Sastrawan Indonesia Terkemuka

Select language: [English] [Spanish] [French

  puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil  
I time line I catatan harian I surat-surat I
proses kreatif 
I artikel I komentar & resensi I berita I home

 

 

Maaf, browser anda tak mampu melihat applet.


Kirim Komentar
Gabung Mailing List
Favorite Link


Cetakan I Juni 1999; tebal 221, Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta (Cetakan II, 2000)
Novel perdana Ngarto Februana ini bercerita tentang nasib seorang bocah yang lahir dan tumbuh di kampung pelacuran. Karena tak betah, si bocah minggat. Setelah dewasa ia kembali, dan memulai pertarungan demi pertarungan. Ia bertarung dengan "kelelakiannya": jatuh cinta pada seorang pelacur. Bertarung entah atas nama dendam masa lalu atau memprotes kesewenang-wenangan. Dan bertarung dengan makhluk raksasa dalam mimpinya. Bertarung dengan dirinya sendiri hingga pada suatu ketika ia harus melupakan segalanya....


Pengantar: Bakdi Soemanto; Cetakan I Juli 2000; tebal 206 halaman, harga Rp 18.000; Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta.
Novel berlatar budaya suku Dayak, di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Dengan membaca novel ini, kita banyak belajar tentang suku yang sebelumnya tidak pernah kita kenal. Lengkap dengan pelukisan upacara ritual. Juga tentang horor pemenggalan kepala. Ada pula pertarungan kepentingan antara pengusaha HPH dengan suku yang senantiasa terasing itu. Lalu bagaimana nasib Utay, putra kepala suku, yang mengkhianati tanah leluhurnya demi ambisi pribadi?


Cetakan I September 2002; Cetakan II April 2003. Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta 174 halaman.
 
Tapol merupakan novel yang didasari oleh fakta sejarah. Dan ini diolah oleh penulisnya dengan sangat baik. Dari situ kita dapat membaca sketsa tragedi manusia yang terjadi dalam lingkaran peristiwa sejarah manusia Indonesia yang tragis, yaitu G30S/PKI, 1965. (Komentar Dr. Anhar Gonggong)

 

 

 































 

Proses Kreatif

 

Proses kreatif seorang pengarang dengan pengarang lain berbeda. Setiap sastrawan memiliki proses tersendiri. Latar belakang kehidupan, pendidikan, dan lingkungan turut "membentuk" pengarang itu. Seorang Pram atau Hemingway, atau Gunter Grass, pemenang Nobel Sastra 1999, yang hidup di zaman peperangan memiliki pengalaman kreatif yang berbeda dengan yang hidup di zaman damai.

Ada yang mengatakan bahwa faktor bakat adalah dominan dalam proses kreatif seorang pengarang. Benarkah demikian? Bukankah tanpa semangat, kerja keras, dan latihan, bakat tinggallah sebagai bakat. Bakat dan kerja keras serta semangat itulah bagian dari proses kreatif saya.

Kakekku Seorang Dalang
Aku lahir pada 4 Februari 1967 (di dokumen resmi: ijazah, KTP, dll. ditulis 9 Februari, karena kesalahan penulisan di ijazah sekolah dasar) di sebuah kota kecil di Jawa Timur, yakni Kota Batu. Kakekku dari pihak ibu memberikan nama Ngarto kepadaku, dan kakakku yang tertua menambahkan Februana). Aku tak tahu (masih bayi, sih), kenapa kakek tidak memberikan nama dengan nama-nama wayang. Kakek (sudah almarhum) adalah seorang dalang. Beliau cukup terkenal di Kabupaten Malang waktu itu. Setelah kakek meninggal—kira-kira tahun 1973, aku lupa—dua anaknya (paman) mengikuti jejaknya menjadi dalang, selain bekerja sebagai pengukir dan pemahat.

