PROFIL
NGARTO FEBRUANA
Ngarto
Februana lahir pada 4 Februari 1967, di Kota
Batu, Jawa Timur; sebagai anak keempat dari enam
bersaudara. Ayahnya seorang petani apel, yang
tidak kaya, dan ibunya pedagang apel, bukan
pedagang besar. Sebagai anak laki-laki dalam
keluarga, ia diharapkan bisa meringankan beban
orangtua, membantu ayah bekerja di ladang, dan
kelak diharapkan menjadi orang yang sukses.
Lingkungan semasa
kecil adalah lingkungan yang penduduknya taat
beragama Islam; kampung tempat ia dibesarkan
merupakan basis Nahdlatul Ulama. Namun, kedua
orangtuanya kurang taat beragama (kelak di usia
senja orangtuanya taat beribadah dan menunaikan
ibadah haji). Ngarto di masa kanak-kanak rajin
belajar mengaji di surau.
Kakek dari pihak
ibu adalah seorang dalang, juga pengukir dan
pemahat. Dua orang pamannya dari pihak ibu juga
berprofesi sebagai dalang. Mungkin dari kakek
itulah darah seninya mengalir. Paling tidak bakat
bercerita.
Masa kecil
dilewatkan di kota kelahirannya. Ngarto kecil
terkenal bandel dan usil. Seperti layaknya bocah
yang tumbuh di desa, ia suka mencuri apel milik
tetangga, walau ayahnya sendiri punya kebun apel.
Keusilannya kerap bikin orangtuanya jengkel. Di
belakang rumahnya ada rumah seorang mayor angkatan
darat--yang waktu itu pemiliknya entah di mana,
dan rumah hanya dijaga oleh salah seorang penduduk.
Di belakang rumah sang mayor ada bak mandi dan
sering dipakai mandi oleh perempuan. Iseng-iseng
ia membuat lubang di tembok agar bisa mengintip
orang mandi. Ketahuan penjaga, ia lari ngumpet dan
berita yang tersebar di kampung itu Ngarto
membobol tembok. Ayahnya minta maaf pada penjaga
rumah mayor dan menutup lubang sebesar jempol
orang dewasa itu.
Bersama
teman-temannya Ngarto suka mencari kayu bakar di
hutan yang tak jauh dari desanya--bahkan ia pernah
menebang pohon pinus, mencari bambu untuk dibuat
panggung ludruk-ludrukan. Dargo--begitu ayahnya
suka memanggilnya--memang suka menirukan ludruk
atau ketoprak yang kerap pentas di desanya. Ketika
ia masih duduk di kelas V sekolah dasar, ia
bekerja di pabrik raket tak jauh dari rumahnya.
Sejak kecil sudah
tampak bakat melukis dan mengarang. Ia gemar
membuat wayang-wayangan dari kertas berbentuk
orang. Di saat sendiri ia suka memainkannya.
Ketika usia menginjak remaja, Ngarto bahkan
menggambar wayang Batarakala. Menyimak sandiwara
radio adalah kesukaannya sebelum berangkat ke
sekolah di SMP Negeri Batu. Waktu itu stasiun
radio di Malang secara rutin menyiarkan sandiwara
radio "Nogososro Sabuk Inten" yang
dimainkan Sanggar Prativi Jakarta. Membaca komik
silat dan novel remaja juga sangat dia sukai,
termasuk cerita silat karya Asmarawan S Kho Ping
Ho. Apalagi menonton film silat. Di buku tulisnya,
ia corat-coret menulis cerita silat.
Ketika duduk di
bangku SMA, ia giat menulis cerpen. Suatu ketika,
Ngarto meminta mesin ketik. Tak dibelikan, ia
marah, sampai bertengkar dengan ayahnya. Akhirnya
ia dibelikan mesin ketik merek Olimpia warna hijau.
Sejak itu, ia makin rajin menulis, tapi tak satu
pun dimuat. Ibunya sering ngomel karena jerih
payahnya tak membuahkan hasil. Tapi, Ngarto tidak
putus asa. Kemauannya untuk menjadi pengarang
begitu menggebu-gebu. Bahkan ia mencoba menulis
novel populer, tapi tidak diterbitkan.
Waktu di SMA pula
puisinya pernah memenangkan juara harapan lomba
tulis puisi se-Kabupaten Malang, yang
diselenggarakan oleh IKIP Malang. Ia juga aktif di
teater di sekolahnya, selain aktivitas seni lukis
dan pencinta alam. Di bawah bimbingan gurunya, Hj.
Affah Wijiningsih dan Puguh, Ngarto mengelola
majalah dinding "Parama". Di media
itulah cerpen dan puisi-puisinya sering ia pajang
kalau tak ada naskah masuk.
