Menolak Panggilan Pulang
Diterbitkan
oleh CV Media Pressindo, Yogyakarta, Cetakan I Juli 2000
Kisah dramatis
kehidupan suku Bukit di pedalaman Kalimantan: tentang kearifan
dan kesetiaan terhadap nilai adat; cinta anak-anak kepala adat
yang berbeda pandang dalam menyikapi kaumnya yang terasing;
ambisi pribadi yang mendorong terjadinya pengkhianatan; konflik
kepentingan yang tak terselesaikan. Dan, "Malapetaka itu
akhirnya menghanguskan segalanya...." Tapi, cinta ingin
tetap dipertahankan walau ia terusir dari tanah terasing.
Sinopsis
Anak penghulu itu kelak meneruskan tugas dan kewajiban
ayahnya jika sang ayah meninggal. Tetapi, ketika 11 tahun usianya, ia terserang sakit sehingga mencemaskan seluruh warga Balai
Bidukun. Ketika ia sembuh, orang dari kota membawanya ke
Kandangan untuk disekolahkan.
Maka, ilmu dan nilai-nilai baru pun ia terima, nilai-nilai
yang tentu berbeda dengan di Bukit, yang modern, yang tidak
primitif, dan yang akhirnya meluruhkan nilai-nilai kesetiaan
kepada adat tanah leluhurnya, termasuk melupaka sumpah bahwa kelak ia akan senantiasa setia dan mengabdi kepada
Bidukun. Jika ia melanggar, ia bersedia menerima hukuman secara
adat. Tetapi cintanya kepada putri Kepala Suku Balai Jalay,
Aruni, tetap mengikatnya kepada Malinu. Sungguh batinnya penuh
kontradiksi. Ketika ia lulus SMA, dan ia kembali ke Malinu--saat
itu jalan tembus sudah dibangun-- ia ingin memboyong Aruni ke
kota, meninggalkan Malinu yang tetap terasing. Tetapi sang gadis
pujaan tak hendak lepas dari kaumnya. Ia ingin selamanya mengabdi
kepada suku Bukit, untuk membebaskan dari keterasingan,
keterpencilan, kebodohannya, tetapi tidak meninggalkan
nilai-nilai adat suku Bukit.
Dan, demi sebuah ambisi, Utay diperalat oleh perusahaan hutan
tanaman industri agar mau melobi orang-orang Bukit untuk menanam
sejuta pohon sengon. "Tapi kami tak perlu sengon. Kami tak
biasa menanam pohon itu, kami hanya menanam padi. Jangan paksa
kami," tolak warga Malinu.
Segalanya berakhir pada sebuah pertarungan dahsyat: Utay
berkeras membela PT Rimba Nusantara, tempat ia bekerja, itu semua
dilakukan demi ambisi meski harus mengorbankan sukunya sendiri.
Maka, semuanya berakhir pada api yang berkobar, membakar seisi
desa, dan Utay melarikan diri.... Bagaimana dengan Aruni yang
ternyata sudah hamil di luar nikah dan itu merupakan pelanggaran
adat yang paling besar dan mesti menerima kutukan dewa dan roh leluhur?
Kata Pengantar
Oleh Bakdi Soemanto
Ngarto Februana lahir tiga puluh dua tahun yang lalu. Ia adalah alumni
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada (1995); sudah
barang tentu ia sangat paham dengan sejumlah teori sastra yang dibawa Prof. A.
Teeuw dari Eropa, dan kemudian menjadi salah satu landasan sangat berpengaruh
bagi pemahaman sastra akademik, setelah dikembangkan oleh tokoh-tokoh ilmu
sastra di UGM, misalnya Prof. Dr. Chamamah Suratno, Prof. Dr. Rachmat Djoko
Pradopo, Dr. Imran T. Abdullah, Dr. Faruk H.T., Dra. Sugihastuti, dan lain-lain.
