Hal terburuk yang mungkin terjadi
pada para pencinta kebebasan yang gagah berani di dunia ini adalah pembuangan dan
pengasingan.
---Albert Camus
Telah kuawali suratku ini dengan sebuah kutipan yang
menarik dari seorang sastrawan yang filosofis, Albert Camus. Aku sengaja menuliskan surat
kepadamu dan aku ingin mengabarkan sebuah komitmen dan idealisme seorang anak manusia yang
secara faktisitas dilahirkan di sebuah negeri yang bernama Indonesia. Dengan penuh
harapan, engkau sudi membacanya dan memahami makna yang esensial dari cerita ini.
Engkau pernah berkata kepadaku dengan muka agak masam
"Mas Ngarto kok lebih mementingkan demo." Terus terang aku terperanjat oleh
ucapanmu. Lalu aku pun berusaha memahami jalan pikiranmu dan berupaya sekedar memaklumi,
bahwa engkau berkata seperti itu karena berangkat dari ketidaktahuan. Untuk itulah dalam
surat ini aku ingin menjelaskannya. Semoga engkau berkenan membacanya.
Tyas yang manis, dalam hidup ini sudah seharusnya ada yang
diprioritaskan. Di dalam prioritas itu terkandung makna sebuah pilihan. Dan hidup ini
memang selalu dihadapkan pada pilihan. Kita harus berani memilih. Konsekuensinya kita pun
harus beani menanggung risiko atas pilihan yang kita ambil. Dan sudah barang tentu ada
alasan yang mendasar mengapa kita harus menentukan sesuatu pilihan.
Tyas, aku memilih menjadi seorang aktivis, seorang
demonstran atau sering disebut "parlemen jalanan" bukannya tanpa alasan.
Aktivitas tersebut hanyalah salah satu bentuk dari pengejawantahan sebuah keyakinan
idealisme. Sebuah komitmen kepada kepentingan rakyat tertindas yang hidupnya terbelenggu
oleh kemiskinan struktural. Aktivitas tersebut adalah bagian yang integral dari sebuah
perjuangan besar. Ya, kami menyebutnya sebagai perjuangan, karena tujuan yang kami
canangkan jelas, yakni untuk merombak sistem represif dan bobrok ini untuk digantikan
dengan sebuah sistem yang baru yang lebih baik. Sebuah sistem yang demokratis, yang lebih
memungkinkan pelaksanaan hak asasi manusia yang hakikiah, lebih memungkinkan terwujudnya
keadilan sosial, lebih memberikan kesempatan kepada rakyat banyak untuk menikmati
hasil-hasil pembangunan, dan bisa menghapus kemiskinan. Dan aku yakin betul, kita memang
harus berjuang, jika kita mengiinginkan hidup ini mempunyai makna.
Barangkali engkau harus tahu bagaimana bobroknya sistem di
negeri ini. Dahulu, sering ibuku bercerita tentang indahnya negeri ini. Kata ibuku,
Indonesia kaya raya. Aku dengar dongeng ibuku sebagai pengantar tidur. Namun sekarang,
ketika aku elah melihat kenyataan secara jelas, aku hapus mengubah dongeng ibuku tentang
negeri ini. Kalau penguasa negeri ini membuai rakyatnya dengan slogan-slogan kemakmuran,
itu adalah dongeng menjelang kematian. Jikalau penguasa bercerita tentang raja-raja baru,
itu pertanda hidup ini akan lebih hina. Bila penguasa bercerita tentang dewa-dewa baru,
hal itu merupakan pertanda bahwa hidup rakyat akan lebih melata. Dan jika penguasa
bercerita tentang kapitalis-kapitalis baru, itu artinya hidup rakyat semakin serba
kekurangan.
