Proses kreatif seorang pengarang dengan pengarang lain
berbeda. Setiap sastrawan memiliki proses tersendiri. Latar belakang kehidupan,
pendidikan, dan lingkungan turut "membentuk" pengarang itu. Seorang Pram atau
Hemingway, atau Gunter Grass, pemenang Nobel Sastra 1999, yang hidup di zaman peperangan
memiliki pengalaman kreatif yang berbeda dengan yang hidup di zaman damai.
Ada yang mengatakan bahwa faktor bakat adalah dominan dalam
proses kreatif seorang pengarang. Benarkah demikian? Bukankah tanpa semangat, kerja keras,
dan latihan, bakat tinggallah sebagai bakat. Bakat dan kerja keras serta semangat itulah
bagian dari proses kreatif saya.
Kakekku Seorang Dalang
Aku lahir pada 4 Februari 1967 (di dokumen
resmi: ijazah, KTP, dll. ditulis 9 Februari, karena kesalahan penulisan di ijazah sekolah
dasar) di sebuah kota kecil di Jawa Timur, yakni Kota Batu. Kakekku dari pihak ibu memberikan nama Ngarto kepadaku, dan
kakakku yang tertua menambahkan Februana). Aku tak tahu (masih bayi,
sih), kenapa
kakek tidak memberikan nama dengan nama-nama wayang. Kakek (sudah almarhum) adalah seorang
dalang. Beliau cukup terkenal di Kabupaten Malang waktu itu. Setelah kakek
meninggalkira-kira tahun 1973, aku lupadua anaknya (paman) mengikuti jejaknya
menjadi dalang, selain bekerja sebagai pengukir dan pemahat.
Ketika masih kecil, aku sering ke rumah kakek. Aku melihat
wayang-wayang dijejer di ruang tamu. Aku takut pada wayang yang serem-serem. Aku masih
ingat, suatu ketika aku lari demi melihat wayang yang serem dijejer. Dan, ketika aku masih
kecil, aku kerap melihat paman berlatih memainkan wayang. Sayang, kakek meninggal terlalu
cepat. Kebiasaan buruk yaitu madat (nggelek istilah saat ini) candu menggerogoti
tubuhnya. Lalu dua orang paman, dan dibantu paman yang lain, meneruskan profesi kakek,
termasuk sebagai pemahat, pengukir.
Ketika masih di sekolah dasar, ibuku pernah menginginkan
aku jadi dalang. Sayang, kalau cucu-cucu Wibisono, demikian nama kakek, tidak ada yang
meneruskan jadi dalang. Tapi, terus terang, aku tak begitu suka menonton wayang, walau
bukan berarti aku tak pernah nonton wayang. Sesekali aku nonton paman mendalang. Dan,
sesekali aku bertanya kepada paman tentang Werkudara, Gatutkaca, dan lain-lain.
Mungkin aku mewarisi bakat "bercerita" dari
kakek. Aku tidak bisa mendalang karena tidak pernah belajar tentang itu. Tapi, aku merasa
punya kemampuan bercerita. Karena itu, aku berketetapan bahwa aku meneruskan 'profesi
bercerita' kakek dengan cara lain: melalui cerpen atau novel.
Cerita Silat
Aku masih ingat ketika aku masih duduk di kelas IV sekolah dasar, guruku
memberikan tugas mengarang. Nilai karanganku cukup bagus. Dari situ aku merasa bahwa aku
memang punya bakat. Tapi, apa bakat saja cukup? Saat duduk di bangku kelas satu SMP, aku
suka mendengarkan sandiwara radio Nogososro Sabuk Inten dan Pelangi di Langit
Singosari. Juga aku suka baca komik silat dan cerita silat Ko Ping Ho. Dari situ aku
terangsang untuk menulis cerita. Saat kelas III SMP, aku mulai belajar menulis cerita,
dari cerita silat sampai percintaan remaja. Tapi, itu cuma corat-coret tulisan tangan, dan
tak ada keinginan untuk dikirimkan ke media massa.