Ketika masih kecil, aku sering ke rumah kakek. Aku melihat wayang-wayang dijejer di ruang tamu. Aku takut pada wayang yang serem-serem. Aku masih ingat, suatu ketika aku lari demi melihat wayang yang serem dijejer. Dan, ketika aku masih kecil, aku kerap melihat paman berlatih memainkan wayang. Sayang, kakek meninggal terlalu cepat. Kebiasaan buruk yaitu madat (nggelek istilah saat ini) candu menggerogoti tubuhnya. Lalu dua orang paman, dan dibantu paman yang lain, meneruskan profesi kakek, termasuk sebagai pemahat, pengukir.

Ketika masih di sekolah dasar, ibuku pernah menginginkan aku jadi dalang. Sayang, kalau cucu-cucu Wibisono, demikian nama kakek, tidak ada yang meneruskan jadi dalang. Tapi, terus terang, aku tak begitu suka menonton wayang, walau bukan berarti aku tak pernah nonton wayang. Sesekali aku nonton paman mendalang. Dan, sesekali aku bertanya kepada paman tentang Werkudara, Gatutkaca, dan lain-lain.

Mungkin aku mewarisi bakat "bercerita" dari kakek. Aku tidak bisa mendalang karena tidak pernah belajar tentang itu. Tapi, aku merasa punya kemampuan bercerita. Karena itu, aku berketetapan bahwa aku meneruskan 'profesi bercerita' kakek dengan cara lain: melalui cerpen atau novel.

Cerita Silat
Aku masih ingat ketika aku masih duduk di kelas IV sekolah dasar, guruku memberikan tugas mengarang. Nilai karanganku cukup bagus. Dari situ aku merasa bahwa aku memang punya bakat. Tapi, apa bakat saja cukup? Saat duduk di bangku kelas satu SMP, aku suka mendengarkan sandiwara radio Nogososro Sabuk Inten dan Pelangi di Langit Singosari. Juga aku suka baca komik silat dan cerita silat Ko Ping Ho. Dari situ aku terangsang untuk menulis cerita. Saat kelas III SMP, aku mulai belajar menulis cerita, dari cerita silat sampai percintaan remaja. Tapi, itu cuma corat-coret tulisan tangan, dan tak ada keinginan untuk dikirimkan ke media massa. Aku masih ingat ketika aku masih duduk di kelas IV sekolah dasar, guruku memberikan tugas mengarang. Nilai karanganku cukup bagus. Dari situ aku merasa bahwa aku memang punya bakat. Tapi, apa bakat saja cukup? Saat duduk di bangku kelas satu SMP, aku suka mendengarkan sandiwara radio Nogososro Sabuk Inten dan Pelangi di Langit Singosari. Juga aku suka baca komik silat dan cerita silat Ko Ping Ho. Dari situ aku terangsang untuk menulis cerita. Saat kelas III SMP, aku mulai belajar menulis cerita, dari cerita silat sampai percintaan remaja. Tapi, itu cuma corat-coret tulisan tangan, dan tak ada keinginan untuk dikirimkan ke media massa.

Aku berlangganan menyewa novel dan komik di sebuah taman bacaan. Novel karya Dedy S. Iskandar paling aku sukai, seperti Gita Cinta dari SMA, Taman Indah Puspa Hati, yang sudah difilmkan. Majalah remaja juga aku baca. Maka, dorongan untuk mengarang kian kuat. Tapi, aku tak punya mesin ketik. Suatu ketika aku minta untuk dibelikan mesin ketik. Ayahku marah, sampai-sampai hendak mengasariku–barangkali caraku meminta terlalu ngotot. Tapi, karena kasus pertengkaran dengan ayah itu, aku lantas dibelikan mesin ketik, mereknya Olimpia. Dan, sejak itu aku giat mengarang cerita pendek tentang dunia remaja, khususnya cinta remaja. Sayang, tak ada karyaku yang dimuat. Setiap ditolak, ibuku seakan meruntuhkan semangatku. Tapi aku terus menulis dan mengirimkan karyaku ke media massa. Dalam hati aku bertekad, setelah lulus SMA, aku ingin melanjutkan kuliah yang jauh dari rumah, agar tidak diejek ibuku jika karyaku dikembalikan.