Dulu, tahu 1974, di negeri ini tersebar kabar, rezeki
minyak melimpah, GNP meningkat, dan negara punya banyak tabungan devisa. Namun negara tak
mampu melepaskan belenggu kemiskinan yang menjerat rakyat. Apalah artinya bom minyak,
apalah artinya sebuah pembangunan yang hanya diarahkan pada kenaikan GNP, bukan untuk
menghapus kemiskinan. Lalu ketika bom minyak berlalu, kita dibuat kalang kabut. Dua buah
strategi kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah tidak bisa mengatasi utang negara
yang semakin menumpuk. Nasionalisasi perusahaan asing hanya membuat perut
kapitalis-kapitalis birokrat semakin gendut. Mengandalkan mekanisme pasar bebas ternyata
hanya membuka peluang lebar bagi dominasi pengusaha-pengusaha besar. Dan rakyat kecil yang
jumlahnya paling banyak di negeri ini hidupnya semakin susah.
Kini utang negara kepada luar negeri sudah mencapai 55
miliar dolar Amerika. Sementara IGGI mengurangi bantuan dengan alasan Eropa Timur lebih
membutuhkan perhatian. Lantas terjadilah inflasi akumulatif. Dan kemudian tarif angkutan
dinaikkan dan harga barang-barang turut naik. Kalau keadaan sudah begini, siapakah yang
semakin terjepit. Lagi-lagi rakyat banyak kelas bawah.
Memang bantuan luar negeri cukup besar yang artinya utang
semakin menumpuk. Dari sini timbul sebuah pertanyaan, siapakah yang menikmati bantuan luar
negeri? Sebagian besar dana luar negeri dinikmati oleh keluarga Cendana, Lim Si Liong dan
konco-konconya. Kenapa demikian? Pertama, karena mereka sudah cukup punya modal dan
alat-alat produksi dan cukup modal juga untuk menyerap pendapatan termasuk pendapatan dari
luar negeri yang sering dinamakan bantuan. Kedua, mereka punya banyak peluang untuk
memperoleh fasilitas dan proteksi dari pemerintah, sehingga mereka lebih mudah memenangkan
tender. Ketiga, alat-alat produksi yang dimiliki masyarakat miskin sangat kurang memadai
untuk membagiulang pendapatan.
Tyas, pernahkah engkau mendengar tentang MNC (multinational
corporation)? Adalah sangat keliru, jika dikatakan bahwa MNC akan memberikan perbaikan
pada tingkat hidup rakyat. Adalah suatu anggapan yang naifm jika dikabarkan MNC memberikan
perkembangan teknologi madya. MNC hanya bisa dinikmati oleh para konglomerat dan hanya
didominasi oleh penguasa besar keluarga Cendana. Lalu, apalah artinya menjamurnya MNC,
jika rakyat Wonosari selalu kekurangan air, jika kaum buruh pabrik harus hidup semakin
pas-pasan dengan jam kerja yang semakin lama. Dan engkau harus tahu, MNC termasuk merek
dari globalisasi ekonomi dunia.
Ya, kebijakan-kebijakan ekonomi negeri ini memang tidak
diarahkan kepada penghapusan bentuk-bentuk terburuk dari kemiskinan. Kebijakan ekonomi
hanya untuk diarahkan kepada kelas menengah atas dan kelas atas. Kebijakan ekonomi hanya
semakin mengarah pada akumulasi modal kaum borjuis. Lihatlah konglomerat-konglomerat
birokrat! Betapa makmurnya mereka. Lihatlah kaum tergusur yang menatap tanahnya yang kini
bukan miliknya lagi. Lihatlah mantan-mantan tukang becak Jakarta yang melambaikan
tangannya kepada becak-becaknya yang digiring untuk dicemplungkan ke laut. Tangis mereka
adalah tangisku juga. Penderitaan mereka adalah penderitaanku juga.
Tyas, kawanku yang baik, sudah terlalu banyak ketimpangan
dalam segi ekonomi. Jurang antara yang kaya dan miskin semakin lebar. Mereka yang miskin
dan selalu terbelenggu kemiskinan, bukan karena mereka malas. Kemiskinan di negeri ini
adalah akiabt dari birokrasi yang salah. Akibat kebijakan ekonomi yang keliru. Dengan kata
lain ketimpangan dan kemiskinan bersumber dari sebuah sistem yang salah.
