INUNG JADI PENYANYI
Cerpen Ngarto Februana

Matahari sudah condong di ufuk barat. Hampir tenggelam di balik bukit. Sore yang cerah itu Inung telah sampai di Desa Sumberjo. Inung turun dari colt pick up angkutan pedesaan. Untuk sampai ke rumahnya ia mesti berjalan kaki sekitar satu kilometer. Dibahunya tersandang tas besar. Tangan kiri menjinjing tas. Sedangkan tangan kanan menjinjing tas plastik berisi oleh-oleh. Inung melangkah pelan menyusuri jalan berbatu. Di kanan kiri jalan terbentang hamparan padi menguning.

Desa ini sudah banyak berubah, gumam Inung dalam hati. Ia menyaksikan tiang listrik berjejer di pinggir jalan. Kabel-kabel listrik malang melintang. Sudah banyak yang memiliki televisi, padahal baru dua tahun kutinggalkan desa ini, kata Inung dalam hati sambil terus melangkah.

Beberapa kali Inung tersenyum. Meski baru dua tahun, ia begitu merindukan desa kelahirannya. Desa tempat ia dibesarkan sampai usia 19 tahun. Kerinduannya bakal ter-obati. Rindu pada keluarga, rindu pada teman-teman, dan rindu pada Witono. Pemuda sederhana tapi cukup tampan itu begitu memikat hatinya. Ia masih ingat saat mengucapkan kata perpisahan dengan Witono.

"Aku janji untuk sering-sering berkirim surat," kata Witono dua tahun yang silam. "Asal kamu masih setia dan tak berubah."

"Aku akan balas surat-suratmu," balas Inung.

Walau jarak desa dan kota memisahkan mereka, tapi cinta Inung dan Witono tetap terjalin walau lewat surat. Tapi satu bulan terakhir surat Witono tak kunjung datang. Inung menduga dengan yakin, bahwa Witono tak sempat berkirim surat, karena sibuk dengan bebek dan sawahnya. Inung bisa memaklumi dan tetap mengharapkan kesetiaan pemuda yang mirip Doyok, sang pelawak kondang itu. Cintanya pada pemuda itu tak tergoyahkan walau Witono tak menyurati.

Barangkali ia sibuk atau ada masalah lain, batin Inung. Kepulangannya ini sesungguhnya untuk memastikan sikap Witono. Inung merencanakan, apabila Witono masih mencintainya, Inung mengusulkan untuk segera menikah. Ia tetap berharap dan terus berharap.

Kira-kira dua ratus meter Inung melangkah, ia berpapasan dengan bocah-bocah desa yang masih bermain di jalanan. Mereka berdiri terpaku memandang Inung. Pandangan mata mereka seakan terpesona. Inung balas memandang mereka. Ia heran. Padahal penampilan Inung biasa saja. Mungkin karena kini Inung mengenakan celana jeans. Apa anehnya? pikir Inung. Dua tahun yang lalu gadis-gadis desa juga sudah pakai jeans. Dandanannya juga biasa. Tanpa polesan mike up di wajahnya. Ia masih seperti dulu sebelum berangkat ke kota.

"Mbak Inung?" kata salah seorang bocah yang bertelanjang dada. Yang lain berbisik-bisik. Lalu mereka berlarian ke rumah masing-masing. Inung melanjutkan langkahnya dengan rasa penasaran.

Inung bertambah heran, ketika warga desa berhamburan keluar rumah. Anak-anak, gadis-gadis desa, para pemuda, bahkan sampai kakek nenek menyongsong Inung dengan pandangan takjub. Inung merasa risih dan kian tak mengerti. Apa yang sesungguhnya telah terjadi pada diriku?

"Aduh Inung!" songsong Ningsih sambil menghambur memeluknya. "Kupikir kamu sudah lupa sama desamu. Kamu sekarang jadi terkenal. Wah, enak, ya jadi penyanyi?"

Inung bengong. Matanya melotot heran. Tapi orang-orang desa menyambut kedatangan Inung dengan sikap sama. Seperti layaknya menyambut salah seorang warga desa yang telah sukses hidupnya di kota. Inung berpikir sejenak. Lalu ia tersenyum geli dan maklum. Ia berusaha menyimpan tawanya dalam hati menghadapi kenyataan itu.

"Wah, kok nggak bawa mobil sendiri. Kamu khan sekarang kaya raya, Nung," sambut yang lain.

