SELAMA SEMINGGUAN ITU Andy terus membantu Nick meng-edit file-filenya. Hasilnya cukup bagus, dan pada kolom editorial majalah Golf News edisi terbaru, Nick mencantumkan nama 'Nick & Andrea Broadley' di sudut kanan bawah artikel. Andy membelalakkan mata begitu melihat namanya tercetak bersebelahan dengan nama Nick. Ia langsung me-meluk Nick erat dan menciuminya dengan girang. Ia senang bisa membantu Nick, dan terlebih dari itu ia benar-benar bahagia karena ternyata kakaknya sungguh menghargai bantuannya.
Banyak hal menarik terjadi di akhir bulan April yang cerah itu. Terutama mungkin karena Nick selalu menyempat-kan diri untuk menjemput Andy sepulang sekolah; dan yang kedua mungkin karena Gary.
Andy baru menyadari kalau baru-baru ini Gary selalu mencari kesempatan untuk berbicara dengannya. Ia tak begi-tu peduli, namun Gary seakan tak pernah menyerah. Berkali-kali ia mencoba mengajak Andy pergi, tapi jawaban yang diberikan oleh Andy tetap saja sama. "Aku tak bisa. Sorry." Dan semakin gencarlah pemuda itu melancarkan serang-annya.
Gary penasaran setengah mati terhadap sikap Andy yang acuh saja tiap kali bertemu dengannya. Ia sibuk berpikir, apa yang mungkin salah pada dirinya? Ia keren, ia jenius, ia kaya dan ia populer, namun Andy seakan sama sekali tak tertarik dengan semua itu. Gadis itu tidak mungkin sedang jatuh cinta pada orang lain, karena rasa-rasanya tak ada pernah melihatnya berjalan dengan seorang pemudapun. Gary juga yakin kalau Andy seorang gadis normal dan ia bu-kannya tidak suka laki-laki. Jadi apa sebabnya kalau ia sampai menolak pemuda sesempurna Gary mentah-mentah?
Berita soal pendekatan yang dilakukan oleh Gary sudah tersebar di kalangan anggota tim sepakbola college; dan Gary mau tak mau harus menaklukkan Andy kalau ia mau mempertahankan gengsinya di depan kawan-kawannya. Ia terkenal sebagai seorang penakluk wanita sekaligus perayu yang ulung, jadi reputasinya bisa rusak kalau sampai ia tak bisa mendapatkan gadis itu.
Tapi Gary patut bersyukur karena ketenarannya. Begitu mendengar bahwa pemuda paling populer di college me-ngajak teman mereka pergi, Rachel dan Eileen langsung mendesak Andy untuk menerima ajakannya.
"Pergi sajalah, Andy. Tak ada salahnya kan? Kau kan belum pernah pacaran sebelumnya! Sampai kapan kau mau begini terus? Masa tiap Jumat malam kau hanya duduk diam di rumah dan diisengi oleh kakakmu itu?!!" Rachel men-coba membujuk Andy.
"Yah..." Andy terdiam. "...bukannya aku tak mau pergi dengan Gary sih, tapi aku tidak suka dia, tuh."
"Yang kaulakukan kan hanya pergi dengannya, soal suka atau tidak bisa dikesampingkan!" Eileen juga ikut meya-kinkannya.
"Tapi akhir pekan ini kan aku mau pergi dengan Mike dan James." ujar Andy memberi alasan. "Dan jangan minta aku untuk membatalkannya, karena seratus persen aku akan lebih memilih untuk pergi dengan mereka daripada de-ngan Gary!!!"
Rachel dan Eileen sudah hampir putus asa oleh karena kekeraskepalaan sahabat mereka itu.
Namun entah bagaimana, apakah karena keduanya begitu bersemangat membujuk Andy, atau karena Andy meli-hat bahwa Gary menjadi semakin ramah, perhatian dan semakin lembut dari hari ke hari; akhirnya Andy mengiyakan juga ajakannya untuk pergi.
Nick dan Alvin nyaris tak percaya saat Andy memberitahu mereka tentang rencana kepergiannya hari Jumat ma-lam itu. Andy tak pernah pergi kencan dengan siapapun! Kalaupun ia pergi berdua dengan laki-laki, itu pasti hanya se-batas Nick dan ketiga teman baiknya.
"Kau yakin nih mau kencan dengan temanmu? Ia laki-laki kan?" Nick tak bisa menyembunyikan keheranannya.