Tyas, adikku yang manis, pernahkah engkau menyadari bahwa
selama ini kita dibuat bungkam? Ya, rakyat dibuat bungkam. Ideologi stabilitas nasional
telah menghilangkan partisipasi politik rakyat. Sejak kelahiran Orde Baru, pembungkaman
itu mulai dilakukan. Istilahnya depolitisasi. Deparpolisasi dijalankan dengan minimalisasi
jumlah partai, sehingga berkurangnya kegiatan politik birokrat. Dan partisipasi politik
rakyat pun mulai berkurang. Lalu pemerintah Orde Baru mempergunakan sarana mobilisasi
vertikal dengan organisasi-organisasi parokhial dan koorporatis. Pemerintah membentuk
kaki-kaki baru, tangan-tangan baru dari kaum muda. Dengan kata lain mereka yang berkuasa
membuat bayangan kepada kaum muda demi kelestarian kekuasaan; demi berthaannya status quo.
Organisasi kepemudaan akhirnya kehilangan kemandiriannya. Mereka lebih suka menjadi
antek-anteknya partai ketimbang menyuarakan aspirasi pemuda; aspirasi dirinya. Mereka
memilih menjadi antek-anteknya penguasa dengan harapan bisa mencicipi nikmatnya sebuah
kekuasaan, jika bapak-bapaknya sudah masuk liang kubur, meskipun mereka pun tahu tentang
dosa-dosa bapaknya kepada negeri yang dibangun dengan darah, keringat, dan air mata.
Dengan begitu mereka lebih memilih untuk bungkam daripada bersuara tapi akan kehilangan
kesempatan untuk menikmati kursi empuk. Ini adalah pembungkaman yang dilakukan sangat
halus, sehingga yang dibungkam tidak merasakan bahwa mulut mereka dibungkam.
Kepada mahasiswa yang punya potensi sebagai sosiokontrol
pemerintah juga menerapkan depolitisasi. NKK/BKK ditancapkan di kampus-kampus, agar mereka
hanya sibuk main drum band, menari, nyanyi, sepakbola, dan kegiatan yang sifatnya
hura-hura dan sekadar rekreatif. Pendidikan politik tidak diberikan. Terlebih lagi,
mahasiswa malah dilarang berpolitik praktis. Kemudian dengan diberlakukannya sistem SKS
dan jatah kuliah yang pendek, serta ancaman DO yang mengerikan, membuat mahasiswa hanya
sibuk memikirkan SKS, IP, dan pacaran. Sementara kurikulum dan sistem pendidikan sama
sekali tidak memberikan kebebasan, meski tiap kali digembar-gemborkan tentang kebebasan
akademis dan kebebasan mimbar akademis. Kurikulum, sistem pendidikan, dan budaya
pendidikan hanya mengarahkan mahasiswa kepada budaya ketaatan, bukan budaya bersikap
kritis. Mahasiswa dikondisikan dengan budaya menghafal, karena budaya menghafal adalah
budaya ketaatan kepada sang penguasa, meski penguasa kian banyak menumpuk dosa kepada
berjuta-juta rakyat. Kalau ada mahasiswa bersikap kritis, ia akan digebuk dengan ganjaran
tujuh tahun penjara. Mahasiswa selalu dihantui dengan UU antisubversif (UU No. 11/PNPS
Tahun 963) yang sesungguhnya hanya diberlakukan untuk keadaan darurat perang. Lho, katanya
Indonesia sudah merdeka, kok UU tersebut masih diberlakukan.
Kalau ada mahasiswa bersikap kritis, mempelajari ilmu
secara mendalam, kadang tuduhan yang ditujukan sangat mengerikan. Dicap komunis! Tidak
hanya mahasiswa. Rakyat yang tanahnya digusur, kalau mereka tidak menyerahkan tanahnya
akan dicap komunis. Padahal tahu apa mereka soal komunis?
Sementara itu lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai sosial
kontrol juga dibungkam. Pers selalu diancam dengan undang-undang pembredelan. Lembaga
perwakilan rakyat pun dibungkam. Soejadmoko, seorang cedekiawan brilian pernah mengatakan
bahwa tidak ada birokrasi baik pemerintah maupun swasta yang bisa mendisiplinkan dirinya
dari dalam. Ketiadaan kekuatan tandingan dan kontrol sosial masyarakat akan memberikan
peluang bagi pemborosan dan pembusukan di dalam akibat akumulasi kekayaan yang melimpah.