Aku masih ingat ketika aku masih duduk di kelas IV sekolah dasar, guruku
memberikan tugas mengarang. Nilai karanganku cukup bagus. Dari situ aku merasa bahwa aku
memang punya bakat. Tapi, apa bakat saja cukup? Saat duduk di bangku kelas satu SMP, aku
suka mendengarkan sandiwara radio Nogososro Sabuk Inten dan Pelangi di Langit
Singosari. Juga aku suka baca komik silat dan cerita silat Ko Ping Ho. Dari situ aku
terangsang untuk menulis cerita. Saat kelas III SMP, aku mulai belajar menulis cerita,
dari cerita silat sampai percintaan remaja. Tapi, itu cuma corat-coret tulisan tangan, dan
tak ada keinginan untuk dikirimkan ke media massa.
Aku berlangganan menyewa novel dan komik di sebuah taman
bacaan. Novel karya Dedy S. Iskandar paling aku sukai, seperti Gita Cinta dari SMA,
Taman Indah Puspa Hati, yang sudah difilmkan. Majalah remaja juga aku
baca. Maka,
dorongan untuk mengarang kian kuat. Tapi, aku tak punya mesin ketik. Suatu ketika aku
minta untuk dibelikan mesin ketik. Ayahku marah, sampai-sampai hendak
mengasarikubarangkali caraku meminta terlalu ngotot. Tapi, karena kasus
pertengkaran dengan ayah itu, aku lantas dibelikan mesin ketik, mereknya
Olimpia. Dan,
sejak itu aku giat mengarang cerita pendek tentang dunia remaja, khususnya cinta
remaja. Sayang, tak ada karyaku yang dimuat. Setiap ditolak, ibuku seakan meruntuhkan
semangatku.
Tapi aku terus menulis dan mengirimkan karyaku ke media massa. Dalam hati aku
bertekad,
setelah lulus SMA, aku ingin melanjutkan kuliah yang jauh dari rumah, agar tidak diejek
ibuku jika karyaku dikembalikan.
Tekad untuk menjadi pengarang begitu menggebu-gebu. Aku
berkeinginan untuk melanjutkan ke fakultas sastra, setelah tamat SMA, walau aku dari
jurusan IPA. Begitu aku berhasil menembus Sipenmaru, tahun 1986 aku melanjutkan studiku ke
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mengambil jurusan Sastra Indonesia.
Kreativitas Terbuka
Waktu di Yogya itulah ruang kreativitasku terbuka lebar. Lingkungan yang
kondusif sangat membantuku. Pembicaraan-pembicaraan informal dengan teman-teman yang punya
minat menulis ataupun ketika mengikuti diskusi turut mendorong keinginanku menulis. Aku
menggeluti cerpen-cerpen yang biasa dimuat di koran dengan tema-tema sosial. Lantas
mulailah aku menulis dan mengirimkan cerpen-cerpenku ke media lokal dan ibu kota. Cerpen
pertama yang bisa dimuat judulnya Rumah Kontrakan dimuat harian Berita Nasional (sekarang
Bernas). Aku termotivasi untuk terus menulis, dan sudah banyak cerpen-cerpenku
dimuat di Bernas. Selain itu, cerpenku juga dimuat di Suara Pembaruan, Suara
Indonesia, Eksponen, Masa Kini.
Waktu di Yogya itulah ruang kreativitasku terbuka lebar. Lingkungan yang
kondusif sangat membantuku. Pembicaraan-pembicaraan informal dengan teman-teman yang punya
minat menulis ataupun ketika mengikuti diskusi turut mendorong keinginanku menulis. Aku
menggeluti cerpen-cerpen yang biasa dimuat di koran dengan tema-tema sosial. Lantas
mulailah aku menulis dan mengirimkan cerpen-cerpenku ke media lokal dan ibu kota. Cerpen
pertama yang bisa dimuat judulnya Rumah Kontrakan dimuat harian Berita Nasional (sekarang
Bernas). Aku termotivasi untuk terus menulis, dan sudah banyak cerpen-cerpenku
dimuat di Bernas. Selain itu, cerpenku juga dimuat di Suara Pembaruan, Suara
Indonesia, Eksponen, Masa Kini.
Aku tergelitik juga menulis cerpen-cerpen remaja. Cerpenku
yang bertema remaja pertama kali dimuat di majalah Ibu Kota, Idola (almarhum), juga
puisi-puisi di majalah itu. Honornya Rp 10.000,- waktu itu. Cerpen-cerpenku juga dimuat di
Ceria, buku kumpulan cerpen yang terbit bulanan. Honornya antara Rp 40.000,- sampai
Rp 70.000. Hampir tiap edisi ada cerpenku di sana. Majalah Aneka juga pernah memuat
cerpenku.