Andy mencibir. "Iyalah! Masa aku kencan dengan perempuan sih?!!! Well... kurasa memang aku harus pergi ken-can sekali-kali." katanya acuh. Ia tak begitu berminat pergi dengan Gary, tapi rasanya saat-saat seperti ini memang a-kan datang baik cepat ataupun lambat.
"Kau suka padanya, Andy?" Alvin menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya pertanda kebingungan. "Lo, kukira kau suka pada Jon..." Ia teringat saat Jon dan Andy saling bertatapan penuh napsu di atas lantai dapur beberapa hari yang lalu.
"Apa kaubilang?!!!" Seketika itu juga Nick langsung menoleh ke arah Alvin. "Memangnya apa yang dilakukannya dengan Jon?!!!!!" serunya histeris.
Alvin baru sadar bahwa ia telah kelepasan bicara. Ia menjadi salah tingkah, terutama saat dilihatnya wajah penuh keterkejutan Andy yang seakan mengatakan bahwa ia telah melakukan kesalahan terbesar selama hidupnya! "Aaa... tidak, tidak..." Lidah Alvin terasa kelu. "...aku cuma bercanda kog, cuma asal sebut!" Dicobanya untuk mencari alasan yang paling masuk akal. "Yeah... Jon kan baik padaku dan Andy, jadi aku sih tak keberatan kalau dia jadi pacar Andy, soalnya aku bisa main FIFA'99 bersama dia tiap hari kan? Tapi aku cuma asal sebut kog, Andy tidak mungkin suka pa-da Jon. Iya kan, Andy?" tanyanya gugup.
"Yup." Hanya sepatah kata itu yang keluar dari mulut Andy. Ia pun sama gugupnya dengan Alvin.
"Ya sudah, aku pergi dulu deh. Aku belum mengerjakan pe-erku, padahal besok aku mau menginap di rumah Sammy. Bye..." Ia langsung pergi dari sana dan melarikan diri dari tanggung jawab yang seharusnya dipikulnya.
Tinggallah Nick yang menatap Andy dengan penuh kecurigaan. "Andy... katakan yang sejujurnya padaku! Apa yang terjadi antara kau dan Jon?!!!!" Nada suaranya meninggi, yang membuat Andy kebingungan setengah mati.
"Tidak ada apa-apa." Andy bersumpah dalam hatinya untuk membunuh Alvin yang tolol itu!
"Andy, kau tak bisa membohongiku." Suara Nick berubah datar dalam sekejab, namun tetap saja keringat dingin Andy mengucur deras.
Andy balas menatap kedua bola mata hijau kelabu Nick. Ia tahu kalau ia tak akan bisa menyembunyikan apapun dari kakaknya. Namun untuk apa sih sebenarnya masalah ini dipersoalkan? Ini kan hanya masalah sepele!!! Tak ada apa-apa antara dirinya dengan Jon!
"Andy, ceritakan saja apa yang terjadi." lanjut Nick.
Andy menghela napas, lalu ia mengambil duduk di sofa, tepat di sebelah Nick. "Erm... waktu itu aku sedang berbi-cara dengan Jon di dapur. Yah, aku sedang memanaskan chicken pie di oven..." Ia berhenti sesaat. Bahkan ia pun su-dah tak begitu ingat urutan kejadiannya!
"Lalu?" pancing Nick.
"Well…"lanjut Andy. "Ia mendekatiku -kami sedang bercanda-… dan kami saling berpandangan. Kulihat ia mena-tapku dengan tatapan yang aneh dan perlahan ia mendekatkan bibirnya ke bibirku… tapi pengatur waktu oven berbu-nyi dan ia langsung sadar."
"Itu saja?" tanya Nick.
Andy berbohong. "Ya." jawabnya. Tapi begitu ia melihat Nick, sekali lagi ia sadar bahwa ia tak bisa menyembunyi-kan apapun dari pemuda itu. Terlihat jelas bahwa kakaknya masih menunggu kelanjutan cerita yang disimpannya. Ak-hirnya ia melanjutkan,
"Aku... aku menggodanya, kubilang: 'Kau terangsang ya?' dan wajahnya langsung memerah... Dia tak mau meng-akuinya, dan aku menertawakannya. Lalu tiba-tiba ia menerjangku dan kami jatuh ke lantai..." Terdengar sebersit kera-guan dalam suara Andy. Bagaimanapun juga Nick adalah seorang pria, dan tak pantas rasanya Andy menceritakan hal seperti ini padanya.
