|
Artikel:
Tugas Ayah: Sebagaimana apa adanya
Pdt. Dr. Paul Gunadi
|
eberapa tahun terakhir ini muncul satu gerakan baru di tengah umat Kristen Amerika yang disebut The Promise Keepers (Pemegang Janji). Gerakan yang makin populer ini sebenarnya adalah suatu pelayanan yang khusus ditujukan untuk kaum Adam. Salah satu buah dari gerakan ini adalah bertambahnya kesadaran pria untuk menjadi suami dan ayah sebagaimana yang dikehendaki Tuhan. Sebagai salah seorang anggota kaum Adam, saya turut bersuka cita dan menyambut pelayanan yang memang sudah waktunya ini, bak buah yang sudah lama masak menantikan untuk dipetik. Saya pun bermimpi, kapankah gerakan seperti ini muncul di Indonesia. Saya mengakui bahwa ada beberapa konsep tentang kewajiban suami dan ayah yang telah begitu mengakar namun sesungguhnya konsep-konsep itu lebih bersumber pada nilai-nilai sosial-budaya, daripada Alkitab sendiri.
Bertolak dari pikiran di atas ini, ada satu peristiwa yang akhirnya membukakan pemahaman saya akan salah satu tugas ayah. Firman Tuhan yang mencelikkan mata saya ini terambil dari Kejadian 1:26 yang berbunyi, "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita
". Peristiwa tersebut adalah ketika saya mendisiplin salah satu anak saya. Kira-kira beginilah ceritanya:
Siang itu pundak dan leher saya nyeri dan kaku, kemungkinan akibat pada malam sebelumnya saya duduk di dekat A/C yang kebetulan lumayan dingin. Dalam keadaan yang tidak nyaman tersebut, dua anak kami berkelahi gara-gara yang satu ingin memandikan kelinci peliharaan kakaknya sedangkan si kakak menolak untuk membasahi kelincinya. Pada awalnya saya mendiamkan pertikaian itu dengan harapan, entah bagaimana, mereka akan bisa menyelesaikan konflik tersebut. Ternyata harapan saya meleset; suara si kakak makin bertambah keras melarang adiknya memandikan kelinci peliharaanya karena si adik semakin memaksakan kehendaknya.
Tiba-tiba darah saya naik ke ubun-ubun dan saya segera keluar kamar. Dengan suara keras saya perintahkan si adik untuk menghentikan perbuatannya. Namun yang terjadi sebaliknya, ia malah berusaha memegang kelinci tersebut. Dengan bergegas saya mendekati mereka dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi, tetapi belum sempat si adik menjelaskan masalahnya kepada saya, secara tiba-tiba saya langsung memukul pantatnya. Tidak puas dengan hukuman itu, saya lalu mendorongnya beberapa kali secara kasar, seraya memarahinya dengan keras. Dia lari ke kamar sambil menangis terisak-isak
..dan saya pun menyesali perbuatan kasar yang tidak perlu saya lakukan itu.
Sekarang ini, tatkala saya sedang menulis peristiwa itu, hati saya masih diamuk oleh penyesalan yang dalam. Satu hal saya bermaksud untuk mendisiplin anak; tapi hal yang lain yang telah terjadi adalah bahwa saya telah menghina anak. Biasanya saya memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum memberikan disiplin. Kali itu tanpa peringatan saya langsung memukulnya. Biasanya saya menanyakan duduk perkaranya sebelum memutuskan sanksi apa yang harus saya berikan; saat itu saya langsung memukulnya. Biasanya saya hanya memukul pantatnya, siang itu saya mendorong-dorongnya dengan kasar. Yang lebih serius lagi, kali itu bukanlah untuk pertama kali saya memperlakukannnya dengan kasar. Itu adalah yang ketiga kalinya!
Setelah meminta maaf kepadanya, saya berjanji bahwa saya tidak akan memperlakukannya secara kasar lagi. Saya berjanji bahwa saya hanya akan memukul pantatnya saja sebagai upaya saya mendisiplinnya. Tidak lebih dari itu. Janji yang tidak pernah saya lontarkan sebelumnya namun saya tahu bahwa saya harus mengutarakannya agar lebih mengikat saya di masa mendatang.
Peristiwa itu menyadarkan saya, atau lebih tepat lagi membuktikan, bahwa pada dasarnya saya adalah seorang pria yang kasar dan bahwa kekasaran ini sewaktu-waktu bisa muncul tanpa kendali. Saya prihatin dengan kelemahan saya ini sebab saya yakin bahwa kalau saya meneruskan perbuatan saya ini maka anak kami itu pun akan mewarisi kekasaran saya ini. Sudah tentu secara rasional ia membenci kekasaran saya namun tanpa disadarinya ada dua hal yang mulai terjadi dalam dirinya. Pertama, kebenciannya itu akan makin menggunung dan gunung kebencian merupakan volkano kemarahan yang sewaktu-waktu meledak dalam bentuk kekasaran. Kedua, model disiplin yang ia terima dari saya ini, akan menjadi contoh hidup baginya bagaimana mendisiplin anaknya nanti. Model seperti ini akan dipakukan makin dalam pada benaknya setiap kali saya memperlakukannya dengan kasar. Alhasil, saya akan mewariskan kepadanya suatu tradisi mendisiplin anak yang bukan saja tidak terpuji, tetapi juga yang destruktif.
Peristiwa ini mengingatkan saya mengenai kaitan tugas seorang Ayah di dalam Firman yang mengatakan: "Baiklah Kita menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Kita. Sebagai pencipta, Tuhan mewariskan kepada ciptaan-Nya gambar pribadi-Nya. Gambar di sini tidaklah sama sekali mengacu kepada lukisan mati. Bagaimana mungkin, sebab Allah adalah roh dan tidak berbentuk. Sebaliknya, gambar dan rupa Allah mempunyai makna kemiripan dengan Allah secara pribadi (bukan berarti kita adalah Allah!). Pada intinya, sifat dan ciri-Nya diwariskan ke manusia ciptaan-Nya. Begitu erat hubungan antara Pencipta dan ciptaan-Nya. Demikian pulalah hubungan antara ayah dan anaknya! Bukan saja ayah mewariskan segudang kesamaan biologis, ayah juga berpotensi untuk memberi model sikap pada anak. Jika saya senantiasa bersikap kasar kepada anak saya, apa yang akan paling banyak saya wariskan kepada anak saya? Diri kita, sebagaimana apa adanya.
Kesimpulannya, tugas ayah yang hakiki adalah menjadi dirinya sendiri, namun hendaklah kita menjadi diri kita yang terbaik. Diri kitalah sifat, sikap, dan tingkah laku yang akan kita wariskan kepada anak kita. Dan saya percaya, harta warisan termahal yang kita dapat tinggalkan buat anak kita adalah diri yang rohanidiri yang dihuni dan dipimpin oleh Allah. Maukah Saudara menjadi ayah yang rohani?membekali anaknya dengan selubung kesamaan sifat, sikap, dan tingkah laku. Dan ini yang penting: Pewarisan sifat, sikap, dan tingkah laku terjadi setiap saat, baik yang dilakukan secara terencana, maupun tidak terencana; namun yang terbanyak adalah yang diperbuat secara tidak terencana.