Kirim Komentar
Gabung Mailing List
Favorite Link


Cetakan I Juni 1999; tebal 221, Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta (Cetakan II, 2000)
Novel perdana Ngarto Februana ini bercerita tentang nasib seorang bocah yang lahir dan tumbuh di kampung pelacuran. Karena tak betah, si bocah minggat. Setelah dewasa ia kembali, dan memulai pertarungan demi pertarungan. Ia bertarung dengan "kelelakiannya": jatuh cinta pada seorang pelacur. Bertarung entah atas nama dendam masa lalu atau memprotes kesewenang-wenangan. Dan bertarung dengan makhluk raksasa dalam mimpinya. Bertarung dengan dirinya sendiri hingga pada suatu ketika ia harus melupakan segalanya....


Pengantar: Bakdi Soemanto; Cetakan I Juli 2000; tebal 206 halaman, harga Rp 18.000; Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta.
Novel berlatar budaya suku Dayak, di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Dengan membaca novel ini, kita banyak belajar tentang suku yang sebelumnya tidak pernah kita kenal. Lengkap dengan pelukisan upacara ritual. Juga tentang horor pemenggalan kepala. Ada pula pertarungan kepentingan antara pengusaha HPH dengan suku yang senantiasa terasing itu. Lalu bagaimana nasib Utay, putra kepala suku, yang mengkhianati tanah leluhurnya demi ambisi pribadi?


Cetakan I September 2002; Cetakan II April 2003. Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta 174 halaman.
 
Tapol merupakan novel yang didasari oleh fakta sejarah. Dan ini diolah oleh penulisnya dengan sangat baik. Dari situ kita dapat membaca sketsa tragedi manusia yang terjadi dalam lingkaran peristiwa sejarah manusia Indonesia yang tragis, yaitu G30S/PKI, 1965. (Komentar Dr. Anhar Gonggong)

BIODATA

Nama: Ngarto Februana
Lahir: Malang, 4-2-1967
Agama: Islam
Pendidikan:
- SDN Pesanggrahan I Batu, 1981.
- SMPN Batu, 1983.
-SMAN Batu, 1986.
-Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 11995.
Pekerjaan:  
-Redaktur Bahasa Majalah D&R, 1997--2000.
-Editor Tabloid Semanggi, 2000.
Redaktur Bahasa Tabloid DeTAK, 2001.
Staf Redaksi PDAT (Tempo Inti Media), 2001-sekarang.
Karya Buku (Novel):
-Lorong Tanpa Cahaya (1999).
-Menolak Panggilan Pulang (2000).
-Tapol (2002).
Keluarga:
Istri: Windarsih
Anak: Retami Aliffiani
Alamat Kantor:
KORAN TEMPO, Kebayoran Center Blok A11-A15, Jl. Kebayoran Baru, Mayestik, Jakarta Selatan 14220.
Alamat Rumah:
Sektor Mirah, Blok L6/22 Permata Depok, Pondok Jaya, Pancoran Mas, Depok. Telepon: 021-9259454. Email:
ngarto@mail.tempo.co.id


 

 

 































 

PROFIL NGARTO FEBRUANA

Ngarto Februana lahir pada 4 Februari 1967, di Kota Batu, Jawa Timur; sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Ayahnya seorang petani apel, yang tidak kaya, dan ibunya pedagang apel, bukan pedagang besar. Sebagai anak laki-laki dalam keluarga, ia diharapkan bisa meringankan beban orangtua, membantu ayah bekerja di ladang, dan kelak diharapkan menjadi orang yang sukses.

Lingkungan semasa kecil adalah lingkungan yang penduduknya taat beragama Islam; kampung tempat ia dibesarkan merupakan basis Nahdlatul Ulama. Namun, kedua orangtuanya kurang taat beragama (kelak di usia senja orangtuanya taat beribadah dan menunaikan ibadah haji). Ngarto di masa kanak-kanak rajin belajar mengaji di surau.

Kakek dari pihak ibu adalah seorang dalang, juga pengukir dan pemahat. Dua orang pamannya dari pihak ibu juga berprofesi sebagai dalang. Mungkin dari kakek itulah darah seninya mengalir. Paling tidak bakat bercerita.

