pintu keluar. Mike sendiri tengah bersandar di pintu mobil menunggunya.
"Hai Andy!" sapa Mike. Ia tersenyum begitu melihat Andy. "Kenapa lama sekali sih?"
Andy menghampiri Mike. "Kemacetan sudah merambati seluruh pelosok London." jawabnya singkat.
Mike tertawa kecil. Banyak orang mengatakan kalau pemuda itu sangat tampan, dan Andy setuju dengan penda-pat mereka. Mike memiliki sepasang mata hijau yang ekspresif, rambut coklat pendek yang dipotong model tentara serta tubuh yang tegap dan sexy. Tingginya sekitar enam kaki, atau lebih pendek sedikit dari Nick. Mike lebih muda se-tahun dari Nick, dan ia bekerja sebagai model iklan untuk poster. Selama empat bulan terakhir ini di seluruh cabang Natwest Bank terpampang foto-fotonya yang mengiklankan produk terbaru yang dikeluarkan oleh bank terkenal Inggris itu. Ia memang keren, dan Andy senang memperhatikan gayanya saat melangkah ataupun berbicara. Logat bicara Mi-ke yang asli cockney pun sama sekali tidak mengurangi kharisma yang dimilikinya. Selain itu Mike juga sangat komuni-katif dan bersahabat; ia benar-benar sahabat yang top.
Dulu Mike, Nick, Jon dan James sama-sama sekolah di college yang sama. Mereka sempat membentuk sebuah pop band dan masih berlanjut sampai sekarang. Namun begitu mereka sudah jarang berlatih lagi, karena masing-ma-sing sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Tapi tentu saja mereka masih berteman baik, dan satu hal yang sudah rutin dilakukan oleh Mike, James dan Jon adalah menjemput Andy pulang. Mereka senang-senang saja bila diminta Nick untuk menjemput gadis itu, karena Andy memang orang yang menyenangkan. Ia memiliki selera humor yang tinggi, wajah yang unik serta senyum yang manis, yang tentu saja membuat semua orang tak bosan berada di dekatnya, ter-masuk Mike.
"Kau mau langsung pulang atau mau kutraktir makan dulu, nih?" tawar Mike sambil membukakan pintu sebelah ki-ri mobil untuk Andy.
Andy duduk di kursi depan. "Hei, benar nih kau mau mentraktirku? Lumayan lo, aku kan belum sempat makan si-ang!" Gadis itu berseru girang.
Mike masuk ke mobil dan menghidupkan mesin. Ia menurunkan rem tangan dan menginjak kopling untuk meng-ganti gigi. "Yah, sebenarnya sih aku mau saja mentraktirmu di restoran Spanyol yang baru dibuka di dekat stasiun King's Cross itu..." Ia menginjak gas dan mengemudikan mobil keluar dari sana. "...tapi kakakmu yang tersayang me-nyuruhku langsung membawamu pulang ke rumah." lanjutnya sambil tersenyum.
Wajah Andy langsung berubah pasrah. "Dasar dia memang tak bisa melihat orang senang... aku kan ingin jalan-ja-lan, Mike! Kemana saja boleh deh, please..." pintanya memelas.
Mike menggelengkan kepala. "Tidak bisa. Aku bisa dibunuh kalau mengajakmu jalan-jalan tanpa seijinnya!" kata-nya. Dan sebelum Andy sempat menggerutu lagi Mike langsung menyambung perkataannya tadi, "Lagipula James dan Jon sedang ada di rumahmu, kog!"
"Oya?" tanya Andy heran. "Sedang apa mereka di sana?" Ia merapikan rambut kecoklatannya dengan jari tangan.
Mike terdiam sesaat. "Kurasa... sedang main Playstation dengan adikmu."
Andy menghela napas. "Ya, ya, aku tahu. Game sepakbola kan? FIFA'99?" tebaknya lesu.
"Yup. Hmm, kurasa aku juga akan mampir sebentar di rumahmu nanti. Tadi aku sempat melihat mereka bertiga memainkan game itu, dan kelihatannya benar-benar seru tuh!" seru Mike antusias.
"Kenapa sih laki-laki itu semuanya gila bola?!!!" Andy tak mengerti. Ia sendiri sudah hampir mati karena bosan.
"Sepakbola kan olahraga yang indah dan berseni." sahut Mike. "Memangnya kau tidak suka sepakbola?"
"Suka sih suka, tapi kan sebal juga tiap hari mendengar ocehan Alvin yang terus-menerus membanggakan Vieri-nya itu!"
"Hei, itu masih belum seberapa!!!" sela Mike. "Kakak perempuanku jauh lebih parah lagi! Tiap hari ia terus mengo-ceh membangga-banggakan suaminya!!!"
Andy tertegun dan menatap Mike. "Memang suami Sandy pemain sepakbola?" tanyanya polos.
