Puisi yang
Ditulis pada Tahun 1998
Cinta 1
Kutanam sapaku di
ladangmu, kasih;
lembut kau sambut dengan senyum; |
musim semi
ini bermekaran mewangi;
petiklah setangkai, cium baunya;
jangan lagi ada sesal
jika tak seharum milikmu di masa lalu
Kubingkai lukisan cinta di piguramu;
pajanglah di relung hatimu;
pandanglah bila kau rindu;
jangan ada ragu
bila tak seindah milikmu di masa lalu
Jakarta, Agustus 1998
|
Cinta
2
Benang itu telah kita
urai, kasihku
kini terangkai dalam rajutan cinta
senyumlah dan genggam tanganku
langkahkan kaki menuju matahari
Jkt, Agustus 98
|
|
|
Cinta
3
Tlah kita susuri jejak
cinta di pasir pantai
Buih dan debur
ombak bergulung
Awan dan angin
menyisir rambutmu
Mari kita gapai
bahagia bersamaku
Jangan pula ada
kecewa jika tak seperti anganmu
Jkt, 08-98
|
Kecewa I
Ini kali kukecup
bibirmu,
perawan lidahku kelu, lugu
sambutmu,
tidak kuragu hijau lembaranmu, kasih,
tapi jika tak seindah
kenanganmu dulu,
jangan kecewa,
sebab terlalu kasep aku
mengenal cinta.
Jakarta, September
1998
Kecewa
II
Rumah ini milikmu,
milik kita walau cuma beratap cinta dan asa.
Taman ini begitu indah, meski hanya tertanam bunga cinta.
Ranjang ini pun milik kita walau cuma berlapis cinta.
Jangan kecewa jika hanya cinta yang bisa kuberikan.
Jakarta, September
1998
Kecewa
III
Jangan biarkan buih
laut memanjakanmu.
Jangan biarkan wangi melati merasuki mimpimu.
Jangan biarkan kilau permata hinggap di anganmu.
Jangan kecewa jika yang kita punya cuma cinta.
Jkt, Sep '98
Pengakuan
Tataplah mataku,
kasih, tanpa gemetar . Riak gelombang
terpantul bersama luka menganga. Sudah sekian lama
mendera sukma
Sentuhlah jantungku, kasih, rasakan gejolak denyut
kegundahan; sudah lama mengoyak jiwa
Sia-sia kau katupkan bibirmu sebab telah kubaca
lembar-lembar pengakuanmu, jujur kau tuliskan: "nafsu
tak terkendali...."
Jangan takut, kasih,
tatap mataku dengan berani.
Sambut tanganku, mari kita lambaikan untuk waktu
yang telah berlalu, walau luka itu tak mungkin
mengatup. Kubuka pengampunanku, ikhlas kuterima air
matamu karena, ternyata
kau masih perawan di malam pertama.
Jakarta, Sep '98
Kenangan
Jalan panjang
terbentang itu bukan lamunan,
sayang. Telah kita rintis
sejak dalam buaian.
Percuma kau kenang kekasihmu
dulu. Kini kau cuma
milikku. Pendam kecewamu,
jangan harap lagi masa
lalu membalik diri.
Hujan kala itu di
Kaliurang, jadi kenanganmu.
Jangan lagi kauharap kembali,
sebab ia tak mungkin
datang lagi.
Tatap mataku,
sayang. Jangan lagi palingkan muka.
Jangan lagi menoleh ke
belakang. Di rumah ini hanya
ada kita berdua.
Jkt, September 98
Pertarungan
Hitam lembar itu
telah kusibak, dengan kelancangan.
Catatan luka menganga
memiriskan hati.
Bukan aku suci jika darahku
menggumpal dan tanganku mengepal.
Dan, pertarungan itu tak
pernah berakhir.
Lukamu, lukaku, jadikan satu.
Jkt, Sep 98
Puisi-puisi
yang ditulis pada tahun 1994
P E
R P I S A H A N
buat dita indah sari
Jurang antara kita
tlah terbentang
lepaskan tangan saling
genggam
tak kan lagi kita bernaung
satu payung
maka lambaikan tangan, sayang
biarkan aku terbuang.
Bukan kanan atau kiri
bukan pula pilihan mati atau
masuk bui
tapi beda cara pandang kita
pada batas cakrawala
mesti kita sadari.
Tak penting tuk disesali,
kasih
cinta bukan tali satukan hati
biarkan aku pergi
perpisahan ini mesti terjadi.
