Cerpen-Cerpen Pilihan
PERSOALAN itu muncul setahun setelah kakek meninggal.
Usiaku dua belas tahun saat itu, tapi keingintahuanku sangat besar terhadap persoalan
rumit yang membuat nenek prihatin dan bersedih, sehingga segala cara aku tempuh walau
dengan sembunyi-sembunyi dan main intip, untuk mengetahui persoalan yang sesungguhnya. Aku
selalu nguping pembicaraan yang menyangkut masalah itu.
Suatu malam aku berada di dalam kamarku dan dari sebuah
lobang kecil pada dinding papan aku mengintip ke ruang tengah, serta memasang kuping untuk
bisa mendengarkan percakapan serius antara nenek dan anak-anaknya. Ruang tengah nampak
remang-remang. Nyala lampu teplok yang terkurung dalam teropong penuh asap hitam
menjadi satu-satunya penerang. Nyalanya redup, sesekali bergoyang-goyang oleh hembusan
angin. Meski demikian, aku bisa menyaksikan dengan jelas wajah-wajah di ruangan itu.
Udara sangat dingin; udara dingin yang setia membungkus
dukuh yang terletak di ketinggian bukit. Angin berhembus dari lereng gunung Panderman.
Pepohonan bergoyang laksana hantu malam mengincar bocah-bocah yang masih bermain petak
umpet.
Kulihat nenek duduk dengan angker seperti patung.
Wajahnya yang berkerut-kerut, rambutnya yang hampir sepenuhnya memutih, nampak menyeramkan
dalam remang-remang cahaya pelita. Nenek menatap wajah-wajah di sekelilingnya. Satu
persatu. Aku yakin, tatapan mata nenek memancarkan perasaan sedih. Kulihat tak seorang pun
berani melawan tatapan matanya. Buktinya semua orang tertunduk seperti maling dihadapan
petugas keamanan. Seandainya waktu itu aku sudah dewasa, pasti aku berdiri di belakang
nenek dan membelanya. Aku kasihan pada nenek tercinta yang sudah menjanda, kurus, dan
sakit-sakitan. Aku tak habis pikir, kenapa masih ada orang yang tega menyusahkannya.
Bibirnya yang pucat masih terkatup. Sekali-kali ia
menarik nafas dalam-dalam, mungkin untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Desahan
nafasnya yang diiringi suara seperti gesekan batang bambu terdengar jelas di telingaku.
Waktu seakan merangkak sangat lambat. Aku tidak sabar
untuk mendengar keputusan nenek. Aku berharap, nenek menjatuhkan hukuman yang setimpal
kepada orang yang menjadi biang keladi kasus yang merugikan bapak dan nenekku.
"Simbok menyesalkan kejadian ini," katanya
pelan.
Tak seorang pun berkomentar. Bapak dan ketiga Pakdeku
yang duduk mengelilingi nenek tetap menunduk. Sementara dari kandang belakang rumah
terdengar kambing mengembek. Lenguhan sapi menyambutnya seperti dikomando.
"Kasan, kenapa kau lakukan itu?" tanya nenek
kepada Pakde angkatku dengan nada marah.
Kulihat Pakde Kasan tetap menunduk.
"Jawablah, San." Suara nenek makin memberat dan
nadanya kian tinggi. Lalu ia terbatuk-batuk. Aku merinding mendengarnya, walau aku tak
turut terlibat kasus itu.
"Karena saya tidak kebagian warisan," jawab
Pakde Kasan terkesan gugup.
Nenek, yang biasa dipanggil Simbok, berbatuk-batuk lagi.
Aku kuatir keadaannya kian memburuk. Tanpa sadar tanganku mengepal dan amarah menggumpal
di dada. Aku makin benci pada Pakde Kasan.
"Semua kebagian. Malah Kang Sarin dapat dua petak.
Tapi saya tidak," kata Pakde Kasan memprotes.
"Tapi bukan begitu caranya!" tiba-tiba Sarin,
bapakku, menyeletuk. Aku saksikan dengan jelas, tangan bapak mengepal. Bapak pasti jengkel
dan marah terhadap Pakde Kasan.
"Diam dulu, Sar," tegur nenek.
Semua terdiam. Hening sejenak. Suasana sangat kaku dan
tegang. Aku menahan nafas dan mengendalikan diri agar tidak menimbulkan suara yang
mencurigakan. Aku takut jika sampai kegiatanku mengintip dan menguping ini ketahuan. Bapak
pasti akan marah; bapakku selalu menasehati, anak kecil tidak boleh turut campur atau
mengetahui urusan orang-orang dewasa.
Malam terus merangkak pelan tapi pasti. Angin berhembus
kencang. Pakde Ranu merapatkan sarung yang membungkus tubuhnya.