Mike terbahak. "Bukan! Ia bekerja di kantor berita. Uh, kau tidak tahu saja, dulu sewaktu aku masih tinggal bersa-ma Sandy dan suaminya itu, mereka kan baru saja menikah! Tiap hari suaminya pergi ke kantor dan ia tinggal di ru-mah. Ya ampun, kau tahu tidak apa yang dikatakan kakakku sepanjang hari? 'Oh, Mike... lihat kakak iparmu itu! Ia sungguh seorang pria yang amat menakjubkan! Ia betul-betul tampan, lembut, perhatian, dan ia sangat menyayangimu seperti adiknya sendiri! Oh Tuhan, aku sungguh beruntung mempunyai suami sepertinya! Benar kan, Mike?'" Mike me-nirukan gaya bicara kakaknya. "Ia gila!!!"
Andy terpingkal-pingkal. "Lalu apa reaksimu?"
"Kutinggal saja ia sendirian! Aku paling tak tahan kalau mendengar kata-kata semacam itu!"
Andy memegangi perutnya yang terasa sakit. "Pengantin baru kan memang suka berbuat hal yang tidak masuk a-kal!!!" komentarnya. "Pasti suatu saat nanti kau juga akan membangga-banggakan istrimu di hadapan teman-teman-mu!"
"Aku tidak gila seperti Sandy!" tukas Mike.
"Bukannya tidak gila, tapi belum gila! Kau pasti akan jadi gila juga, Mike. Kegilaan itu kan penyakit keturunan!" An-dy terus tertawa tanpa henti.
"Terserah kaulah... semoga saja aku tidak akan jadi seperti kakakku! Lebih baik aku tidak menikah daripada jadi seperti dia!!!" cetus Mike. "Eit... tapi tunggu dulu! Aku tak mau jadi bujangan seumur hidup, bisa-bisa aku jadi gila juga!"
------------------------------
Christian Vieri menggiring bola menuju ke gawang lawan. Beberapa pemain belakang mencoba menahan laju-nya, namun tidak berhasil. Vieri terus maju dan maju tanpa ragu. Ketika tinggal kiper lawan saja yang masih tertinggal di hadapannya, Vieri melesakkan bola tepat ke tengah gawang. Para penonton bersorak riuh menyambut gol indah itu. Selanjutnya peluit tanda pertandingan usai pun berbunyi.
"YESSSSSS!!!!!" pekik Alvin girang. Ia langsung berdiri dan mengangkat tangannya ke atas. "HIDUP VIERIIIIII!!!!!!!" Skor menunjukkan angka 12-0 untuk kemenangan Lazio atas Manchester United.
"Aku tak berbakat main Playstation..." kata Jon sedih. "Oh Tuhan, timku dibantai dua belas angka!!!"
"Tiga belas, Jon." ralat James. "Untung saja gol itu dianggap tidak sah karena offside. Kalau tidak skor bisa 13-0!"
"Jangan menghinaku!!!" seru Jon frustrasi. James menertawakan sahabatnya itu.
"Sudahlah, kau memang tidak berbakat main Playstation!" Ditepuknya bahu Jon. "Kau sudah kalah lebih dari se-puluh kali dari tadi, dan semuanya telak! Hadapi saja kenyataan hidup ini..." godanya.
"Sepakbola memang bukan bidangku. Hei Alvin, kau punya game tennis tidak? Kalau yang satu itu aku pasti me-nang darimu!!!" sesumbar Jon.
"Aku tak berminat main tennis, tuh." jawab Alvin santai. "Hadapi saja hidup ini, Jon... kalau kalah ya kalah, tak usah cari-cari alasan! Lagipula belum tentu kamu bisa menang dariku walaupun kamu jago main tennis!" lanjutnya som-bong. Ia tak peduli walaupun usia Jon lebih tua enam belas tahun darinya!
"Tuh, dengar kata Alvin! Dia saja tahu mana yang benar dan mana yang salah, masa kau tidak sih?" James makin memanas-manasi Jon. "Kapan kau bisa dewasa, Jon?"
Jon menatap James dengan sebal. "Jangan kurang ajar, James. Aku lebih tua darimu! Kau seharusnya berlutut di kakiku dan menciuminya!" Matanya berkilat nakal. "Kau tahu kan aku bisa membuatmu menyesal seumur hidup kalau kau berani macam-macam..." Tangannya mulai menggerayangi James. "Hahaha..."
James perlahan-lahan mundur. Ia berpura-pura takut. "Tidak... jangan sentuh aku... jangan nodai aku, Jon!!!" Ia tak dapat menahan tawa.
Jon melompat ke arah pemuda itu dan mencengkram lengannya dengan keras. "Akan kunodai kau, James! Akan kunodai kesucianmu!!!" katanya dengan tawa menggelegar. Alvin duduk bersila di atas karpet dan memandangi mere-ka berdua sambil terbahak-bahak. "Akan kunodai kesucianmu, HAHAHA!!!!" Jon mengulangi kata-katanya.
James berpikir sejenak. "Lo, aku memang sudah tidak suci lagi kog." sahutnya dengan nada penuh kemenangan.
