Sastrawan Indonesia Terkemuka

Select language: [English] [Spanish] [French

  puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil  
I time line I catatan harian I surat-surat I
proses kreatif 
I artikel I komentar & resensi I berita I home

 

 

Maaf, browser anda tak mampu melihat applet.


Kirim Komentar
Gabung Mailing List
Dokumen Pribadi
Favorite Link


Cetakan I Juni 1999; tebal 221, Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta (Cetakan II, 2000)
Novel perdana Ngarto Februana ini bercerita tentang nasib seorang bocah yang lahir dan tumbuh di kampung pelacuran. Karena tak betah, si bocah minggat. Setelah dewasa ia kembali, dan memulai pertarungan demi pertarungan. Ia bertarung dengan "kelelakiannya": jatuh cinta pada seorang pelacur. Bertarung entah atas nama dendam masa lalu atau memprotes kesewenang-wenangan. Dan bertarung dengan makhluk raksasa dalam mimpinya. Bertarung dengan dirinya sendiri hingga pada suatu ketika ia harus melupakan segalanya....


Pengantar: Bakdi Soemanto; Cetakan I Juli 2000; tebal 206 halaman, harga Rp 18.000; Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta.
Novel berlatar budaya suku Dayak, di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Dengan membaca novel ini, kita banyak belajar tentang suku yang sebelumnya tidak pernah kita kenal. Lengkap dengan pelukisan upacara ritual. Juga tentang horor pemenggalan kepala. Ada pula pertarungan kepentingan antara pengusaha HPH dengan suku yang senantiasa terasing itu. Lalu bagaimana nasib Utay, putra kepala suku, yang mengkhianati tanah leluhurnya demi ambisi pribadi?


Cetakan I September 2002; Cetakan II April 2003. Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta 174 halaman.
 
Tapol merupakan novel yang didasari oleh fakta sejarah. Dan ini diolah oleh penulisnya dengan sangat baik. Dari situ kita dapat membaca sketsa tragedi manusia yang terjadi dalam lingkaran peristiwa sejarah manusia Indonesia yang tragis, yaitu G30S/PKI, 1965. (Komentar Dr. Anhar Gonggong)

 

 

 































surat.gif (7603 bytes)

Surat buat Tyas Ponco Pudjiastuti
(Ditulis pada 1 November 1990)

 

Hal terburuk yang mungkin terjadi pada para pencinta kebebasan yang gagah berani di dunia ini adalah pembuangan dan pengasingan.

---Albert Camus

Telah kuawali suratku ini dengan sebuah kutipan yang menarik dari seorang sastrawan yang filosofis, Albert Camus. Aku sengaja menuliskan surat kepadamu dan aku ingin mengabarkan sebuah komitmen dan idealisme seorang anak manusia yang secara faktisitas dilahirkan di sebuah negeri yang bernama Indonesia. Dengan penuh harapan, engkau sudi membacanya dan memahami makna yang esensial dari cerita ini.

Engkau pernah berkata kepadaku dengan muka agak masam "Mas Ngarto kok lebih mementingkan demo." Terus terang aku terperanjat oleh ucapanmu. Lalu aku pun berusaha memahami jalan pikiranmu dan berupaya sekedar memaklumi, bahwa engkau berkata seperti itu karena berangkat dari ketidaktahuan. Untuk itulah dalam surat ini aku ingin menjelaskannya. Semoga engkau berkenan membacanya.

Tyas yang manis, dalam hidup ini sudah seharusnya ada yang diprioritaskan. Di dalam prioritas itu terkandung makna sebuah pilihan. Dan hidup ini memang selalu dihadapkan pada pilihan. Kita harus berani memilih. Konsekuensinya kita pun harus beani menanggung risiko atas pilihan yang kita ambil. Dan sudah barang tentu ada alasan yang mendasar mengapa kita harus menentukan sesuatu pilihan.

Tyas, aku memilih menjadi seorang aktivis, seorang demonstran atau sering disebut "parlemen jalanan" bukannya tanpa alasan. Aktivitas tersebut hanyalah salah satu bentuk dari pengejawantahan sebuah keyakinan idealisme. Sebuah komitmen kepada kepentingan rakyat tertindas yang hidupnya terbelenggu oleh kemiskinan struktural. Aktivitas tersebut adalah bagian yang integral dari sebuah perjuangan besar. Ya, kami menyebutnya sebagai perjuangan, karena tujuan yang kami canangkan jelas, yakni untuk merombak sistem represif dan bobrok ini untuk digantikan dengan sebuah sistem yang baru yang lebih baik. Sebuah sistem yang demokratis, yang lebih memungkinkan pelaksanaan hak asasi manusia yang hakikiah, lebih memungkinkan terwujudnya keadilan sosial, lebih memberikan kesempatan kepada rakyat banyak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan, dan bisa menghapus kemiskinan. Dan aku yakin betul, kita memang harus berjuang, jika kita mengiinginkan hidup ini mempunyai makna.