"Kamu anak angkat, San," ujar nenek seperti
menghardik. "Usiamu masih terlalu muda saat itu. Belum disunat. Kamu datang ke dukuh
ini hanya dengan pakaian yang melekat di tubuh dan sarung kumal. Aku menemukan kamu tidur
di gardu ronda. Kamu minggat dari desamu. Katanya kamu nyolong kambing tetangga.
Uangnya buat main dadu. Kamu gemar nonton Tayub. Kamu anak bengal dan ndableg."
Pakde Kasan nampak gelisah. Nampaknya ia tidak suka jika
masa kecilnya diungkit-ungkit. Tapi ia tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali mendesah.
"Kamu tak tahu terima kasih." Nenek
menyilangkan tangannya dengan posisi bersedekap. "Karena perasaan kasihan, kami
memungutmu dan menjadikan anak angkat, lalu kamu disunatkan. Tapi menjelang dewasa kamu minggat
setelah menjual dua ekor kambing bapak angkatmu. "Sekarang kamu datang lagi ke dukuh
ini untuk bikin perkara."
"Jadi bagaimana, Mbok?" Bapak angkat bicara.
Nadanya agak tinggi. "Saya sangat dirugikan, Mbok. Tanaman jagung saya ludes
dibabatnya. Padahal dua bulan lagi sudah bisa dipanen. Kasan harus ngasih ganti
rugi."
Yah, yah, masalah itu aku sudah tahu. Pakde Kasan datang
lagi ke dukuh Toyomerto ini dan merusak tanaman jagung milik bapak. Dia iri terhadap
bapak, karena bapak mendapat warisan dari kakek dua petak tanah tegalan, sedangkan Pakde
Kasan tidak mendapat sepetak tegalan pun. Pelampiasan dari perasaan iri dan dengkinya
adalah membabat tanaman jagung milik bapak.
"Aku ini melarat. Tak punya apa-apa. Sedangkan sampeyan
punya kambing, sapi, dan tegalan. Kakang kaya. Dapat warisan dua petak lagi," jawab
Pakde Kasan.
"Salahmu sendiri," kata Bapakku.
"Kamu malas, San. Sudah bengal suka nyolong lagi."
Rupanya Pakde Ranu terpancing amarahnya.
"Jangan ungkit-ungkit lagi masalah itu!" Paklik
Kasan berdiri dan mengepalkan tangannya.
Nenek terbatuk-batuk. Lebih keras. Ia nampak sengsara.
Lalu tangannya sibuk memijit-mijit kepala dan bahunya. Rasanya aku ingin menghambur keluar
dan menolong memijit bahu nenek. Nenek nampak tertunduk lemas. Ya, Tuhan, tolonglah
nenekku, bisikku dalam hati. Sambil terbatuk-batuk, nenek berkata, "Kalian pulanglah.
Besok kita datangkan Pak Lurah dan Pak Kamituo. Satu persatu pulang ke rumah
masing-masing, kecuali bapak, karena bapak menempati rumah nenek dan bertanggung jawab
untuk merawatnya. Aku dan ibu juga turut merawat nenek dengan penuh kesabaran dan sayang.
Malam makin larut. Kutiup lampu teplok dan aku
me-ringkuk dalam sarung. Udara kian dingin. Aku menggigil dan sulit memejamkan mata. Aku
turut memikirkan jalan keluar dari persoalan rumit itu, walau aku yakin, jika aku
mene-mukan jalan keluar itu, pasti tak akan berguna, karena usulan anak kecil tak akan
diterima.
Dukuh terpencil itu sangat sepi. Hanya lenguhan sapi atau
kambing mengembek yang sekali-kali mengisi kegelapan malam. Jangkrik mengerik di
lubangnya. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara kera.
Kamarku bersebelahan dengan kamar nenek dan tempat
tidurku merapat ke dinding papan, sehingga aku bisa mendengarkan tarikan nafas nenek.
Malam itu aku ingin tidur di samping nenek sambil menjaga kalau-kalau nenek membutuhkan
pertolongan. Aku mencemaskan penyakit nenek yang sering kambuh jika menghadapi persoalan.
Tapi aku hanya bisa meringkuk menggigil karena udara kian dingin. Kasihan nenekku, bisikku
dalam hati, pada usia lanjut ia masih diusik oleh perselisihan anak-anaknya yang bersumber
pada persoalan tanah warisan.
Di dukuh itu hanya sedikit yang punya tegalan luas, kakek
salah satunya. Tanah tegalannya terdapat di be- berapa tempat. Di lereng bukit Bokong, di
pinggir hutan Toyomerto dan satu petak lagi di kaki sebelah timur Gunung Panderman.
