I puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil I time line I   I  catatan harian I surat-surat I proses kreatif I
I artikel I komentar & resensi] I berita I

 

Select language: [English] [Spanish] [French]

Maaf, browser anda tak mampu melihat applet.


Kirim Komentar
Gabung Mailing List
Multiple Email
Favorite Link


Cetakan I Juni 1999; tebal 221, Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta (Cetakan II, 2000)
Novel perdana Ngarto Februana ini bercerita tentang nasib seorang bocah yang lahir dan tumbuh di kampung pelacuran. Karena tak betah, si bocah minggat. Setelah dewasa ia kembali, dan memulai pertarungan demi pertarungan. Ia bertarung dengan "kelelakiannya": jatuh cinta pada seorang pelacur. Bertarung entah atas nama dendam masa lalu atau memprotes kesewenang-wenangan. Dan bertarung dengan makhluk raksasa dalam mimpinya. Bertarung dengan dirinya sendiri hingga pada suatu ketika ia harus melupakan segalanya....


Pengantar: Bakdi Soemanto; Cetakan I Juli 2000; tebal 206 halaman, harga Rp 18.000; Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta.
Novel berlatar budaya suku Dayak, di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Dengan membaca novel ini, kita banyak belajar tentang suku yang sebelumnya tidak pernah kita kenal. Lengkap dengan pelukisan upacara ritual. Juga tentang horor pemenggalan kepala. Ada pula pertarungan kepentingan antara pengusaha HPH dengan suku yang senantiasa terasing itu. Lalu bagaimana nasib Utay, putra kepala suku, yang mengkhianati tanah leluhurnya demi ambisi pribadi?


Cetakan I September 2002; Cetakan II April 2003. Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta 174 halaman.
 
Tapol merupakan novel yang didasari oleh fakta sejarah. Dan ini diolah oleh penulisnya dengan sangat baik. Dari situ kita dapat membaca sketsa tragedi manusia yang terjadi dalam lingkaran peristiwa sejarah manusia Indonesia yang tragis, yaitu G30S/PKI, 1965. (Komentar Dr. Anhar Gonggong)

 

 


Puisi yang Ditulis pada Tahun 1998
Cinta 1
Kutanam sapaku di ladangmu, kasih;
lembut kau sambut dengan senyum;
musim semi ini bermekaran mewangi;
petiklah setangkai, cium baunya;
jangan lagi ada sesal
jika tak seharum milikmu di masa lalu
Kubingkai lukisan cinta di piguramu;
pajanglah di relung hatimu;
pandanglah bila kau rindu;
jangan ada ragu
bila tak seindah milikmu di masa lalu

Jakarta, Agustus 1998

Cinta 2

Benang itu telah kita urai, kasihku
kini terangkai dalam rajutan cinta
senyumlah dan genggam tanganku
langkahkan kaki menuju matahari

Jkt, Agustus 98


 

Cinta 3

Tlah kita susuri jejak cinta di pasir pantai
Buih dan debur ombak bergulung
Awan dan angin menyisir rambutmu
Mari kita gapai bahagia bersamaku
Jangan pula ada kecewa jika tak seperti anganmu

Jkt, 08-98

Kecewa I

Ini kali kukecup bibirmu,
perawan lidahku kelu, lugu sambutmu,
tidak kuragu hijau lembaranmu, kasih,

tapi jika tak seindah kenanganmu dulu,
jangan kecewa,

sebab terlalu kasep aku mengenal cinta.

Jakarta, September 1998

Kecewa II

Rumah ini milikmu, milik kita walau cuma beratap cinta dan asa.
Taman ini begitu indah, meski hanya tertanam bunga cinta.
Ranjang ini pun milik kita walau cuma berlapis cinta.
Jangan kecewa jika hanya cinta yang bisa kuberikan.

Jakarta, September 1998

Kecewa III

Jangan biarkan buih laut memanjakanmu.
Jangan biarkan wangi melati merasuki mimpimu.
Jangan biarkan kilau permata hinggap di anganmu.
Jangan kecewa jika yang kita punya cuma cinta.