Barangkali engkau harus tahu bagaimana bobroknya sistem di negeri ini. Dahulu, sering ibuku bercerita tentang indahnya negeri ini. Kata ibuku, Indonesia kaya raya. Aku dengar dongeng ibuku sebagai pengantar tidur. Namun sekarang, ketika aku elah melihat kenyataan secara jelas, aku hapus mengubah dongeng ibuku tentang negeri ini. Kalau penguasa negeri ini membuai rakyatnya dengan slogan-slogan kemakmuran, itu adalah dongeng menjelang kematian. Jikalau penguasa bercerita tentang raja-raja baru, itu pertanda hidup ini akan lebih hina. Bila penguasa bercerita tentang dewa-dewa baru, hal itu merupakan pertanda bahwa hidup rakyat akan lebih melata. Dan jika penguasa bercerita tentang kapitalis-kapitalis baru, itu artinya hidup rakyat semakin serba kekurangan.

Dulu, tahu 1974, di negeri ini tersebar kabar, rezeki minyak melimpah, GNP meningkat, dan negara punya banyak tabungan devisa. Namun negara tak mampu melepaskan belenggu kemiskinan yang menjerat rakyat. Apalah artinya bom minyak, apalah artinya sebuah pembangunan yang hanya diarahkan pada kenaikan GNP, bukan untuk menghapus kemiskinan. Lalu ketika bom minyak berlalu, kita dibuat kalang kabut. Dua buah strategi kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah tidak bisa mengatasi utang negara yang semakin menumpuk. Nasionalisasi perusahaan asing hanya membuat perut kapitalis-kapitalis birokrat semakin gendut. Mengandalkan mekanisme pasar bebas ternyata hanya membuka peluang lebar bagi dominasi pengusaha-pengusaha besar. Dan rakyat kecil yang jumlahnya paling banyak di negeri ini hidupnya semakin susah.

Kini utang negara kepada luar negeri sudah mencapai 55 miliar dolar Amerika. Sementara IGGI mengurangi bantuan dengan alasan Eropa Timur lebih membutuhkan perhatian. Lantas terjadilah inflasi akumulatif. Dan kemudian tarif angkutan dinaikkan dan harga barang-barang turut naik. Kalau keadaan sudah begini, siapakah yang semakin terjepit. Lagi-lagi rakyat banyak kelas bawah.

Memang bantuan luar negeri cukup besar yang artinya utang semakin menumpuk. Dari sini timbul sebuah pertanyaan, siapakah yang menikmati bantuan luar negeri? Sebagian besar dana luar negeri dinikmati oleh keluarga Cendana, Lim Si Liong dan konco-konconya. Kenapa demikian? Pertama, karena mereka sudah cukup punya modal dan alat-alat produksi dan cukup modal juga untuk menyerap pendapatan termasuk pendapatan dari luar negeri yang sering dinamakan bantuan. Kedua, mereka punya banyak peluang untuk memperoleh fasilitas dan proteksi dari pemerintah, sehingga mereka lebih mudah memenangkan tender. Ketiga, alat-alat produksi yang dimiliki masyarakat miskin sangat kurang memadai untuk membagiulang pendapatan.

Tyas, pernahkah engkau mendengar tentang MNC (multinational corporation)? Adalah sangat keliru, jika dikatakan bahwa MNC akan memberikan perbaikan pada tingkat hidup rakyat. Adalah suatu anggapan yang naifm jika dikabarkan MNC memberikan perkembangan teknologi madya. MNC hanya bisa dinikmati oleh para konglomerat dan hanya didominasi oleh penguasa besar keluarga Cendana. Lalu, apalah artinya menjamurnya MNC, jika rakyat Wonosari selalu kekurangan air, jika kaum buruh pabrik harus hidup semakin pas-pasan dengan jam kerja yang semakin lama. Dan engkau harus tahu, MNC termasuk merek dari globalisasi ekonomi dunia.