Masa kecil dilewatkan di kota kelahirannya. Ngarto kecil terkenal bandel dan usil. Seperti layaknya bocah yang tumbuh di desa, ia suka mencuri apel milik tetangga, walau ayahnya sendiri punya kebun apel. Keusilannya kerap bikin orangtuanya jengkel. Di belakang rumahnya ada rumah seorang mayor angkatan darat--yang waktu itu pemiliknya entah di mana, dan rumah hanya dijaga oleh salah seorang penduduk. Di belakang rumah sang mayor ada bak mandi dan sering dipakai mandi oleh perempuan. Iseng-iseng ia membuat lubang di tembok agar bisa mengintip orang mandi. Ketahuan penjaga, ia lari ngumpet dan berita yang tersebar di kampung itu Ngarto membobol tembok. Ayahnya minta maaf pada penjaga rumah mayor dan menutup lubang sebesar jempol orang dewasa itu.

Bersama teman-temannya Ngarto suka mencari kayu bakar di hutan yang tak jauh dari desanya--bahkan ia pernah menebang pohon pinus, mencari bambu untuk dibuat panggung ludruk-ludrukan. Dargo--begitu ayahnya suka memanggilnya--memang suka menirukan ludruk atau ketoprak yang kerap pentas di desanya. Ketika ia masih duduk di kelas V sekolah dasar, ia bekerja di pabrik raket tak jauh dari rumahnya.

Sejak kecil sudah tampak bakat melukis dan mengarang. Ia gemar membuat wayang-wayangan dari kertas berbentuk orang. Di saat sendiri ia suka memainkannya. Ketika usia menginjak remaja, Ngarto bahkan menggambar wayang Batarakala. Menyimak sandiwara radio adalah kesukaannya sebelum berangkat ke sekolah di SMP Negeri Batu. Waktu itu stasiun radio di Malang secara rutin menyiarkan sandiwara radio "Nogososro Sabuk Inten" yang dimainkan Sanggar Prativi Jakarta. Membaca komik silat dan novel remaja juga sangat dia sukai, termasuk cerita silat karya Asmarawan S Kho Ping Ho. Apalagi menonton film silat. Di buku tulisnya, ia corat-coret menulis cerita silat.

Ketika duduk di bangku SMA, ia giat menulis cerpen. Suatu ketika, Ngarto meminta mesin ketik. Tak dibelikan, ia marah, sampai bertengkar dengan ayahnya. Akhirnya ia dibelikan mesin ketik merek Olimpia warna hijau. Sejak itu, ia makin rajin menulis, tapi tak satu pun dimuat. Ibunya sering ngomel karena jerih payahnya tak membuahkan hasil. Tapi, Ngarto tidak putus asa. Kemauannya untuk menjadi pengarang begitu menggebu-gebu. Bahkan ia mencoba menulis novel populer, tapi tidak diterbitkan.

Waktu di SMA pula puisinya pernah memenangkan juara harapan lomba tulis puisi se-Kabupaten Malang, yang diselenggarakan oleh IKIP Malang. Ia juga aktif di teater di sekolahnya, selain aktivitas seni lukis dan pencinta alam. Di bawah bimbingan gurunya, Hj. Affah Wijiningsih dan Puguh, Ngarto mengelola majalah dinding "Parama". Di media itulah cerpen dan puisi-puisinya sering ia pajang kalau tak ada naskah masuk.

Setelah tamat SMA Negeri Batu, 1986, ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengambil jurusan Sastra Indonesia. Ngarto Februana semakin intens menggeluti bidang penulisan fiksi ketika duduk di bangku kuliah. Cerpen pertamanya yang dipublikasikan berjudul "Rumah Kontrakan", dimuat di harian Berita Nasional edisi 13 September 1987. Sejak itu cerpen-cerpennya sering muncul di harian itu. Lumayan, honornya Rp 2.500, bisa untuk nambah-nambah uang saku.

Selain itu ia juga menulis cerpen di harian Masa Kini (kini tidak terbit), tabloid Eksponen, Suara Indonesia (Malang), Suara Pembaruan, Yogya Post. Selain tema-tema sosial, ia juga menulis cerpen remaja dan dipublikasikan majalah Idola (kini tidak terbit), Ceria Remaja, dan majalah Aneka. Pernah pula menerjemahkan cerpen untuk majalah Hai ("The Grave" karya Katherine Anne Porter).