Namun demikian, menulis novel, cerita pendek, lakon, atau puisi, tidak ada
hubungannya dengan teori-teori itu. Menulis karya kreatif erat kaitannya dengan:
(1) kedalaman wawasan penulis kepada kehidupan; (2) ketelatenannya melatih diri
dalam hal mengolah bahasa-kata, yang merupakan wahana ungkap utama untuk
menciptakan sastra; (3) luas pergaulannya dengan berbagai lekuk-liku kehidupan;
dan, (4) bakat kepengarangannya (authorship). Perkenalan saya dengan dia
memberikan petunjuk bahwa Ngarto Februana adalah penulis yang memberikan kepada
pembacanya suatu janji akan hasil-hasil karyanya yang kelak akan cukup
menggetarkan. Karena itulah, adalah haknya untuk terus-menerus memperoleh
kesempatan karyanya dipublikasikan dan ditanggapi. Ibarat pemain bulutangkis,
suksesnya di arena pertandingan, antara lain, akan sangat ditentukan oleh
frekuensi kesempatannya mengadu kemampuannya untuk digunakan sebagai bahan
refleksi seberapa tinggi derajat kehebatan yang sudah dicapainya. Berangkat dari
alasan inilah saya memberanikan diri menerima permintaan dari penulis novel ini
untuk menulis kata pengantar ini.
II
Menolak Panggilan Pulang berbicara tentang kisah manusia di wilayah Loksado, di pedalaman Kalimantan
Selatan. Disebut "tanah terasing"
karena wilayah itu dapat dikatakan terpencil, dan jauh dari kota. Tampaknya,
seperti dilukiskan dalam novel ini, penduduk di wilayah itu memeluk authoctonous
religion, kepercayaan setempat, yang manifestasinya adalah penghormatan
kepada roh-roh. Dikatakan pada halaman-halaman awal novel ini, "Warga
Balai Bidukun panik. Setan-setan dan roh jahat bagaikan berhamburan dari
lubang-lubang persembunyian. Meniupkan malapetaka. Berkeliling dan bersorak
gembira. Berpesta pora minum darah korbannya yang tak berdaya, menunggu maut
menjemput." Bagi saya, inilah setting tempat yang sangat
penting dan menentukan untuk memahami novel ini. Setting itu, kemudian,
menjadi unsur pokok pencipta suasana, yang bergerak, berkembang, secara dinamis
dalam seluruh novel itu. Bahkan sekaligus menjadi semacam vision du monde, jika
mau meminjam istilah Lucien Goldman, atau "pandangan dunia", yang
dibentuk dan kemudian membentuk alam pikir orang-orang yang dilukiskan dalam
novel itu.
Bagi saya, munculnya roh-roh yang mengamuk, memberikan indikasi bahwa wilayah
ini adalah tempat yang memang sungguh-sungguh terasing, seperti diisyaratkan
oleh judul novel ini, yakni dalam artian "tanah pedalaman", semacam the
eart land, yang letaknya jauh dari wilayah pantai. Disebut terasing sebab
walaupun ada Sungai Amandit yang menjadi jalan penghubung ke Kota Kandangan1,
sebagai sarana orang-orang di desa-desa Loksado itu menjual bambu, tidak membawa
akibat perubahan pada masyarakat di Desa Malinau. Ini menarik untuk dipersoalkan,
dalam arti, bagaimanakah sifat kontak-kontak kebudayaan antara wilayah maju dan
wilayah asli ini terjadi. Dalam novel ini, Ngarto Februana, tampaknya, tidak
sempat mengeksplorasi kontak-kontak kebudayaan yang terjadi. Memang, dalam novel
ini dilukiskan adanya perubahan, misalnya tanah di perbukitan yang semula lebat
dan kemudian, karena penebangan pohon hutan secara besar-besaran, mengakibatkan
wilayah itu berubah menjadi padang ilalang. Namun demikian, kontak kebudayaannya
itu sendiri, dialog budayanya itu, tidak sempat terlukiskan. Tentu saja, ini
soal pilihan. Karenanya, keterasingan Desa Malinau, yang menjadi latar tempat
utama terasa tampak jelas. Pembaca bisa membayangkan, ibarat Pulau Kalimantan
itu selembar taplak meja berwarna hijau atau biru polos tergelar, ada bagian-bagiannya
yang basah atau bekas-bekas bagian yang basah itu, dan tampak sangat mencolok,
mungkin bahkan menggetarkan. Karenanya, sebagai suatu construct pikiran,
jika dipandang secara struktural, situasi keterpencilannya itu sendiri mendukung
situasi keterasingan Desa Malinau itu, sehingga dari sudut setting tempat
seluruh novel ini tampak utuh.