Pernah suatu ketika ada lomba menulis cerpen di fakultasku.
Cerpenku menjadi pemenang pertama, dan sebagai cerpen untuk dibacakan pada lomba baca
cerpen. Untuk mengasah keterampilan menulis, aku juga membaca karya-karya sastrawan
terkenal baik dalam negeri maupun sastrawan dunia. Pernah pula aku jatuh cinta pada cerpen
Katherine Anna Porter yang berjudul "The Grave". Cerpen itu sederhana alurnya,
tetapi yang aku kagumi, begitu tajam dan teliti penghayatan seorang Porter pada dunia
anak. Lalu aku juga suka membaca cerpen-cerpen Edgar Alan Poe. Edgar, menurutku, seorang
pengarang yang punya teknik bagus dalam membuat suspence.
Kesibukanku di organisasi kemahasiswaan seperti
keterlibatanku di Himpunan Mahasiswa Jurusan dan pers mahasiswa tidak menyurutkan
produktivitasku saat itu. Juga ketika aku terjun di gerakan mahasiswa tahun 1990. Aku
memetik sesuatu pengalaman berharga dari aktivitas yang penuh idealisme itu. Melalui
gerakan itu, aku lebih peka terhadap problem masyarakat. Aku belajar banyak dari
masyarakat bawah yang hidupnya selalu tergusur.
Selama masa kuliah kerja nyata, aku juga belajar dari
"mahaguru-mahaguru" orang-orang di pedalaman Kalimantan Selatan. Belajar tentang
kearifan tradisional, tentang keharmonisan manusia dan alam. Setelah selesai menjalani
kuliah kerja nyata itu, aku menulis novel berjudul "Tanah Terasing". Novel itu
pernah aku kirimkan ke Pustaka Pelajar. Pihak penerbit menyetujui untuk menerbitkan,
tetapi setelah setahun ngendon di sana, novel itu dikembalikan. Tentu aku kecewa dan
sempat mengirimkan surat pembaca tentang hal itu. Alasan penerbit kala itu adalah masalah
pasar; buka kualitas.
Setelah menyelesaikan studi, yakni setelah diwisuda, Mei
1995, aku tinggal di sebuah desa di Pakem, sekitar 20 kilometer dari Yogyakarta. Bersama
teman-teman, kami membuat lembaga yang bernama Yayasan Pertanian Mandiri (Yatanim). Di
desa itu kami membaur dengan masyarakat desa, turut belajar bersama-sama dengan mereka,
dan mempraktikkan pertanian organik. Dan, di desa itulah kesempatan untuk berkontemplasi
dan menulis cukup terbuka. Saya sering tinggal sedirian di rumah yang terletak di tengah
sawah itu, jika teman-teman pulang ke Yogya. Banyak cerpen yang bisa aku hasilkan di sana.
(Dan di desa itu pula aku mengenal gadis yang kini jadi istriku).
Proses Kreatif Penulisan Lorong
tanpa Cahaya
Novel Lorong tanpa Cahaya (selanjutnya saya sebut
LTC) saya tulis di desa itu. Idenya sebenarnya sudah lama. Ketika masih aktif di
organisasi gerakan mahasiswa, kami sering menerima tamu dari luar. Ketika kami menerima
tamu dari Filipina, Malaysia, dan Banglades, tamu-tamu itu kami antarkan eksposure ke
kampung Sosrowijayan yang lebih dikenal sebagai Sarkem atau Pasar Kembang. Eksposure bagi
kami adalah salah satu metode untuk mengenali kehidupan masyarakat, termasuk problem yang
dihadapi. Mereka, tamu yang aktivis di negaranya masing-masing, terkesan dengan kehidupan
para pelacur itu. Ketika berkomentar tentang pelacur yang praktik di belakang stasiun
Tugu, mereka bilang bahwa di negaranya, walau sama-sama banyak orang melacur, tidak ada
yang praktik pelacuran di semak-semak di dekat rel kereta.
Ide berikutnya, pernah suatu ketika seorang teman bercerita
tentang seorang yang bernama Yu Karti yang bayinya digaruk petugas ketertiban umum ketika
ada razia. Aku trenyuh dengan cerita itu dan itu membekas di hatiku.
