Menakar
Harga Perempuan
VHRmedia.com, 30 November 2007 - 11:45 WIB
Oleh:
Rieke Diah
Pitaloka
Konon
orang-orang Gunungkidul melihat pulung gantung
beberapa hari sebelum bencana gempa berkekuatan 5,9 skala
Richter mengguncang Yogyakarta. Sebentuk sasmita alam
dalam wujud bola cahaya sebesar batok kepala berwarna biru
kemerahan melayang-layang di angkasa. Sejak lama
orang-orang Gunungkidul percaya pulung gantung
sebagai pertanda musibah maha-dahsyat bakal tiba. Percaya
atau tidak, banyak yang mati gantung diri setelah
menyaksikan firasat gaib itu. Sejumlah penelitian perihal
kecenderungan bunuh diri di Gunungkidul kerap
dihubungkaitkan dengan mitos pulung gantung. Mereka
memilih mati lebih dulu, sebelum petaka itu datang, toh
nanti juga bakal mati.
Begitulah jalan aman yang ditempuh ayah Tini seperti
dikisahkan novel Harga Seorang Wanita (2006) yang
saya baca beberapa bulan lalu. Suatu malam, ayah Tini
melihat pulung gantung meluncur dari langit dan
jatuh di atap rumahnya. Esok pagi orang-orang Desa Wiloso
menemukan mayat lelaki itu menggantung di dahan pohon
jati, tak jauh dari rumahnya. Tak lama berselang, bala
yang mereka takutkan sunggguh-sungguh tiba: Desa Wiloso
terancam kelaparan. Panen gagal, wabah busung lapar
berjangkit, kemarau berkepanjangan, sawah ladang
retak-rengkah, sapi dan kambing kurus kering karena rumput
sukar didapat. Orang-orang terpaksa makan tiwul. Tapi,
bagi Simbok, itu bukan salah pulung gantung, bukan pula
salah alam Gunungkidul yang tak ramah, melainkan sudah
pepesthen, kepastian yang tak bisa dielakkan. Miskin,
lapar, makan tiwul, dan bunuh diri adalah takdir. Menjanda
setelah kematian suami juga takdir.
Di saat para pengarang kita sibuk membungkus cerita dengan
aneka kemasan yang mengkilat, kinclong, sedap dipandang
mata (tapi abai isi), pengarang buku itu justru
mencibirkan segala macam permainan bentuk yang
mengasyikkan itu. Ia justru menukik di kedalaman sumur
kemelaratan di dusun-dusun Gunungkidul. Tengoklah
peruntungan Simbok! Tersebab miskin, suaminya nekat
gantung diri (meski dengan dalih pulung gantung). Karena
miskin, Simbok jadi gundik pamong desa (Wirono), jadi babu
dan pemuas berahi Bendoro. Wajah ayunya jadi bopeng, remuk
tak berbentuk. Disiram air panas oleh Raden Sunartijah
(istri Bendoro) saat tertangkap basah sedang mengeroki
Bendoro.
Namun, pulung gantung tak pernah enyah dari hidup Simbok.
Lagi-lagi bola cahaya biru kemerahan itu meluncur dari
langit, jatuh di atap usang rumah gedeknya. Kali ini
firasat perihal bala yang bakal menimpa Tini, anak
perempuan satu-satunya. Simbok gelisah sejak Tini mohon
izin untuk bekerja di Yogya. Dalam terawang batin Simbok,
pesakitan Tini tinggal menunggu hari. Cepat atau lambat
kembang desa Wiloso itu bakal ditimpa nestapa sebagaimana
disasmitakan pulung gantung. Pelan-pelan terkuak juga rasa
penasaran Simbok perihal Tini yang tiba-tiba ingin
meninggalkan Gunungkidul. Benar! Ternyata niat merantau
bukan kemauan Tini. Perempuan beranak satu itu tergadai
pada Parman, juragan panji pijat di kawasan Gedongkuning.
Ini ulah Jono, suami Tini. Jono harus menebus sepetak
ladang yang tergadai. Bila tidak lekas ditebus, ladang
akan berpindah tangan. Parman tak keberatan meminjamkan
uang 10 juta rupiah, dengan syarat Tini harus bekerja di
Griya Pijat Nikmat selama 5 tahun. Apa boleh buat, bagi
Tini, ketergadaian tubuh dan dirinya itu mungkin sudah
suratan, sebagaimana takdir Jono yang harus rela istrinya
jadi sundal.
Sejak itu Tini bukan gadis desa yang lugu dan pemalu lagi.