Novel ini, dimulai dari sang protagonis yang terserang penyakit. Sakit yang
diderita oleh tokoh utama ini, bocah bernama Utay, tampaknya menjadi awal dari
seluruh kisah, hingga novel ini berakhir.
Awal novel ini dipersiapkan dengan cukup cermat. Pertama, si bocah, Utay,
terkena penyakit, yang, karena dia adalah putra pemimpin adat desa itu, menjadi
perhatian seluruh penduduk setempat. Orang-orang yang berkerumun sempat sangat
cemas dengan penyakit yang diderita si bocah, sebab, "Ia tidak boleh mati. Dialah pengganti ayahnya kelak"
(hal. 4). Dilihat dari teori penyutradaraan, sejak awal Utay sudah disiapkan menjadi
fokus. Dan, tatkala
akhirnya Utay sembuh, semua orang bergembira dan mensyukuri karenanya, toh
penghulu itu tetap berduka. "Malapetaka akan datang, Asuy" (hal.
9), kata penghulu itu, yang menjadikan Asuy, salah seorang penduduk desa itu,
bengong, tak paham. Ucapan kepala adat ini juga sangat penting diperhatikan.
Sebab, dengan ucapan itu, saya, selaku pembaca, dipaksa untuk terus menikmati
novel ini sambil bercemas-cemas apa yang akan terjadi di desa itu. Ketiga,
walaupun penduduk setempat masih memegang teguh adat-istiadat setempat, namun
cukup merasa bangga kalau ada salah seorang anaknya yang berhasil tamat, paling
sedikit, sekolah dasar. "Dia lulus sekolah dasar. Pada tahun ini dialah
satu-satunya anak di desa ini yang bisa menamatkan sampai sekolah dasar."
Wajah penghulu memancarkan rasa bangga terhadap anaknya (hal. 11). Namun,
tatkala salah seorang tamu, yang bernama Rohaimi, mengusulkan agar Utay bisa
melanjutkan sekolah ke SMP di kota, penghulu menolak gagasan itu. Mula-mula
dengan alasan tidak ada uang untuk itu. Kemudian, ditegaskan bahwa,
"Selain itu, Utay tak mungkin setiap hari harus pulang-balik dari Malinau
ke kota." (hal. 11). Dan tatkala masalah itu, menurut Rohaimi, bisa diatur, Pak Penghulu menghindar dari pembicaraan lebih
lanjut. Keempat, melalui narasinya, Ngarto Februana mengungkapkan bahwa sebenarnya "kira-kira dua
puluh tahun, wajah Loksado berubah. Kehidupan suku Bukit yang tenang dan damai
terusik oleh mesin-mesin gergaji yang mengamuk, membabat pohon-pohon besar.
Perbukitan yang dilapisi dengan hutan belantara berubah jadi padang ilalang.
Binatang hutan seperti hirangan (kera besar berbulu hitam dan berekor panjang), babi
hutan, pelanduk, dan beruang menyingkir, mencari tempat yang
masih aman buat kelangsungan hidupnya. Demikian pula dengan suku Bukit. Mereka
menyingkir dan tergusur" (hal. 13). Dan, seperti dikatakan oleh penghulu,
"Malapetaka betul-betul datang" (hal. 14).