Sewaktu berada di Pakem itu, aku sering turun ke Yogya,
untuk tujuan observasi di Sosrowijayan, baik sendirian maupun mengajak teman. Setelah
observasi aku anggap cukup, aku mulai menulis. Udara dingin dan lingkungan yang nyaman dan
sepi sangat membantu kelancaran menulis meskipun aku sering menjumpai masalah keuangan.
Maklum setelah lulus keuanganku mepet karena tidak disuplai lagi oleh orang tua. Tapi itu
justru memacu semangatku untuk terus menulis.
Satu bulan LTC aku selesaikan. Targetku, setiap hari harus
bisa menulis minimal sepuluh halaman (itu kalau komputer tidak ngadat, maklum aku masih
menggunakan komputer "jangkrik" dengan program WS). Jadi, selama satu bulan,
novel itu rampung.
Aku harus sering wira-wiri YogyaJakarta karena urusan
organisasi. Karena kantor pusat organisasiku ada di Jakarta. Ketika di Jakarta, aku
kirimkan naskah novel LTC ke Republika. Setelah dibaca oleh Ahmadun Yose
Herfanda,
redaktur budaya Republika, aku datang ke kantor Republika. Ahmadun bilang
bahwa LTC tidak sesuai dengan segmen pembaca Republika. Karena, menurut
Ahmadun,
LTC banyak menampilkan adegan porno. Lalu ketika aku menetap di Jakarta, untuk urusan
organisasi pula, aku mencoba kirimkan ke harian Berita Yudha, dengan harapan dimuat secara
bersambung di koran itu. Tapi, akhirnya dikembalikan. Lantas aku berpikir, kenapa tidak
berkompromi sedikit soal yang porno itu. Lalu ketika aku sudah bekerja di D&R, novel
itu aku revisi. Yang porno-porno aku haluskan, bahkan ada yang sengaja aku
potong. Yakni,
adegan persetubuhan Wibi dengan Yu Karti di sebuah hotel ketika Wibi sudah
dewasa.
Naskah yang sudah direvisi itulah yang kemudian diterbitkan
oleh Media Pressindo.
Jakarta, 12 November 1999
Ngarto Februana
PROSES KREATIF LORONG
TANPA CAHAYA
(Tulisan ini untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan Soetrisno, mahasiswa Universitas Airlangga, dalam rangka menulis
skripsi)
Ide cerita dalam Lorang
Tanpa Cahaya pertama kali mucul ketika aku menyaksikan dari dekat kampung yang dikenal
dengan nama Sarkem. Daerah Sarkem ialah wilayah yang unik. Tempat itu ada di sebuah kota
yang sarat dengan nilai-nilai luhur budaya. Dan di kampung yang tak seberapa luas, yang
rumah-rumah penduduk berjejelan, hidup secara bersama-sama manusia dari beragam latar
belakang; hidup di antara para pelacur. Di tempat seperti itu akan penuh dengan konflik.
Inilah yang menarik, antara lain, bagaimana orang "mengelola" konflik, bagaimana
di antara mereka secara diam-diam telah memaklumi kesepakatan agar tak saling mengganggu,
dan bagaimana dalam situasi konflik muncul solidaritas.Di sana ada rumah untuk keluarga
baik-baik yang tertulis di depannya "Rumah Tangga". Ada musala di antara
rumah-rumah untuk pelacuran. Aku berpikir waktu itu: bagaimana anak-anak yang tumbuh di
kampung itu. Tentu tidak baik bagi perkembangan jiwa anak yang tumbuh di kompleks
pelacuran. ide pertama kali itu sangat mentah.
Ide berikutnya, pernah suatu ketika seorang
teman bercerita tentang seorang yang bernama Yu Karti yang bayinya digaruk petugas
ketertiban umum ketika ada razia. Peristiwa ini tak jelas di daerah mana, yang jelas di
Yogya, dan waktunya kapan. Kejadian ini tak ada hubungannya dengan Sarkem dan praktik
pelacuran. Yu Karti bukan pula seorang pelacur. Peristiwa tersebut menggambarkan kekerasan
aparat terhadap pedagang informal, dan kesewenang-wenangan aparat demi kebersihan kota.
Kedua ide itulah aku gabungkan dan aku olah
sedemikian rupa menjadi satu jalinan cerita dengan berlatar tempat kampung Sarkem. Alurnya
mengalami banyak revisi dalam proses penulisannya.