Setelah tamat SMA
Negeri Batu, 1986, ia melanjutkan studinya di
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, mengambil jurusan Sastra Indonesia.
Ngarto Februana semakin intens menggeluti bidang
penulisan fiksi ketika duduk di bangku kuliah.
Cerpen pertamanya yang dipublikasikan berjudul
"Rumah Kontrakan", dimuat di harian Berita
Nasional edisi 13 September 1987. Sejak itu
cerpen-cerpennya sering muncul di harian itu.
Lumayan, honornya Rp 2.500, bisa untuk
nambah-nambah uang saku.
Selain itu ia
juga menulis cerpen di harian Masa Kini (kini
tidak terbit), tabloid Eksponen, Suara
Indonesia (Malang), Suara Pembaruan, Yogya
Post. Selain tema-tema sosial, ia juga menulis
cerpen remaja dan dipublikasikan majalah Idola (kini
tidak terbit), Ceria Remaja, dan majalah
Aneka. Pernah pula menerjemahkan cerpen untuk
majalah Hai ("The Grave" karya Katherine
Anne Porter).
Cerpennya "Ancaman"
masuk dalam antologi Guru Tarno (cerpen pilihan
Bernas, 1994) dan "Lewat Tengah Malam"
diantologikan dalam cerpen pilihan Bernas, 1995,
Candramawa. Dan, "Imajinasi" dimuat
dalam buku kumpulan cerpen Maling (1994). Suryanto
Sastroatmojo mengatakan bahwa "Ancaman"
justru amat simpatik dalam menyodorkan persepsi
individual yang berani menentang gerakan zamannya
(Pengantar dalam buku Guru Tarno, 1994).
Dua buah naskah
novel yang ia tulis semasa kuliah, yakni Lorong
Tanpa Cahaya dan Menolak Panggilan Pulang, terbit
setelah ia lulus dari Universitas Gadjah Mada.
Menyusul kemudian novel ketiga, Tapol. Yang
terbaru, ia menulis novel Rembulan Terluka
(belum terbit).
Mantan Pemimpin Redaksi Dian Budaya (majalah
kampus) ini menyelesaikan studinya di
Fakultas
Sastra UGM tahun 1995. Kemudian ia aktif di
lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta, dan
aktif di organisasi pergerakan yang sudah lama
digelutinya.
Pada 1996 ia hijrah ke Jakarta, bekerja secara freelance
sambil mengurusi organisasi pergerakan tempat ia
menjabat sebagai sekretaris jenderal. Sejak April
1997 ia bekerja sebagai redaktur bahasa majalah
D&R. Pada Februari 2000 majalah tersebut
ditutup, kemudian sejak Mei 2000 ia bekerja di
tabloid Semanggi sebagai editor/penulis, sampai
tabloid tersebut tutup pada November 2000. Januari
2001 sampai Oktober 2001 Ngarto bekerja di tabloid
DeTAK. Setelah DeTAK berhenti terbit, ia
sempat menjadi kontributor majalah Pantau. November
2001 hingga sekarang ia bekerja di kelompok PT
Tempo Inti Media dengan posisi staf redaksi di
Divisi Pusat Data dan Analisa TEMPO.
Menikah dengan
Windarsih pada 26 Oktober 1997, dan dikaruniai
seorang putri, Retami Aliffiani.
Pengalaman
Organisasi
Ketika masih duduk di bangku SMA, ia sudah aktif
di organisasi siswa intra sekolah (OSIS) dan
organisasi pencinta alam. Ia terlibat dalam teater
di SMA Negeri Batu "Pandu Smaba". Selain
itu ia juga terlibat dalam kegiatan seni rupa
dengan mengikuti berbagai lomba melukis tingkat
sekolah, pernah ia meraih juara dalam lomba
melukis kaligrafi.
Di ORPALA,
organisasi pencinta alam di SMA-nya, ia menjadi
sekretaris. Kelompok
pencinta alam ini beberapa
kali meraih juara dalam lomba hicking. Di luar
sekolah, ia giat di Papala''s, kelompok pencinta
alam, yang sering mengadakan berbagai lomba.
Ketika duduk di bangku kuliah, lelaki berbintang
aquarius ini terlibat dalam organisasi
kemahasiswaan baik tingkat fakultas maupun
universitas. Tahun 1988 ia menjabat sebagaii Ketua
Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas
Sastra UGM. Juga ia aktif di pers mahasiswa, yakni
majalah jurusan Humanitas.
Setahun
berikutnya ia menjadi Pemimpin Umum/Pemimpin
Redaksi Majalah Dian Budaya Fakultas Sastra
UGM hingga tahun 1992. Dalam kegiatan seminar,
diskusi, diklat jurnalistik, ia secara aktif turut
sebagai panitia, pembicara, ataupun peserta.