Jangan lagi ditangisi,
kasihku
tanggalkan kecup mesra
kenangan semalam
lupakan bisikan tentang cinta
asmara.
Selamat berjuang, sayangku
tetap tegak di medan palagan
gapai mataharimu
sinari lorong-lorong kumuh
kota
terangi gubuk-gubuk kusam
berdebu
bebaskan mereka yang dihisap
angkara peradaban.
Di puncak pergolakan
penghabisan
kita berjumpa memimpin massa
kibarkan bendera yang sama.
Batu, 20/8/94
SAJAK CINTA
UNTUK DITA
Ketika rakyat
berkubang dalam genangan air mata
kita berjumpa
Tatkala petani
terusir dari tanah leluhurnya
kita bersua
Saat buruh acungkan
kepalan tangan menuntut haknya
kita saling jatuh cinta
karena kita di antara penderitaan mereka
darah kita mengalir di nadinya.
Tapi kini kau begitu
jauh
jauh tak terengkuh
oleh angan dan harapan
setelah aku terbuang.
Lewat kangenku pada
jalanan
lewat rinduku pada pekik perlawanan
kukirim salam untukmu
meski kau tinggal bayang-bayang semu
ataukah aku yang selalu ragu
pada landasan yang selama ini jadi pijakan
cita-cita masyarakat tanpa penindasan.
Rinduku padamu, Dita
laksana bayi rindukan tetek ibunya
ketika lapar dan dahaga.
Cintaku padamu, Dita
kini terbawa angin senja
kulambaikan tangan perpisahan
sambil mendekap dada yang terluka.
Batu, 22 Agustus
’94
Puisi yang
ditulis pada tahun 1993
Pengharapan
buat Novi
Setangkai anggrek
ungu
kupersembahkan kepadamu,
sayangku
bukan sebagai tanda cinta
maka kubiarkan ia tersia-sia
biarlah dia tercampakkan
asal bukan hatiku
yang putus harapan
Setangkai anggrek
ungu
bukan tanda cinta, sayangku
karena cintaku padamu
takkan kering dan layu
oleh waktu yang berpacu
Setangkai anggrek
ungu
bukan saksi bisu
pengharapanku padamu
karena pengharapanku abadi
selalu
maka ijinkan aku mencintaimu.
Loksado, Juli 1993
(Pernah dimuat di Banjarmasin
Post, 12 Juli 1993)
Keputusan
Cinta adalah tawa
yang berderai di antara
bintang gemintang
Cinta adalah tawa
di taman aneka bunga dan
kembang
Kini cinta adalah air mata
kau pergi setelah kau
tusukkan
belati tepat di jantungku.
Loksado, Juli 1993
(Pernah dimuat di Banjarmasin
Post, 12 Juli 1993)
The
Dreaming in the Heart Garden
to
Norchiditha Ganaden
now,
it’s time to stop counting
the days
the days without edged
that more and more torture me
long time I have crossed the
memory desert
in the beautifully shining of
yours eyes
the beautifully smiling of
yours
accompanying my step to walk
along
the road of the heart garden
carving the memory with you
now,
it’s time to stop counting
the days
that torture me
I have exhausted to wait for
you
in full of disappointment
so overwrought
on the beautifully roses
save thorn
in the beautifully
heart garden
actually only the dreaming
the thorn, my dear
how a wild to hurt my heart
so I realize that everything
is only
the dreaming
because I fail to possess you
you are obviously not my
possession
and the waving of your hand:
say good bye
so much tear the hurt in my
heart
good bye, my dear
don’t you go back in to may
life forever
Yogyakarta, 5 Mei,
1993
MIMPI DI
TAMAN SURGAWI
kepada Norchi
kini
sudah saatnya aku berhenti
menghitung hari tak bertepi
yang kian menyiksa diri
telah lama kujelajahi padang
kenangan
dalam redup sendu cahaya
matamu
senyum manismu
kecantikan wajahmu
mengiringkan langkahku
menapaki taman surgawi
terukir kenangan bersamamu
kini
telah saatnya aku berhenti
menghitung hari
yang kian menyiksa diri
pada mekarnya mawar
menyimpan duri
pada indahnya taman surgawi
ternyata hanya mimpi
duri itu, kasih
begitu ganas menusuk ke ulu
hati
hingga aku sadar diri
semuanya hanya mimpi
sebab tak mungkin kau