Selanjutnya, aku melakukan observasi,
termasuk ketika ada tamu mahasiswa dari beberapa negara yang kami ajak eksposur di kawasan
itu. Juga aku membaca buku-buku tentang prostitusi. Aku lupa judul buku itu, dan sekarang
ada di mana buku-buku itu.
SASARAN DAN TUJUAN
Apa yang ingin saya capai dengan Lorong
Tanpa Cahaya? Sederhana saja keinginan saya: novel saya akan dibaca, lalu
pembacayang aku bayangkan berusia di atas 17 tahunberkontemplasi, merenung
bahwa pelacur itu manusia yang tetap harus dihormati. Mereka adalah manusia yang harus
dimanusiakan. Mereka juga harus bisa berubah kalau mereka punya keinginan untuk berubah,
bisa bertobat untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, dan itu bisa saja berhasil.
KARYA YANG LAIN
Selain Lorong Tanpa Cahaya, kini
novelnya kedua telah terbit, Menolak Panggilan Pulang. Karya lain lebih banyak
cerpen, baik cerpen remaja maupun cerpen sastra. Cerpen remaja antara lain dimuat di
kumpulan cerpen Ceria Remaja (sekitar 20 cerpen). Cerpen sastra antara lain dimuat
di harian Bernas (Yogyakarta), Suara Indonesia, tabloid Eksponen (sudah
tidak terbit), harian Masa Kini (sekarang tidak terbit), Yogya Post, Suara
Pembaruan, dan Bisnis Indonesia.
KAITAN DENGAN PENGALAMAN HIDUP
Karya novel Lorong Tanpa Cahaya
sedikit ada kaitan dengan pengalaman saya sebagai aktivis mahasiswa. Dalam LTC digambarkan
demonstrasi warga Sarkem di DPRD. Tapi tidak ada kaitannya antara kehidupan pelacur dan
pengalaman hidupku, sebab aku tak pernah melacur (ini jujur kukatakan). Banyak orang yang
curiga ketika membaca LTC. Mereka curiga bahwa aku suka ke pelacuran, terutama ke Sarkem.
Itu hak mereka untuk curiga. Yang jelas aku tak pernah melakukannya.
Adapun novel Menolak Panggilan Pulang aku
tulis berdasarkan observasi langsung ketika aku berada beberapa bulan di pedalaman
Kalimantan Selatan. Tema Menolak Panggilan Pulang ada kaitannya dengan komitmenku
terhadap kehidupan suku terasing yang senantiasa tergusur, yang dirampas hak-hak ulayatnya
oleh pemilik modal.
Cerpen-cerpenku banyak yang mencerminkan
pengalaman hidup, pengalaman orang-orang di kampung kelahiranku. Juga mitos yang dipercaya
oleh orang-orang di kampungku.
LATAR BELAKANG MENULIS LORONG TANPA
CAHAYA:
Manusia dengan segala problemnya, itulah
obyek karya sastra. Problem manusia begitu kompleks, dan manusia Indonesia saat ini sedang
menghadapi masalah besar, yakni krisis multidimensional, yang akar persoalannya sudah ada
pada zaman Soeharto berkuasa. Penggusuran, misalnya, sangat sering terjadi, sebagai akibat
dari proyek-proyek pembangunan. Lalu masalah pelacuran adalah masalah yang kompleks, sudah
ada sejak zaman dulu ketika manusia mulai mengenal lembaga perkawinan; setua usia
peradaban manusia. Problem ini demikian kompleksnya, yang tidak hanya berkaitan dengan
nafsu, tapi juga kemiskinan, masalah sosial yang lain. Di tempat pelacuran senantiasa
mengundang masalah lain seperti kriminalitas.
Sastrawan tidak bisa menutup mata terhadap
problem masyarakatnya. Karena itu sastra harus mencerminkan problem-problem sosial
masyarakat. Sastra tidak lagi berbicara tentang keindahan semata, tapi juga lorong-lorong
kumuh dan penderitaan umat manusia. Dengan begitu sastra akan bermakna.
Saya sendiri punya pendirian seperti itu.
Komitmen itu tercermin dalam karya-karya awal saya yang berupa cerpen, walau mungkin masih
sangat sederhana penggambarannya. Cerpen-cerpen awal ketika saya masih duduk di semester
tiga berbicara tentang problem sosial, dari masalah judi, perampasan hak, penggusuran, dan
lain-lain.
