TULISLAH RINGKASAN BUKU DAN DAPATKAN UANG Dalam Bahasa Apa pun
SKRIPSI NGARTO FEBRUANA
KONFLIK SOSIAL DAN POLITIK DALAM NOVEL NYALI KARYA PUTU
WIJAYA
Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra
(Tugas akhir untuk memenuhi persyaratan
meraih gelar sarjana sastra pada Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Gadjah Mada. Dalam ujian di bawah penguji Dr. Faruk HT, Imran T.
Abdullah, pada akhir 1994, skripsi ini memperoleh nilai B)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan sastra Indonesia pasca 1965 tidak ter- lepas dari faktor situasi
sosial politik pada masa awal kelahiran Orde Baru. Pada periode tersebut
terjadilah peristiwa penting baik pada bidang sosial, politik, maupun kebudayaan. Dalam bidang kebudayaan termasuk di dalamnya
kesusastraan, peristiwa
yang cukup penting dan menentukan bagi kehidupan kesusastraan untuk masa
berikutnya adalah kemenangan kubu Manikebu dengan paham humanisme universalnya
dan kekalahan kubu Lekra dengan paham realisme sosialnya. Teeuw (1986: 43)
mencatat bahwa di bidang kebudayaan, segala macam kelompok dan perorangan, yang
praktis tutup mulut sejak 8 Mei 1964, menjadi kembali bergerak dan mulai
memperdengarkan suara mereka. Koran-koran dan majalah yang pernah dilarang pada
masa Orde Lama, memulai kembali penerbitannya. Juga terbit majalah baru, yakni
Horison sebagai majalah sastra. Keith Foulcher (Prisma, 1988: 20) mengatakan
bahwa sebagian dari karya sastra terpenting awal periode Orde Baru dapat dilihat
sebagai pemekaran energi yang kemungkinan tampak tidak mempunyai tempat dalam
iklim sekitar tahun 1965, ketika pendefisian kesetiaan politik mendominasi
sebagian kerja dan hasil kreatif orang Indonesia.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah munculnya pembaruan dan eksperimen
penciptaan karya sastra yang lebih bebas. Berkaitan dengan munculnya pembaruan
dan eksperimen penciptaan karya sastra, Jakob Surmadjo (1984: 6-7) membuat
analisis sosiologis dengan menyebut tiga faktor sebagai titik tolak. Latar
belakang sosiologis munculnya pembaruan dan inovasi tersebut, selain karena
situasi sosial politik awal Orde Baru, Jakob Sumardjo menambahkan dengan faktor
maecenas Dewan Kesenian Jakarta dan faktor pergantian generasi sastra. Dengan
adanya Dewan Kesenian Jakarta, aktivitas kesenian memperoleh subsidi dari
pemerintah DKI. Dewan ini memberikan kesempatan kepada para seniman untuk
berkreasi secara merdeka. Dengan demikian, kebebasan yang dimiliki ditambah
dengan penyediaan fasilitas menyebabkan kegairahan mencipta semakin semarak.
Sedangkan faktor pergantian generasi sastra menekankan pada munculnya
kecenderungan untuk bereksperimen pada sastrawan yang baru mulai karier
kesastraannya pada dekade 70-an, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Budi
Darma dan Putu Wijaya.
Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan yang produktif. Karya-karya
Putu Wijaya banyak mendapatkan tanggapan dari para kritikus sastra. Berbagai
komentar terhadap novel-novel Putu Wijaya baik yang bersifat sekilas atau yang
sifatnya mendalam dalam bentuk esei bermunculan di media massa, buku, maupun
dalam forum-forum seminar. Demikian pula karya-karya Putu Wijaya banyak
dipergunakan sebagai objek penelitian bagi penyusunan skripsi oleh mahasiswa
fakultas sastra.