"Teruskan saja, tak apa-apa kog." Nick mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Saat itu aku merasa..." Sulit sekali mengucapkan kata itu. "Agak..."
"Terangsang?" Nick membantunya berbicara.
Pipi gadis itu bersemu merah. "Kurasa begitu... saat kulihat wajah Jon yang berada tepat di atas wajahku, dan saat tubuhnya menindih tubuhku... terlebih lagi saat ia balas menggodaku dan berkata: 'Nah, sekarang siapa yang terang-sang? Jangan macam-macam, aku bisa melakukan apa saja terhadapmu.' dengan senyum yang membuatnya tampak begitu tampan..."
"Lalu?" Reaksi Nick tak berubah. Ia tetap mendengarkan kata-kata Andy dengan serius.
"Tiba-tiba Alvin muncul, dan ia langsung bangkit dari atasku. Sudah."
Nick diam saja.
"Nick... sumpah, aku tidak merasakan apa-apa lagi sesudah kejadian itu! Aku hanya menganggap Jon sebagai te-man baikku! Itu saja, tidak lebih!" Andy berusaha meyakinkan Nick.
Nick menatap Andy dalam-dalam. "Adikku sudah mulai dewasa..."
Kata-kata Nick terdengar bagaikan sindiran yang sangat menusuk hati Andy. "Nick, kau marah ya?" Gadis itu beru-saha mati-matian menahan tangis.
Nick mengerutkan kening lalu menggeser posisi duduknya mendekati Andy. "Kog jadi nangis, sih? Andy... bila kau mulai merasakan rangsangan-rangsangan seperti saat Jon menerjangmu itu, kurasa sih itu wajar-wajar saja di usiamu yang sekarang. Seratus persen normal. Aku sama sekali tak marah kog. Jangan nangis dong..."
Andy menggigit-gigit bibir bawahnya.
"Yah... memang susah juga, sih. Masalahnya aku ini laki-laki dan aku tak tahu pasti bagaimana perasaan seorang wanita. Tapi sebagai kakakmu aku merasa berkewajiban untuk memberitahukan hal ini, dan kuharap kau bisa menger-ti. OK?" tanya Nick.
Andy mengangguk perlahan.
"Andy, kau harus sadar... di lingkungan sekitarmu banyak laki-laki yang usianya sudah cukup dewasa dan rata-rata sudah berpengalaman dalam masalah pacaran. James, Jon, Mike; mereka contoh yang paling jelas dalam hal ini. Me-nurutku sih tak apa-apa kalau kau memang suka pada seorang pria, karena itu memang hakmu. Aku hanya mau mem-peringatkanmu akan satu hal." Nick menekankan kata-katanya. "Kau seorang gadis. Terlebih lagi kau cukup manis dan lucu. Aku yakin pasti banyak pemuda yang tertarik padamu, baik yang kau tahu maupun tidak. Aku tak akan bisa me-monitormu setiap saat, karena kau tahu sendiri pekerjaanku banyaknya bukan main. Kuharap kau bisa menjaga dirimu sendiri, dan kuharap juga kau bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirimu. Aku tak ingin ikut campur dalam kehidupan cintamu, karena aku memang tak berhak. Aku tak bisa menjawab apapun bila kau bertanya padaku tentang hal terbaik yang harus kaulakukan. Aku tak bisa mengatakan boleh atau tidak kau berhubungan sex dengan kekasihmu, dan aku tak bisa menjawab bila kau bertanya apakah boleh kau tinggal dengan pemuda yang kau-cintai atau tidak. Tahu kenapa? Karena itu hakmu sepenuhnya. Aku mencoba untuk tidak munafik, OK? Kaulah yang harus menentukan segalanya sendiri. Kaulah yang harus memikirkan apa akibatnya tiap kali kau memilih untuk mela-kukan sesuatu. Aku tak mau kalau sampai suatu hari nanti kau menangis dan menyesalinya. Aku percaya kau bisa mengurus dirimu sendiri, jadi aku tak akan melarangmu dalam hal apapun."
Andy bergeming di tempatnya. Ia takut, ia sungguh takut mendengar kata-kata Nick. Ia belum berpikir sampai seja-uh itu!