Tekad untuk menjadi pengarang begitu menggebu-gebu. Aku berkeinginan untuk melanjutkan ke fakultas sastra, setelah tamat SMA, walau aku dari jurusan IPA. Begitu aku berhasil menembus Sipenmaru, tahun 1986 aku melanjutkan studiku ke Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mengambil jurusan Sastra Indonesia.

Kreativitas Terbuka
Waktu di Yogya itulah ruang kreativitasku terbuka lebar. Lingkungan yang kondusif sangat membantuku. Pembicaraan-pembicaraan informal dengan teman-teman yang punya minat menulis ataupun ketika mengikuti diskusi turut mendorong keinginanku menulis. Aku menggeluti cerpen-cerpen yang biasa dimuat di koran dengan tema-tema sosial. Lantas mulailah aku menulis dan mengirimkan cerpen-cerpenku ke media lokal dan ibu kota. Cerpen pertama yang bisa dimuat judulnya Rumah Kontrakan dimuat harian Berita Nasional (sekarang Bernas). Aku termotivasi untuk terus menulis, dan sudah banyak cerpen-cerpenku dimuat di Bernas. Selain itu, cerpenku juga dimuat di Suara Pembaruan, Suara Indonesia, Eksponen, Masa Kini. Waktu di Yogya itulah ruang kreativitasku terbuka lebar. Lingkungan yang kondusif sangat membantuku. Pembicaraan-pembicaraan informal dengan teman-teman yang punya minat menulis ataupun ketika mengikuti diskusi turut mendorong keinginanku menulis. Aku menggeluti cerpen-cerpen yang biasa dimuat di koran dengan tema-tema sosial. Lantas mulailah aku menulis dan mengirimkan cerpen-cerpenku ke media lokal dan ibu kota. Cerpen pertama yang bisa dimuat judulnya Rumah Kontrakan dimuat harian Berita Nasional (sekarang Bernas). Aku termotivasi untuk terus menulis, dan sudah banyak cerpen-cerpenku dimuat di Bernas. Selain itu, cerpenku juga dimuat di Suara Pembaruan, Suara Indonesia, Eksponen, Masa Kini.

Aku tergelitik juga menulis cerpen-cerpen remaja. Cerpenku yang bertema remaja pertama kali dimuat di majalah Ibu Kota, Idola (almarhum), juga puisi-puisi di majalah itu. Honornya Rp 10.000,- waktu itu. Cerpen-cerpenku juga dimuat di Ceria, buku kumpulan cerpen yang terbit bulanan. Honornya antara Rp 40.000,- sampai Rp 70.000. Hampir tiap edisi ada cerpenku di sana. Majalah Aneka juga pernah memuat cerpenku.

Pernah suatu ketika ada lomba menulis cerpen di fakultasku. Cerpenku menjadi pemenang pertama, dan sebagai cerpen untuk dibacakan pada lomba baca cerpen. Untuk mengasah keterampilan menulis, aku juga membaca karya-karya sastrawan terkenal baik dalam negeri maupun sastrawan dunia. Pernah pula aku jatuh cinta pada cerpen Katherine Anna Porter yang berjudul "The Grave". Cerpen itu sederhana alurnya, tetapi yang aku kagumi, begitu tajam dan teliti penghayatan seorang Porter pada dunia anak. Lalu aku juga suka membaca cerpen-cerpen Edgar Alan Poe. Edgar, menurutku, seorang pengarang yang punya teknik bagus dalam membuat suspence.

Kesibukanku di organisasi kemahasiswaan seperti keterlibatanku di Himpunan Mahasiswa Jurusan dan pers mahasiswa tidak menyurutkan produktivitasku saat itu. Juga ketika aku terjun di gerakan mahasiswa tahun 1990. Aku memetik sesuatu pengalaman berharga dari aktivitas yang penuh idealisme itu. Melalui gerakan itu, aku lebih peka terhadap problem masyarakat. Aku belajar banyak dari masyarakat bawah yang hidupnya selalu tergusur.

