MY NOVELS:
Lorong
Tanpa Cahaya
(Yogyakarta: Media Pressindo,1999)
Bercerita tentang nasib seorang bocah yang lahir dan tumbuh di kampung
pelacuran....
Menolak
Panggilan Pulang
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2000)
Novel berlatar budaya suku Dayak, di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan.
Dengan membaca novel ini, kita banyak belajar...
TAPOL
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2002)
Berlatar sejarah G30S, 1965, yang sarat
kekejaman: penculikan para jenderal, pembantaian kader dan simpatisan PKI.
Seorang bintara AU yang terlibat Gestok....
Resensi
Tapol
Komentar
tentang Tapol
Harga Seorang Wanita
(Jakarta: Dastan Books, 2006)
Ini adalah dunia laki-laki. Dunia di mana
hak, kebahagiaan, dan juga perempuan adalah milik laki-laki. Ya, perempuan
hanyalah....
Kirim
Komentar
|
Tom Wolfe
Naturalisme dan
Jurnalisme Baru
Menulis novel bisa berangkat dari sebuah
reportase mendalam, seperti ketika wartawan mencari
berita. Dan, menulis berita bisa dengan gaya seperti
sebuah novel. Tom Wolfe telah melakukan keduanya, dan
sukses. Penghargaan pun kerap dimenangi, baik berkat
karya jurnalistiknya maupun novel-novelnya, sehingga
memapankan namanya sebagai penulis yang menonjol di
Amerika Serikat saat ini ....
[SELENGKAPNYA]
Stasiun penyiaran televisi tak lepas dari
kekuasaan negara. TVRI ketika baru mengudara, dalam
konteks situasi politik saat itu, telah dipakai untuk
propaganda politik. Tradisi itu berlanjut hingga era
Orde Baru. Bahkan, ketika deregulasi penyiaran
digulirkan, yang membuka peluang berdirinya stasiun
televisi swasta, pemerintah (baca: penguasa) seperti
‘melepas kepalanya tetapi tetap memegangi ekornya’.
Hal ini
terkait dengan daya pengaruh televisi yang sangat luas
pada masyarakat. Tetapi, hal ini selalu menimbulkan
perbenturan masalah yang dilematis....
[SELENGKAPNYA]
TULISLAH RINGKASAN BUKU DAN DAPATKAN UANG
Sastra Indonesia
dalam Keprihatinan
Sastra Indonesia ibarat anak tiri di negeri sendiri.
Ratapan demi ratapan menyertai perjalanan sastra kita
dari masa ke masa. Buku ini secara cermat mencatat
keperihan sastra kita....
[SELENGKAPNYA]
PRD dan Gerakan untuk Perubahan
(Catatan seorang mantan sekjen SMID)Sebuah pekik "Cabut Paket Lima Undang-Undang
Politik" mengumandang di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa. Kemudian disusul
nyanyian perjuangan "Kita Pasti Menang". Dan, seorang mahasiswa sambil
mengacungkan tangan berteriak, "Hanya satu kata: lawan!"
Jargon-jargon tersebut mengingatkan kita pada sebuah
kelompok aktivis prodemokrasi yang menamakan dirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dan,
jargon-jargon itu digunakan dalam demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi total, di saat
pentolan PRD meringkuk di penjara. Adakah hubungan antara PRD dan gerakan mahasiswa '98?
[SELENGKAPNYA]
Kesabaran Reformasi
Mengemukanya istilah reformasi
sempat membuat semua orang gagap. Dalam masyarakat kita, istilah itu kurang
"akrab" di telinga kita. Demikian juga istilah perubahan sosial, perubahan
radikal, apalagi kata revolusi. Kedengarannya terasa seram. Maklum, selama 30
tahun ini, kita lebih akrab dengan istilah pembangunan berkelanjutan,
stabilitas nasional yang mantap, angka pertumbuhan tinggi, keamanan mantap dan terkendali,
kebebasan bertanggung jawab, dan lain-lain.
Namun, apa lacur, krisis
telanjur terjadi. Korban berjatuhan.
Perusahaan-perusahaan pada bangkrut. Para pekerja terkena
pemutusan hubungan kerja dan jum-lah penganggur sudah mencapai
13 juta. Harga-harga pun melambung sehingga
kesengsaraan rakyat kian tak terperikan. Di kala krisis yang kian
parah ini, reformasi menjadi keniscayaan.
Karena krisis pula, mahasiswa di seluruh
negeri bergolak mengadakan demons-trasi menuntut reformasi di segala bidang.
Dan, karena itu, Presiden Soeharto pun mesti dipaksa berhenti
dari jabatannya sebagai prasyarat reformasi. Kini istilah reformasi
betul-betul populer. Semua orang saling berlomba-lomba berbicara reformasi. Pejabat
dan mantan pejabat pun tak mau ketinggalan. Sampai-sampai di pintu
dan dinding toko-toko, stasiun pompa bensin, gedung, kantor-kantor
terdapat tulisan "kami mendukung reformasi" yang ditambahi kata-kata
"milik pribumi muslim"--tak jelas apakah mereka
betul-betul mendukung reformasi ataukah karena takut dijarah
massa.
Orang merasa terhibur sekarang, ibarat orang
terjaga dari mimpi buruk lalu melihat hari sudah terang. Keterbukaan mulai mendapat
tempat. Sejumlah tapol/napol dibebaskan. Ruang untuk kritik
disediakan, sehingga tak perlu lagi berbisik-bisik. Partai-partai baru boleh berdiri
termasuk partai di zaman Orde Lama. TEMPO, DeTIK, dan Editor,
yang sudah mati dibredel, akan terbit lagi.