Jon juga menghentikan serangannya dan berpikir. "Ya... maksudku... kau kan belum pernah dinodai oleh laki-la-ki..." Ia masih tetap diam beberapa saat, lalu senyum licik kembali tersungging di wajahnya. "Karena itulah aku ada di sini, James... untuk menodai kesucianmu!!!" Dan ia kembali menyerang James. Setengah bercanda, ia berusaha men-cekik leher James.
"Hei, Jon!!! Jangan sampai aku mati sungguhan!!!!" pekik James panik. "Kau bisa masuk penjara, dan arwahku a-kan terus menghantuimu seumur hidupmu!! Pikir baik-baik, Jon!!! Tak ada untungnya kau membunuhku!!!"
"Hei, ada apa sih kalian ini?!!" Andy tiba-tiba muncul di depan mereka. Ia baru saja sampai.
"Oh, hai Andy!!!" sapa Jon, masih dalam posisi hendak mencekik James. "Aku sedang ingin membunuh James, ku-harap kau tak keberatan kalau aku melakukannya di atas karpet ruang tamumu. Oya, mungkin juga kau akan disuruh bersaksi di pengadilan!" Ia tersenyum lebar, sementara wajah James yang mendongak ke arah Andy begitu polos ba-gaikan seorang anak kecil...
"Wow, aku melihat pemandangan bagus dari sini." komentar James. Ia tersenyum nakal ke arah Andy yang berdiri hampir tepat di atasnya. "Pink dengan motif gambar kelinci..."
Andy langsung merapatkan rok denim mininya. "Jon, aku mendukungmu sepenuhnya kalau kau ingin membunuh pemuda brengsek ini. Tenang saja, pasti di pengadilan nanti aku akan membelamu."
Jon tersenyum. "Kau dengar, James? Sebenarnya aku tak ingin digentayangi oleh arwahmu yang mati penasaran, tapi aku tak punya pilihan lain. Sorry, James. Bye..."
"Stop, stop, aku minta maaf! Sudah, jangan coba cekik aku lagi!!!" James melepaskan kedua tangan Jon dari le-hernya. "Aku minta maaf! Maaf, Jon! Maaf, Andy! Stop, OK?!!!"
Akhirnya Jon melepaskannya. "Nah, Andy... kalau kau ingin membunuhnya, silakan lakukan sendiri. Kuberi kuasa penuh padamu."
"Thanks, Jon. Suatu kehormatan bagiku untuk membunuh parasit ini." ujar Andy senang. "Dan James, mungkin kau akan lebih suka kalau kucukur dulu rambutmu sampai habis, sebelum aku membunuhmu."
James menggelengkan kepala. "Tidak Andy, sudah cukup. Stop. Sorry, maaf, ampun, pokoknya stop." selorohnya pasrah. Ia memang tak mau dibunuh, tapi ia lebih ngeri lagi kalau Andy benar-benar tega mencukur habis rambut pi-rangnya yang lembut itu.
"Cepat bangun." perintah Andy ketus.
Ia bangkit dari atas karpet.
"Hey guys, Nick belum pulang ya?" tanya Mike. Ia baru saja muncul dan rasanya ia akan menyesal sekali kalau ta-hu bahwa ia telah melewatkan sebuah drama komedi yang super menjijikkan barusan.
"Belum tuh." jawab Alvin. Ia mematikan mesin Playstationnya. "Katanya sih dia akan pulang sekitar jam lima. Andy, aku lapar... tolong buatkan aku makanan dong..." rengeknya pada Andy.
"Enak saja! Buat sendiri sana! Kau kan bisa memanggang frozen meat pie di dalam oven!" sergah Andy. "Aku juga belum makan siang, kog!"
"Tapi aku bosan makan makanan instan begitu terus!!! Padahal di sini ada tiga orang laki-laki dewasa yang cukup kaya untuk mentraktir kita makan siang..." sindir Alvin. Andy harus mengakui kalau adiknya memang benar-benar cer-dik! Ia bisa melihat Mike, James dan Jon saling berpandangan satu sama lain dengan wajah yang mulai memerah...
"Dasar kau memang licik." gerutu Jon. "Ya sudahlah, sekarang kita semua pergi ke Burger King. Aku yang traktir deh."
"Kog Burger King sih?!" protes Andy. "Kata Mike ada restoran Spanyol baru di dekat stasiun King's Cross..." Dibiar-kannya kata-katanya itu menggantung. "Kita ke sana saja ya? Please..."
Jon dan James serempak menoleh ke Mike. "Kau yang bayar!!!" seru keduanya bersamaan padanya. Mike hanya bisa menghela napas.
"Ya sudah, aku yang bayar. Memang aku salah, seharusnya aku ingat kalau adik-adik Nick tak boleh diberitahu so-al restoran mahal!" sesalnya. "Andy, Alv, kalian tahu tidak? Sekarang aku yakin kalau kalian benar-benar adik Nick."
[andie5] Copyright 1999-2002
Best viewed by IE 5, Netscape 4.0 or greater