Jkt, Sep '98

Pengakuan

Tataplah mataku, kasih, tanpa gemetar . Riak gelombang
terpantul bersama luka menganga. Sudah sekian lama
mendera sukma
Sentuhlah jantungku, kasih, rasakan gejolak denyut
kegundahan; sudah lama mengoyak jiwa
Sia-sia kau katupkan bibirmu sebab telah kubaca
lembar-lembar pengakuanmu, jujur kau tuliskan: "nafsu
tak terkendali...."

Jangan takut, kasih, tatap mataku dengan berani.
Sambut tanganku, mari kita lambaikan untuk waktu
yang telah berlalu, walau luka itu tak mungkin
mengatup. Kubuka pengampunanku, ikhlas kuterima air
matamu karena, ternyata
kau masih perawan di malam pertama.

Jakarta, Sep '98

Kenangan

Jalan panjang terbentang itu bukan lamunan,
sayang. Telah kita rintis sejak dalam buaian.
Percuma kau kenang kekasihmu dulu. Kini kau cuma
milikku. Pendam kecewamu, jangan harap lagi masa
lalu membalik diri.

Hujan kala itu di Kaliurang, jadi kenanganmu.
Jangan lagi kauharap kembali, sebab ia tak mungkin
datang lagi.

Tatap mataku, sayang. Jangan lagi palingkan muka.
Jangan lagi menoleh ke belakang. Di rumah ini hanya
ada kita berdua.

Jkt, September 98

Pertarungan

Hitam lembar itu telah kusibak, dengan kelancangan.
Catatan luka menganga memiriskan hati.
Bukan aku suci jika darahku menggumpal dan tanganku mengepal.
Dan, pertarungan itu tak pernah berakhir.
Lukamu, lukaku, jadikan satu.

Jkt, Sep 98

Puisi-puisi yang ditulis pada tahun 1994

P E R P I S A H A N
buat dita indah sari

Jurang antara kita tlah terbentang
lepaskan tangan saling genggam
tak kan lagi kita bernaung satu payung
maka lambaikan tangan, sayang
biarkan aku terbuang.
Bukan kanan atau kiri
bukan pula pilihan mati atau masuk bui
tapi beda cara pandang kita pada batas cakrawala
mesti kita sadari.
Tak penting tuk disesali, kasih
cinta bukan tali satukan hati
biarkan aku pergi
perpisahan ini mesti terjadi.
Jangan lagi ditangisi, kasihku
tanggalkan kecup mesra kenangan semalam
lupakan bisikan tentang cinta asmara.
Selamat berjuang, sayangku
tetap tegak di medan palagan
gapai mataharimu
sinari lorong-lorong kumuh kota
terangi gubuk-gubuk kusam berdebu
bebaskan mereka yang dihisap angkara peradaban.
Di puncak pergolakan penghabisan
kita berjumpa memimpin massa
kibarkan bendera yang sama.

Batu, 20/8/94

SAJAK CINTA UNTUK DITA

Ketika rakyat berkubang dalam genangan air mata
kita berjumpa

Tatkala petani terusir dari tanah leluhurnya
kita bersua

Saat buruh acungkan kepalan tangan menuntut haknya
kita saling jatuh cinta
karena kita di antara penderitaan mereka
darah kita mengalir di nadinya.

Tapi kini kau begitu jauh
jauh tak terengkuh
oleh angan dan harapan
setelah aku terbuang.

Lewat kangenku pada jalanan
lewat rinduku pada pekik perlawanan

kukirim salam untukmu
meski kau tinggal bayang-bayang semu
ataukah aku yang selalu ragu
pada landasan yang selama ini jadi pijakan
cita-cita masyarakat tanpa penindasan.

Rinduku padamu, Dita
laksana bayi rindukan tetek ibunya
ketika lapar dan dahaga.

Cintaku padamu, Dita
kini terbawa angin senja
kulambaikan tangan perpisahan
sambil mendekap dada yang terluka.