Cerpennya "Ancaman" masuk dalam antologi Guru Tarno (cerpen pilihan Bernas, 1994) dan "Lewat Tengah Malam" diantologikan dalam cerpen pilihan Bernas, 1995, Candramawa. Dan, "Imajinasi" dimuat dalam buku kumpulan cerpen Maling (1994). Suryanto Sastroatmojo mengatakan bahwa "Ancaman" justru amat simpatik dalam menyodorkan persepsi individual yang berani menentang gerakan zamannya (Pengantar dalam buku Guru Tarno, 1994).

Dua buah naskah novel yang ia tulis semasa kuliah, yakni Lorong Tanpa Cahaya dan Menolak Panggilan Pulang, terbit setelah ia lulus dari Universitas Gadjah Mada. Menyusul kemudian novel ketiga, Tapol. Yang terbaru, ia menulis novel Rembulan Terluka (belum terbit).

Mantan Pemimpin Redaksi Dian Budaya (majalah kampus) ini menyelesaikan studinya di Fakultas Sastra UGM tahun 1995. Kemudian ia aktif di lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta, dan aktif di organisasi pergerakan yang sudah lama digelutinya.

Pada 1996 ia hijrah ke Jakarta, bekerja secara freelance sambil mengurusi organisasi pergerakan tempat ia menjabat sebagai sekretaris jenderal. Sejak April 1997 ia bekerja sebagai redaktur bahasa majalah D&R. Pada Februari 2000 majalah tersebut ditutup, kemudian sejak Mei 2000 ia bekerja di tabloid Semanggi sebagai editor/penulis, sampai tabloid tersebut tutup pada November 2000. Januari 2001 sampai Oktober 2001 Ngarto bekerja di tabloid DeTAK. Setelah DeTAK berhenti terbit, ia sempat menjadi kontributor majalah Pantau. November 2001 hingga sekarang ia bekerja di kelompok PT Tempo Inti Media dengan posisi staf redaksi di Divisi Pusat Data dan Analisa TEMPO. 

Menikah dengan Windarsih pada 26 Oktober 1997, dan dikaruniai seorang putri, Retami Aliffiani.

Pengalaman Organisasi
Ketika masih duduk di bangku SMA, ia sudah aktif di organisasi siswa intra sekolah (OSIS) dan organisasi pencinta alam. Ia terlibat dalam teater di SMA Negeri Batu "Pandu Smaba". Selain itu ia juga terlibat dalam kegiatan seni rupa dengan mengikuti berbagai lomba melukis tingkat sekolah, pernah ia meraih juara dalam lomba melukis kaligrafi.

Di ORPALA, organisasi pencinta alam di SMA-nya, ia menjadi sekretaris. Kelompok pencinta alam ini beberapa kali meraih juara dalam lomba hicking. Di luar sekolah, ia giat di Papala''s, kelompok pencinta alam, yang sering mengadakan berbagai lomba.
 
Ketika duduk di bangku kuliah, lelaki berbintang aquarius ini terlibat dalam organisasi kemahasiswaan baik tingkat fakultas maupun universitas. Tahun 1988 ia menjabat sebagaii Ketua Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Sastra UGM. Juga ia aktif di pers mahasiswa, yakni majalah jurusan Humanitas.

Setahun berikutnya ia menjadi Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah Dian Budaya Fakultas Sastra UGM hingga tahun 1992. Dalam kegiatan seminar, diskusi, diklat jurnalistik, ia secara aktif turut sebagai panitia, pembicara, ataupun peserta.

Sebagai mahasiswa, Ngarto Februana tak lupa terhadap kondisi masyarakat. Sejak tahun 1989 ia mulai berkenalan dengan gerakan mahasiswa. Mula-mula ia bergabung dengan Keluarga Mahasiswa (KM) UGM yang sering mengadakan mimbar bebas untuk merespons isu-isu hak asasi manusia seperti penggusuran tanah.