kumiliki
lambaian tanganmu kasih
kian menoreh luka di hati
selamat tinggal kasih
dan jangan kau kembali
Yogyakarta, 5 Mei
1993
Penantian
kepada Norchi
kini
sudah saatnya
berhenti menghitung hari
yang tak bertepi
telah lama kutelusuri pasir
pantai
kutinggalkan jejakku di sana
kucari bayangmu di batas
cakrawala
di atas garis laut
kucari merdu suaramu
di antara debur ombak yang
menggulung
pasir pantai, karang, dan
debur ombak
saksi penantianku
kini
sudah saatnya berhenti
menghitung hari
yang tak bertepi
telah lelah aku menanti
kuputuskan: biarlah aku
sendiri
karna ternyata engkau bukan
untukku
kini
sudah saatnya berhenti
menghitung hari
kulambaikan tanganku
sambil mendekap dada yang
terluka
selamat tinggal sayang
tak kuharap kau kembali
Loksado, Juli 1993
(Dimuat di Banjarmasin
Post, 12 Juli 1993)
Puisi-Puisi
yang Ditulis pada Tahun 1989-1990
B
e l e n g g u
kepada Widuri
getar rasa haru tiap
kita bertemu
ciptakan belenggu pada diriku
namun pagar antara kita
jadi sekat tempat kita
menetap
senyum dan sapaanku gagal
ketuk pintu hatimu
tatapan mata hanya sia-sia
lambaian tanganku relakan
dirimu
kian menjauh menuju bahtera
cinta keemasan
"selamat jalan
Widuri,
semoga tak kembali
lagi."
biarkan aku terus mengembara
mengakrabi tiap jengkal tanah
sepi.
Yogya, Maret 1989
Kita
dan sekat
kepada Widuri
di pantai ini
getar rasa haru tiap kita bertemu
ciptakan belenggu pada diriku.
Antara kita ada sekat
pisahkan tempat kita menetap.
Ah, kau memandang diriku ragu
senyum dan sapaanku
gagal ketuk pintu hatimu
tatapan mata hanya sia-sia.
lambaian tanganku
relakan dirimu kian menjauh
menuju bahtera cinta permata.
selamat jalan, Widuri
semoga engkau tak kembali
ke pantai ini,
biarlah aku tetap sendiri
menapaki tiap jengkal tanah sepi.
Yogya, Maret 1989
Kenangan
Papa…mama ingatlah
dulu, di kali bening daun
bambu kujadikan perahu
malaju papa
aku bersorak mama
engkau tertawa dengar
celotehku
betapa bahagia kita
Kenanglah
kali bening dan perahu daun
bambu milikku
gembira dan bahagia punya
kita
Papa…mama
Alangkah berat, tatkala kita
terpaksa
tinggalkan semua,
tinggalkan desa menuju kota
Lambaian nyiur
kelapa
sambut lambaian tangan kita
tinggalkan desa menuju
Jakarta.
Yogya, 1989
POTRETMU
DI PANTAI ITU
sebingkai potret
dirimu
dalam aku cemburu
di pantai itu
leburkan cintaku dalam cahaya
purnama
seribu wajah lelaki
tak lagi kukenali
: aku hanya kenal kamu
gambarmu di pasir
pantai
tak lagi sempurna kunikmati
karna harimu terbawa angin
selatan
sedang aku kian jauh menuju
utara
sebingkai potret
dirimu
di pantai itu
ketika aku ragu
tak kuingat lagi
lebih baik aku sendiri.
Yogya, 1990
Puisi-puisi
yang ditulis pada tahun 1988
Doa
Malam
gelap langit malam
berikan keheningan dan diam
dalam diam
kutengok bintang khusuk
sembahyang
dalam keheningan
kupacu hasratku sujud pada-Mu
nyalakan lampu dalam jiwaku
agar aku tahu
segala keangkuhan adalah
kebinasaan cinta
dan segala cinta
hanya bermuara pada-Mu
Yogya, 1988
Persimpangan
Listy
di antara keasingan kita sempat
erat berjabat
tanpa mengerti tali yang temukan kita
kita sama-sama jalan menuju
terang mentari yang masih dalam
mimpi.
Listy
jalan simpang nyata depan kita
kurelakan kau putar kemudi
sebab mentari kita berbeda
jangan menoleh lagi Listyku
biarkan aku sendiri di sini
melewati hari kian sepi.
Yogya, 1988
(Pernah
dimuat di Majalah Idola, No. 45,
Tahun II, 16-31 Desember 1988)
J a r
a k
Tlah kita sepakat
buat jarak Yogya-Semarang
tlah kita buat tekad
memperdekat jarak
dalam hati kita
agar rentang tali makin kuat
meski hari-hari kian sepi.