Nick meraih kedua tangan Andy dan menggenggamnya erat. "Dengar, mungkin kau belum bisa mengerti apa yang kukatakan sekarang, karena kau belum mengalaminya. Tapi suatu saat kau pasti akan menghadapi banyak situasi di-mana kau harus memilih. Aku tahu itu akan sulit, karena berjalan ke arah kedewasaan bukanlah suatu hal yang mu-dah. Aku saja sampai sekarang masih bingung dengan arti kedewasaan yang sebenarnya. Namun kau harus tahu ka-lau masa-masa seusiamu sekarang adalah masa peralihan yang sangat rawan. Kau bisa terjerumus apabila salah me-langkah. Aku akan selalu ada di sisimu tiap kali kau merasa bingung dan gundah, dan akan kucoba untuk membantu-mu sebisaku. Tapi ingat, semuanya bersumber pada dirimu sendiri, karena hidup yang kaujalani sekarang ini adalah hidupmu. Aku memberimu kebebasan, namun bukan berarti kebebasan itu dapat kaugunakan seenaknya. Aku akan tetap mengawasimu dari jauh, dan kalau memang kau salah dalam melangkah, aku tak punya pilihan lain kecuali me-narikmu kembali, OK? Kau mendengar semua yang kukatakan?" celoteh Nick panjang lebar.
Sekali lagi Andy mengangguk. Segala jenis pikiran berkecamuk di dadanya, namun tak ada satupun yang bisa di-mengertinya. "Tapi aku bingung, Nick..."
Nick tersenyum. "Itu artinya kau manusia normal. Semua orang pun bingung ketika menghadapi hal baru yang sa-ma sekali tak pernah dikenalnya sebelumnya. Yakin sajalah, kau pasti bisa mengatasinya. Kau kan ultra-girl!!!"
Andy ikut tersenyum.
"Lalu soal Jon..." lanjut Nick. "...kalau kau memang tak merasakan apa-apa terhadapnya, ya sudah. Jangan berce-rita dengan penuh rasa bersalah begitu, dong. Kalau memang kau suka padanya pun, itu kan tidak salah. Hanya saja, dia kan lebih tua sebelas tahun darimu, aku sih khawatir saja akan ada banyak hal yang bertentangan bila kau pacaran dengan dia."
"Aku juga hanya menganggapnya sebagai teman baikku, kog. Lagipula dia kan lebih tua darimu, Nick!"
Nick menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. "Oh, kalau soal itu sih tak apa-apa. Aku sih senang saja, kare-na dengan begitu aku kan jadi bisa mempermainkannya! Selama ini kan aku tak pernah berbuat begitu karena aku tak berani!"
"Jahat..." timpal Andy. Ia memandangi wajah Nick yang kekanakan dan sungguh imut. Rasanya ingin ia mencubit kedua belah pipinya karena gemas. Nick benar-benar mengerti perasaannya. Andy tak tahu bagaimana masa depan-nya nanti, tapi ia yakin bahwa semua akan berjalan baik selama Nick ada di sampingnya. "Nick..."
"Hmm?"
"Menurutku jauh lebih baik tak punya pacar daripada tak punya kakak sepertimu. Kalaupun nanti aku punya pacar, pasti tipenya tak jauh beda darimu! Habis kau tipe pria idealku, sih." tutur Andy.
"Wah, tak kusangka adikku ini brother complex..." Nick menggeleng-gelengkan kepala. "Pantas saja kau begitu manja dan selalu memeluk dan menciumiku setiap saat!!!"
Mendengar itu, senyum Andy melebar. Ia langsung merengkuh tubuh Nick dan mendorongnya ke belakang se-hingga pemuda itu hanya bisa terbaring pasrah di atas sofa. "Habis kau imut, sih! Wajahmu lucu dan imut seperti anak kecil!!!" Diciuminya seluruh wajah Nick dengan gemas dan dipeluknya kakak laki-laki tersayangnya itu lebih erat lagi. "AKU INGIN BERCINTA DENGANMUUUUUUUUU!!!!" serunya manja.
"Hei, Andy!! Jangan gila!!!!" Nick mencoba berontak, namun ia tak mampu melepaskan dekapan Andy yang begitu kencang. "Andy, lepaskan aku!!! Geli, tahu?!!!! Andy!!!!!!! ANDYYYYY!!!!!!!!!!!!!!" jerit Nick histeris.