Apa yang menarik? Barangkali karena Ngarto Februana banyak berkesempatan
bergaul dengan teori-teori sastra, setidaknya, secara teknis, ia berhasil
menyusun bagian awal dari novel ini sebagai exposition yang lengkap. Ini artinya, saya didorong
berspekulasi, betapapun konon, kata para ahli,
kreativitas sastra tidak ada hubungannya dengan teori-teori bersastra, namun,
dalam hal teknis, ternyata, teori sastra mampu pula memberikan sumbangannya yang
nyata. Contoh lain, bisalah pembaca mengenang tatkala pembaca menikmati sebuah
novel karya Albert Camus (1964) yang berjudul L'estrager alias
"Orang Asing" itu. Pembaca yang pernah menikmati, saya pikir akan
sependapat dengan saya, bahwa novel itu "terlalu" sempurna, dalam arti
teknis. Dan itu terjadi, mungkin, karena Camus memang suka menggeluti
teori-teori sastra tatkala masih mahasiswa di fakultas filsafat. Saya tidak
mengatakan novel Ngarto Februana sangat sempurna, tetapi kalau nanti pembaca
menikmati sendiri, akan melihat dan kemudian merasakan bahwa apa yang diungkap
di depan, merupakan semacam rumusan masalah yang akan dibahas dalam corpus novel
ini. Jelasnya, eksposisi, atau yang oleh dosen-dosen IKIP sering disebut dengan
istilah pemaparan, memberikan kunci seluruh persoalan yang menjadi jiwa
novel ini.
Utay, anak Penghulu Bidukun, yang sakit itu, ternyata, seperti dikatakan Yun,
"Aruni dan Utay berciuman! (hal. 111), akibatnya, setelah mendengar
laporan itu, Kepala Penghulu bagai disambar petir (hal. 111). Perbuatan
Utay dan Aruni, yang sebenarnya secara adat sudah direncanakan akan
diperjodohkan, dianggap sebagai pamali, yakni terlarang atau tabu.
Pelanggaran ini akan kena murka roh leluhur dan para Dewa. Bagaimana pula
dengan kata orang nanti, jika kejadian ini sampai menyebar: Putri Penghulu Jalay
berciuman dengan putra Penghulu Bidukun! (hal. 111). Pada titik ini,
kembali Utay menjadi fokus perhatian. Namun, berbeda dari perhatian pada awal
kisah, kali ini berbalikan. Jika yang pertama diperhatikan itu bersifat simpati
kepada si sakit, yang kedua, perhatian bersifat kekecewaan, bahkan dianggap
sebagai destruktif.
Akan tetapi, apa sebenarnya yang telah terjadi? Peristiwa berciuman itu
terjadi di sungai. Dari dialog yang terjadi antara Utay dan Aruni, tampak bahwa
Utay, sebenarnya, sudah memiliki wawasan yang berbeda. Utay ingin bekerja di PT
Rimba Nusantara, di Kota Kandangan. Ia bahkan menolak permintaan gurunya, Pak
Husein, untuk menjadi guru (hal. 94). "Tekadku sudah bulat,"
tukas Utay (hal. 94). Bahkan, tatkala Aruni mengingatkannya bahwa ia kelak harus
menggantikan ayahnya sebagai penghulu, Utay menjawab, "Biar dipimpin
orang lain" (hal. 94). Yang menarik, dalam benak Utay muncul pikiran
sangat demokratis. "Aku tidak mau jadi penghulu, maka orang lain yang
akan dipilih jadi penghulu. Seperti di Maramis. Semua orang turut memilih"
(hal. 94). Tak hanya itu, Utay pun menegaskan pandangannya: "Runi, kalau
kamu jadi istriku nanti, kamu tinggal di Kandangan, jika aku nanti ditempatkan
di Kandangan. Atau mungkin di Rantau, bila aku ditempatkan di sana. Kamu pasti
senang tinggal di kota. Ramai dan banyak hiburan. Penduduknya maju. Tidak