Ya, kebijakan-kebijakan ekonomi negeri ini memang tidak diarahkan kepada penghapusan bentuk-bentuk terburuk dari kemiskinan. Kebijakan ekonomi hanya untuk diarahkan kepada kelas menengah atas dan kelas atas. Kebijakan ekonomi hanya semakin mengarah pada akumulasi modal kaum borjuis. Lihatlah konglomerat-konglomerat birokrat! Betapa makmurnya mereka. Lihatlah kaum tergusur yang menatap tanahnya yang kini bukan miliknya lagi. Lihatlah mantan-mantan tukang becak Jakarta yang melambaikan tangannya kepada becak-becaknya yang digiring untuk dicemplungkan ke laut. Tangis mereka adalah tangisku juga. Penderitaan mereka adalah penderitaanku juga.

Tyas, kawanku yang baik, sudah terlalu banyak ketimpangan dalam segi ekonomi. Jurang antara yang kaya dan miskin semakin lebar. Mereka yang miskin dan selalu terbelenggu kemiskinan, bukan karena mereka malas. Kemiskinan di negeri ini adalah akiabt dari birokrasi yang salah. Akibat kebijakan ekonomi yang keliru. Dengan kata lain ketimpangan dan kemiskinan bersumber dari sebuah sistem yang salah.

Tyas, adikku yang manis, pernahkah engkau menyadari bahwa selama ini kita dibuat bungkam? Ya, rakyat dibuat bungkam. Ideologi stabilitas nasional telah menghilangkan partisipasi politik rakyat. Sejak kelahiran Orde Baru, pembungkaman itu mulai dilakukan. Istilahnya depolitisasi. Deparpolisasi dijalankan dengan minimalisasi jumlah partai, sehingga berkurangnya kegiatan politik birokrat. Dan partisipasi politik rakyat pun mulai berkurang. Lalu pemerintah Orde Baru mempergunakan sarana mobilisasi vertikal dengan organisasi-organisasi parokhial dan koorporatis. Pemerintah membentuk kaki-kaki baru, tangan-tangan baru dari kaum muda. Dengan kata lain mereka yang berkuasa membuat bayangan kepada kaum muda demi kelestarian kekuasaan; demi berthaannya status quo. Organisasi kepemudaan akhirnya kehilangan kemandiriannya. Mereka lebih suka menjadi antek-anteknya partai ketimbang menyuarakan aspirasi pemuda; aspirasi dirinya. Mereka memilih menjadi antek-anteknya penguasa dengan harapan bisa mencicipi nikmatnya sebuah kekuasaan, jika bapak-bapaknya sudah masuk liang kubur, meskipun mereka pun tahu tentang dosa-dosa bapaknya kepada negeri yang dibangun dengan darah, keringat, dan air mata. Dengan begitu mereka lebih memilih untuk bungkam daripada bersuara tapi akan kehilangan kesempatan untuk menikmati kursi empuk. Ini adalah pembungkaman yang dilakukan sangat halus, sehingga yang dibungkam tidak merasakan bahwa mulut mereka dibungkam.

Kepada mahasiswa yang punya potensi sebagai sosiokontrol pemerintah juga menerapkan depolitisasi. NKK/BKK ditancapkan di kampus-kampus, agar mereka hanya sibuk main drum band, menari, nyanyi, sepakbola, dan kegiatan yang sifatnya hura-hura dan sekadar rekreatif. Pendidikan politik tidak diberikan. Terlebih lagi, mahasiswa malah dilarang berpolitik praktis. Kemudian dengan diberlakukannya sistem SKS dan jatah kuliah yang pendek, serta ancaman DO yang mengerikan, membuat mahasiswa hanya sibuk memikirkan SKS, IP, dan pacaran. Sementara kurikulum dan sistem pendidikan sama sekali tidak memberikan kebebasan, meski tiap kali digembar-gemborkan tentang kebebasan akademis dan kebebasan mimbar akademis. Kurikulum, sistem pendidikan, dan budaya pendidikan hanya mengarahkan mahasiswa kepada budaya ketaatan, bukan budaya bersikap kritis. Mahasiswa dikondisikan dengan budaya menghafal, karena budaya menghafal adalah budaya ketaatan kepada sang penguasa, meski penguasa kian banyak menumpuk dosa kepada berjuta-juta rakyat. Kalau ada mahasiswa bersikap kritis, ia akan digebuk dengan ganjaran tujuh tahun penjara. Mahasiswa selalu dihantui dengan UU antisubversif (UU No. 11/PNPS Tahun 963) yang sesungguhnya hanya diberlakukan untuk keadaan darurat perang. Lho, katanya Indonesia sudah merdeka, kok UU tersebut masih diberlakukan.