Imran T. Abdullah dkk. (1978 :12) mengatakan bahwa sebagai seorang novelis,
Putu Wijaya menempatkan dirinya tak jauh dari kelihaiannya sebagai penulis
naskah drama. Dalam prosanya ia cenderung mempergunakan gaya atau metode
objektif dalam pusat pengisahannya dan gaya stream of consciousness dalam
pengungkapannya. Ia lebih berani mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan
naluri yang terpendam dalam bentuk bawah sadar, lebih-lebih libodo seksual yang
ada dalam daerah kegelapan id.
Jakob Sumardjo (1983 : 133) menyebut Putu Wijaya sebagai tokoh utama
sastrawan Indonesia pada dasa warsa 1970-an. Lebih lanjut Jakob mengatakan bahwa
Putu Wijaya muncul dan berkembang dalam dekade itu. Dialah sastrawan paling
produktif dan paling kreatif pada saat itu. Novel Putu Wijaya juga penuh
potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif
bahasanya dan disatukan oleh suasana tema (ibid : 133).
Y.B. Mangunwijaya (1988 : 50) telah membuat esei tentang novel Telegram
(1973) dan mengatakan bahwa novel tersebut merupakan karya yang matang dan
dewasa, sedangkan bentuknya sangat berhasil. Sementara itu, Mursal Esten (1990 :
49) mengatakan bahwa novel-novel Putu Wijaya : Telegram dan Stasiun dan pada
naskah-naskah drama yang ditulisnya seperti Anu, Aduh, dan Lho merupakan klimaks
dari proses perubahan yang terjadi dan telah diperlihatkan sebelumnya. Analisis
yang lebih mendalam dilakukan oleh Jiwa Atmaja dalam bukunya Novel Eksperimental
Putu Wijaya (1993). Dalam bukunya tersebut Jiwa Atmaja menganalisis salah satu
novel Putu Wijaya yaitu Keok (1978). Jiwa Atmaja juga telah berhasil
merekonstruksi kelas sosial pengarang dan menemukan pandangan dunia Putu Wijaya.
Pada bagian kesimpulan, Jiwa Atmaja (1993 : 86-87) menyebutkan:
Sekalipun "struktur dalam" novelnya menunjukkan sifatnya yang
kompleks namun masih mungkin dilihat keterikatannya dengan subjeknya, yakni
kelompok intelektual yang di dalamnya termasuk pengarangnya. Kondisi sosial
menjelang dan sesudah Orde Baru memang belum memberi kemungkinan bagi kelompok
ini menempatkan diri pada posisi yang menentukan arah perkem- bangan politik dan
ekonomi. Meskipun demikian, kelompok ini masih mencoba tampil ke depan sebagai
subjek yang penuh percaya diri dalam menanggapi perubahan sosio-budaya
berdasarkan visi dunianya. Usaha-usaha yang dilakukan antara lain, berupa
perlawanan terhadap sistem (dalam novel Keok) terimplisit dalam sistem lalu
lintas yang kacau, penyesuaian diri malahan pengasingan diri yang terimplisit
melalui adegan tokoh wanita menutup mulut dan tidak mau melakukan komunikasi.
Sesungguhnya masih banyak tanggapan positif dari kritikus sastra terhadap
karya-karya Putu Wijaya yang tidak mungkin penulis uraikan satu per satu.
Tanggapan dan analisis serta esei tersebut menunjukkan perhatian yang cukup
besar terhadap karya-karya Putu Wijaya. Demikian pula hal itu membuktikan bahwa
posisi Putu Wijaya cukup penting dalam percaturan kesusastraan Indonesia. Namun
demikian, tidak semua karya Putu Wijaya memperoleh porsi yang sama. Dari sekian
banyak komentar, Telegram, Stasiun, Pabrik, dan Keok memperoleh porsi yang besar. Karena
itu, analisis terhadap karya Putu Wijaya yang lain patut di-lakukan. Dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada novel Nyali (1983)
yang merupakan novel Putu Wijaya yang kurang banyak mendapat tanggapan
dibadingkan Telegram dan Stasiun, padahal novel Nyali tidak kalah menarik
dibanding novel-novel Putu Wijaya yang lain.