GARY nyaris tak berkedip sepanjang malam memandang Andy. Gadis itu mengenakan baju terusan mini tanpa le-ngan berwarna biru tua, dengan model agak ketat dan berkesan sangat sporty. Ia juga mengenakan sepasang snea-kers abu-abu metalik yang membuatnya terlihat dinamis. Gary benar-benar tersihir dibuatnya, sampai-sampai ia tak menyentuh makanannya sama sekali.
Andy tak banyak bicara malam itu. Pandangannya terus menerawang ke arah langit-langit yang dihiasi oleh plafon berukir motif bunga mawar. Suasana restoran yang terkesan remang-remang dan begitu romantis… Gary mengajak-nya makan malam di sebuah restoran yang amat berkelas.
"Seru juga ya kalau jadi orang kaya..." Akhirnya Andy membuka mulutnya yang sedari tadi terkatup. "Bisa makan malam di tempat se-elite ini tiap hari kalau mau..."
Gary tersenyum. "Tidak juga. Kalau tiap hari aku makan di sini sih, bisa-bisa aku harus menggadaikan rumahku!"
Andy tertawa renyah. "Rumahmu yang mana?" guraunya. Ia tahu orang tua Gary sangat kaya, dan tentu saja me-reka memiliki belasan, bahkan mungkin puluhan rumah dan perusahaan di seluruh dunia.
Gary tak bosan-bosannya menatap wajah Andy. Ia sering kencan dengan banyak gadis yang jauh lebih cantik dari Andy, tapi tetap saja ada sesuatu yang lain dalam diri gadis ini. "Ngomong-ngomong soal rumah, kau mau mampir ke rumahku tidak? Setelah kita selesai makan, akan kuantar kau ke rumahku. Sebentar saja kog, aku cuma mau menge-nalkanmu pada orang tuaku. Mereka pasti senang mengenalmu." ajaknya.
"Lain kali saja deh, kakakku menyuruhku cepat-cepat pulang sih." tolak Andy halus. "Yah... aku masih harus mem-bantunya menyeterika baju. Aku kan bukan orang kaya yang punya banyak pembantu."
Gary menjadi salah tingkah. Kata-kata Andy tepat mengenai sasaran, sehingga wajah Gary berubah merah padam karena malu. Ia tak pernah mengurusi pakaian-pakaiannya yang serba mahal itu. Ia hanya tinggal memilih baju mana yang akan ia pakai, karena semuanya sudah rapi tersedia di lemari pakaiannya.
"Ng... kakakmu kerja di mana?" Ia mengalihkan pembicaraan.
"Majalah olahraga Golf News. Ia bekerja sebagai editor." jawab Andy.
"Pasti ia sibuk sekali." komentar Gary.
"Ya, begitulah." Andy tersenyum, teringat akan file-file Nick yang menggunung begitu banyaknya. "Ia sering pulang malam, tapi untungnya sekarang sudah tidak lagi. Orang tuamu sendiri kerja apa?"
"Ayahku seorang bankir. Ia juga sangat sibuk, kadang malah ia sampai menginap di kantor."
"Dan ibumu?"
"Well... ia sih hanya diam di rumah tiap hari, kalau tidak ya paling ia pergi shopping. Orang tuamu sendiri?"
"Sudah meninggal waktu aku berumur enam tahun."
Gary terdiam. "Sorry, aku tak bermaksud--"
"Tak apa-apa kog. Aku sudah melupakan kejadian itu." potong Andy. "Aku sama sekali tak ingat apa-apa. Tahu wajah mereka pun hanya dari foto."
"Kau sama sekali tak sedih?"
Andy menggeleng. "Kalau kautanyakan hal itu pada kedua kakakku, mereka pasti menjawab ya. Tapi terus terang saja aku tak merasa begitu sedih, entah kenapa. Mungkin karena saudara-saudaraku selalu ada di sampingku dan menghiburku tiap saat..." Ia berhenti sejenak. "Kau punya saudara tidak?"
"Tidak. Aku anak tunggal."
"Kata orang jadi anak tunggal itu enak."
"Tapi menurutmu lebih enak punya banyak saudara kan?" tebak Gary. Ia sudah mulai mengenal kepribadian Andy. Pemuda itu memang paling jenius bila disuruh menilai karakter seseorang, jadi ia tahu dimana titik kelemahan para gadis yang pernah dikencaninya sebelumnya.
Andy tersenyum. "Iya, sih... mereka saudara-saudara terbaik sedunia."