Sebagai mahasiswa, Ngarto Februana tak lupa
terhadap kondisi masyarakat. Sejak tahun 1989 ia
mulai berkenalan dengan gerakan mahasiswa.
Mula-mula ia bergabung dengan Keluarga Mahasiswa
(KM) UGM yang sering mengadakan mimbar bebas untuk
merespons isu-isu hak asasi manusia seperti
penggusuran tanah.
Dalam unjuk rasa
petani, ia turut pula mendampingi, contohnya
protes petani Cimanis, Cilacap, atas penggusuran
tanahnya untuk pembangunan Olifin. Bersama Budiman
Sudjatmiko, ia ikut mengorganisasi penduduk
Cilacap mengadakan protes ke Menteri Dalam Negeri
yang saat itu dijabat Rudini di Jakarta.
Kemudian ia
bergabung dengan Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM)
UGM, yang masih
dalam koordinasi KM UGM. Komite
ini mengkhususkan diri merespons isu-isu
kemahasiswaan, yakni student rights dan
student welfare seperti memperjuangkan biaya
pendidikan yang murah, fasilitas belajar-mengajar
yang layak, dan kebebasan berorganisasi di kampus.
Dalam kaitan ini
KPM menentang keberadaan SMPT yang dianggap
sebagai organisasi boneka bentukan pemerintah dan
KPM menuntut kebebasan berorganisasi di kampus.
Salah satu aksi untuk memperjuangkan hal tersebut
adalah dengan mogok makan. Ia bersama Satya Widodo
melakukan mogok makan selama 11 hari.
Karirnya dalam organisasi pergerakan selanjutnya
adalah ia dipercaya untuk duduk dalam kepengurusan
Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta (SMY), sebuah
organisasi pergerakan di tingkat kota yang aktif
berdemonstrasi. Organisasi ini merupakan embrio
Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Pada tahun 1992,
ia mewakili SMY untuk ikut workshop pers mahasiswa
yang diadakan
Asian Student Association (ASA) di
Puncak, Bogor. Workshop yang diikuti oleh aktivis
pers mahasiswa dari Filipina, Malaysia, Nepal,
Hong Kong, Australia, dan Indonesia itu mendorong
lahirnya organisasi bernama Student Solidarity for
Democracy in Indonesia (SSDI) yang saat itu
beranggotakan SMY (Yogya), Ikatan Mahasiswa Solo,
dan mahasiswa dari Jakarta.
SSDI inilah cikal
bakal Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk
Demokrasi (SMID) yang dibentuk di Sleman,
Yogyakarta, dengan Andi Munajat sebagai Sekjen dan
Ngarto Februana sebagai Divisi Pendidikan dan
Propaganda.
Pada tahun 1994,
Ngarto menjabat sebagai Sekjen SMID sebelum
diadakannya kongres luar biasa di Puncak, Bogor,
untuk memilih pengurus yang baru. Setelah itu, ia
mengundurkan diri dari SMID. Selama satu tahun, ia
"bertapa" untuk menyelesaikan skripsinya.
Pada bulan
Agustus 1995, ia kembali terjun ke dunia
pergerakan dengan membentuk organisasi bernama
PaDI (nama awalnya, seperti tertera di Konstitusi
adalah Partai Rakyat Demokratik Indonesia,
kemudian berganti menjadi Pergerakan Demokrat
Indonesia). Ia menjabat sebagai sekretaris
jenderal. Jabatan ini dipegangnya sampai Agustus
tahun 2000. PaDI ini merupakan pecahannya
Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) yang kemudian
menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan
Budiman Sudjatmiko.
Setelah bekerja,
ia kurang aktif di pergerakan. Dan, akhirnya
Ngarto sama sekali tak aktif setelah PaDI bubar. Saat
ini hari-harinya diisi dengan kerja rutin di
kelompok Tempo Inti Media, sebagai staf redaksi di
Pusat Data dan Analisa TEMPO, yang juga menulis
untuk Koran TEMPO dan majalah TEMPO. Walau
demikian, kerja kreatif terus ia lakukan. Pada
waktu luang, terutama Sabtu dan Minggu, ia
menyempatkan untuk menulis novel. Kalau ada
orderan menulis skenario sinetron/film, ia pun
mengerjakannya. Bersama BE Raisuli, sebuah
skenario sinetron 13 episode, "Darlis",
telah ia tulis. Sinetron tersebut diproduksi oleh
Giz Cipta Pratama bekerja sama dengan Ditjen
Listrik dan Pemanfaatan Energi. Disutradarai Boyke
Roring, "Darlis" ditayangkan oleh TVRI
tahun 2003. Skenario film "Salma" juga
telah ia tulis berdasarkan sinopsis yang dibuat
oleh BE Raisuli. Namun sampai sekarang (Mei 2004),
"Salma" belum diproduksi.
|