Hal yang menarik dalam novel Nyali adalah permasa- lahan yang diungkapkannya.
Novel ini mengungkap konflik sosial dan politik yang penuh dengan kekejaman.
Konflik sosial dan politik tersebut memiliki kesejajaran dengan konflik sosial
dan politik dalam sejarah Indonesia. Keith Foulcher (dalam Robert Cribb, ed,
1990 : 104) memberikan komentarnya terhadap novel ini sebagai novel luar biasa
yang mempunyai kemiripan dengan peristiwa sejarah sekitar tahun 1965, meskipun
samar-samar dan dalam bentuk yang berlainan dari tradisi kesusastraan Indonesia.
Sesungguhnya banyak novel yang menyinggung atau memiliki latar peristiwa
sejarah sekitar tahun 1965. Ashadi Siregar pada tahun 1979 menerbitkan novelnya
yang berjudul Jentera Lepas (1979) yang menceritakan nasib sebuah keluarga yang
berkaitan dengan PKI sesudah peristiwa tahun 1965.
Yudistira ANM dengan novelnya Mencoba Tidak Menyerah (1979) yang melukiskan
kesengsaraan sebuah keluarga setelah sang bapak yang disangka oleh masyarakat
beraliran komunis ditahan oleh aparat pemerintah. Demikian juga dengan novel
Kubah (1980) karya Ahmad Tohari juga bercerita tentang seorang yang terlibat
dalam Partai Komunis Indonesia ditahan di Pulau Buru. Sekembalinya dari tahanan
ia kembali ke masyarakat dan sadar serta taat kepada agama. Novel Ahmad Tohari
yang berikutnya yakni trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sedikit banyak juga
menyinggung permasalahan ini. Tema dan permasalahan serupa juga termuat dalam
novel karya Ayip Rosidi yang berjudul Anak Tanah Air Secercah Kisah (1985).
Hal lain yang menarik pada novel Nyali bila diban- dingkan dengan novel yang
menyinggung atau bercerita tentang peristiwa sejarah sekitar tahun 1965 lainnya,
adalah gaya penceritaannya tidak menunjuk secara langsung tentang konflik
politik yang terjadi pada kurun sejarah sekitar tahun 1965. Demikian juga novel
Nyali tidak menunjuk secara langsung pada latar tempat dan nama-nama tokoh yang
terlibat dalam peristiwa sejarah tersebut. Namun sesungguhnya konflik sosial dan
politik dalam novel Nyali mempunyai kesejajaran dengan konflik sosial dan
politik yang terjadi dalam sejarah Indonesia sekitar tahun 1965. Hal inilah yang
menjadi latar belakang penulis untuk menganalisis novel Nyali dan penulis ingin
membuktikan bahwa konflik sosial dan politik dalam novel Nyali punya kesejajaran
dengan sejarah Indonesia sekitar tahun 1965.
1.2. Permasalahan dan Ruang Lingkup
Karya sastra merupakan dunia kemungkinan, artinya ketika pembaca berhadapan
dengan karya sastra, maka ia berhadapan dengan kemungkinan penafsiran. Setiap
pembaca berhak dan seringkali berbeda hasil penafsiran terhadap makna karya
sastra. Pembaca dengan horison harapan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan
penafsiran terhadap sebuah karya sastra tertentu. Hal ini berkaitan dengan
masalah sifat, fungsi dan hakikat karya sastra. Sifat- sifat khas sastra
ditunjukkan oleh aspek referensialnya (acuan), "fiksionalitas", "ciptaan"
dan sifat "imajinatif" (Wellek dan Warren, 1993:18-20). Sedangkan
fungsi sastra tergantung dari sudut pandang serta ditentukan pula oleh latar
ideologinya. Hakikat keberadaan karya sastra selalu berada dalam ketegangan
antara konvensi dan inovasi. Ketiga unsur itulah yang menyebabkan masalah yang
luas dan kompleks dalam dunia sastra. Hal ini juga telah memungkinkan beragamnya
teori dan pendekatan terhadap karya sastra, beragamnya aliran dalam sastra dan
memungkinkan beragamnya konsep estetik karya sastra.