Ya, di Indonesia, tidak ada kekuatan tandingan yang bisa menjalankan fungsi kontrol sosial
yang kuat. Memang di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru ini yang namanya kekuatan
tandingan sengaja dihindarkan, sesuai dengan konsep kekuasaan Jawa yang diterapkan rezim
Soeharto. Di dalam konsep kekuasaan Jawa, kekuasaan itu bersifat homogen dan konsentris.
Infrastruktur dalam kekuasaan ditempati oleh orang-orang yang sama. Bila dalam masyarakat
ada kekuatan tandingan, maka kekuatan itu diserap untuk dijadikan kekuatannya sendiri.
Kekuasaan semakin tersentralisasi dan dengan demikian terjadi kecenderungan totaliterisme.
Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi tidak ada artinya sama sekali. Sementara itu
militer menduduki komponen utama. Terjadi militerisasi kekuasaan yang juga menduduki
posisi penting dalam perekonomian. Engkau bisa menyaksikan betapa kuatnya militer di
Indonesia, bukan sebagai pengawal negara, tapi sebagai penguasa. Dalam kabinet,
menteri-menteri banyak dari militer. Gubernur, bupati, camat, sampai lurah banyak yang
ditempati oleh militer. Aku bukannya benci pada militer, tapi aku benci terhadap
militerisasi di negeri ini, walaupun keluargaku banyak dari kalangan militer. Dan dalam
bidang perekonomian, militer pun punya kedudukan penting. Mereka punya banyak perusahaan,
terutama angkatan darat. Divisi Siliwangi punya PT Propelat. Divisi Diponegoro punya PT
Darma Persada. Angkatan Darat punya PT Rumpun Estate dan membawahi puluhan perusahaan yang
merupakan konglomerat bebas pajak, di antaranya Bank Ramayana, Semen Nusantara , Hanurata
Logging, Bank Windu Kencana, Hotel Kartika Candra, PT Pertamina, dan lain-lain yang tak
bisa saya sebutkan satu per satu di dalam surat ini.
Dalam sejarahnya pun militer mencatat dosa-dosa besar yang
tak terampuni. Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan kejadian yang mencoreng sejarah
Angkatan Darat. Betapa ribuan pasukan dengan senjata berat dikerahkan untuk mengepung
Istana Negara, hanya karena tidak puas terhadap kebijaksanaan kabinet sipil. Tahun 1955
sampai 1957 Angkatan Darat juga melakukan penyelundupan-penyelundupan. Penyelundupan kopi
dan kapas di Teluk Nibong yang diprakarsai oleh Letkol Warrow, kemudian perdagangan yang
dilakukan tanpa bea cukai. Dan dosa besar yang belum terungkapkan adalah peristiwa
September 1965. Dengan akal liciknya Angkatan Darat yang didalangi oleh seorang letjen
(kini dia jadi presiden) menendang para jenderal dengan menggunakan tangan PKI (Kolonel
Untung). Kemudian setelah para jenderal yang punya potensi sebagai saingan membusuk di
Lubang Buaya, mereka mengganyang PKI habis, dan setelah itu mereka naik ke puncak
kekuasaan sampai sekarang ini.
Engkau mungkin kaget membaca informasi ini. Memang kita
dibuat kaget, manakala kita tahu sejarah yang sebenarnya. Demi alasan kekuasaan, sejarah
telah dimanipulasi. Orang tidak akan pernah menduga bahwa tahun 1954 Letkol Soeharto telah
merencanakan kudeta berdarah dan baru berhasil tahun 1965-1966 dengan cara yang sangat
halus dan licik. Dan orang pun tidak bisa membedakan, yang mana pahlawan dan mana yang
bajingan. Apakah betul Letkol Soeharto punya peran besar dalam serangan umum satu Maret?
Versi yang lain mengatakan pada waktu itu dia sedang enak-enak makan gudeg di Tugu. Masih
banyak sejarah yang benar tapi belum terungkapkan, karena selama ini kita telah dibuai
oleh sejarah palsu yang dibuat oleh anak haram "Ken Arok" Orde Baru.