Kalau ada mahasiswa bersikap kritis, mempelajari ilmu secara mendalam, kadang tuduhan yang ditujukan sangat mengerikan. Dicap komunis! Tidak hanya mahasiswa. Rakyat yang tanahnya digusur, kalau mereka tidak menyerahkan tanahnya akan dicap komunis. Padahal tahu apa mereka soal komunis?

Sementara itu lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai sosial kontrol juga dibungkam. Pers selalu diancam dengan undang-undang pembredelan. Lembaga perwakilan rakyat pun dibungkam. Soejadmoko, seorang cedekiawan brilian pernah mengatakan bahwa tidak ada birokrasi baik pemerintah maupun swasta yang bisa mendisiplinkan dirinya dari dalam. Ketiadaan kekuatan tandingan dan kontrol sosial masyarakat akan memberikan peluang bagi pemborosan dan pembusukan di dalam akibat akumulasi kekayaan yang melimpah. Ya, di Indonesia, tidak ada kekuatan tandingan yang bisa menjalankan fungsi kontrol sosial yang kuat. Memang di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru ini yang namanya kekuatan tandingan sengaja dihindarkan, sesuai dengan konsep kekuasaan Jawa yang diterapkan rezim Soeharto. Di dalam konsep kekuasaan Jawa, kekuasaan itu bersifat homogen dan konsentris. Infrastruktur dalam kekuasaan ditempati oleh orang-orang yang sama. Bila dalam masyarakat ada kekuatan tandingan, maka kekuatan itu diserap untuk dijadikan kekuatannya sendiri. Kekuasaan semakin tersentralisasi dan dengan demikian terjadi kecenderungan totaliterisme. Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi tidak ada artinya sama sekali. Sementara itu militer menduduki komponen utama. Terjadi militerisasi kekuasaan yang juga menduduki posisi penting dalam perekonomian. Engkau bisa menyaksikan betapa kuatnya militer di Indonesia, bukan sebagai pengawal negara, tapi sebagai penguasa. Dalam kabinet, menteri-menteri banyak dari militer. Gubernur, bupati, camat, sampai lurah banyak yang ditempati oleh militer. Aku bukannya benci pada militer, tapi aku benci terhadap militerisasi di negeri ini, walaupun keluargaku banyak dari kalangan militer. Dan dalam bidang perekonomian, militer pun punya kedudukan penting. Mereka punya banyak perusahaan, terutama angkatan darat. Divisi Siliwangi punya PT Propelat. Divisi Diponegoro punya PT Darma Persada. Angkatan Darat punya PT Rumpun Estate dan membawahi puluhan perusahaan yang merupakan konglomerat bebas pajak, di antaranya Bank Ramayana, Semen Nusantara , Hanurata Logging, Bank Windu Kencana, Hotel Kartika Candra, PT Pertamina, dan lain-lain yang tak bisa saya sebutkan satu per satu di dalam surat ini.

Dalam sejarahnya pun militer mencatat dosa-dosa besar yang tak terampuni. Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan kejadian yang mencoreng sejarah Angkatan Darat. Betapa ribuan pasukan dengan senjata berat dikerahkan untuk mengepung Istana Negara, hanya karena tidak puas terhadap kebijaksanaan kabinet sipil. Tahun 1955 sampai 1957 Angkatan Darat juga melakukan penyelundupan-penyelundupan. Penyelundupan kopi dan kapas di Teluk Nibong yang diprakarsai oleh Letkol Warrow, kemudian perdagangan yang dilakukan tanpa bea cukai. Dan dosa besar yang belum terungkapkan adalah peristiwa September 1965. Dengan akal liciknya Angkatan Darat yang didalangi oleh seorang letjen (kini dia jadi presiden) menendang para jenderal dengan menggunakan tangan PKI (Kolonel Untung). Kemudian setelah para jenderal yang punya potensi sebagai saingan membusuk di Lubang Buaya, mereka mengganyang PKI habis, dan setelah itu mereka naik ke puncak kekuasaan sampai sekarang ini.