Sebelum meninggal, kakek mewariskan tanah tegalannya kepada anak-anaknya. Pembagian itu
cukup adil. Hanya bapakku yang mendapatkan dua petak. Anak-anaknya yang lain tak ada yang
memprotes pembagian ini. Hal Ini dikarenakan bapak yang merawat nenek. Tapi timbulnya
kejadian itu sungguh tak disangka-sangka.
"Setelah bertahun-tahun, Kasan kembali lagi. Tak
kusangka. Dia selalu bikin perkara." Kudengar nenek menggumam lirih. Timbul
keinginanku untuk mengintip, menyaksikan nenek berbaring di atas dipan, mendengar
batuknya, dan jika terjadi apa-apa aku akan nekat menghambur ke kamarnya untuk memberikan
pertolongan.
"Sudahlah, Mbok. Jangan terlalu dipikir. Besok
diselesaikan sama Pak Lurah dan Pak Kamituo. Sekarang Simbok tidur saja. Sudah malam, lho
Mbok." Kudengar suara ibuku menghibur nenek. Hatiku lega, karena sudah ada yang
menunggui nenek.
"Mbok." Kudengar juga suara bapakku.
"Daripada jadi sumber perselisihan antar saudara, saya kembalikan te- galan yang satu
petak kepada Simbok. Terserah kepada Simbok bagaimana mengaturnya," lanjutnya
bapakku.
Kupikir bapakku bersikap bijaksana, meskipun ia harus
kehilangan satu petak tanah tegalan. Aku setuju dengan keputusan bapak dan ini sesuai
dengan jalan keluar yang telah kupikirkan. Aku juga percaya pada Pak Lurah, karena aku
tahu bahwa Pak Lurah, dimana pun akan bersikap bijaksana dalam menyelesaikan persoalan
yang terjadi di desanya.
* * *
Pada suatu sore yang cerah musyawarah
keluarga yang didampingi oleh Pak Lurah dan Pak Kamituo dimulai. Seperti biasanya
aku mengambil posisi yang enak untuk mengintip dan menguping pembicaraan. Dalam hati aku
berdoa, agar permasalahan ini segera diselesaikan, sehingga nenek tidak berlarut-larut
dalam kesedihan dan keprihatinan.
"Sarin telah mengembalikan satu petak ladang kepada
saya," kata nenek. Ucapan itu ditujukan kepada Pak Lurah dan Kamituo.
"Sekarang tinggal mengaturnya. Mbok." Pak Lurah
angkat bicara. "Bagaimana pun juga Kasan adalah anak angkat Simbok. Kebengalan Kasan
tolong dilupakan dulu. Ia tidak bernasib mujur seperti halnya kakang-kakangnya. Ia tidak
punya ladang maupun sawah. Kerjanya hanya buruh tani di desa lain. Seekor kambing pun ia
tak punya." Pak Lurah berdehem. Lalu ia melanjutkan titahnya, "Kalau bisa
persoalan ini jangan sampai menjadi besar, apalagi kalau sampai jotos-jotosan."
Dalam hati aku sepakat dengan kata-kata Pak Lurah.
Meskipun aku sudah berkelahi di belakang SD Inpres dengan teman-teman, tapi aku merasa
ngeri jika pakde-pakdeku jotos-jotosan.
"Tapi saya tidak akan memberikan tanah itu kepada
Kasan," tukas nenek. Nah, itu betul juga, batinku. Pakde Kasan tak boleh dikasih
hati, nanti malah minta jantung. Dia telah melakukan kesalahan yang merugikan bapak dan
nenek. Semestinya Pakde Kasan ngasih ganti rugi pada bapak.
"Maksud saya bukan begitu, Mbok," ujar Pak
Lurah. "Kalau saya boleh usul, tegalan yang satu petak itu dijual saja. Sebagian
uangnya buat Simbok. Simbok sudah tua. Uang itu bisa Simbok pergunakan untuk keperluan
Simbok. Yah, untuk beli jamu. Untuk nyandang yang pantas. Kalau perlu untuk berobat
di puskesmas atau di Rumah Sakit di kota. Sebagian lagi untuk Sarin. Bagaimana pun juga,
Sarin yang merawat Simbok. Juga Sarin yang dirugikan dalam masalah ini. Sebagian lagi
untuk Kasan. Biar Kasan bisa beli kambing atau sapi perah. Dan sebagian lagi untuk
amal."
"Maksud Pak Lurah?" tanya bapak memotong.
"Simbok sudah tua. Orang tua perlu beramal sebagai
bekal di akhirat nanti. Simbok bisa waqafkan sebagian uang hasil penjualan ladang itu
untuk perbaikan Langgar," kata Pak Lurah menjelaskan.