Gary salut dengan gadis yang satu ini. Gadis-gadis lain selalu membicarakan soal baju, sepatu, dan pemuda tam-pan, tetapi Andy lebih senang membicarakan soal keluarganya! Ya Tuhan, ternyata masih ada gadis sepolos dan se-manja itu di dunia ini!!! batin Gary.
"Kata-kataku terdengar aneh, ya?" ujar Andy seakan bisa menebak pikiran Gary. Ia mewarisi banyak hal dari Nick: bakat jurnalistis, daya nalar yang tinggi, dan kemampuan membaca pikiran orang lain. "Kadang-kadang aku berpikir bahwa mungkin aku adalah gadis paling manja di dunia…"
"Ya..." ujar Gary lembut. "Tapi itu membuatku suka padamu..." Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Andy. "Andy, boleh aku menanyakan sesuatu padamu?"
"Kenapa tidak?"
Akal sehat Gary sudah menghilang ditelan bumi. "Well, kurasa aku jatuh cinta padamu, Andy. Aku ingin kita menja-lin hubungan yang lebih serius dari ini. Aku ingin jadi kekasihmu, Andy... aku akan melakukan apa saja untukmu, aku akan mengabulkan segala permintaanmu, seberat atau sesulit apapun itu. Maukah kau menjadi kekasihku?"
Andy menatap wajah Gary. Pemuda itu sangat tampan, tapi mustahil rasanya untuk menerima cinta dari orang yang tak kita cintai. "Sorry, Gary… tapi aku belum kenal siapa dirimu sesungguhnya, dan maaf… aku tidak mencintai-mu. Aku belum siap untuk menjalin hubungan apapun denganmu. Lebih baik kita jadi teman saja."
Sebilah pedang tertancap tepat menembus jantung Gary. "Tapi kenapa, Andy?" tanyanya bingung. "Apakah kau sedang jatuh cinta pada orang lain?" Ia belum pernah ditolak oleh siapapun sebelumnya, dan ia bahkan tak pernah menyangka bahwa ia akan pernah ditolak seumur hidupnya!
"Tidak. Hanya saja aku punya kriteria khusus dalam memilih kekasih yang tepat untukku. Jadi, sorry deh." ujar An-dy dengan wajah tidak enak. "Bukannya aku benci padamu, lo…"
Kepercayaan diri Gary hancur berkeping-keping. Andy memintanya untuk mengantarkannya kembali ke rumah, dan sepanjang perjalanan pulang itu Gary hanya diam seribu basa. Ia tak peduli lagi, bagaimanapun juga Andy harus takluk dalam pelukannya. Ia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan gadis itu, karena bukan Gary nama-nya kalau ia menyerah secepat ini.
Sayangnya ia tidak tahu bahwa Andy adalah tipe orang yang tak pernah menarik kembali keputusannya.
SINAR matahari pagi menembus tirai-tirai jendela kamar Andy yang bernuansa kebiruan. Nick menyibakkan gorden yang juga berwarna biru; dan tanpa ampun lagi cahaya putih nan hangat langsung menghantam seisi ruangan. Ia me-micingkan kedua belah mata karena retina matanya tak bisa lagi menahan begitu banyak cahaya yang tiba-tiba masuk melalui pupilnya.
Bukan hanya Nick saja yang bereaksi; Andy yang masih terbaring di atas tempat tidur pun langsung menggeliat karena perubahan suasana yang begitu drastis itu. "Nick, ya ampun... tutup lagi gorden itu!!! Aku masih mau tidur!" Di-pejamkannya kedua matanya rapat-rapat, namun cahaya matahari memang terlalu menyilaukan untuk dibendung.
Nick duduk di atas ranjang dan mengacak-acak rambut Andy yang berubah kepirangan karena tertimpa sinar ma-tahari. "Oi, bangun dong! Jangan jadi kerbau malas begini!!! Tiap hari kau selalu berteriak di telingaku dan menyuruhku bangun, tapi kau sendiri tak mau bangun kalau kusuruh! Ayo bangun!!!" perintahnya.
"Nick, sekarang kan hari Sabtu!!! Kalau kau mau bangun jam dua belas pun aku tak peduli! Sudahlah, kau mati sa-ja, Nick!" gerutu Andy. Ia malah merapatkan selimut ke wajahnya.
"Andy, bangun!!! Buatkan aku makanan, aku sudah lapar..." Kali ini Nick meminta dengan wajah dan suara meme-las.
"Memangnya kau tidak bisa buat sendiri?!!!"