Batu, 22 Agustus ’94

Puisi yang ditulis pada tahun 1993

Pengharapan
   buat Novi

Setangkai anggrek ungu
kupersembahkan kepadamu, sayangku
bukan sebagai tanda cinta
maka kubiarkan ia tersia-sia
biarlah dia tercampakkan
asal bukan hatiku
yang putus harapan

Setangkai anggrek ungu
bukan tanda cinta, sayangku
karena cintaku padamu
takkan kering dan layu
oleh waktu yang berpacu

Setangkai anggrek ungu
bukan saksi bisu
pengharapanku padamu
karena pengharapanku abadi selalu
maka ijinkan aku mencintaimu.

Loksado, Juli 1993
(Pernah dimuat di Banjarmasin Post, 12 Juli 1993)

 

Keputusan

Cinta adalah tawa
yang berderai di antara bintang gemintang
Cinta adalah tawa
di taman aneka bunga dan kembang
Kini cinta adalah air mata
kau pergi setelah kau tusukkan
belati tepat di jantungku.

Loksado, Juli 1993
(Pernah dimuat di Banjarmasin Post, 12 Juli 1993)

 

The Dreaming in the Heart Garden
   to Norchiditha Ganaden

now,
it’s time to stop counting the days
the days without edged
that more and more torture me
long time I have crossed the memory desert
in the beautifully shining of yours eyes
the beautifully smiling of yours
accompanying my step to walk along
the road of the heart garden
carving the memory with you

now,
it’s time to stop counting the days
that torture me
I have exhausted to wait for you
in full of disappointment
so overwrought
on the beautifully roses
save thorn

in the beautifully heart garden
actually only the dreaming
the thorn, my dear
how a wild to hurt my heart
so I realize that everything is only
the dreaming
because I fail to possess you
you are obviously not my possession
and the waving of your hand: say good bye
so much tear the hurt in my heart
good bye, my dear
don’t you go back in to may life forever

Yogyakarta, 5 Mei, 1993

MIMPI DI TAMAN SURGAWI
   kepada Norchi

kini
sudah saatnya aku berhenti
menghitung hari tak bertepi
yang kian menyiksa diri
telah lama kujelajahi padang kenangan
dalam redup sendu cahaya matamu
senyum manismu
kecantikan wajahmu
mengiringkan langkahku menapaki taman surgawi
terukir kenangan bersamamu

kini
telah saatnya aku berhenti
menghitung hari
yang kian menyiksa diri

pada mekarnya mawar
menyimpan duri
pada indahnya taman surgawi
ternyata hanya mimpi
duri itu, kasih
begitu ganas menusuk ke ulu hati
hingga aku sadar diri
semuanya hanya mimpi
sebab tak mungkin kau kumiliki
lambaian tanganmu kasih
kian menoreh luka di hati
selamat tinggal kasih
dan jangan kau kembali

Yogyakarta, 5 Mei 1993

Penantian
   kepada Norchi

kini
sudah saatnya
berhenti menghitung hari
yang tak bertepi
telah lama kutelusuri pasir pantai
kutinggalkan jejakku di sana
kucari bayangmu di batas cakrawala
di atas garis laut
kucari merdu suaramu
di antara debur ombak yang menggulung
pasir pantai, karang, dan debur ombak
saksi penantianku

kini
sudah saatnya berhenti
menghitung hari
yang tak bertepi
telah lelah aku menanti
kuputuskan: biarlah aku sendiri
karna ternyata engkau bukan untukku

kini
sudah saatnya berhenti menghitung hari
kulambaikan tanganku
sambil mendekap dada yang terluka
selamat tinggal sayang
tak kuharap kau kembali

Loksado, Juli 1993
(Dimuat di Banjarmasin Post, 12 Juli 1993)

Puisi-Puisi yang Ditulis pada Tahun 1989-1990

    B e l e n g g u
      kepada Widuri

getar rasa haru tiap kita bertemu
ciptakan belenggu pada diriku
namun pagar antara kita
jadi sekat tempat kita menetap
senyum dan sapaanku gagal
ketuk pintu hatimu
tatapan mata hanya sia-sia
lambaian tanganku relakan dirimu
kian menjauh menuju bahtera cinta keemasan

"selamat jalan Widuri,
semoga tak kembali lagi."
biarkan aku terus mengembara
mengakrabi tiap jengkal tanah sepi.