Engkau mungkin kaget membaca informasi ini. Memang kita dibuat kaget, manakala kita tahu sejarah yang sebenarnya. Demi alasan kekuasaan, sejarah telah dimanipulasi. Orang tidak akan pernah menduga bahwa tahun 1954 Letkol Soeharto telah merencanakan kudeta berdarah dan baru berhasil tahun 1965-1966 dengan cara yang sangat halus dan licik. Dan orang pun tidak bisa membedakan, yang mana pahlawan dan mana yang bajingan. Apakah betul Letkol Soeharto punya peran besar dalam serangan umum satu Maret? Versi yang lain mengatakan pada waktu itu dia sedang enak-enak makan gudeg di Tugu. Masih banyak sejarah yang benar tapi belum terungkapkan, karena selama ini kita telah dibuai oleh sejarah palsu yang dibuat oleh anak haram "Ken Arok" Orde Baru.

Tyas, kini aku ingin bercerita tentang nasib rakyat kecil yang hidupnya selalu tertindas. Engkau mungkin sudah mendengar kasus penggusuran tanah, seperti kasus Kedung Ombo, Cimacan, Kaca Piring, Blangguan, Pulau Panggung, Cilacap, Cirata, dan lain-lain. Rakyat kecil di daerah-derah itu menjadi tumbal pembangunan. Yah, dosa besar perencana pembangunan di negeri ini salah satunya adalah menempatkan manusia di sekitar pembangunan, bukan menempatkan pembangunan di sekitar manusia dengan kata lain menempatkan pembangunan untuk manusia. Manusia lemah menjadi korban pembangunan. Dengan alasan pembangunan, petani digusur tanahnya dengan ganti rugi yang sangat murah. Kalau petani menolak maka mereka diintimidasi dan bahkan dicap komunis. Sebelumnya mereka diberi "penyuluhan" yang isinya berupa pembacaan Undang-Undang Subversif (UU No. 11/PNPS/1963). Seperti kasus Kedung Ombo yang sampai sekarang belum tuntas. Untuk tanah persawahan diganti Rp 2.500 per meter tapi yang diberikan kepada petani hanya Rp 730 per meter. Untuk tanah tegalan, per meter hanya diganti Rp 230. Bulan Mei kemarin mereka ke DPR untuk mengadukan nasibnya. Begitu pulang dari Jakarta, mereka diintimidasi, dipanggil ke koramil dan diancam. Salah seorang guru SD, namanya Partoyo, dimutasi ke daerah yang sangat terpencil, hanya karena ikut ke DPR. Demikian pula pada kasus-kasus lainnya. Di Cirata, petani yang tidak mau menyerahkan tanahnya, mati tertembak secara misterius. Petani Pulau Panggung menangis karena kebun kopinya dibakar militer, hanya karena sebuah alasan, areal itu akan dipergunakan untuk konservasi alam. Di Blangguan, petani diusir, tanahnya dipergunakan untuk latihan perang. Petani Cimacan harus kehilangan tanahnya karena tanah mereka akan digunakan untuk lapangan golf. Di Cilacap, ribuan kepala keluarga digusur oleh PT Olivin (miliknya Tutut) dengan ganti rugi yang murah juga. Kiranya masih banyak lagi penggusuran tanah yang sangat merugikan rakyat miskin.

Tyas yang baik, kukira engkau sudah mengerti, kenapa aku harus demonstrasi, kenapa aku harus melibatkan diri dalam sebuah perjuangan. Aku pernah mengatakan kepadamu bahwa hidupku, namaku dan masa depanku kupertaruhkan untuk perjuangan. Aku yakin bahwa aku berada di pihak yang benar. Perjuangan kami adalah karena-Nya. Bukankah memerangi kesewenang-wenangan adalah jihad. Memerangi kebatilan adalah jihad. Ingatkah kau paa sebuah hadis Nabi yang mengatakan: "Bila engkau melihat kemungkaran, maka lawanlah dengan tanganmu, kalau tidak mampu lawanlah dengan kemungkaran itu dengan mulutmu, dan kalau dengan mulut engkau tidak mampu, lawanlah dengan hatimu, itulah serendah-rendah iman seseorang." Aku telanjur melihat adanya kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, seperti yang telah aku paparkan di atas, maka aku harus melawannya. Albert Camus pernah mengatakan, "Warga negara yang besar bukanlah mereka yang tunduk pada penguasa, melainkan mereka yang tidak goyah membela kehormatan negerinya, meski harus melawan penguasa." Yah, bagi kami tidak ada kata lain kecuali: LAWAN. Rakyat harus diselamatkan. Kemiskinan harus dihapus. Demokrasi harus diperjuangkan. Kebebasan harus direbut kembali, karena itulah aku harus turut melibatkan diri sepenuhnya dalam perjuangan.