Dalam unjuk rasa petani, ia turut pula mendampingi, contohnya protes petani Cimanis, Cilacap, atas penggusuran tanahnya untuk pembangunan Olifin. Bersama Budiman Sudjatmiko, ia ikut mengorganisasi penduduk Cilacap mengadakan protes ke Menteri Dalam Negeri yang saat itu dijabat Rudini di Jakarta.

Kemudian ia bergabung dengan Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM) UGM, yang masih dalam koordinasi KM UGM. Komite ini mengkhususkan diri merespons isu-isu kemahasiswaan, yakni student rights dan student welfare seperti memperjuangkan biaya pendidikan yang murah, fasilitas belajar-mengajar yang layak, dan kebebasan berorganisasi di kampus.

Dalam kaitan ini KPM menentang keberadaan SMPT yang dianggap sebagai organisasi boneka bentukan pemerintah dan KPM menuntut kebebasan berorganisasi di kampus. Salah satu aksi untuk memperjuangkan hal tersebut adalah dengan mogok makan. Ia bersama Satya Widodo melakukan mogok makan selama 11 hari.

Karirnya dalam organisasi pergerakan selanjutnya adalah ia dipercaya untuk duduk dalam kepengurusan Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta (SMY), sebuah organisasi pergerakan di tingkat kota yang aktif berdemonstrasi. Organisasi ini merupakan embrio Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Pada tahun 1992, ia mewakili SMY untuk ikut workshop pers mahasiswa yang diadakan   Asian Student Association (ASA) di Puncak, Bogor. Workshop yang diikuti oleh aktivis pers mahasiswa dari Filipina, Malaysia, Nepal, Hong Kong, Australia, dan Indonesia itu mendorong lahirnya organisasi bernama Student Solidarity for Democracy in Indonesia (SSDI) yang saat itu beranggotakan SMY (Yogya), Ikatan Mahasiswa Solo, dan mahasiswa dari Jakarta.

SSDI inilah cikal bakal Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang dibentuk di Sleman, Yogyakarta, dengan Andi Munajat sebagai Sekjen dan Ngarto Februana sebagai Divisi Pendidikan dan Propaganda.

Pada tahun 1994, Ngarto menjabat sebagai Sekjen SMID sebelum diadakannya kongres luar biasa di Puncak, Bogor, untuk memilih pengurus yang baru. Setelah itu, ia mengundurkan diri dari SMID. Selama satu tahun, ia "bertapa" untuk menyelesaikan skripsinya.

Pada bulan Agustus 1995, ia kembali terjun ke dunia pergerakan dengan membentuk organisasi bernama PaDI (nama awalnya, seperti tertera di Konstitusi adalah Partai Rakyat Demokratik Indonesia, kemudian berganti menjadi Pergerakan Demokrat Indonesia). Ia menjabat sebagai sekretaris jenderal. Jabatan ini dipegangnya sampai Agustus tahun 2000. PaDI ini merupakan pecahannya Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) yang kemudian menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sudjatmiko.

Setelah bekerja, ia kurang aktif di pergerakan. Dan, akhirnya Ngarto sama sekali tak aktif setelah PaDI bubar. Saat ini hari-harinya diisi dengan kerja rutin di kelompok Tempo Inti Media, sebagai staf redaksi di Pusat Data dan Analisa TEMPO, yang juga menulis untuk Koran TEMPO dan majalah TEMPO. Walau demikian, kerja kreatif terus ia lakukan. Pada waktu luang, terutama Sabtu dan Minggu, ia menyempatkan untuk menulis novel. Kalau ada orderan menulis skenario sinetron/film, ia pun mengerjakannya. Bersama BE Raisuli, sebuah skenario sinetron 13 episode, "Darlis", telah ia tulis. Sinetron tersebut diproduksi oleh Giz Cipta Pratama bekerja sama dengan Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi. Disutradarai Boyke Roring, "Darlis" ditayangkan oleh TVRI tahun 2003. Skenario film "Salma" juga telah ia tulis berdasarkan sinopsis yang dibuat oleh BE Raisuli. Namun sampai sekarang (Mei 2004), "Salma" belum diproduksi. 

 

 


I puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil I time line I catatan harian I surat-surat I
proses kreatif 
I artikel I komentar & resensi] I berita I


 Copyright©2000 Ngarto Februana. All rights reserved.
Design and Maintenance by Ngarto Februana

 
1