Mengingat masalah yang ditawarkan dunia sastra sangat luas dan kompleks,
dalam kesempatan ini penulis membatasi ruang lingkup permasalahannya dengan
maksud agar pembicaraan tidak terlalu mengambang. Pembatasan tersebut adalah
pemahaman terhadap novel Nyali dengan berdasarkan sosiologi sastra. Sesungguhnya
sosiologi sastra itu pun sangat rumit dan luas, karena itu penulis membatasi
ruang lingkup permasalahan hanya dari aspek karya sastra sebagai cermin
masyarakat atau dengan kata lain karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial
budaya.
Berkaitan dengan pendekatan yang penulis pergunakan dalam penelitian ini,
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana konflik sosial dan politik yang terkandung dalam novel Nyali
dengan analisis sosiologis.
2. Bagaimana korelasi antara novel Nyali dengan kenyataan dalam sejarah
masyarakat Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Alasan-alasan yang telah dikemukakan pada bagian latar belakang merupakan
faktor pendorong dilakukannya penelitian ini. Sedangkan tujuan penelitiannya
menyangkut masalah teoritis dan praktis. Hal ini berkaitan dengan latar belakang
penulis sebagai orang yang bergerak dalam kalangan akademik sastra yang selalu
dituntut untuk menitikberatkan landasan ilmiah dalam kegiatan penelitian sastra.
Secara ringkas tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama, melalui penelitian ini diharapkan dapat membuktikan sejauh mana
sosiologi sastra dapat diaplikasikan kepada novel Indonesia modern dalam hal ini
novel Nyali dilihat sebagai dokumen sosio-budaya.
Kedua, meskipun penelitian terhadap novel karya Putu Wijaya sudah banyak
dilakukan, namun demikian, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian
yang sudah ada dengan cara dan persepsi yang berbeda sehingga dapat diperoleh
keanekaragaman pemahaman dan penafsiran dengan masing-masing argumentasi yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ketiga, menyangkut tujuan praktis, penelitian ini diharapkan membantu pembaca
untuk memahami novel Putu Wijaya.
1.4. Kerangka Teori
Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusasteraan.
Menurut Andre Hardjana (1991 : 1) kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat
diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal
senada juga diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo (1983:6) bahwa untuk bisa
menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusasteraan Indonesia,
dibutuhkan suatu kritik. Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam.
Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Yang
pertama, orientasi kepada semesta (universe) yang melahirkan teori mimesis.
Kedua, teori kritik yang berorientasi kepada pembaca (audience) yang disebut
teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca sebagai pemberi makna dan
pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan
yang berorientasi kepada pembaca. Ketiga, teori kritik yang berorientasi pada
elemen pengarang dan disebut sebagai teori ekspresif. Keempat adalah teori yang
berorientasi kepada karya (work) yang dikenal dengan teori objektif (Abrams,
1976: 6-29). Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi
kepada semesta (universe), namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada
pengarang dan pembaca.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra sebagai
landasan teori dalam menganalisis novel Nyali. Menurut pandangan teori ini,
karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu
mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni
segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Wellek dan Warren (1993: 111) membagi
telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi yaitu:
a. Sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial,
ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang.
b. Sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra;
yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra
tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya;
c. Sosiologi sastra: yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh
sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian
Watt (Damono, 1979: 3) dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan,
sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup
tiga hal, yakni:
a. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat
dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor
sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping
mempengaruhi isi karya sastranya.
b. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana
sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.
c. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai
sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat
berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat
bagi pembaca.
Umar Junus (1986 : 3) mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam
telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut:
1. Karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya;
2. Penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra;
3. Penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra
seorang penulis tertentu dan apa sebabnya;
4. Pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya
pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang
berhubungan dengan pertentangan kelas.
5. Pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman; dan
6. Pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk
sastra.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang pertama yakni karya
sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya
suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan
bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaiamanapun karya
sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan
oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abrams, 1981:178).
Demikian pula objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam
menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan
memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan
tertentu (Saini, 1986: 14-15). Henry James (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and
Burns, 1973:36) mengatakan bahwa sastrawan menganalisis "data"
kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk
dipindahkan ke dalam karya sastra.
Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat,
pertama, mencoba menterjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner
dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang;
kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan
pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah dan ketiga seperti
juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali peristiwa
sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang (Kuntowijoyo, 1987:
127).
Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat
anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya
mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mem- pengaruhi realitas
sosial. Memang benar sastra mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa,
namun bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada
dari seni lain, terkecuali film; novel seringkali merupakan ikatan dengan
momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat (Michel Zerraffa dalam
Elizabeth and Burns, 1973:35). Lebih lanjut Zerraffa (ibid) mengatakan bahwa
karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu
dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis.
Dalam mengaplikasikan pendekatan ini, karya sastra tidak dilihat sebagai
keseluruhan, melainkan hanya tertarik pada unsur sosio-budaya di dalamnya yang
dilihat sebagai unsur-unsur yang lepas dari kesatuan karya. Sehubungan dengan
analisis terhadap novel Nyali, penulis mengambil unsur yang dominan dalam karya
tersebut, yakni konflik sosial dan politik. Untuk menganalisis konflik sosial
dan politik dibutuhkan teori yang relevan dengan permasalahan yang dianalisis,
yakni teori konflik. Dalam penelitian ini teori konflik yang penulis pergunakan
adalah klasifikasi konflik politik yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti (Memahami
Ilmu Politik, 1992), Lewis A. Coser (dalam David L. Sills, The International
Encyclopedia of The Social Sciences, 1968), Maurice Duverger dalam bukunya
Sosiologi Politik (1993), dan Tom Bottomore dalam bukunya Sosiologi Politik
(1992).
Sebagaimana telah penulis sebutkan bahwa konflik sosial dan politik yang
terkandung dalam novel Nyali memiliki kesejajaran dengan konflik sosial dan
politik dalam sejarah Indonesia sekitar tahun 1965. Sedangkan penulisan novel
tersebut dilakukan pada tahun 1980-an. Dalam penelitian ini penulis tidak
memfokuskan pada faktor genesis kelahiran novel tersebut, tetapi menitikberatkan
pada faktor mimesis. Hal ini mengingat peristiwa dominan yang terbayang dalam
novel tersebut terjadi pada sekitar tahun 1965. Dengan kata lain rentang waktu
antara tahun novel tersebut ditulis dan peristiwa yang tersirat dalam novel
tersebut cukup jauh.
1.5. Metode
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Pertama-tama dipilih salah satu unsur dalam novel Nyali yakni aspek konflik
sosial dan politik. Selanjutnya konflik sosial dan politik dalam novel tersebut
dideskripsikan dengan dibantu oleh teori-teori tentang konflik serta dihubungkan
dengan peristiwa sekitar tahun 1965. Deskripsi ini dilengkapi dengan data-data
sejarah yang diperoleh dari kepustakaan.
1.6. Kerangka Penyajian
Skripsi ini terdiri atas lima bab yang terbagi dalam bab yang bersifat
teoritis, bab yang berisi analisis dan interpretasi, dan bab yang bersifat
konklusi. Bab I merupakan pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang,
ruang lingkup dan permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori dan metode,
serta sistematika pe- nulisan. Bab II berupa analisis sosiologis yang membahas
aspek konflik sosial dan politik dalam novel Nyali. Bab III mengungkapkan
masalah realitas sosial, yakni membahas kesejajaran antara konflik sosial dan
politik dalam novel Nyali dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah
Indonesia. Bab IV membahas aspek simbolis dalam novel Nyali. Bab V berupa
kesimpulan.
BAB II KLIK DI SINI
|