Aku menyadari sepenuhnya, perjuangan memerlukan pengorbanan. Perjuangan mengandung risiko. Setiap saat aku bisa diciduk dan meringkuk di balik terali besi. Setiap saat aku bisa berhadapan dengan bayonet terhunus, gas air mata, popor bedil, dan peluru mematikan. Semua itu sudah kuperhitungkan. Bahkan pembuangan dan pengasingan mungkin menimpaku. Sekarang pun risiko itu sudah mulai aku rasakan. Aku sudah di-black list fakultas, mungkin juga oleh universitas. Aku tidak boleh bicara di seminar yang baru saja kita adakan. Mungkin kamu belum tahu masalah itu, kenapa aku mundur untuk menjadi pembicara. Bukan karena aku tidak sempat menulis makalah. Bukan pula karena alasan aku termasuk penyelenggara. Tapi karena dilarang. Kalau aku nekat, maka yang jadi korban adalah dirimu. Aku tidak tega dan tidak mungkin menjerumuskan kamu, karena aku sayang padamu.

Tyas yang selalu kurindukan, tentunya kau akan berpikir seribu kali bila mau menerimaku sepenuh hati. Aku pun juga akan berpikir seribu kali bila mencintai seorang gadis yang tidak setuju dengan perjuanganku, apalagi menentangnya. Semoga engkau setuju dengan perjuanganku, sehingga aku tidak perlu kehilangan kamu, hingga aku tidak perlu melambaikan tangan dan mengucapkan selamat tinggal sambil mendekap hati yang terluka. Terus terang kuakui, aku takut kehilangan kamu. Aku takut kalau saja aku tak berhasil memilikimu. Tapi aku juga tidak akan meninggalkan perjuangan sampai kapan pun. Dan juga, aku tidak ingin, hanya karena cinta, idealismeku akan luntur.

Tyas yang anggun, kini semua terserah kepadamu. Aku akan memaklumi apabila setelah engkau membaca surat ini akan menjauhiku, meski seperti yang telah kukatakan, aku takut kehilangan kamu. Menjadi "teman dekat" seorang demonstran bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Ia selalu dihantui oleh kesepian, apabila suatu saat nanti sang demonstran terpaksa mendekam di balik terali besi. Ia selalu diburu kecemasan, karena sang tokoh sibuk dengan rapat-rapat politik, sibuk memimpin demonstrasi, hingga kadang-kadang malam Minggunya diisi dengan rapat dan diskusi-diskusi soal politik.

Memang terkadang orang melihat bahwa seorang tokoh demonstran nampak gagah berani bak seorang pahlawan. Di atas panggung ia memegang mikrofon. Pidato berapi-api, membakar semangat massa. Ia tampak lebih gagah lagi bila melangkah mantap di depan ratusan massa memimpin demonstrasi. Dengan ikat kepala dan di tangannya tergenggam megafon ia menjadi komandan lapangan sebuah aksi. Tapi itu hanya gambaran luarnya. Artinya orang hanya melihat kegagahan luarnya. Orang tak pernah melihat bahwa ia akan sakit hati dan kecewa bila ditinggal orang yang dicintai. Aku pun menyadari, aku membutuhkan cinta. Dan, aku membutuhkan dirimu dengan segala kemanjaanmu, keceriaanmu, dan cintamu.

Tyas, kuakhiri surat ini dan aku mengharapkan jawabanmu, terlepas dari soal menerima atau menolak. Aku mohon maaf bila dengan hadirnya surat ini, kau akan tersinggung, karena memang banyak kata-kata yang kurang berkenan di hatimu. Aku tahu, perasaanmu halus. Aku sudah berusaha untuk tidak menyinggung perasaanmu. Okey, Tyas, sekian suratku dan terima kasih atas perhatianmu.

Malang, 1 November 1990

Dariku yang menyayangimu,

Ngarto Februana

NB: - kuharap jangan sampai surat ini dibaca orang lain, selain kamu tentunya. Kalau perlu, setelah kau membacanya, bakar saja surat ini.

 


I puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil I time line I catatan harian I surat-surat I
proses kreatif 
I artikel I komentar & resensi] I berita I


 Copyright©2000 Ngarto Februana. All rights reserved.
Design and Maintenance by Ngarto Februana

1