Selama masa kuliah kerja nyata, aku juga belajar dari "mahaguru-mahaguru" orang-orang di pedalaman Kalimantan Selatan. Belajar tentang kearifan tradisional, tentang keharmonisan manusia dan alam. Setelah selesai menjalani kuliah kerja nyata itu, aku menulis novel berjudul "Tanah Terasing". Novel itu pernah aku kirimkan ke Pustaka Pelajar. Pihak penerbit menyetujui untuk menerbitkan, tetapi setelah setahun ngendon di sana, novel itu dikembalikan. Tentu aku kecewa dan sempat mengirimkan surat pembaca tentang hal itu. Alasan penerbit kala itu adalah masalah pasar; buka kualitas.

Setelah menyelesaikan studi, yakni setelah diwisuda, Mei 1995, aku tinggal di sebuah desa di Pakem, sekitar 20 kilometer dari Yogyakarta. Bersama teman-teman, kami membuat lembaga yang bernama Yayasan Pertanian Mandiri (Yatanim). Di desa itu kami membaur dengan masyarakat desa, turut belajar bersama-sama dengan mereka, dan mempraktikkan pertanian organik. Dan, di desa itulah kesempatan untuk berkontemplasi dan menulis cukup terbuka. Saya sering tinggal sedirian di rumah yang terletak di tengah sawah itu, jika teman-teman pulang ke Yogya. Banyak cerpen yang bisa aku hasilkan di sana. (Dan di desa itu pula aku mengenal gadis yang kini jadi istriku).

Proses Kreatif Penulisan Lorong tanpa Cahaya

Novel Lorong tanpa Cahaya (selanjutnya saya sebut LTC) saya tulis di desa itu. Idenya sebenarnya sudah lama. Ketika masih aktif di organisasi gerakan mahasiswa, kami sering menerima tamu dari luar. Ketika kami menerima tamu dari Filipina, Malaysia, dan Banglades, tamu-tamu itu kami antarkan eksposure ke kampung Sosrowijayan yang lebih dikenal sebagai Sarkem atau Pasar Kembang. Eksposure bagi kami adalah salah satu metode untuk mengenali kehidupan masyarakat, termasuk problem yang dihadapi. Mereka, tamu yang aktivis di negaranya masing-masing, terkesan dengan kehidupan para pelacur itu. Ketika berkomentar tentang pelacur yang praktik di belakang stasiun Tugu, mereka bilang bahwa di negaranya, walau sama-sama banyak orang melacur, tidak ada yang praktik pelacuran di semak-semak di dekat rel kereta.

Ide berikutnya, pernah suatu ketika seorang teman bercerita tentang seorang yang bernama Yu Karti yang bayinya digaruk petugas ketertiban umum ketika ada razia. Aku trenyuh dengan cerita itu dan itu membekas di hatiku.

Sewaktu berada di Pakem itu, aku sering turun ke Yogya, untuk tujuan observasi di Sosrowijayan, baik sendirian maupun mengajak teman. Setelah observasi aku anggap cukup, aku mulai menulis. Udara dingin dan lingkungan yang nyaman dan sepi sangat membantu kelancaran menulis meskipun aku sering menjumpai masalah keuangan. Maklum setelah lulus keuanganku mepet karena tidak disuplai lagi oleh orang tua. Tapi itu justru memacu semangatku untuk terus menulis.

Satu bulan LTC aku selesaikan. Targetku, setiap hari harus bisa menulis minimal sepuluh halaman (itu kalau komputer tidak ngadat, maklum aku masih menggunakan komputer "jangkrik" dengan program WS). Jadi, selama satu bulan, novel itu rampung.