Yogya, 1988
(Pernah
dimuat di Majalah Idola, No. 45,
Tahun II, 16-31 Desember 1988)
Keputusan
rentang tali kian
rapuh
dijelajah waktu tak kenal ampun
jarak Yogya-Semarang kian jauh
dan tlah kau putuskan:
perpisahan itu mesti terjadi
hari-hari kian sepi.
Yogya, 1988
(Pernah
dimuat di Majalah Idola, No. 45,
Tahun II, 16-31 Desember 1988)
Puisi-Puisi
yang Ditulis pada Tahun 1987
PERTEMUAN
I
Tuhanku
ulurkan tangan-Mu
larutkan aku dalam
malam-Mu
hening, khidmat
sebut nama-Mu
Tuhanku,
terangkan aku pada
siang-Mu
biar aku tahu
matahari tunjukkan
kuasa-Mu
Tuhanku,
temukan siang dan
malam-Mu
di hatiku.
Yogya, 1987
|
pesan
buat sahabat
saat kita di tengah
masa
kita erat berjabat
berdua lewati
titian semu
menuju terang
mentari jauh di depan
gelak tawa dan
tangis bertukar
kita siapa?
bukan saudara!
mari sobat kita
berjabat
ucapkan selamat
tinggal
jalan simpang sudah
dekat
lambaikan tangan
sebab mentari
kita berbeda.
Yogya, 1987
|
L
U P A
buat
neofiraun
Tuhan
kutolak napasmu
mengalir di lautku
beringas Engkau
lihat bidukku
bumi kan kurebut
bulan kan kudekap
oohh
di depan cermin
aku lupa diri
merah mukaku
menunduk
gelombang badai
berdebur
sudah datang waktu
leburkan bentukku
sebelum mulut
terkatup
kutulis namaku di
karang pantai
dengan darahku.
Yogyakarta, 1987
(pernah
dimuat di Suara Indonesia,
Februari
1988)
|
Insaf
dijemput kuda berpelana
putih
lewati jalan
setapak menuju langit
pengembaraan
panjang
pasti kita alami
karna itu jangan
dekatkan aku lagi
pada kubangan
lumpur
beningkan telagaku
tenggelamkan
wajahku
sedalam rasa.
Yogya, 1987
|
tinggal
bersama
dijemput kuda berpelana
putih
lewati jalan
setapak menuju langit
pengembaraan
panjang
mesti kita alami
maka:
jangan paksa aku
mendebat lagi
sayangku
noda apakah dosa
dosa apakah noda
yang kita tebarkan
di atas ranjang
di rumah sarat
cemooh tetangga
mari jadi laki bini
lahirkan bayi suci
Yogya, 1987
|
Isyarat
Malam
istriku, malam kita
sudah larut
kapan pernah kita
bersujud
dalam kelam jubah
malam
kita berdiam
menengok bintang
khusuk sembahyang
istriku, malam kita
kian larut
derit ranjang tak
lagi buahkan bayi
anak kita lima,
cucu enam:
mari kita dekap
karna milik kita
istriku, jangan
lagi kita sembunyi
malam kita adalah
tepi hari
istriku, bila
kereta datang
jemput kita pulang
kita sudah
sembahyang
Yogya, 1987
(Dimuat
di Masa Kini, 4 Desember 1987)
|
MELEPAS
KEIKHLASAN
bukanlah matamu,
istriku
tiga anak kita di
kali bening
bermain perahu daun
bambu
coleteh dan tawanya
alangkah lepas
dari jauh pandang
saja mereka
kali bening bukan
milik kita
bukalah telingamu,
istriku
di tengah masa
mereka pamit
tinggalkan halaman
rumah
bukalah hatimu,
istriku
ucapkan selamat
jalan
ulurkan tanganmu,
mari kita dekap
hatinya
Yogya, 1987
(Pernah
dimuat di Suara Indonesia Februari 1988)
|
Sajak
Penghambur Dosa
Tuhan
mencintai-Mu adalah
siksa
melihat di
telaga-Mu
wajahku penuh dosa
Tuhan
membencimu adalah
dosa
sebab kasih-Mu
tetap kudekap
jika Kau tawarkan
sorga atau neraka
jawabku: atau!