Tyas, kini aku ingin bercerita tentang nasib rakyat kecil
yang hidupnya selalu tertindas. Engkau mungkin sudah mendengar kasus penggusuran tanah,
seperti kasus Kedung Ombo, Cimacan, Kaca Piring, Blangguan, Pulau Panggung, Cilacap,
Cirata, dan lain-lain. Rakyat kecil di daerah-derah itu menjadi tumbal pembangunan. Yah,
dosa besar perencana pembangunan di negeri ini salah satunya adalah menempatkan manusia di
sekitar pembangunan, bukan menempatkan pembangunan di sekitar manusia dengan kata lain
menempatkan pembangunan untuk manusia. Manusia lemah menjadi korban pembangunan. Dengan
alasan pembangunan, petani digusur tanahnya dengan ganti rugi yang sangat murah. Kalau
petani menolak maka mereka diintimidasi dan bahkan dicap komunis. Sebelumnya mereka diberi
"penyuluhan" yang isinya berupa pembacaan Undang-Undang Subversif (UU No.
11/PNPS/1963). Seperti kasus Kedung Ombo yang sampai sekarang belum tuntas. Untuk tanah
persawahan diganti Rp 2.500 per meter tapi yang diberikan kepada petani hanya Rp 730 per
meter. Untuk tanah tegalan, per meter hanya diganti Rp 230. Bulan Mei kemarin mereka ke
DPR untuk mengadukan nasibnya. Begitu pulang dari Jakarta, mereka diintimidasi, dipanggil
ke koramil dan diancam. Salah seorang guru SD, namanya Partoyo, dimutasi ke daerah yang
sangat terpencil, hanya karena ikut ke DPR. Demikian pula pada kasus-kasus lainnya. Di
Cirata, petani yang tidak mau menyerahkan tanahnya, mati tertembak secara misterius.
Petani Pulau Panggung menangis karena kebun kopinya dibakar militer, hanya karena sebuah
alasan, areal itu akan dipergunakan untuk konservasi alam. Di Blangguan, petani diusir,
tanahnya dipergunakan untuk latihan perang. Petani Cimacan harus kehilangan tanahnya
karena tanah mereka akan digunakan untuk lapangan golf. Di Cilacap, ribuan kepala keluarga
digusur oleh PT Olivin (miliknya Tutut) dengan ganti rugi yang murah juga. Kiranya masih
banyak lagi penggusuran tanah yang sangat merugikan rakyat miskin.
Tyas yang baik, kukira engkau sudah mengerti, kenapa aku
harus demonstrasi, kenapa aku harus melibatkan diri dalam sebuah perjuangan. Aku pernah
mengatakan kepadamu bahwa hidupku, namaku dan masa depanku kupertaruhkan untuk perjuangan.
Aku yakin bahwa aku berada di pihak yang benar. Perjuangan kami adalah karena-Nya.
Bukankah memerangi kesewenang-wenangan adalah jihad. Memerangi kebatilan adalah jihad.
Ingatkah kau paa sebuah hadis Nabi yang mengatakan: "Bila engkau melihat kemungkaran,
maka lawanlah dengan tanganmu, kalau tidak mampu lawanlah dengan kemungkaran itu dengan
mulutmu, dan kalau dengan mulut engkau tidak mampu, lawanlah dengan hatimu, itulah
serendah-rendah iman seseorang." Aku telanjur melihat adanya kemungkaran yang
dilakukan oleh penguasa, seperti yang telah aku paparkan di atas, maka aku harus
melawannya. Albert Camus pernah mengatakan, "Warga negara yang besar bukanlah mereka
yang tunduk pada penguasa, melainkan mereka yang tidak goyah membela kehormatan negerinya,
meski harus melawan penguasa." Yah, bagi kami tidak ada kata lain kecuali: LAWAN.
Rakyat harus diselamatkan. Kemiskinan harus dihapus. Demokrasi harus diperjuangkan.
Kebebasan harus direbut kembali, karena itulah aku harus turut melibatkan diri sepenuhnya
dalam perjuangan.