Nah, ketika saya berbicara tentang
pelacuran dalam Lorong Tanpa Cahaya, saya tidak merasa asing menggeluti hal-hal
yang berkaitan dengan itu. Paling tidak saya sudah biasa bicara tentang problem sosial.
Terlebih lagi, aktivitas saya waktu itu sebagai seorang aktivis mahasiswa yang sering
terjun ke rakyat bawah, mendukung "kematangan" berbicara tentang problem sosial.
Tak ada niat sedikit pun bagi saya untuk
dendam melalui novel. Kalau saya memprotes keadaan, kesewenang-wenangan aparat terhadap
rakyat misalnya, itu saya lakukan bukan karena dendam. Tetapi semata-mata karena pandangan
bahwa sastra harus berbicara tentang masyarakat, tentang realitas. Dan dalam kenyataan
itu, dalam realitas itu ada penggusuran, ada intimidasi aparat terhadap rakyat yang tak
berdosa yang hanya ingin mempertahankan haknya. Sastra harus bicara.
Pelampiasan hati? Mungkin dalam
cerpen-cerpen remaja yang bercerita tentang cinta ada unsur pelampiasan hati. Saya jatuh
cinta dengan seorang gadis, lalu saya curahkan isi hati saya melalui cerpen. Saya putus
cinta, kemudian saya menulis cerpen tentang hal itu. Tetapi dalam Lorong tanpa Cahaya,
sepertinya tidak ada unsur pelampiasan hati. Ataukah secara tidak sadar aku melampiaskan
kegetiran di masa laluku ke dalam novel itu, aku tidak tahu persis. Barangkali saja secara
tidak sadar terungkap di sana. Dalam LTC, Wibi kecil sering dimarahi orang tuanya, mungkin
ini sama dengan masa kecilku, tapi toh banyak anak yang mengalami hal serupa.
HUBUNGAN DENGAN KENYATAAN
Ada pendapat bahwa karya sastra dilihat sebagai dokumen
sosio-budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa
tertentu. Kalau kita mengikuti pemikiran Abrams (1981: 178), karya sastra itu mencerminkan
masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan
kekuatan-kekuatan pada zamannya. LTC pun berhubungan dengan realitas kehidupan masyarakat
di kampung pelacuran yang bernama Sarkem. Tapi harus diingat, dalam menangkap realitas
tersebut tentu saja saya tidak mengambilnya secara acak. Saya memilih dan menyusun
bahan-bahan itu lalu mengolahnya dalam jalinan cerita. Dan seperti pedapat Michel Zerraffa
bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan
novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis, saya pun
melakukan hal serupa dalam menulis LTC.
Tentu sebagai sebuah fiksi, kisahnya dalam
LTC sendiri adalah fiktif. Bahwa ada orang bernama Yu Karti yang bayinya digaruk petugas,
apakah itu fakta atau fiktif, terus terang tidak aku cek. Tokoh-tokohnya pun fiktif.
Tetapi bahwa ada kampung pelacuran bernama Sarkem, itu betul. Dalam novel itu aku
gambarkan bahwa Sarkem akan digusur, bahkan telah digusur, itu fiktif. Sampai sekarang
Sarkem itu masih ada.
Ada seorang teman yang bertanya kepada
saya, Yu Karti yang pada akhirnya jadi orang gila di sekitar Sarkem itu apakah betul-betul
ada. Aku jawab, itu fiktif. Keponakan saya yang di Surabaya, ketika ke Yogya dan sempat
melewati Sarkem, ia bertanya kepada ayahnya, "Pak mana sih yang namanya Yu Karti.
Kita bawa ke Surabaya saja. Kasihan dia." Keponakan saya, setelah membaca novel LTC,
merasa yakin bahwa Yu Karti itu ada dalam kenyataan.
LORONG TANPA CAHAYA secara harafiah berarti
jalan kecil terutama yang ada rumah di kiri-kanannya, yang keadaannya gelap. Di kampung
Sarkem banyak lorong-lorong semacam itu. Maksud simbolisnya (dalam konteks novel ini)
ialah sebuah jalan kehidupan para penjaja seks yang penuh dengan ketidakpastian masa
depan, hari esok. Ketidakpastian adanya perubahan nasib yang lebih baik.