Inung tak sempat membela diri. Serbuan warga desa semakin gencar. Bahkan seorang nenek dengan bangganya bisa menyalami Inung. Lalu mereka mengarak Inung sampai di halaman rumah.

Keluarganya pun menyambut dengan gegap gempita.

Inung jadi penyanyi! Itulah kesimpulan penduduk desa.

"Yah, sudah jadi penyanyi kok pulang bawa oleh-oleh kayak gini. Murahan begini," gerutu Awang, adik Inung paling kecil.

Di dalam kamarnya Inung menggigit bibirnya. Perih rasanya di hati. Aku tak mungkin membawakan kalian oleh-oleh yang mahal, bisik Inung dalam hati. Untuk membeli sepatu dan baju saja, aku mesti menabung beberapa bulan. Upahku hanya cukup untuk makan.

Malam itu Inung berusaha menghindari penggemarnya. Ia tidur dalam kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh. Esoknya barulah ia menemui Ningsih di kali. "Kamu hebat, Nung. Gadis desa bisa jadi penyanyi," komentar Ningsih sambil mencuci kabaya. "Walau begitu kamu tetap berpenampilan sederhana. Kami semua salut."

Inung tersenyum. Dalam benaknya telah siap dengan jawaban bila orang desa menanyakan perihal jadi penyanyi. "Bagaimana khabar Witono, Ningsih?" tanya Inung hati-hati.

Ningsih mengerutkan dahi. "Lho, kamu belum tahu, tho?"

"Memangnya kenapa?" Hati Inung berdebar-debar.

"Masak kamu nggak diberi tahu? Wah, ini berarti keputusan sepihak. Dia merencanakan untuk kawin," cetus Ningsih.

Hati Inung terasa plong. Lega. Keputusan Witono selaras dengan rencanaku, batin Inung. Jadi kini tinggal mematangkan rencana itu. Wajahnya berseri-seri. Hatinya begitu gembira. Dalam benaknya terbayang saat-saat indah tentang perkawinan. Witono tentu segera melamarku, kata Inung dalam hati mengangankan perkawinan. Lalu kami tunangan. Dan selanjutnya ....Tapi kenapa Bapak nggak ngomong soal ini? Ah, mungkin tak sempat. Semalam aku langsung tidur. Esoknya nggak ada kesempatan.

"Kamu sendiri gimana, Nung?" tanya Ningsih membuyarkan lamunannya.

"Maksudmu?"

"Kamu nggak punya rencana menikah, Nung? Ah, calon kamu pasti penyanyi juga, ya?" pertanyaan itu sangat mengejutkan Inung.

"Witono mau kawin sama siapa?" Nada suara Inung tinggi.

"Kamu nggak ngerti juga, tho? Witono mau kawin sama Sri!"

Bagai petir menggelegar menghantam kepala Inung demi mendengar kenyataan itu. Inung hanya bisa menggigit bibirnya. Hatinya perih. Betapa getirnya. Tapi ia tak meneteskan air mata.

"Sejak kamu tampil di telepisi, Witono jadi minder. Ia merasa tak mampu memilikimu. Ia sempat putus asa bahkan sampai sakit. Lalu orang tuanya menyuruh kawin dengan gadis lain. Ia akan kawin dengan Sri, anak Pak Haji Dullah," tutur Ningsih.

Inung diam tercenung.

"Kamu pasti banyak penggemar, Nung. lha, wong sudah jadi penyanyi. Kamu mesti banyak pacar juga, toh. Enak, ya jadi penyanyi," cerecau Ningsih.

Inung menunduk. Memandang percik-percik air membentur batu-batu kali. "Ningsih, sebenarnya aku bukan penyanyi," ujar Inung.

"Mana bisa kupercaya. Kamu penyanyi pendatang baru yang sering nongol di telepisi. Lagu-lagumu sering diputer di radio. Kami semua menyukai lagu-lagumu."

"Penyanyi yang kalian maksud itu bukan aku. Nama memang sama. Wajah dan bentuk tubuh memang mirip. Tapi nasib beda. Inung penyanyi nasibnya baik. Ia terkenal dan banyak uang. Tapi Inung gadis Desa Sumberjo hanyalah seorang buruh di pabrik sepatu di Jakarta," tutur Inung sambil memandang pohon nangka di pinggir kali.

"Jadi?" Ningsih bengong.

"Ya." Inung mengangguk lesu.

* * *

 [puisi]  [novel]  [sinetron]  [skripsi]  [profil]
[surat-surat] [proses kreatif] [artikel] [respons] [guestbook] [bahasa]

 

1