Aku menyadari sepenuhnya, perjuangan memerlukan
pengorbanan. Perjuangan mengandung risiko. Setiap saat aku bisa diciduk dan meringkuk di
balik terali besi. Setiap saat aku bisa berhadapan dengan bayonet terhunus, gas air mata,
popor bedil, dan peluru mematikan. Semua itu sudah kuperhitungkan. Bahkan pembuangan dan
pengasingan mungkin menimpaku. Sekarang pun risiko itu sudah mulai aku rasakan. Aku sudah
di-black list fakultas, mungkin juga oleh universitas. Aku tidak boleh bicara di
seminar yang baru saja kita adakan. Mungkin kamu belum tahu masalah itu, kenapa aku mundur
untuk menjadi pembicara. Bukan karena aku tidak sempat menulis makalah. Bukan pula karena
alasan aku termasuk penyelenggara. Tapi karena dilarang. Kalau aku nekat, maka yang jadi
korban adalah dirimu. Aku tidak tega dan tidak mungkin menjerumuskan kamu, karena aku
sayang padamu.
Tyas yang selalu kurindukan, tentunya kau akan berpikir
seribu kali bila mau menerimaku sepenuh hati. Aku pun juga akan berpikir seribu kali bila
mencintai seorang gadis yang tidak setuju dengan perjuanganku, apalagi menentangnya.
Semoga engkau setuju dengan perjuanganku, sehingga aku tidak perlu kehilangan kamu, hingga
aku tidak perlu melambaikan tangan dan mengucapkan selamat tinggal sambil mendekap hati
yang terluka. Terus terang kuakui, aku takut kehilangan kamu. Aku takut kalau saja aku tak
berhasil memilikimu. Tapi aku juga tidak akan meninggalkan perjuangan sampai kapan pun.
Dan juga, aku tidak ingin, hanya karena cinta, idealismeku akan luntur.
Tyas yang anggun, kini semua terserah kepadamu. Aku akan
memaklumi apabila setelah engkau membaca surat ini akan menjauhiku, meski seperti yang
telah kukatakan, aku takut kehilangan kamu. Menjadi "teman dekat" seorang
demonstran bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Ia selalu dihantui oleh kesepian, apabila
suatu saat nanti sang demonstran terpaksa mendekam di balik terali besi. Ia selalu diburu
kecemasan, karena sang tokoh sibuk dengan rapat-rapat politik, sibuk memimpin demonstrasi,
hingga kadang-kadang malam Minggunya diisi dengan rapat dan diskusi-diskusi soal politik.
Memang terkadang orang melihat bahwa seorang tokoh
demonstran nampak gagah berani bak seorang pahlawan. Di atas panggung ia memegang
mikrofon. Pidato berapi-api, membakar semangat massa. Ia tampak lebih gagah lagi bila
melangkah mantap di depan ratusan massa memimpin demonstrasi. Dengan ikat kepala dan di
tangannya tergenggam megafon ia menjadi komandan lapangan sebuah aksi. Tapi itu hanya
gambaran luarnya. Artinya orang hanya melihat kegagahan luarnya. Orang tak pernah melihat
bahwa ia akan sakit hati dan kecewa bila ditinggal orang yang dicintai. Aku pun menyadari,
aku membutuhkan cinta. Dan, aku membutuhkan dirimu dengan segala kemanjaanmu, keceriaanmu,
dan cintamu.
Tyas, kuakhiri surat ini dan aku mengharapkan jawabanmu,
terlepas dari soal menerima atau menolak. Aku mohon maaf bila dengan hadirnya surat ini,
kau akan tersinggung, karena memang banyak kata-kata yang kurang berkenan di hatimu. Aku
tahu, perasaanmu halus. Aku sudah berusaha untuk tidak menyinggung perasaanmu. Okey, Tyas,
sekian suratku dan terima kasih atas perhatianmu.
Malang, 1 November 1990
Dariku yang menyayangimu,
Ngarto Februana
NB: - kuharap jangan sampai surat ini dibaca orang
lain, selain kamu tentunya. Kalau perlu, setelah kau membacanya, bakar saja surat ini.
|