|
Papa Ceria: Gigi
|
ggak mau
.," teriak Ani, sambil lari ke pojok ranjang.
Beberapa hari terakhir, puteriku yang masih di TK ini sering mengeluh kesakitan saat makan karena satu gigi depan-bawah yang sudah goyah. Sore itu, dia baru saja menangis karena kesakitan ketika menggigit melon. Tetapi, ketika kucoba membujuknya untuk mencopot giginya, Ani menolak. "Nggak mau
sakit," ujarnya sambil terisak-isak.
Mahkota gigi susu itu sebenarnya sudah lepas dan akan segera digantikan oleh gigi yang permanen. Gigi itu tinggal lengket sedikit di gusi. "Tidak sakit
paling hanya seperti digigit semut," kataku mencoba meyakinkannya. Setelah berdebat kusir puluhan menit tanpa hasil, emosiku pun merambat naik temperaturnya. Alternatif lain terpaksa aku pilih. Segera kuambil lidi sambil tetap mencoba membuatnya mengerti bahwa dipukul dengan lidi akan jauh lebih sakit daripada jika giginya aku copot. "Nggak mau
nggak mau
" Dia tetap bersikeras. Dengan berat hati, lidi pun hinggap di kakinya. Tangisnya makin menjadi.
Akhirnya, Ani aku pegang dan kududukkan di pangkuan. Aku minta dia untuk diam dan membuka mulutnya. Ketika dengan perlahan kusentuhkan jariku ke giginya, mahkota gigi itu pun langsung tanggal. Hampir tak ada reaksi kesakitan di wajah Ani, bahkan dia tampak belum sadar sepenuhnya bahwa giginya sudah copot dan jatuh ke lantai. Isteriku mengajak Ani berkumur. "Nah, sebentar lagi sudah tidak sakit lagi," katanya. Dia mencoba menanamkan pengertian bahwa semua ini dilakukan untuk kebaikan Ani.
"Iya, tapi Ani kan malu sama temen-temen kalau giginya copot." Isteriku mencoba memahami masalah rasa malu ini yang agaknya merupakan masalah besar bagi Ani. Dia menekankan bahwa anak-anak seumur Ani memang sedang mengalami pergantian gigi. "Teman-temanmu juga sama. Giginya banyak yang sedang copot. Nanti juga akan tumbuh gigi baru."
Tak lama, celoteh Ani pun mulai terdengar. Menjelang tidur, Ani menghampiriku, "Papa, terima kasih gigi Ani sudah dilepas." Kami pun saling berpeluk-sayang.
Keesokan harinya, tak lama setelah pulang dari kantor, Ani menghamp[iriku dengan wajah cerah. "Pa
Pa
lihat, Pa!, katanya. Dia menunjukkan kedua deretan giginya yang sekarang diwarnai dengan rongga akibat mahkota gigi yang tanggal. Dia menekan lidahnya ke rongga itu. Ujung lidahnya muncul di rongga kecil tersebut seakan sebuah gigi pengganti. Gaya dan ekspresi wajahnya demikian kocak. Tawa kami berdua pun memenuhi ruangan.
Sebagai seorang ayah, kita kadang dihadapkan pada situasi yang serba salah, seperti masalah gigi di atas. Sudah beberapa hari sebenarnya aku bergumul dengan dua alternatif: memakai jalur halus atau jalur keras untuk melepaskan Ani dari masalahnya. Jika jalur keras yang kupilih, aku kuatir Ani akan mendapat kenangan pahit tentang Papanya yang siapa tahu akan dibawanya sampai dewasa. Siapa yang ingin dikenang sebagai monster oleh anaknya? Ternyata, aku belum berhasil memakai jalur halus. Walau dengan berat hati, aku ahirnya harus memilih jalur keras. Aku tak tahu pasti apakah di sudut hati Ani masih tersisa rasa kesal terhadapku. Semoga dia mengerti bahwa akupun menangis karena harus memilih jalur keras untuk menyelesaikan masalah ini. *** (HS)