seperti di Bukit. Primitif!" (hal. 94). Bagi Aruni, sikap Utay akibat
"pengaruh orang kota! Pengaruh sekolahan!" (hal. 94). Yang dikatakan
Aruni tentu saja sangat benar. Sekolah adalah agent of change. Jika demikian, yang dikhawatirkan oleh ayah si Utay memang
benar. Mungkin, alasan ia
tidak menyetujui bahwa melanjutkan pendidikan ke Kandangan Utay akan bolak-balik
Malinau-Kandangan hanyalah ungkapan yang tercetus; ada yang lebih dalam lagi
yang dicemaskan tetapi tak terkatakan, yaitu goyahnya seluruh jagad Malinau,
karena terjadi pergeseran unsurnya. Bumi di Malinau akan gonjang-ganjing, langit akan kelap-kelap katon lir gincanging
aris, Sungai Amandit akan kocak dan perbukitan di Desa Malinau akan
manggut-manggut, dan sabarang
dinulu akan moyag-mayig. Bagi penduduk setempat, peristiwa itu
adalah zaman edan, sementara bagi mereka yang paham akan apa yang disebut
masyarakat akan melihatnya sebagai perubahan sosial. Dan perubahan masyarakat
itu, seperti sudah dikemukakan pada awal tulisan, tak lain akibat kontak-kontak
dengan kebudayaan di luar lingkungan yang tidak bisa dicegah.
Dalam sebuah bukunya yang sangat penting sekaligus sangat indah, Semangat
Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1985), Prof. Dr. H. Umar Kayam telah
menyaksikan dan sekaligus meramalkan berbagai perubahan sosial yang sudah dan
akan terjadi di seluruh wilayah Nusantara. Adapun perubahan sosial dimaksud
adalah mencairnya kebudayaan-kebudayaan setempat dari sifatnya yang homogen
menjadi lebih heterogen; dan yang lebih penting lagi, penerus-penerus
nilai-nilai budaya setempat tidak lagi dapat diharapkan adanya kerena
orang-orang muda pergi meninggalkan tempat asalnya untuk memburu ilmu, seperti
yang terjadi di Mahadumuk, di perbatasan Kalimantan dan Brunei Darussalam, di
sebelah utara jauh dari Desa Malinau yang dilukiskan Ngarto Februana.
Karena itu, perubahan alam yang terjadi di Perbukitan, tatkala perusahaan
penebangan membabat pohon-pohon tanpa upacara (hal. 13), adalah bagian dari
gempuran-gempuran nilai dari luar yang memorak-porandakan keadaan fisik;
sementara dari dalam, perubahan dipercepat melalui pergeseran wawasan. Novel ini
terasa sangat menggigit karena perubahan dari dalam itu justru dipelopori oleh
Utay, seorang pemuda putra penghulu sendiri. Karena itu, sebagai pembaca, saya
merasakan betapa getirnya yang dirasakan Penghulu Bidukun itu. Perasaan cemas
tatkala Utay sakit, seperti dilukiskan pada awal novel ini, berubah menjadi
kejengkelan luar biasa, dan mungkin Penghulu Bidukun menyesal mengapa anak itu
tidak mati saja kalau akhirnya justru membawa "malapetaka" bagi desa
adat itu. Apalagi tatkala Utay sudah mulai bekerja di Kandangan, tatkala pulang
ke Malinau, cara ia menyapa Aruni berubah sama sekali, "Hallo, sayangku!"
Sangat jelas, kata-kata seperti itu muncul akibat pengaruh kehidupan di
Kandangan. Di kota, kata-kata seperti itu bukanlah hal yang aneh. Yang menarik,
mungkin cara Utay mengucapkan kata-kata itu dengan tekanan yang sedikit over
acting, sehingga menampakkan gejala sebagaimana orang yang baru pertama kali
berkenalan dengan kebudayaan baru.