Tetapi, betulkah makna reformasi berarti dibebaskannya
para tapol dan diboleh-kannya partai baru berdiri dan
sebagainya? Ataukah reformasi berarti menghapus korupsi,
kolusi, dan nepotisme di kalangan pejabat dan pengusaha; sementara
harga-harga kian tak terkendali dan penganggur makin tak jelas nasibnya?
Reformasi Belum Selesai
Orang yang berharap, begitu Soeharto turun harga-harga akan turut turun,
pasti akan kecewa dengan kenyataan yang ada. Ternyata
dolar masih di atas 10.000, harga-harga tak kunjung turun,
sembilan bahan pokok menipis. Artinya, kondisi ekonomi kita setelah Soeharto
turun belum membaik. Lalu, orang mulai berteriak: "Jangan omong politik terus,
pikirkan ekonomi."
Krisis di Indonesia tidak separah Thailand
atau Korea Selatan, apalagi Malaysia. Di Thailand, begitu terjadi suksesi,
kondisi ekonomi berangsur-angsur pulih. Tahap suksesi kepemimpinan
nasional memang harus dilalui untuk sebuah reformasi. Tetapi, kondisi
Indonesia memang berbeda. Di negeri ini keadaannya sudah sangat
kronis, tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi hampir di
segala bidang. Dan, reformasi ekonomi tidak akan jalan jika tidak diikuti dengan reformasi
politik dan hukum, karena ketiganya terkait erat.
Di bidang politik-pemerintahan, selama tiga puluh tahun
ini, DPR sebagai saluran aspirasi dan lembaga kontrol
terhadap eksekutif tidak mampu menjalankan perannya.
Sementara itu, depolitisasi mengakibatkan kurangnya partisipasi
politik rakyat dalam rangka turut melakukan kontrol. Ketiadaan kontrol
telah memberi peluang terjadinya penyelewengan: kolusi, kolusi, dan nepotisme.
Dan, itu berdampak buruk pada perekonomian.
Di bidang hukum, sejumlah
undang-undang mengekang partisipasi politik rakyat.
Kritik dari masyarakat sering diartikan sebagai subversi dan
dijerat dengan pasal-pasal keret. Media massa yang berfungsi sebagai alat
kontrol sosial dihantui oleh pembredelan.
Reformasi memang harus menyeluruh, untuk
itu dibutuhkan "kesabaran reformasi". Tahapan suksesi sudah kita
lampaui dan ini wajar jika diikuti oleh ketidakstabilan politik untuk
sementara waktu. Jika sebagian potensi dicurahkan untuk melakukan perbaikan di
bidang hukum, bukan berarti melupakan ekonomi. Juga
jika masyarakat menginginkan sidang umum atau pemilu, itu pun
tidak berarti melupakan kesengsaraan rakyat yang ditekan
meroketnya harga-harga.
Perbaikan ekonomi yang kita inginkan
bukan untuk jangka pendek, melainkan untuk seterusnya. Karena
itu, perlu sebuah tatanan baru yang kukuh. Untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa
serta memiliki legitimasi--sehingga dipercaya rakyat
dan luar negeri--memang butuh biaya dan waktu. Karena itu sidang umum dan
pemilu mesti dilakukan walau butuh biaya besar. Demikian juga,
penyusunan undang-undang baru yang memungkinkan rakyat turut melakukan
kontrol.
Kalau semua itu terwujud,
niscaya perekonomian bisa dikembangkan. Kolusi, korupsi, dan
nepotisme yang selama ini menggerogoti perekonomian bisa
dihapus. Paling tidak ditekan seminimal mungkin. Karena,
rakyat (melalui DPR, partai-partai politik, ormas, dan pers) diberi ruang
untuk melakukan kontrol untuk menghindari segala bentuk penyelewengan. Juga,
jika kita memiliki pemerintahan yang bersih, berwibawa, memperhatikan
hak asasi manusia, luar negeri akan percaya dan
investor akan masuk.
Politik Cakar-Cakaran
Reformasi politik juga berarti pendewasaan dalam berpolitik
dan berdemokrasi. Dalam rangka reformasi, pemerintah mengizinkan berdirinya sejumlah
partai politik. Maka, bermunculan partai baru dan partai lama pada zaman Orde Lama yang
membawa aliran berbeda-beda. Adalah hak rakyat untuk berorganisasi,
berserikat, dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat. Jika
partai-partai tersebut benar-benar berguna bagi proses demokratisasi, tidak ada salahnya
jika tetap diberi tempat. Artinya, partai-partai politik dimaksimalkan sebagai
partisipasi politik rakyat dan sebagai sarana kontrol bagi eksekutif serta
untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Tetapi, kalau munculnya sejumlah partai politik
itu sekadar romantisme masa lalu dan untuk "cakar-cakaran", itu
menjadi bumerang bagi reformasisesuatu yang kontra-produktif. Kita akan
kembali ke zaman Orde Lama yang penuh dengan pertikaian politik.
Jika ini terjadi, bukan saja celah demokrasi yang mulai terkuak akan tertutup
kembali, tapi bisa jadi tatanan yang kukuh bagi perbaikan ekonomi tidak terwujud. Dan,
kita akan menyesali diri, lalu memulai lagi dari awal yang tentu akan lebih berat.
Kegagapan dengan terbukanya celah demokrasi mesti
dikendalikan. Reformasi belum selesai dan karena itu dibutuhkan "kesabaran".
|
|