Yogya, 1987
(Pernah
dimuat di Suara Indonesia Februari 1988)
|
Pertemuan
II
sendiri di malam hari
Engkau datang
Tersenyum panang
wajahku
aku tersipu
Kau belai rambutku
aku menangis
Kau tinggalkan
aku tertidur.
meski aku selalu
rindu
mengeja nama-Mu.
Yogya, 1987
(pernah
dimuat di Suara Indonesia Februari 1988)
|
Sajak
Gelandangan
Andai tak bertemu
kamu dengan karung usang
mungkin tak kutemukan
deritamu di dalamnya
Kamu dengan karung usang
serta keping gelas dan kaleng rongsokan
andai tak melihatmu
mungkin mataku tak terbuka
Di naungan jembatan tua kota ini
aku terlelap bersama mimpimu
tentang sorga di balik cakrawala
dan tersentak oleh ngigaumu
tentang neraka yang membakarmu kini
Jika tak ada kamu
tak kutemukan sedihmu
dalam diriku.
Batu, 1987
|
BULAN
BERCUMBU AWAN
Bulan dicumbu awan
Bumi tak berkawan
Kita berada di antara keduanya
menatap bumi yang
sendiri
mendekap hasrat yang mati
mengharap bulan mencari diri
melawan cumbuan awan
kepada kita dia berkawan.
Yogya, Maret 1987
|
Permintaan
Bapakku
ijinkan aku
mengguruimu
agar tak tertidur aku di bangku kuliah
hanya mimpi
menjadi pegawai negeri
Yogya, 1987
(Dimuat
di Masa Kini, 4 Desember 1987)
|
P
U S I N G
buat "bapakku"
tercinta di jakarta
bapakku
sudah penat tubuhmu
besarkan aku
sungguh baik hatimu
engkau beri aku rupiah
buat beli selembar ijazah
di warung negeri
atau swasta
bapakku
berkat budi baikmu
sekarang aku pandai
tapi, sayang
anak dilarang menggurui bapaknya
bapakku
beri aku waktu
beli tahta dengan kepandaian
hus! :tahta tidak bisa dibeli dengan kepandaian
tahta harus dibeli dengan baju hijau"
bapakku marah
dilempari kepalaku dengan NKK
dan BKK
mulutku dicekoki es-ka-es
kepalaku pusing
aku tertidur di bangku kuliah
dan bermimpi menjadi pegawai negeri.
Yogyakarta, 1987
B E R
P I S A H
buat Lilis
Duniaku terpaku di
jantungku
menentukan aliran darahku: kehidupanku
Duniamu terpaku di jantungmu
menentukan denyut nadimu: kehidupanmu
Aku bukanlah aku
Kamu bukanlah kamu
karena kita tak bisa bertemu
Aku adalah hamba
duniaku
Kamu adalah hamba duniamu
Aku menyembah di
bawah kubah
Di gereja kamu memuja
Di atas sajadah aku pasrah
Di altar kamu teteskan air mata
Yogya, Maret 1987
HIDUP
TANPA JUDUL
Langkahku mundur,
cela yang mengatur
budi luhur dilulur bapak
luntur: silau emas dan perak
nostalgia kesalehan hanya permainan anak-anak
alif, ba’, tsa, gelap pun terucap
tanpa meresap
ini hari jadi gelap
mentari tak kudapat. Gelap!
Langkahku mundur,
dosa yang mengatur
gua perak bercampur liur:
tempat menetap yang tak tetap
tersekap
hantu hijau mengincar
jangan berisik jangan diusik
saat kita terlena dalam mimpi
pelor siap bikin bocor kepala
aku tak bisa kabur
sia-sia bangkaiku dikubur.
Yogya, ’87
Perjalanan
I
Sesaat aku pergi
langkahku tertinggal di kubangan darah
badanku berlumur lumpur
aku ingin kabur
meski liang kubur siap mengubur
tanpa kembang menabur
tanpa air mata mengucur
mengerahkan tobatku;
satu yang kutuju
merangkak tertatih dalam sepi
memeluk sunyi
berharap tak mati: mencari mentari hati
Yogya, '87
Perjalanan
II
kucapai esok hari
lewati kelam jubah malam
sesempurna kelumpuhanku
di atas sajadah
aku menyembah!
Yogya,’87
MALAM
DI RUMAH HITAM
Di rumah hitam,
malam jubahnya hitam
desah nafas nafsu di dalam malam.
Di rumah hitam,
malam, kuketuk pintumu
tak ada cahaya penerang di rumahmu
lampumu padam enam tahun yang silam
Di rumah hitam,
malam, carilah cahaya penerang
bulan dan bintang
jangan cari di langit kelam
ada di atas kubah bulan sabit dan bintang
itulah lampu, ambillah buat rumahmu
wahai malam di rumah hitam.