Aku harus sering wira-wiri Yogya–Jakarta karena urusan organisasi. Karena kantor pusat organisasiku ada di Jakarta. Ketika di Jakarta, aku kirimkan naskah novel LTC ke Republika. Setelah dibaca oleh Ahmadun Yose Herfanda, redaktur budaya Republika, aku datang ke kantor Republika. Ahmadun bilang bahwa LTC tidak sesuai dengan segmen pembaca Republika. Karena, menurut Ahmadun, LTC banyak menampilkan adegan porno. Lalu ketika aku menetap di Jakarta, untuk urusan organisasi pula, aku mencoba kirimkan ke harian Berita Yudha, dengan harapan dimuat secara bersambung di koran itu. Tapi, akhirnya dikembalikan. Lantas aku berpikir, kenapa tidak berkompromi sedikit soal yang porno itu. Lalu ketika aku sudah bekerja di D&R, novel itu aku revisi. Yang porno-porno aku haluskan, bahkan ada yang sengaja aku potong. Yakni, adegan persetubuhan Wibi dengan Yu Karti di sebuah hotel ketika Wibi sudah dewasa.

Naskah yang sudah direvisi itulah yang kemudian diterbitkan oleh Media Pressindo.

Jakarta, 12 November 1999

Ngarto Februana

PROSES KREATIF LORONG TANPA CAHAYA

(Tulisan ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Soetrisno, mahasiswa Universitas Airlangga, dalam rangka menulis skripsi)

Ide cerita dalam Lorang Tanpa Cahaya pertama kali mucul ketika aku menyaksikan dari dekat kampung yang dikenal dengan nama Sarkem. Daerah Sarkem ialah wilayah yang unik. Tempat itu ada di sebuah kota yang sarat dengan nilai-nilai luhur budaya. Dan di kampung yang tak seberapa luas, yang rumah-rumah penduduk berjejelan, hidup secara bersama-sama manusia dari beragam latar belakang; hidup di antara para pelacur. Di tempat seperti itu akan penuh dengan konflik. Inilah yang menarik, antara lain, bagaimana orang "mengelola" konflik, bagaimana di antara mereka secara diam-diam telah memaklumi kesepakatan agar tak saling mengganggu, dan bagaimana dalam situasi konflik muncul solidaritas.Di sana ada rumah untuk keluarga baik-baik yang tertulis di depannya "Rumah Tangga". Ada musala di antara rumah-rumah untuk pelacuran. Aku berpikir waktu itu: bagaimana anak-anak yang tumbuh di kampung itu. Tentu tidak baik bagi perkembangan jiwa anak yang tumbuh di kompleks pelacuran. ide pertama kali itu sangat mentah.

Ide berikutnya, pernah suatu ketika seorang teman bercerita tentang seorang yang bernama Yu Karti yang bayinya digaruk petugas ketertiban umum ketika ada razia. Peristiwa ini tak jelas di daerah mana, yang jelas di Yogya, dan waktunya kapan. Kejadian ini tak ada hubungannya dengan Sarkem dan praktik pelacuran. Yu Karti bukan pula seorang pelacur. Peristiwa tersebut menggambarkan kekerasan aparat terhadap pedagang informal, dan kesewenang-wenangan aparat demi kebersihan kota.

Kedua ide itulah aku gabungkan dan aku olah sedemikian rupa menjadi satu jalinan cerita dengan berlatar tempat kampung Sarkem. Alurnya mengalami banyak revisi dalam proses penulisannya.

Selanjutnya, aku melakukan observasi, termasuk ketika ada tamu mahasiswa dari beberapa negara yang kami ajak eksposur di kawasan itu. Juga aku membaca buku-buku tentang prostitusi. Aku lupa judul buku itu, dan sekarang ada di mana buku-buku itu.

SASARAN DAN TUJUAN

Apa yang ingin saya capai dengan Lorong Tanpa Cahaya? Sederhana saja keinginan saya: novel saya akan dibaca, lalu pembaca—yang aku bayangkan berusia di atas 17 tahun—berkontemplasi, merenung bahwa pelacur itu manusia yang tetap harus dihormati. Mereka adalah manusia yang harus dimanusiakan. Mereka juga harus bisa berubah kalau mereka punya keinginan untuk berubah, bisa bertobat untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, dan itu bisa saja berhasil.