Ia berubah jadi perempuan pemberani. Tak gamang lagi bila
berhadapan dengan laki-laki. Tini makin telaten memijat,
makin piawai memuaskan hasrat menggebubung para lelaki
hidung belang. Pelajaran pertama Tini di panti pijat itu
adalah merelakan tubuhnya diperkosa Parman. Perempuan
paling ayu di Desa Wiloso itu sama sekali tidak memberikan
perlawanan saat tangan kasar Parman menerkam pinggang
langsingnya.Untuk apa? Lambat laun tetap saja akan
diperkosa. Jadi, dibiarkannya Parman melunaskan dendam
masa lalu. Sebelum dipersunting Jono, Parman pernah datang
ke Wiloso. Ia hendak memperistri Tini, tapi perempuan itu
dalam genggaman Jono.
Berapakah takaran "harga" perempuan yang ditawarkan novel
itu? Menimbang kebejatan Wirono, Bendoro, Jono, Parman,
atau Andi yang meski berkenan menyelamatkan Tini (tapi
menolak komitmen pernikahan), "jangan-jangan" tidak ada
takaran harga bagi perempuan. Harga Simbok dan Tini hanya
tergantung bagaimana para lelaki memperlakukannya. Seamsal
barang rongsokan, tergantung bagaimana pengguna mengukur
manfaatnya. Tak ada takaran harga pasti. Agaknya, di
sinilah pentingnya realitas keterpurukan Simbok, Tini, dan
Murti (anak perempuan Tini dari perkawinannya dengan Jono)
yang digambarkan pengarang dengan cara bertutur bersahaja.
Nestapa Tini seperti mendaur ulang luka lama Simbok.
Bedanya, Tini bukan perempuan yang nrimo. Baginya,
ketertindasan itu bukan karena pulung gantung (Tini
bahkan tak percaya mitos konyol itu), bukan pula karena
suratan takdir, melainkan karena ulah laki-laki. Maka, ia
harus melawan, meski akhirnya tetap kalah (dikalahkan?).
Puncak kemurkaan Tini terjadi pada sebuah malam jahanam
saat ia menikamkan belati ke perut Jono, persis saat
suaminya itu sedang berhimpitan dengan Suti, ronggeng dari
Karangnongko. Alih-alih menebus gadaian pada Parman, Jono
malah berniat menikah lagi dengan Suti. Digondolnya
tabungan Tini selama bekerja hampir 5 tahun sebagai
pemijat plus. Alhasil, Jono mati bersimbah darah di tangan
istrinya sendiri, Tini meringkuk di penjara. Kalah jadi
abu, menang jadi arang. Tak lama kemudian Simbok bunuh
diri setelah melihat pulung gantung untuk ke sekian
kalinya.
Nama pengarang buku itu sesungguhnya Ngarto Februana, tapi
yang tertera di sampulnya hanya Februana (seakan-akan nama
perempuan). Seolah-olah kata Ngarto terlalu ndeso
dan kolot. Padahal realitas yang hendak digambar Ngarto
memang ndeso, melarat, dan kampungan, bukan dunia
teenlit, metropop yang banyak digandrungi
akhir-akhir ini. Barangkali tema-tema seputar kemiskinan,
kemelaratan, dan ketertindasan memang sedang "miring"
harganya. Jadi, perlu dikemas sedemikian rupa agar laris
di pasaran.... (*)
�2007 VHRmedia.com
Resensi Majalah Paras, edisi Maret 2007
Kalau Anda ingin refresing dengan membaca novel buku ini. Membaca novel Februana ini membutuhkan kelapangan hati untuk melihat derita seorang wanita yang tumbuh dari daerah miskin. Berlatar belakang didaerah tandus Yogyakarta, potret kemiskinan tergambarkan dari kehidupan sang tokoh yang bertutur dari balik jeruji penjara.
Adalah tini sang tokoh perempuan yang digadikan suaminya ke lembah prostitusi demi menebus ladang keluarga. Tini berwajah cantik, kecantikan yang tumbuh dari batu-batu tandus. Kecantikan yang diapit kemiskinan, adalah ladang subur bagi penderitaan. Nyaris diperkosa saat masih muda, dilirik juragan kaya yang duda, menikah dengan lelaki pilihan yang ternyata tega menjualnya demi segepok uang.