Pada titik ini, suasana kontras sangat terasa. Yang membawa kebudayaan baru
bersikap over acting, yang mempertahankan kebudayaan lama bertahan keras
dengan cultural resistance-nya. Bayangkan saja, jika ia kemudian datang
lagi ke desanya dengan jeep Hartop hijau muda (hal. 123) bahkan secara sangat
mencolok, Jeep itu berhenti di jalan tembus … (hal. 123). Maka tidaklah
mengherankan jika Anak-anak berlarian mendekati jeep (hal. 123). Mereka
mengagumi kendaraan modern itu. (hal. 124).
Walaupun cara Ngarto Februana bercerita sangat sederhana, using plain and
simple language, kalau menurut istilah Dr. Djuhertati Imam Muhni, M.A., namun, bahasa biasa-biasa
itu, dalam pengalaman pembacaan, sangat engaging, memikat,
setidaknya bagi saya. Sebab, apa yang dikemukakan Ngarto Februana, menurut
istilah Edmund Sihui-Maho, seorang kritikus sastra asal Hong Kong, hal seperti
itu, hingga kini masih terjadi. Di pabrik-pabrik gula, orang masih
menyelenggarakan upacara yang disebut dengan istilah cembengan, pada saat
mengawali giling. Upacara itu, walaupun banyak ragamnya, intinya memuliakan
mesin-mesin giling itu, agar pada saat giling nanti tidak macet. Orang-orang
masih berpendapat bahwa mesin-mesin itu dijaga oleh roh-roh, yang apabila
roh-roh itu marah, mesin bisa mendadak tidak mau bekerja. Para mekanik
mengatakan mesin itu rusak. Tapi bagi para pekerja dan mungkin juga pimpinan
pabrik, mesin itu terkena gangguan. Untuk menghindarinya, diperlukan sesaji.
Pengalaman saya melakukan penelitian petani tebu di wilayah Jepara dan Jawa
Timur menunjukkan kenyataan itu. Ini memberikan isyarat bahwa dalam menghadapi
teknologi maju, terkadang, dalam banyak hal, kita masih sangat gamang. Salah
satu sumber sebabnya, kita tidak dipersiapkan untuk banyak bertanya dan
mempertanyakan fenomena yang ada, tetapi dididik menerima begitu saja tanpa
mempersoalkannya. Karena itu, betapapun dahsyatnya teknologi maju itu,
kehadirannya sering tidak membawa perubahan wawasan; kita tak menjadi lebih
kritis, tetapi sebaliknya justru memasukkan jagad teknologi itu ke dalam wilayah
alam pikir kita yang mistis. Maka, teknologi itu ditangkapnya sebagai wonders
of the world, sesuatu yang mengagumkan, dan diterima sebagai bagian dari
keajaiban magis, tetapi bukan sebagai prestasi yang dicapai manusia lewat
peradaban. Tidaklah mengherankan jika Mereka seakan melihat Utay seperti anak
dewa. Gagah dan tampan (hal. 124).
Dalam pembicaraan antara Penghulu dan Utay, sebenarnya adegan dialog antara
ayah dan anak, yang terjadi adalah pertentangan pendapat. Pertentangan itu bukan
sekadar masalah setuju dan tidak setuju, tetapi berangkat dari wawasan yang
berbeda. Utay dan tiga orang temannya ingin menanam sengon, akasia, sungkai;
sementara Penghulu menghendaki agar tanah ditanami padi dan cabai. Persoalannya
bagi Utay bahwa sengon, secara ekonomi, mendatangkan laba banyak: "Tapi,
Bah, ini menguntungkan kita". (hal. 126). Pengertian menguntungkan bagi
Utay sangat berbeda dari yang dipahami Penghulu.
Bagi Utay, pengertian "menguntungkan" berarti kesejahteraan
secukupnya yang berdimensi kosmologis. Karenanya, begitu mendengar bujukan Utay,
Penghulu marah. "Diam! Seharusnya ikam berpihak pada Malinau (hal.
127). Tampaklah di sini bahwa datangnya teknologi maju tidak hanya menimbulkan
masalah skill atau keterampilan menguasainya, tetapi juga wawasan "kefilsafatan"
yang menjadi roh di belakangnya.