Nah, ini bijaksana namanya, kataku dalam hati. Nenek
butuh uang untuk berobat. Yah, nenek perlu di bawa ke Puskesmas di kota kecamatan, agar
penyakitnya sembuh, agar tidak ngak-ngik lagi tidurnya, agar nenek bisa sering mendongeng
tentang kancil, tentang wewegombel. Oh, iya, amal jairiah itu bagus kata ustad
Dullah. Untuk bekal di akhirat nanti.
Kulihat nenek manggut-manggut. Sementara bapak dan Pakde
Ranu terlihat kurang senang.
"Bagaimana, Mbok?" tanya Pak Lurah.
Suasana hening sejenak. Barangkali masing-masing sibuk
dengan pikirannya. Setelah agak lama barulah nenek mengeluarkan keputusannya.
"Ya, saya setuju. Tapi, bagaimana dengan anak-anak
saya yang lain?" Nenek mengedarkan pandang kepada anak-anaknya.
Mereka mengangguk. "Jadi semua sudah setuju."
Pak Lurah mengambil kesimpulan.
"Lalu bagaimana dengan tanaman jagung saya Pak
Lurah?" Bapakku bertanya.
"Nah itu tanggungjawab Kasan. Ia wajib memberikan
ganti rugi," kata Pak Lurah sambil memandang ke arah Pakde Kasan.
* * *
Perselisihan itu akhirnya dapat diselesaikan. Sebagai
ucapan terima kasihnya, nenek mengirimkan securung pisang dan ayam jago kepada Pak
Lurah dan Kamituo. Satu hal yang mententramkan hatinya -- demikian menurutku -- adalah
bahwa ia telah beramal menyumbang sebagian hasil penjualan tanah untuk perbaikan langgar,
meskipun ia sendiri tidak tahu berapa besar uang yang disumbangkan. Nenek mempercayakannya
pada Pak Lurah. Aku membenarkan tindakan nenek ini, karena Pak Lurah cukup bijaksana.
Tetapi yang masih menyedihkan hatiku, penyakit nenek tidak juga sembuh. Nenek masih sering
batuk-batuk dan aku turut menungguinya, meskipun ibuku melarang, karena aku tidak boleh
tidur terlalu malam.
Malam itu nenek nampak terbaring di kamarnya. Ibuku
sedang menggoreng kopi di dapur dan bapak pergi entah kemana. Mungkin sedang menghalau
kera di ladang.
"Gus, kalau sudah besar nanti, kamu mau jadi
apa?" tanya nenek dengan suara lirih. Lalu beliau terbatuk-batuk. Kupijit-pijit
pundakknya. Aku menyesalkan, semestinya nenek tidak perlu banyak bicara. "Ingin jadi
apa, Gus?" ulang nenek.
"Ingin jadi Lurah, Mbok," jawabku.
"Bagus. Jadilah lurah yang baik dan bijaksana. Lurah
yang tidak suka menipu warganya sendiri," pesan nenek. Kata-kata yang keluar dari
mulutnya agak tersendat-sendat. Kupikir nenek mesti segera dibawa ke puskesmas, kalau
perlu di Rumah Sakit di kota.
Nenek kembali terbatuk-batuk dan aku semakin sibuk
memijit-mijit. Lalu nenek memejamkan matanya. Nafasnya lemah sekali. Kukira nenek tidur.
Tiba-tiba telingaku menangkap suara-suara yang datangnya
dari ruang tamu. Dengan berjingkat-jingkat aku melangkah ke pintu kamar dan menajamkan
pendengaranku.
"Kita harus laporkan pada Simbok!" Itu suara
Pakde Ranu.
"Jangan sekarang. Nanti pikiran Simbok kacau. Bisa
kambuh lagi sakitnya," kudengar suara lain yang kukenal sebagai suara bapakku.
"Tapi bagaimana? Kita telah ditipu mentah-mentah.
Sebagian besar uang hasil penjualan tanah masuk kantong Kasan dan Pak Lurah, serta Pak
Kamituo. Simbok kebagian sedikit. Waqaf untuk Langgar hanya seratus ribu. Ternyata tanah
itu dijual dengan harga enam juta. Sedangkan yang kita tahu hanya tiga juta!" kata
Pakde Ranu terkesan sangat berang.
"Wah! Laknat si Kasan. Terkutuklah Pak Kamituo dan
Pak Lurah. Mereka telah bersekongkol untuk menipu!" umpat bapakku.
"Ssttt! Jangan keras-keras. Nanti Simbok
dengar," kata Pakde Ranu. Kutatap wajah nenek dengan pandangan iba. Wajah nenek putih
pucat dan tak kudengar lagi desahan nafasnya. Dengan terburu-buru aku mendekat.
"Mbok," panggilku keras sambil
menggoyang-goyangkan pundaknya. "Mbok, Mbok...Mbok!"
Nenek diam saja.
* * *
|