Yogya, Maret 1989

 

Kita dan sekat
    kepada Widuri

di pantai ini
getar rasa haru tiap kita bertemu
ciptakan belenggu pada diriku.
Antara kita ada sekat
pisahkan tempat kita menetap.
Ah, kau memandang diriku ragu
senyum dan sapaanku
gagal ketuk pintu hatimu
tatapan mata hanya sia-sia.

lambaian tanganku
relakan dirimu kian menjauh
menuju bahtera cinta permata.
selamat jalan, Widuri
semoga engkau tak kembali
ke pantai ini,
biarlah aku tetap sendiri
menapaki tiap jengkal tanah sepi.

Yogya, Maret 1989

 

Kenangan

Papa…mama ingatlah
dulu, di kali bening daun bambu kujadikan perahu
malaju papa
aku bersorak mama
engkau tertawa dengar celotehku
betapa bahagia kita

Kenanglah
kali bening dan perahu daun bambu milikku
gembira dan bahagia punya kita

Papa…mama
Alangkah berat, tatkala kita terpaksa
tinggalkan semua,
tinggalkan desa menuju kota

Lambaian nyiur kelapa
sambut lambaian tangan kita
tinggalkan desa menuju Jakarta.

Yogya, 1989

POTRETMU DI PANTAI ITU

sebingkai potret dirimu
dalam aku cemburu
di pantai itu
leburkan cintaku dalam cahaya purnama
seribu wajah lelaki
tak lagi kukenali
: aku hanya kenal kamu

gambarmu di pasir pantai
tak lagi sempurna kunikmati
karna harimu terbawa angin selatan
sedang aku kian jauh menuju utara

sebingkai potret dirimu
di pantai itu
ketika aku ragu
tak kuingat lagi
lebih baik aku sendiri.

Yogya, 1990

 

Puisi-puisi yang ditulis pada tahun 1988

    Doa Malam

gelap langit malam
berikan keheningan dan diam
dalam diam
kutengok bintang khusuk sembahyang
dalam keheningan
kupacu hasratku sujud pada-Mu
nyalakan lampu dalam jiwaku
agar aku tahu
segala keangkuhan adalah kebinasaan cinta
dan segala cinta
hanya bermuara pada-Mu

Yogya, 1988

    Persimpangan

Listy
di antara keasingan kita sempat
erat berjabat
tanpa mengerti tali yang temukan kita
kita sama-sama jalan menuju
terang mentari yang masih dalam
mimpi.

Listy
jalan simpang nyata depan kita
kurelakan kau putar kemudi
sebab mentari kita berbeda
jangan menoleh lagi Listyku
biarkan aku sendiri di sini
melewati hari kian sepi.

Yogya, 1988
(Pernah dimuat di Majalah Idola, No. 45,
Tahun II, 16-31 Desember 1988)

J a r a k

Tlah kita sepakat
buat jarak Yogya-Semarang
tlah kita buat tekad
memperdekat jarak
dalam hati kita
agar rentang tali makin kuat
meski hari-hari kian sepi.

Yogya, 1988
(Pernah dimuat di Majalah Idola, No. 45,
Tahun II, 16-31 Desember 1988)

 

Keputusan

rentang tali kian rapuh
dijelajah waktu tak kenal ampun
jarak Yogya-Semarang kian jauh
dan tlah kau putuskan:
perpisahan itu mesti terjadi
hari-hari kian sepi.

Yogya, 1988
(Pernah dimuat di Majalah Idola, No. 45,
Tahun II, 16-31 Desember 1988)

 

Puisi-Puisi yang Ditulis pada Tahun 1987

PERTEMUAN I

Tuhanku
ulurkan tangan-Mu

larutkan aku dalam malam-Mu
hening, khidmat sebut nama-Mu

Tuhanku,
terangkan aku pada siang-Mu
biar aku tahu
matahari tunjukkan kuasa-Mu

Tuhanku,
temukan siang dan malam-Mu
di hatiku.