KARYA YANG LAIN

Selain Lorong Tanpa Cahaya, kini novelnya kedua telah terbit, Menolak Panggilan Pulang. Karya lain lebih banyak cerpen, baik cerpen remaja maupun cerpen sastra. Cerpen remaja antara lain dimuat di kumpulan cerpen Ceria Remaja (sekitar 20 cerpen). Cerpen sastra antara lain dimuat di harian Bernas (Yogyakarta), Suara Indonesia, tabloid Eksponen (sudah tidak terbit), harian Masa Kini (sekarang tidak terbit), Yogya Post, Suara Pembaruan, dan Bisnis Indonesia.

KAITAN DENGAN PENGALAMAN HIDUP

Karya novel Lorong Tanpa Cahaya sedikit ada kaitan dengan pengalaman saya sebagai aktivis mahasiswa. Dalam LTC digambarkan demonstrasi warga Sarkem di DPRD. Tapi tidak ada kaitannya antara kehidupan pelacur dan pengalaman hidupku, sebab aku tak pernah melacur (ini jujur kukatakan). Banyak orang yang curiga ketika membaca LTC. Mereka curiga bahwa aku suka ke pelacuran, terutama ke Sarkem. Itu hak mereka untuk curiga. Yang jelas aku tak pernah melakukannya.

Adapun novel Menolak Panggilan Pulang aku tulis berdasarkan observasi langsung ketika aku berada beberapa bulan di pedalaman Kalimantan Selatan. Tema Menolak Panggilan Pulang ada kaitannya dengan komitmenku terhadap kehidupan suku terasing yang senantiasa tergusur, yang dirampas hak-hak ulayatnya oleh pemilik modal.

Cerpen-cerpenku banyak yang mencerminkan pengalaman hidup, pengalaman orang-orang di kampung kelahiranku. Juga mitos yang dipercaya oleh orang-orang di kampungku.

LATAR BELAKANG MENULIS LORONG TANPA CAHAYA:

Manusia dengan segala problemnya, itulah obyek karya sastra. Problem manusia begitu kompleks, dan manusia Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah besar, yakni krisis multidimensional, yang akar persoalannya sudah ada pada zaman Soeharto berkuasa. Penggusuran, misalnya, sangat sering terjadi, sebagai akibat dari proyek-proyek pembangunan. Lalu masalah pelacuran adalah masalah yang kompleks, sudah ada sejak zaman dulu ketika manusia mulai mengenal lembaga perkawinan; setua usia peradaban manusia. Problem ini demikian kompleksnya, yang tidak hanya berkaitan dengan nafsu, tapi juga kemiskinan, masalah sosial yang lain. Di tempat pelacuran senantiasa mengundang masalah lain seperti kriminalitas.

Sastrawan tidak bisa menutup mata terhadap problem masyarakatnya. Karena itu sastra harus mencerminkan problem-problem sosial masyarakat. Sastra tidak lagi berbicara tentang keindahan semata, tapi juga lorong-lorong kumuh dan penderitaan umat manusia. Dengan begitu sastra akan bermakna.

Saya sendiri punya pendirian seperti itu. Komitmen itu tercermin dalam karya-karya awal saya yang berupa cerpen, walau mungkin masih sangat sederhana penggambarannya. Cerpen-cerpen awal ketika saya masih duduk di semester tiga berbicara tentang problem sosial, dari masalah judi, perampasan hak, penggusuran, dan lain-lain.

Nah, ketika saya berbicara tentang pelacuran dalam Lorong Tanpa Cahaya, saya tidak merasa asing menggeluti hal-hal yang berkaitan dengan itu. Paling tidak saya sudah biasa bicara tentang problem sosial. Terlebih lagi, aktivitas saya waktu itu sebagai seorang aktivis mahasiswa yang sering terjun ke rakyat bawah, mendukung "kematangan" berbicara tentang problem sosial.