Apa yang tampak? Bagi saya, teknologi dan wawasan kota telah membawa Utay
pada sikap demitologik terhadap lingkungan lamanya. Memang, seperti dilukiskan
oleh Inkeles (1970), dalam bukunya yang terkenal, Becoming Modern, teknologi
maju yang datang dari kebudayaan Barat, membebaskan manusia dari kungkungan
legenda dan mitologi. Itulah sebabnya orang mengatakan, pendidikan membebaskan
manusia dari alam pikir mistis. Akan tetapi yang perlu dipersoalkan, aspek
manakah dari teknologi maju yang mampu membebaskan manusia dari padangan
takhayul itu? Teknologinya sendiri yang berarti kemampuan skill, keterampilan,
atau wawasan kefilsafatannya yang berlandaskan sikap senantiasa bertanya?
Hal yang menarik pula dalam novel ini, sebenarnya pergulatan antara adat pada
satu pihak dan dorongan alamiah manusia pada pihak lain. Tatkala Utay mulai
berkenalan dengan kehidupan kota, sebenarnya, umurnya sudah cukup dewasa. Ia
mulai diganggu oleh dorongan-dorongan dari dalam, berdekapan, berciuman,
meremas-remas buah dada, dan tindakan-tindakan lanjutan, yang intinya bersumber
pada kebutuhan untuk menyatakan diri sebagai makhluk laki-laki di ambang dewasa.
Tetapi, apabila dorongan itu dilaksanakan yang terjadi adalah pamali ,
yakni perbuatan tabu. Pandangan tentang yang tabu dan tidak ini mulai luntur
pula pada Utay, sebelum ia pergi ke Kandangan untuk bekerja di PT Rimba
Nusantara.
"Jangan! Jangan!" pekik Aruni. "Aku takut pada Dewa dan roh
nenek moyang!"
Utay berhasil mencium bibir Aruni. Kali ini Aruni tidak menangis lagi. (hal
96).
Kutipan ini sangat menarik diperhatikan. Pertama, Utay yang sudah berkenalan
dengan kebudayaan kota mulai cuek dengan soal tabu dan tidak tabu. Namun,
sebenarnya, masalahnya ada yang lebih dalam lagi. Ketiadaan pertimbangan akan
hukum adat, naluri alamiahnya semakin menggelora. Ini artinya, hukum adat
berhadapan dengan hal-hal yang sifatnya naluri manusia. Kedua, Aruni yang semula
menangis, setelah dicium, dikatakan tidak menangis lagi (hal 96). Tampaknya, pergulatan antara hukum-adat atau larangan agama dengan dorongan
alamiah manusiawi ini universial adanya. Dalam tradisi sastra Inggris, orang
bisa membaca sebuah novel karya D.H. Lawrence (1967) yang berjudul Lady
Chaterley's Lover ; tradisi sastra Prancis menghadirkan karya Gustav
Flaubert (1975) Madame Bovary ; tradisi sastra Amerika melahirkan sebuah
novel karya Nathaniel Hawthorn (1960) berjudul Scarlet Letter ; tradisi
sastra Rusia menyajikan sebuah novel raksasa karya Leo Tolstoy (1961) berjudul Anna
Karenina. Novel-novel kelas dunia itu melukiskan pergulatan antara larangan
adat plus larangan yang termaktup pada ajaran agama dengan dorongan almiah
manusia. Sikap menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang itu,
dalam novel-novel tersebut, selalu menampakkan bias antara dimensi moral-religius
dan dimensi moral-kelas sosial. Dengan menggunakan alasan bahwa yang dilakukan
oleh tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novel dimaksud adalah melanggar moral
agama, sebenarnya, tersirat juga nuansa mempertahankan kemurnian kelas sosial,
agar tetap terpandang sebagai kelompok masyarakat terhormat. Nuansa demikian
juga tampak pada novel Ngarto Februana. Tindakan berciuman di sungai (hal 96)
dan bahkan akhirnya, Di sana, ia melepaskan rok yang dikenakan Aruni. Gadis
itu terbaring pasrah. Bahkan ketika Utay menindihnya (hal. 131) adalah
tindakan terkutuk oleh adat, yang akan dapat menimbulkan amarah para Dewa, dan
sekaligus akan meruntuhkan kedudukan derajat dan kehormatan orang tua mereka
sebagai penghulu.