Yogya, 1987

pesan buat sahabat

saat kita di tengah masa
kita erat berjabat
berdua lewati titian semu
menuju terang mentari jauh di depan
gelak tawa dan tangis bertukar
kita siapa?
bukan saudara!
mari sobat kita berjabat
ucapkan selamat tinggal
jalan simpang sudah dekat
lambaikan tangan sebab mentari
kita berbeda.

Yogya, 1987

L U P A
buat neofiraun

Tuhan
kutolak napasmu mengalir di lautku
beringas Engkau lihat bidukku
bumi kan kurebut
bulan kan kudekap
oohh
di depan cermin
aku lupa diri
merah mukaku menunduk
gelombang badai berdebur
sudah datang waktu
leburkan bentukku
sebelum mulut terkatup
kutulis namaku di karang pantai
dengan darahku.

Yogyakarta, 1987
(pernah dimuat di Suara Indonesia,
Februari 1988)

Insaf

dijemput kuda berpelana putih
lewati jalan setapak menuju langit
pengembaraan panjang
pasti kita alami
karna itu jangan dekatkan aku lagi
pada kubangan lumpur
beningkan telagaku
tenggelamkan wajahku
sedalam rasa.

Yogya, 1987

tinggal bersama

dijemput kuda berpelana putih
lewati jalan setapak menuju langit
pengembaraan panjang
mesti kita alami
maka:
jangan paksa aku mendebat lagi
sayangku
noda apakah dosa
dosa apakah noda yang kita tebarkan
di atas ranjang
di rumah sarat cemooh tetangga
mari jadi laki bini
lahirkan bayi suci

Yogya, 1987

Isyarat Malam

istriku, malam kita sudah larut
kapan pernah kita bersujud
dalam kelam jubah malam
kita berdiam
menengok bintang khusuk sembahyang

istriku, malam kita kian larut
derit ranjang tak lagi buahkan bayi
anak kita lima, cucu enam:
mari kita dekap
karna milik kita
istriku, jangan lagi kita sembunyi
malam kita adalah tepi hari
istriku, bila kereta datang
jemput kita pulang
kita sudah sembahyang

Yogya, 1987
(Dimuat di Masa Kini, 4 Desember 1987)

MELEPAS KEIKHLASAN

bukanlah matamu, istriku
tiga anak kita di kali bening
bermain perahu daun bambu
coleteh dan tawanya
alangkah lepas
dari jauh pandang saja mereka
kali bening bukan milik kita
bukalah telingamu, istriku
di tengah masa
mereka pamit
tinggalkan halaman rumah
bukalah hatimu, istriku
ucapkan selamat jalan
ulurkan tanganmu,
mari kita dekap
hatinya

Yogya, 1987
(Pernah dimuat di Suara Indonesia Februari 1988)

Sajak Penghambur Dosa

Tuhan
mencintai-Mu adalah siksa
melihat di telaga-Mu
wajahku penuh dosa

Tuhan
membencimu adalah dosa
sebab kasih-Mu tetap kudekap
jika Kau tawarkan
sorga atau neraka
jawabku: atau!

Yogya, 1987
(Pernah dimuat di Suara Indonesia Februari 1988)

Pertemuan II

sendiri di malam hari
Engkau datang
Tersenyum panang wajahku
aku tersipu
Kau belai rambutku
aku menangis
Kau tinggalkan
aku tertidur.
meski aku selalu rindu
mengeja nama-Mu.

Yogya, 1987

(pernah dimuat di Suara Indonesia Februari 1988)

Sajak Gelandangan

Andai tak bertemu
kamu dengan karung usang
mungkin tak kutemukan
deritamu di dalamnya
Kamu dengan karung usang
serta keping gelas dan kaleng rongsokan
andai tak melihatmu
mungkin mataku tak terbuka
Di naungan jembatan tua kota ini
aku terlelap bersama mimpimu
tentang sorga di balik cakrawala
dan tersentak oleh ngigaumu
tentang neraka yang membakarmu kini
Jika tak ada kamu
tak kutemukan sedihmu
dalam diriku.