"Yah... bisa sih, tapi kau harus bangun sekarang juga, soalnya ketiga temanku sudah sampai di sini sejak sete-ngah jam yang lalu!" seru Nick.
"Apa?!" Andy hampir melompat dari ranjangnya. "Memangnya sekarang jam berapa?!!"
"Jam sebelas lewat empat puluh sembilan menit waktu London sesuai aturan waktu dari Greenwich Mean Time dan kau belum mandi sama sekali!" Nick mencoba melucu, meskipun ternyata gurauannya tidak lucu sama sekali.
Mata Andy terbelalak. "Ya Tuhan!!! Nick, kenapa kau tak membangunkanku dari tadi?!!!!!" pekiknya. "Teman-te-manmu sudah ada di sini?!!!"
"Yup." Terdengar suara Mike dari arah pintu kamar. "Wah, Andy... kau benar-benar sudah ketularan sifat malas da-ri Nick!" Ia berdiri di sana bersama Jon dan James, dan mereka bertiga tersenyum-senyum geli melihat Andy yang ma-sih mengenakan piyama kumalnya.
Wajah Andy memerah, dan tanpa sempat berkata apa-apa lagi ia langsung menyambar pakaian yang tergantung di dinding dan menerobos ketiga pemuda itu keluar dari kamarnya. Ia malu setengah mati!
Nick dan teman-temannya bisa mendengar suara pintu kamar mandi yang dibanting sangat keras oleh Andy.
Nick menggaruk-garuk kepalanya. "Yah, anak itu memang aneh. Kalau aku tidak mau bangun, ia membentak-ben-takku. Tapi kalau dia kusuruh bangun, ia membentak-bentakku juga!" Ketiga sahabatnya tersenyum simpul.
James masuk ke dalam, diikuti Jon dan Mike di belakangnya. "Kamar adikmu bagus juga ya, Nick? Nyaman." ko-mentar pemuda pirang itu. "Tapi kog biru sih? Harusnya kan kamar anak gadis warnanya pink atau semacamnya! Oh ya, aku lupa kalau adikmu suka warna biru…" Ia tersenyum.
Nick mengangguk. "Begitulah. Kau tak tahu saja baju-bajunya. Birunya betul-betul komplet! Dari biru muda yang seperti putih sampai biru tua yang benar-benar hitam, ada semua! Belum lagi biru langit, biru kehijauan, ultra-marine, aku tak tahu apa namanya deh! Pokoknya biruuuuuuu... semua!"
"Bra dan underwear-nya juga?" Jon berceletuk dengan mata yang nakal.
"Yeee... pikiranmu melantur kemana sih?" Mike mendorong sahabatnya itu pelan. "Kau selalu membicarakan soal wanita dan seks. Selalu!"
"Hei, biasa dong! Aku kan cuma bercanda!" Jon menyela dengan nada tak senang.
"Aku sudah mau mati rasanya tinggal denganmu, tiap hari perempuaaaan... terus. Ladykiller sih ladykiller, tapi ja-ngan norak begitu dong!!!" seru Mike jengkel.
"Daripada jorok seperti kau! Kaus kakimu itu bau, Mike! Ranjangku yang wangi itu bisa terkontaminasi kalau kau meletakkan benda-benda dengan bau tak sedap di atasnya!!!" Jon tak mau kalah.
Mereka terus berdebat, sampai-sampai James menyingkir dari samping mereka dan mendekati Nick. "Untung aku tinggal sendiri! Kalau aku tinggal bersama mereka juga sih... wah! Bisa tewas aku mendengar mereka bertengkar tiap hari!"
Nick tertawa kecil. "Memangnya dulu kau tidak tinggal bersama dengan Prudie?"
James menggeleng. "Tinggal bersama bagaimana? Aku cuma tidur sekali dengan Prudence, lalu dia memutuskan-ku tanpa alasan yang jelas! Aku sampai bingung... tapi kalau aku punya pacar pun aku tidak akan mau tinggal dengan-nya! Gila, buat apa? Memangnya aku orang kaya? Lagipula aku tak akan pernah mau tinggal dengan wanita sebelum menikah. Aku masih waras, Nick! Aku bukan Jon!!!"
"Memangnya aku kenapa? Dasar kau memang iri padaku, kan?" Tiba-tiba Jon muncul di hadapan James. "Bukan salahku kalau banyak wanita yang suka padaku! Aku kan tidak meminta mereka untuk mendekatiku!!!"