Yogya, ’87
P o h
o n M u d a
Wahai, pohon muda,
kering daunmu. Jangan
impikan mentari esok hari. Malam ini
tengoklah punggung silsilah raja
di sana pernah kau ukir jasamu
dengan sejukmu
segar udaramu kau hembuskan di sana
mata air mengalir di kakimu
namun, kau semakin terhimpit. Batu-batu
angkuh menjepit akarmu
tak ada gunakah perjuanganmu?
Esok hari mentari pagi menyambutmu mati!
Yogya, ’87
PERJALANAN
Bayang-Mu kan kucari
antara tumpukan bayang mereka
Dingin angin di bawah baringin.
Sekejap kupandang punggung-Mu,
tanpa bayangan,
tanpa cahaya,
gulita!
Kemana Engkau pergi?
Ke kuil Kau bersembunyi?
Di bukit sepi Kau semedi?
Hampa tak ada suara
Sepi,
sunyi dalam hati
yang mati.
Yogya, Februari 87
Puisi yang ditulis
pada tahun 1985-1986
T O B
A T
Tangan ini terlalu
lapuk
buat mendekap kasih-Mu
Dada ini terlalu sempit
buat merangkum kebesaran-Mu
Dengan kaki rapuh
menyangga tubuh berlumpur
melangkah tertatih
melintasi rimba perasaan sunyi
meniti jembatan naluri.
Di depan pintu-Mu
aku terkapar
Menatap nur-Mu
yang memancar dari ayat-ayat-Mu
Berderit hatiku,
terkuak perlahan
Sujud dan menangis memohon ampunan-Mu.
September 1985
Jerit
Pohon-pohon Tumbang
Engkau pohon-pohon
tumbang
Daunmu kering
rontok berguguran
ranting-rantingmu kurus dan kering
Padahal…
kau tumbuh di atas tanah subur
penuh pupuk dan tak kurang air.
Engkau
pohon-pohon muda
cinta-citamu mulia
mengubah kepengapan zaman
menghalau pencemaran udara
pencemaran karena korupsi
manipulasi
dan kebobrokan mental
Tapi, sungguh malang
akar-akarmu terhimpit batu-batu sombong
batu-batu angkuh yang mengandalkan kekuasaan
Engkau kering
mati
dan tumbang
lalu membusuk
Membusuk pun kau tidak akan jadi pupuk
engkau malah jadi sampah
yang tercampakkan
terbuang
sia-sia.
November 1985
Makna-Makna
yang Retak
Kelelahan yang punya
makna
Haus dan lapar yang punya jiwa
Kami mengakrabi kebesaran ciptaan-Mu, ya Tuhan
Betapa indah untuk dinikmati
Namun ada sesal
yang menghimpit jiwa
Rasa kontras akan predikat yang kami sandang
Dengan mereka….
Tangan-tangan kotor perusak alam!
Perjalanan kami
mengakrabi rimba sunyi
Melewati jalanan nurani
Meniti jembatan perasaan sepi
Menuju puncak gunung yang abadi
Tangan-tangan
kotor itu racun
Haruskah kami menutup mata
Sekedar memurnikan yang kami lihat
Sekadar menikmati hijaunya dalam pegunungan
Tangan-tangan kotor
itu
Harus kami lihat dan kami tentang
Meski dengan kebesaran jiwa yang bengkak
Meski dengan kacamata yang tak pernah bertepi.
Mei 1985
AKU
DAN SEBOTOL BIR
Kunyalakan sebatang
rokok….
Aku cinta padamu.
Keteguk sebotol bir,
bir yang menguap dalam maknanya sendiri
yang menyatu dengan deburan darah dan ludah
menembus dinding kesadaran diri
aku terlelap
aku lupa padamu
lupa terhadap pengkhianatanmu.
Layang-layang
terbang tanpa kendali
tanpa tali
tali yang dulu diyakininya
akan mengendalikan ke batas kewajaran
Kini,
limbung, terhempas badai kemunafikan
terdampar ke pelabuhan nista
yang kontras dengan suara hatinya
seiring dengan nafsu setannya.
Berlari-berlari dan
berlari
menuju alam pelampiasan diri
membelakangi segala tuntutan hidup.
Aku dan sebotol bir….
Satu rasa,
rasa pahit,
rasa getir.
Batu, November 1985
|