Nasib malang Tini, adalah juga perpanjangan lara simboknya. Wajah ayu simbok rusak akibat disiram air panas istri majikannya karena dikira menggoda sang tuan. Kepercayaan “pulung gantung” yaitu sasmita bintang berekor yang membawa angin kematian, mengantar bapak dan simboknya mati dengan cara bunuh diri. Pulang gantung juga terlihat beberapa hari sebelum Tini menghunuskan golok ke dada suaminya yang sedang bermesraan dengan seorang ronggeng.
Februana, penulis novel ini berhasil menyajikan kenyataan sosial dalam sebuah fiksi. Lengkap dengan jalannya persidangan Tini, suasana panti pijat yang menutup kedok perdagangan perempuan, hingga suasana kmpung tandus dengan harapan hidup layak yang kian menipis. Lukisan kehidupan yang mulai jarang dilirik mereka yang hidup berkecukupan di kota besar.
Membaca novel ini, paling tidak melecut kesadaran kita tentang isi lain kehidupan. Ada mereka yang terpaksa mewarisi kemiskinan, mereka yang terpinggirkan dan tak mampu memilih. Mereka yang bodoh dan berpikiran sempit. Mereka yang menjadi korban karena dianggap lemah. Mereka yang terkungkung dalam dominasi lelaki. Dan itu semua ada di sekitar kita.
KIRIM ARTIKEL, CERPEN, PUISI DAN DAPATKAN UANG
Resensi Majalah Male Emporium, edisi Maret 2007
Di wajah yang jelita, tersisa luka yang menganga. Terpaan badai mencabik kehidupannya dan melemparnya ke kubang penuh dosa. "Aku pelacur sengsara,"teriaknya pada dunia yang tak pernah ramah menyapanya. Siapa sangka, tiba-tiba ia menjadi serigala dan meraung ke angkasa. Kalimat pembuka yang sedih ini diungkapkan oleh Februana, sang pengarang.
Dunia lelaki, di mana hak, kebahagiaan dan perempuan adalah miliknya, adalah dunia yang disajikan Februana dalam novel ini. Tini, seorang perempuan desa yang dijual oleh suaminya sendiri untuk menjadi penjaja cinta. Inilah realita kehidupan Tini. Di sela-sela himpitan beban kehidupan, seorang lelaki yang merupakan pelanggan setianya, mencoba untuk membebaskannya dari lembah hitam tersebut. Benarkah lelaki itu tulus menolongnya? ME Ajo
Resensi Majalah Her World, edisi Maret 2007
Dunia ini adalah dunia laki-laki. Itulah yang tertanam dalam pikiran seorang perempuan desa di Gunung Kidul, Tini. Semua laki-laki dalam hidupnya tidak benar-benar mencintainya, tapi hanya membutuhkannya, terutama tubuhnya.
Mulai dari sang suami, Jono, yang menggadaikannya sebagi tukang pijat plus-plus kepada Parman, pria yang pernah ingin memperkosanya, sampai Andi, pelanggannya dip anti pijat yang mengatakan mencintai Tini, tapi tidak mau menikahinya dan hanya ingin menjadikan Tini “pelayan pribadi”. Lebih mengerikan lagi, Jono menghabiskanuang sang istri untuk perempuan lain. Lelah menghadapi semua itu akhirnya Tini membunuh Jono hingga dipenjara, ibunya pun bunuh diri, dan semua hartanya mereka didesa ludes. Dari pilihan buruk itu, Tini pun harus memilih untuk menyerahkan hidupnya dan anak perempuannya kembali kepada seorang laki-laki.
Resensi Majalah a+, edisi Maret 2007
Sampul buku ini juga bergaya luar negeri. Anda bisa terjebak jika berpikiran kisahnya bagai chicklit. Februana menuliskan kisah Tini, perempuan asli Gunung Kidul. Awal hidupnya djalaniseperti umumnya perempuan desa. Sebagi kem-bang desa, ia lebih memilih Jono yang berhasil menyelamatkannya dari rencana perkosaan yang diniati Parman, anak orang kaya. Pada suatu titik hidupnya, Jono membantu Parman untuk menebus utangnya. Utang lunas dengan bayaran mahal. Jebakan Parman dinikmati Jono dengan segera. Tini merasa terpojok. Februana menulisnya dengan bahasa sederhana , kalimat pendek-pendek, dan naïf.
Resensi Media Indonesia, 06 Januari 2007
Tak ada laki-laki yang benar-benar mencintai perempuan, yang ada hanyalah: mereka masih membutuhkanmu!