Tak ada niat sedikit pun bagi saya untuk dendam melalui novel. Kalau saya memprotes keadaan, kesewenang-wenangan aparat terhadap rakyat misalnya, itu saya lakukan bukan karena dendam. Tetapi semata-mata karena pandangan bahwa sastra harus berbicara tentang masyarakat, tentang realitas. Dan dalam kenyataan itu, dalam realitas itu ada penggusuran, ada intimidasi aparat terhadap rakyat yang tak berdosa yang hanya ingin mempertahankan haknya. Sastra harus bicara.

Pelampiasan hati? Mungkin dalam cerpen-cerpen remaja yang bercerita tentang cinta ada unsur pelampiasan hati. Saya jatuh cinta dengan seorang gadis, lalu saya curahkan isi hati saya melalui cerpen. Saya putus cinta, kemudian saya menulis cerpen tentang hal itu. Tetapi dalam Lorong tanpa Cahaya, sepertinya tidak ada unsur pelampiasan hati. Ataukah secara tidak sadar aku melampiaskan kegetiran di masa laluku ke dalam novel itu, aku tidak tahu persis. Barangkali saja secara tidak sadar terungkap di sana. Dalam LTC, Wibi kecil sering dimarahi orang tuanya, mungkin ini sama dengan masa kecilku, tapi toh banyak anak yang mengalami hal serupa.

HUBUNGAN DENGAN KENYATAAN

Ada pendapat bahwa karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Kalau kita mengikuti pemikiran Abrams (1981: 178), karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. LTC pun berhubungan dengan realitas kehidupan masyarakat di kampung pelacuran yang bernama Sarkem. Tapi harus diingat, dalam menangkap realitas tersebut tentu saja saya tidak mengambilnya secara acak. Saya memilih dan menyusun bahan-bahan itu lalu mengolahnya dalam jalinan cerita. Dan seperti pedapat Michel Zerraffa bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis, saya pun melakukan hal serupa dalam menulis LTC.

Tentu sebagai sebuah fiksi, kisahnya dalam LTC sendiri adalah fiktif. Bahwa ada orang bernama Yu Karti yang bayinya digaruk petugas, apakah itu fakta atau fiktif, terus terang tidak aku cek. Tokoh-tokohnya pun fiktif. Tetapi bahwa ada kampung pelacuran bernama Sarkem, itu betul. Dalam novel itu aku gambarkan bahwa Sarkem akan digusur, bahkan telah digusur, itu fiktif. Sampai sekarang Sarkem itu masih ada.

Ada seorang teman yang bertanya kepada saya, Yu Karti yang pada akhirnya jadi orang gila di sekitar Sarkem itu apakah betul-betul ada. Aku jawab, itu fiktif. Keponakan saya yang di Surabaya, ketika ke Yogya dan sempat melewati Sarkem, ia bertanya kepada ayahnya, "Pak mana sih yang namanya Yu Karti. Kita bawa ke Surabaya saja. Kasihan dia." Keponakan saya, setelah membaca novel LTC, merasa yakin bahwa Yu Karti itu ada dalam kenyataan.

LORONG TANPA CAHAYA secara harafiah berarti jalan kecil terutama yang ada rumah di kiri-kanannya, yang keadaannya gelap. Di kampung Sarkem banyak lorong-lorong semacam itu. Maksud simbolisnya (dalam konteks novel ini) ialah sebuah jalan kehidupan para penjaja seks yang penuh dengan ketidakpastian masa depan, hari esok. Ketidakpastian adanya perubahan nasib yang lebih baik.

JAWABAN ATAS PERTANYAAN YANG DIAJUKAN FARIDA, MAHASISWA FAKULTAS SASTRA UNS, SURAKARTA, DALAM RANGKA PENULISAN SKRIPSI

Ada pertanyaan yang saya jawab, ada pula yang sengaja tidak saya jawab. Saya teringat diskusi dan pembacaan cerpen "Cermin yang Menguap" karya Danarto di Majlis Reboan, akhir tahun 1998. Ketika seorang peserta mengadakan "gugatan" di luar wilayah sastra, "Danarto sebagai pengarang cerpen tidak perlu menelanjangi diri untuk menafsirkan cerpennya sendiri." Saya setuju dengan pendapat itu, karena bagaimanapun, ketika sebuah karya sastra sudah dilahirkan, ia menjadi "milik" masyarakat. Penafsiran karya sastra ada pada pembaca.