Batu, 1987

BULAN BERCUMBU AWAN

Bulan dicumbu awan
Bumi tak berkawan
Kita berada di antara keduanya

menatap bumi yang sendiri
mendekap hasrat yang mati
mengharap bulan mencari diri
melawan cumbuan awan
kepada kita dia berkawan.

Yogya, Maret 1987

Permintaan

Bapakku
ijinkan aku
mengguruimu
agar tak tertidur aku di bangku kuliah
hanya mimpi
menjadi pegawai negeri

Yogya, 1987

(Dimuat di Masa Kini, 4 Desember 1987)

P U S I N G
buat "bapakku" tercinta di jakarta

bapakku
sudah penat tubuhmu
besarkan aku
sungguh baik hatimu
engkau beri aku rupiah
buat beli selembar ijazah
di warung negeri
atau swasta

bapakku
berkat budi baikmu
sekarang aku pandai
tapi, sayang
anak dilarang menggurui bapaknya
bapakku
beri aku waktu
beli tahta dengan kepandaian
hus! :tahta tidak bisa dibeli dengan kepandaian
tahta harus dibeli dengan baju hijau"

bapakku marah
dilempari kepalaku dengan NKK dan BKK
mulutku dicekoki es-ka-es
kepalaku pusing
aku tertidur di bangku kuliah
dan bermimpi menjadi pegawai negeri.

Yogyakarta, 1987

B E R P I S A H
    buat Lilis

Duniaku terpaku di jantungku
menentukan aliran darahku: kehidupanku
Duniamu terpaku di jantungmu
menentukan denyut nadimu: kehidupanmu

Aku bukanlah aku
Kamu bukanlah kamu
karena kita tak bisa bertemu

Aku adalah hamba duniaku
Kamu adalah hamba duniamu

Aku menyembah di bawah kubah
Di gereja kamu memuja
Di atas sajadah aku pasrah
Di altar kamu teteskan air mata

Yogya, Maret 1987

 

HIDUP TANPA JUDUL

Langkahku mundur, cela yang mengatur
budi luhur dilulur bapak
luntur: silau emas dan perak
nostalgia kesalehan hanya permainan anak-anak
alif, ba’, tsa, gelap pun terucap
tanpa meresap
ini hari jadi gelap
mentari tak kudapat. Gelap!

Langkahku mundur, dosa yang mengatur
gua perak bercampur liur:
tempat menetap yang tak tetap
tersekap
hantu hijau mengincar
jangan berisik jangan diusik
saat kita terlena dalam mimpi
pelor siap bikin bocor kepala
aku tak bisa kabur
sia-sia bangkaiku dikubur.

Yogya, ’87

Perjalanan I

Sesaat aku pergi
langkahku tertinggal di kubangan darah
badanku berlumur lumpur
aku ingin kabur
meski liang kubur siap mengubur
tanpa kembang menabur
tanpa air mata mengucur

mengerahkan tobatku; satu yang kutuju
merangkak tertatih dalam sepi
memeluk sunyi
berharap tak mati: mencari mentari hati

Yogya, '87

Perjalanan II

kucapai esok hari
lewati kelam jubah malam
sesempurna kelumpuhanku
di atas sajadah
aku menyembah!

Yogya,’87

MALAM DI RUMAH HITAM

Di rumah hitam,
malam jubahnya hitam
desah nafas nafsu di dalam malam.

Di rumah hitam,
malam, kuketuk pintumu
tak ada cahaya penerang di rumahmu
lampumu padam enam tahun yang silam

Di rumah hitam,
malam, carilah cahaya penerang
bulan dan bintang
jangan cari di langit kelam
ada di atas kubah bulan sabit dan bintang
itulah lampu, ambillah buat rumahmu
wahai malam di rumah hitam.

Yogya, ’87

P o h o n  M u d a

Wahai, pohon muda, kering daunmu. Jangan
impikan mentari esok hari. Malam ini
tengoklah punggung silsilah raja
di sana pernah kau ukir jasamu
dengan sejukmu
segar udaramu kau hembuskan di sana
mata air mengalir di kakimu
namun, kau semakin terhimpit. Batu-batu
angkuh menjepit akarmu
tak ada gunakah perjuanganmu?
Esok hari mentari pagi menyambutmu mati!