CERITA kemudian mengalir. Lewat tutur seorang ibu kepada anaknya tentang kegetiran hidup yang seakan-akan memang sudah takdir. Terbawa dari kampung kelahiran yang seakan sudah dikutuk Tuhan untuk lekat dengan kesengsaraan.
Gunungkudul, daerah tandus dengan alam berkapur dan kekeringan sepanjang tahun.
Ngarto Februana, sang pengarang novel ini sewaktu muda dikenal sebagi Sekertaris Jendral Solidaritas mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SIMID) yang merupakan embrio Partai Rakyat Demokrat(PRD). Sebagimana novel-novelnya yang terdahulu, Lorong Tanpa Cahaya(1999), Menolak Panggilan Pulang(2000)dan Tapol (2002), bungkus kaum tertindas, melekat kuat dalam aroma novel ini.
Ngarto, dalam novel ini, misalnya, fasih menuturkan segala hal yang berhubungan dengan kehidupan di bukit kapur itu. Tentang Pulung Gantung yang merupakan Pepesthen urip yakni malapetaka yang telah digariskan.Gerombolan serigala jadi-jadian yang membantai ternak, juga seputar peristiwa 1964 yang rupanya banyak menelan korban di wilayah Gunungkidul. Semua terjalin dalam sebuah rangkaian cerita kehidupan manusia bernama Tini, gadis ayu bernasib malang. ● Abdurrahman Saleh, alumnus Jurusan Seni Murni InstitutSeni Indonesia Yogyakarta.
KOMENTAR DI BLOG
Komentar oleh: jodypojoh.blogdrive.com
Harga Seorang Wanita adalah dunia ciptaan Februana tempat perempuan berada di bawah 'hegemoni' dunia laki-laki. Dunia tempat perempuan tidak mendapatkan kehormatan yang layak untuk bisa menentukan hidupnya sendiri. Dunia milik seorang bernama Tini, sang tokoh utama, yang berkelindan dengan dunia berbagai laki-laki.
Ketika penulis-penulis lain menampilkan novel-novel dengan tema dan seting glamur, Februana menciptakan novel menggunakan kemiskinan sebagai benang yang menghubungkan karakter-karakter ciptaannya. Kemiskinan itulah yang memupus kesadaran Jono, suami Tini, sehingga bukannya mencari solusi kehidupan sebagai seorang 'laki-laki' dan kepala rumah tangga, dia malah menggadaikan istrinya.
Februana menggambarkan dengan cermat situasi topografis tempat domisili tokoh-tokoh utamanya yang berdampak signifikan pada kehidupan mereka. Gunungkidul, sekali lagi setelah novel "Kemarau" karya Tuti Nonka, menjadi tempat berangkat cerita Februana ini. Gunungkidul, sebuah keindahan yang tak memberi berkah, tempat kepasrahan menciptakan kecintaan bertahan, dan penderitaan penghuninya meretas kehidupan. Lewat Ibu Tini, penulis melukiskan sejarah kehidupan yang nantinya akan terus bergaung dalam hidup Tini.
Setelah menggadaikan istrinya, kendati Jono tahu tempat dan kepada orang seperti apa dia menitipkan Tini, Jono tidak mau menerima konsekuensi perbuatannya. Penyebabnya bisa saja tabiat Jono yang egois sebagai seorang laki-laki atau kebodohan pria ndeso yang hanya lulus SMP. Itulah dunia Jono.
Sementara itu, Tini terjerumus dalam dunia Parman, dunia laki-laki tempat dendam dan napsu berahi menduduki tempat teratas. Dalam dunia kedua laki-laki bejat inilah, Tini bagaikan pohon karet yang terus-menerus disadap getahnya. Dan dalam dunia yang dipersembahkan dua laki-laki ini, dia menemukan dunia laki-laki yang lain. Dunia Andi, dunia tempat kekayaan bisa melaksanakan apa saja dan menjadikan perempuan sebagai apa saja. Dalam penampilannya yang menawan di mata Tini (dan mata penulis), sebetulnya bagi Andi, dalam dunianya, perempuan tak lebih sebagai pelengkap dan pemuas berahi belaka. Andi berbeda dengan tokoh Rusli dalam "Kemarau", tokoh yang menyelamatkan Mirah, sang perempuan Gunungkidul dari dunia pelacuran kemudian memperistrinya. Sekalipun Rusli digambarkan memiliki kelainan seksual, secara moral dia masih berada pada level di atas Andi.
