|
Bagaiman Menjadi Ayah ?
|
eseorang yang telah menyandang identitas sebagai ayah belum tentu telah berperan sebagai ayah.
Ayah A:
Istri saya mengeluh bahwa saya selalu memberikan apa yang anak-anak mau, sehingga anak-anak lebih sayang papa daripada mama. Bagaimana tidak? Saya jarang sekali bertemu dengan anak-anak. Sudah barang tentu setiap kali bertemu mereka, saya ingin menyenangkan mereka.
Ibu B:
Saya hanya mengharap sedikit pengertian dari suami. Mestinya dia ada rasa terima kasih sedikit. Saya bekerja untuk mendukung keuangan keluarga, berarti untuk menopang dia. Tapi, giliran urusan anak, sedikitpun dia tidak mau ikut campur. Bagaimana saya tidak kewalahan? Seharusnya pendidikan untuk menjadi orang tua bukan hanya untuk ibu, tapi khususnya untuk ayah.
Istri C:
Begini nasib jadi ibu. Kalau jadi ayah, hanya tahu main dan rekreasi dengan anak. Giliran ganti pampers, anak nangis, pokoknya yang susah-susah
. "Ma
.. si kecil ngompol, ma
. Si kecil ngantuk" Ingin sekali barang satu hari cuti sejenak. Tapi, mana mungkin? Anak saya bisa tidak makan satu harian.
Ayah D:
Istri saya terlalu hati-hati dan kurang percaya pada suami. Saya sebenarnya mau mengasuh si kecil sekali-sekali. Tapi baru saja saya berbuat sesuatu yang berbeda, dia sudah teriak: "Eeeee pa, jangan digituin dong..! eeee
. Awas keseleo"
Saya pikir, ayah selalu menjadi Mr. Wrong dan ibu selalu menjadi Mrs. Right.
Anak:
Kemarin ayah pulang larut malam, tapi saya dapat merasakan dahi saya di sentuh dan ia berkata: "Tuhan berkatilah anakku." Kemudian dia berbisik di telingaku: "Tidurlah bersama malaikat, anakku, papa sayang kamu." (Nicholas, 1 SD)