Yogya, ’87

PERJALANAN

Bayang-Mu kan kucari
antara tumpukan bayang mereka
Dingin angin di bawah baringin.
Sekejap kupandang punggung-Mu,
tanpa bayangan,
tanpa cahaya,
gulita!
Kemana Engkau pergi?
Ke kuil Kau bersembunyi?
Di bukit sepi Kau semedi?
Hampa tak ada suara
Sepi,
sunyi dalam hati
yang mati.

Yogya, Februari 87


Puisi yang ditulis pada tahun 1985-1986

T O B A T

Tangan ini terlalu lapuk
buat mendekap kasih-Mu
Dada ini terlalu sempit
buat merangkum kebesaran-Mu

Dengan kaki rapuh menyangga tubuh berlumpur
melangkah tertatih
melintasi rimba perasaan sunyi
meniti jembatan naluri.

Di depan pintu-Mu
aku terkapar
Menatap nur-Mu
yang memancar dari ayat-ayat-Mu

Berderit hatiku, terkuak perlahan
Sujud dan menangis memohon ampunan-Mu.

September 1985

Jerit Pohon-pohon Tumbang

Engkau pohon-pohon tumbang
Daunmu kering
rontok berguguran
ranting-rantingmu kurus dan kering
Padahal…
kau tumbuh di atas tanah subur
penuh pupuk dan tak kurang air.

Engkau pohon-pohon muda
cinta-citamu mulia
mengubah kepengapan zaman
menghalau pencemaran udara
pencemaran karena korupsi
manipulasi
dan kebobrokan mental
Tapi, sungguh malang
akar-akarmu terhimpit batu-batu sombong
batu-batu angkuh yang mengandalkan kekuasaan
Engkau kering
mati
dan tumbang
lalu membusuk
Membusuk pun kau tidak akan jadi pupuk
engkau malah jadi sampah
yang tercampakkan
terbuang
sia-sia.

November 1985

Makna-Makna yang Retak

Kelelahan yang punya makna
Haus dan lapar yang punya jiwa
Kami mengakrabi kebesaran ciptaan-Mu, ya Tuhan
Betapa indah untuk dinikmati

Namun ada sesal yang menghimpit jiwa
Rasa kontras akan predikat yang kami sandang
Dengan mereka….
Tangan-tangan kotor perusak alam!

Perjalanan kami mengakrabi rimba sunyi
Melewati jalanan nurani
Meniti jembatan perasaan sepi
Menuju puncak gunung yang abadi

Tangan-tangan kotor itu racun
Haruskah kami menutup mata
Sekedar memurnikan yang kami lihat
Sekadar menikmati hijaunya dalam pegunungan

Tangan-tangan kotor itu
Harus kami lihat dan kami tentang
Meski dengan kebesaran jiwa yang bengkak
Meski dengan kacamata yang tak pernah bertepi.

Mei 1985

AKU DAN SEBOTOL BIR

Kunyalakan sebatang rokok….
Aku cinta padamu.
Keteguk sebotol bir,
bir yang menguap dalam maknanya sendiri
yang menyatu dengan deburan darah dan ludah
menembus dinding kesadaran diri
aku terlelap
aku lupa padamu
lupa terhadap pengkhianatanmu.

Layang-layang terbang tanpa kendali
tanpa tali
tali yang dulu diyakininya
akan mengendalikan ke batas kewajaran
Kini,
limbung, terhempas badai kemunafikan
terdampar ke pelabuhan nista
yang kontras dengan suara hatinya
seiring dengan nafsu setannya.

Berlari-berlari dan berlari
menuju alam pelampiasan diri
membelakangi segala tuntutan hidup.
Aku dan sebotol bir….
Satu rasa,
rasa pahit,
rasa getir.

Batu, November 1985




I puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil I time line I catatan harian I surat-surat I
proses kreatif 
I artikel I komentar & resensi] I berita I


 Copyright©2000 Ngarto Februana. All rights reserved.
Designed by Ngarto Februana   

1