Saat membaca sampul novel yang cukup menarik ini, kita akan membaca tulisan di bawah judul novel yang mirip tag line dalam film-film. "Tak ada lelaki yang benar-benar mencintai perempuan, yang ada hanyalah: mereka masih membutuhkanmu!" Kalimat yang sudah pasti ditujukan pada pembaca bergender perempuan. Saya tidak menemukan kalimat itu dalam novel (atau mungkin melewatkannya?). Dan itulah yang memang terjadi dalam dunia Tini, hasil kreasi Februana (yang ternyata seorang laki-laki). Dunia yang berkesan bahwa perempuan itu harganya tergantung pada persepsi laki-laki, sehingga pada gilirannya, semakin bejat laki-laki yang masuk dalam hidup Tini, akan semakin 'miring' harganya.
Tetapi dunia Tini yang dijarah-rayah laki-laki, tidak sekadar dunia tempat perempuan kehilangan daya. Dunia Tini adalah juga dunia tempat ketidakberdayaan perempuan menciptakan daya untuk menikmati laki-laki yang diinginkannya. Sekaligus menjadi lokasi tempat 'ketidakberdayaan berubah menjadi keperkasaan karena keadaan (hal. 249'.Dunia yang berkembang seperti inilah yang menjadi katastrofe bagi seluruh tragedi kehidupan Tini, dan memerosokkan Tini dalam dunia laki-laki yang lain, dunia bejat alat negara yang rentan terhadap pelecehan seksual (hal. 26 - 27).
Dari dunia terakhir Tini itulah nyaris seluruh tubuh novel dibangun, disusun dalam rangkaian kilas balik yang berpadu dengan proses katarsis benak dan jiwa Tini yang lara.
Sesungguhnya di ujung novel ini Februana tetap tidak 'memenangkan' perempuan. Tini bahkan dibuat tidak berdaya, tidak punya pilihan, dan masuk lagi dalam kerangkeng dunia laki-laki yang tidak memberi pengharapan buat Tini untuk hidup happily ever after.
Walaupun demikian, novel ini seharusnya mengetuk nurani pembacanya dari kalangan laki-laki, karena menurut saya laki-lakilah sebenarnya target utama sang penulis. Dan sebagai laki-laki mungkin pertanyaan ini akan bergema di hati: dunia seperti apakah yang kuberikan pada perempuan? Dunia Jono? Parman? Atau dunia Andi? Sepertinya tidak ada perempuan sejati menghendaki dunia yang ditawarkan 3 laki-laki ini!
Membaca novel dengan rancangan sampul yang cantik dan jenis huruf yang ramah mata, kita bisa menikmati bagaimana kelancaran Februana bertutur sehingga membuat ceritanya mengalir. Pada transisi adegan kerap ditemui pengaruh penulisan skenario (penulis juga menulis skenario) yang membuat novel ini hadir bak film realitas sosial, jenis film yang dulu sering digarap pekerja seni Indonesia sebelum perfilman Indonesia terpuruk. Bagi yang pernah nonton film-film Indonesia di masa jayanya, mungkin akan teringat pada film sejenis "Penyesalan Seumur Hidup".
Mungkin novel ini tidak akan menjadi pilihan pembaca perempuan yang lebih menyukai dunia glamur seperti chicklit atau metropop, tetapi "Harga Seorang Wanita" akan menjadi sajian gurih bagi pembaca yang tertarik pada realitas sosial yang sering hadir dalam masyarakat kita.
source: http://jodypojoh.blogdrive.com/comments?id=21
Komentar di
a-a-n.blogs.friendster.com/my_blog/books/index.html
January 31, 2007
Harga Seorang Wanita
"Tak ada Lelaki yang benar-benar mencintai perempuan. Yang ada hanyalah: mereka masih membutuhkanmu"
Kalo dibaca sekilas, rasanya kok syerem banget yah?! Tapi klo dipikir mendalam, sedikit ada benarnya juga sih...Itu adalah tulisan pada cover novel karangan Februana yang berjudul "Harga Seorang Wanita"
Novel ini baru saja selesai saya baca (thanx to OP atas pinjamannya ^_^) Sebenernya sih malu, me-resensi-kan buku hasil pinjaman, tapi sebenernya sedikit banyak ada pelajaran baru yang saya peroleh dari cerita tsb.
Tema novel ini cukup sederhana. Yaitu menceritakan kehidupan seorang Kartini, gadis desa yang dari kecil hidup miskin, selalu prihatin, dan banyak tertimpa kemalangan. Yang kemudian mengantarkan dia ke dalam kehidupan nista, dan berakhir di bui. Tapi pilihan kata yang disajikan pengarang, membuat novel ini menjadi "hidup". Membuat saya meneteskan air mata diakhir cerita.