"Tapi kau memang suka merayu wanita, sih!!!" cela Mike. "Sudahlah, ngaku saja!"
Jon sudah mau memukul Mike, tapi Nick mendadak teringat akan sesuatu yang sangat penting yang harus dibica-rakannya dengan Jon. Ia langsung memotong,
"Hei Jon, apa yang pernah kaulakukan pada adikku?" Ia memberi penekanan pada kata yang terakhir, untuk me-nunjukkan bahwa ia tak main-main kalau terjadi sesuatu pada Andy. "Apa yang kaulakukan pada Andy hari Senin ke-marin?" Matanya menatap Jon dengan sinis.
Jon memandang Nick dengan heran. "Aku? Andy? Senin kemarin?" Ia berpikir keras, mencoba mengingat apa yang terjadi, kemudian ia tersipu malu ketika teringat akan kejadian di dapur itu. "Aa... darimana kau tahu?"
James dan Mike saling berpandangan. "Apa sih yang kaulakukan pada Andy, Jon?" tanya James.
"Kata Alvin pemuda brengsek ini mencoba melakukan sesuatu pada adikku..." Tatapan mata Nick yang begitu ta-jam membuat Jon bergidik. Alvin memang kurang ajar! Anak itu benar-benar tidak bisa menutup mulut!
"Hei, Nick! Sumpah aku tak bermaksud berbuat begitu!!! Lagipula bukan aku kog yang mulai duluan, dia yang me-ledekku dulu!" seru Jon.
"Ya, aku tahu. Tapi kau tidak perlu sampai menerjangnya begitu kan?!" sundut Nick.
James dan Mike secara bersamaan menaikkan keempat alis mereka. "Apa?!!! Jon, kau me..." Mike melongo di tempatnya.
"Jangan negative thinking begitu dong, guys!!!" Jon mati-matian membela diri. "Aku tak melakukan apa-apa pada-nya! Sungguh!!!"
Nick mencibir. "Mati sajalah kau. Kau mengancamnya kan? Kaubilang padanya kalau kau bisa melakukan apa sa-ja yang kaumau terhadapnya! Sudah lupa dengan kata-katamu sendiri, Jon?!"
"JON!!! Kau sudah gila?!!" jerit Mike. "Oh Tuhan, ka--"
"AKU TIDAK MELAKUKAN APA-APA!!!!!!" pekik Jon. "Aku tidak setega itu, Mike! Aku tak setega itu, Nick!!!!!"
"Lo... James kog tidak disebut?" potong James sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri. Ia merasa dilupakan.
Jon terdiam. "Ya, ya, kau juga! Aku tak setega itu, James!!! Masa kalian tidak percaya padaku sih? Tanya saja An-dy!!! Dia yang paling tahu, aku tak melakukan apa-apa!"
"Kurasa bukannya tak melakukan apa-apa, Jon. Tapi belum sempat melakukan apa-apa." Andy muncul di bela-kangnya dengan rambut basah karena habis mandi terburu-buru. "Coba kalau Alvin tidak masuk ke dapur, aku tak ta-hu deh apa yang akan terjadi!"
"Andy, kau jangan ikut-ikutan memojokkanku dong!!! Kau tega sekali sih? Aku kan sudah bilang padamu kalau aku cuma bercanda!"
Andy menghela napas. "...OK, OK, hentikan semua ini sekarang juga. Jon cuma bercanda kog. Aku tahu dia pasti tidak bermaksud begitu. Iya kan?" Ia meminta persetujuan Jon.
Jon mengangguk cepat. "Betul!"
"Dia benar-benar tak menyakitimu, Andy?" tanya Mike dengan nada tak yakin. "Terus terang saja aku ragu..."
"Dia sempat meraba-rabamu tidak?" James ikut bertanya. "Jangan-jangan dia sudah berani me--"
"JAAAAMES!!!! MIIIIKE!!!!!! Kalian memang--"
"Lo, Nick-nya mana?" Kali ini Nick yang memotong.
Jon terdiam sekali lagi. Ia benar-benar dongkol dengan sikap sahabat-sahabatnya. "NIIIIIIICK!!!!!!! JAAAAMES!!!!!! MIIIIIKE!!!!!!! Kalian semua memang GILA!!!!!!"
"Lo... Andy?" Andy protes karena dirinya tidak ikut disebut.
Jon langsung pingsan.
(c)1999, 2001 AndreaHearn