JAWABAN ATAS
PERTANYAAN YANG DIAJUKAN FARIDA, MAHASISWA FAKULTAS SASTRA UNS, SURAKARTA, DALAM RANGKA
PENULISAN SKRIPSI
Ada pertanyaan yang saya jawab, ada pula yang
sengaja tidak saya jawab. Saya teringat diskusi dan pembacaan cerpen "Cermin yang
Menguap" karya Danarto di Majlis Reboan, akhir tahun 1998. Ketika seorang peserta
mengadakan "gugatan" di luar wilayah sastra, "Danarto sebagai pengarang
cerpen tidak perlu menelanjangi diri untuk menafsirkan cerpennya sendiri." Saya
setuju dengan pendapat itu, karena bagaimanapun, ketika sebuah karya sastra sudah
dilahirkan, ia menjadi "milik" masyarakat. Penafsiran karya sastra ada pada
pembaca.
Pertanyaan (1) termasuk yang tidak saya jawab,
karena Lorong Tanpa Cahaya sendiri sudah memberi jawabannya. Bukankah tema, plot,
setting, penokohan ada dalam karya itu sendiri tanpa harus bertanya kepada pengarangnya.
Itu kalau tema novel yang Anda tanyakan. Atau mungkin bukan itu yang Anda maksudkan?
Daerah Sarkem ialah wilayah yang unik. Tempat itu
ada di sebuah kota yang sarat dengan nilai-nilai luhur budaya. Dan di kampung yang tak
seberapa luas, yang rumah-rumah penduduk berjejelan, hidup secara bersama-sama manusia
dari beragam latar belakang; hidup di antara para pelacur. Di tempat seperti itu akan
penuh dengan konflik. Inilah yang menarik, antara lain, bagaimana orang
"mengelola" konflik, bagaimana di antara mereka secara diam-diam telah memaklumi
kesepakatan agar tak saling mengganggu, dan bagaimana dalam situasi konflik muncul
solidaritas.
Manusia dengan segala problemnya, itulah obyek
karya sastra. Problem manusia begitu kompleks, dan manusia Indonesia saat ini sedang
menghadapi masalah besar, yakni krisis multidimensional, yang akar persoalannya sudah ada
pada zaman Soeharto berkuasa. Penggusuran, misalnya, sangat sering terjadi, sebagai akibat
dari proyek-proyek pembangunan. Lalu masalah pelacuran adalah masalah yang kompleks, sudah
ada sejak zaman dulu ketika manusia mulai mengenal lembaga perkawinan; setua usia
peradaban manusia. Problem ini demikian kompleksnya, yang tidak hanya berkaitan dengan
nafsu, tapi juga kemiskinan, masalah sosial yang lain. Di tempat pelacuran senantiasa
mengundang masalah lain seperti kriminalitas.
Sastrawan tidak bisa menutup mata terhadap problem
masyarakatnya. Karena itu sastra harus mencerminkan problem-problem sosial masyarakat.
Sastra tidak lagi berbicara tentang keindahan semata, tapi juga lorong-lorong kumuh dan
penderitaan umat manusia. Dengan begitu sastra akan bermakna.
Saya sendiri punya pendirian seperti itu. Komitmen
itu tercermin dalam karya-karya awal saya yang berupa cerpen, walau mungkin masih sangat
sederhana penggambarannya. Cerpen-cerpen awal ketika saya masih duduk di semester tiga
berbicara tentang problem sosial, dari masalah judi, perampasan hak, penggusuran, dan
lain-lain.
Nah, ketika saya berbicara tentang pelacuran dalam
Lorong Tanpa Cahaya, saya tidak merasa asing menggeluti hal-hal yang berkaitan
dengan itu. Paling tidak saya sudah biasa bicara tentang problem sosial. Terlebih lagi,
aktivitas saya waktu itu sebagai seorang aktivis mahasiswa yang sering terjun ke rakyat
bawah, mendukung "kematangan" berbicara tentang problem sosial.
Apa yang ingin saya capai dengan Lorong Tanpa
Cahaya? Sederhana saja keinginan saya, novel saya akan dibaca, lalu pembaca
berkontemplasi, merenung bahwa pelacur itu manusia yang tetap harus dihormati. Mereka
adalah manusia yang harus dimanusiakan. Mereka juga harus bisa berubah kalau mereka punya
keinginan untuk berubah, dan itu bisa saja berhasil.
|