Kembali pada kalimat yang ada pada cover buku. "Tak ada Lelaki yang benar-benar mencintai perempuan. Yang ada hanyalah: mereka masih membutuhkanmu" Saya sempat terpengaruh dengan kalimat itu. Sampai-sampai saya meragukan, apakah nantinya saya bisa berjodoh dengan laki-laki yang BENAR-BENAR MENCINTAI saya? Atau apakah cintanya hanya hadir, seiring dengan kebutuhan dia akan saya? Wuiiii serem banget ngebayanginnya...Tapi yah, kembali pada suratan nasib. Tak ada yang tahu, apa yang akan terjadi sesaat lagi.
Membaca novel ini, bisa memotivasi pembacanya (baca: wanita) supaya mampu menjadi wanita yang tegar, dan bisa berdiri sendiri.
Novel yang cukup menghibur, buat yang ngga punya acara di akhir pekan.....
Posted by Aziziah Akbarita on January 31, 2007 at 12:24 AM
http://gemuruhbadaiangin.multiply.com/reviews
Tertulis di sampul buku; "tak ada lelaki yang benar-benar
mencintai perempuan, yang ada hanyalah: mereka masih
membutuhkanmu!"
Saat ngebaca tagline tersebut gw ngerasa kata2nya itu kog
bener bgt y....Apalagi gw liat buku itu saat gw baru aja
di khianati, di tinggal dan dipermainkan (wah, komplit
sudah!) oleh mantan gw hiks hiks hiks... :P
Gw langsung ngebatin, ini buku pasti bagus bgt!...pasti
menarik buat di baca. Lumayan buat self therapy selama
masa2 pemulihan dari insiden yg menyedihkan dan
menyebalkan itu.
Ternyata...bener! Ga nyesel baca buku ini. Banyak nilai2
atopun hikmah dan pesan yg bisa kita serap sari patinya
tuk dijadikan bahan renungan atopun evaluasi baik bagi
perempuan maupun para lelaki.
Jd novel ini ga hanya diperuntukan buat kaum perempuan,
para lelaki jg ga menutup kemungkinan kog tuk ikut
menikmatinya. Meski novel ini menceritakan ketidakadilan
kaum pria terhadap wanita tp ga ada kog maksud tuk
menyindir, menyalahkan ato memojokkan kaum lelaki. Gw rasa
novel ini murni dibuat sbg alternatif bahan bacaan tuk
memberikan hiburan, maupun secara ga langsung sbg cerminan
tuk perenungan dan evaluasi dari apa yg sekarang terjadi.
Klo ngebaca judul dan tagline nya, emang ini buku
mengisahkan perjalanan hidup seorang wanita yg berusaha
tuk survive di dunia laki2. Dunia di mana hak, kebahagiaan
dan juga perempuan adalah milik laki2.
Adalah Tini, perempuan yg di jual oleh suaminya sendiri
utk dijadikan penjaja cinta. Ya, lelaki yg mencintainya
itu terpaksa menjualnya. Sang tokoh perempuan ini kemudian
diselamatkan dari lembah nista oleh seorang lelaki
pelanggannya. Lelaki itu tulus menolongnya tanpa menuntut
macam2. Benarkah Ia melakukan itu?, Apa'kah keterpaksaan
sang suami menjualnya dilandaskan pada cinta?, Bisakah
seorang lelaki benar2 mencintai seorang perempuan?,
Benarkah ada seorang lelaki yg bisa meraba perasaan
perempuan? Ikut merasakan penderitaannya?, Dan bisakah
ketulusan benar2 hadir di antara lelaki dan perempuan?
Dlm novel ini Februana tidak sekedar menyajikan kisah jual
beli perempuan tp dengan luar biasa mampu menyelam ke dlm
jiwa2 manusia di tiap karakter tokohnya demi menjawab
pertanyaan2 di atas. Ia jg pandai mempermainkan batas
antara fiksi dan kenyataan sosial yg ada pada tiap kisah
yg dituangkan dlm novelnya ini.
Layak dan patut tuk di baca, apalagi bagi para perempuan
yg pernah, baru2 ini ato bahkan mungkin sekarang tengah
merasakan menjadi "korban" di dunia lelaki dan sedang
menghirup udara laki-laki yg penuh dgn aroma nafsu purba
dan keegoisan mereka.
Selamat Membaca! ^_^
http://gemuruhbadaiangin.multiply.com/reviews
|