Pertanyaan (1) termasuk yang tidak saya jawab, karena Lorong Tanpa Cahaya sendiri sudah memberi jawabannya. Bukankah tema, plot, setting, penokohan ada dalam karya itu sendiri tanpa harus bertanya kepada pengarangnya. Itu kalau tema novel yang Anda tanyakan. Atau mungkin bukan itu yang Anda maksudkan?

Daerah Sarkem ialah wilayah yang unik. Tempat itu ada di sebuah kota yang sarat dengan nilai-nilai luhur budaya. Dan di kampung yang tak seberapa luas, yang rumah-rumah penduduk berjejelan, hidup secara bersama-sama manusia dari beragam latar belakang; hidup di antara para pelacur. Di tempat seperti itu akan penuh dengan konflik. Inilah yang menarik, antara lain, bagaimana orang "mengelola" konflik, bagaimana di antara mereka secara diam-diam telah memaklumi kesepakatan agar tak saling mengganggu, dan bagaimana dalam situasi konflik muncul solidaritas.

Manusia dengan segala problemnya, itulah obyek karya sastra. Problem manusia begitu kompleks, dan manusia Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah besar, yakni krisis multidimensional, yang akar persoalannya sudah ada pada zaman Soeharto berkuasa. Penggusuran, misalnya, sangat sering terjadi, sebagai akibat dari proyek-proyek pembangunan. Lalu masalah pelacuran adalah masalah yang kompleks, sudah ada sejak zaman dulu ketika manusia mulai mengenal lembaga perkawinan; setua usia peradaban manusia. Problem ini demikian kompleksnya, yang tidak hanya berkaitan dengan nafsu, tapi juga kemiskinan, masalah sosial yang lain. Di tempat pelacuran senantiasa mengundang masalah lain seperti kriminalitas.

Sastrawan tidak bisa menutup mata terhadap problem masyarakatnya. Karena itu sastra harus mencerminkan problem-problem sosial masyarakat. Sastra tidak lagi berbicara tentang keindahan semata, tapi juga lorong-lorong kumuh dan penderitaan umat manusia. Dengan begitu sastra akan bermakna.

Saya sendiri punya pendirian seperti itu. Komitmen itu tercermin dalam karya-karya awal saya yang berupa cerpen, walau mungkin masih sangat sederhana penggambarannya. Cerpen-cerpen awal ketika saya masih duduk di semester tiga berbicara tentang problem sosial, dari masalah judi, perampasan hak, penggusuran, dan lain-lain.

Nah, ketika saya berbicara tentang pelacuran dalam Lorong Tanpa Cahaya, saya tidak merasa asing menggeluti hal-hal yang berkaitan dengan itu. Paling tidak saya sudah biasa bicara tentang problem sosial. Terlebih lagi, aktivitas saya waktu itu sebagai seorang aktivis mahasiswa yang sering terjun ke rakyat bawah, mendukung "kematangan" berbicara tentang problem sosial.

Apa yang ingin saya capai dengan Lorong Tanpa Cahaya? Sederhana saja keinginan saya, novel saya akan dibaca, lalu pembaca berkontemplasi, merenung bahwa pelacur itu manusia yang tetap harus dihormati. Mereka adalah manusia yang harus dimanusiakan. Mereka juga harus bisa berubah kalau mereka punya keinginan untuk berubah, dan itu bisa saja berhasil.

 


I puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil I time line I catatan harian I surat-surat I
proses kreatif 
I artikel I komentar & resensi] I berita I


 Copyright©2000 Ngarto Februana. All rights reserved.
Design and Maintenance by Ngarto Februana

1