Ini artinya, rontoknya Desa Malinau sebagai wilayah kesatuan kosmologis
didorong dari dua arah. Pertama, arah fisik, dengan datangnya teknologi dan
wawasan ekonomi; dan kedua, dari dalam sendiri, karena gempuran alamiah
manusiawi.
III
Bagi saya, novel ini menarik sekali. Pertama, novel sangat sarat dengan warna
lokal, yang mirip satu laporan penelitian antropologis, dengan alamat pengamatan
etnografi. Dengan membaca novel ini, kita banyak belajar tentang suatu suku yang
sebelumnya tidak pernah kita kenal. Mungkin, jika situasi di desa itu ditulis
oleh seorang peneliti, hasilnya tidak menarik bagi orang awam seperti saya.
Tetapi dengan ditulis dan disajikan dalam bentuk novel, yang dijalin dengan
kisah percintaan adat dalam suatu perspektif perubahan sosial, pelukisan
antropologis dalam novel ini lebih mudah dicerna. Kedua, novel ini ditulis
dengan teknik bercerita yang cermat; ada kesadaran menyusun suatu construct yang
utuh, sehingga yang terlukis di awal novel ini merupakan pemaparan masalah pokok
yang berkembang pada penceritaan berikutnya. Ketiga, melalui novel ini, seperti
halnya novel berjudul Bekisar Merah karya Ahmad Tohari (1993) maupun
sebuah novel berjudul The Last of the Mohican karya James Flenimore
Cooper (1947) menampakkan bahwa datangnya teknologi maju di satu wilayah
"tertutup" tanpa persiapan mental dan intelektual penduduk setempat
akan membawa kehancuran desa itu. Keempat, dalam novel ini, untuk kesekian
kalinya, seperti telah dilukiskan oleh banyak karya sastra, senantiasa
pergulatan antara dorongan alamiah manusiawi dengan hukum adat dan moral
religius terus terulang sepanjang sejarah manusia, di mana pun dan kapan pun.
Kelima, menurut pengakuan Ngarto Februana sendiri, novel ini ditulis atas dasar
pengamatannya langsung pada wilayah ini, tatkala ia mendapat kesempatan tinggal
di desa ini selama beberapa bulan dalam rangka KKN, Kuliah Kerja Nyata, pada
tahun 1993. Dengan Kuliah Kerja Nyata yang singkat itu, tampaknya, Ngarto
Februana memanfaatkan kesempatan itu dengan masuk dan berkuliah di universitas
kehidupan. Ia, tidak seperti mahasiswa-mahasiswi lain, yang biasanya dalam
KKN memberi pelajaran, kursus, atau melatih keterampilan penduduk setempat,
Ngarto Februana justru belajar. Dia, saya bayangkan, di Desa Malinau,
mendengarkan para "mahaguru" memberi kuliah kepadanya tentang arti
pergulatan dalam hidup. Para mahaguru itu mungkin justru orang-orang di desa
setempat yang pendidikannya paling tinggi sekolah dasar, bahkan mereka yang
belum sempat belajar membaca. Ia juga berkuliah dengan mendengarkan
kebijakan-kebijakan hidup yang diberikan lewat suara angin yang menggoyangkan
daun-daun; aum binatang-binatang buas, dan gunung-gunung. Ngarto Februana
mencatatnya pada kertas jiwanya, dengan pena yang digerakkan oleh "tangan-roh"nya,
setelah ditangkap dengan mata dan telinga-hatinya. Karena itu, walaupun di
sana-sini novel ini masih menampakkan kelemahan, karya ini merupakan teladan
bagi mahasiswa-mahasiswi yang akan berangkat KKN, dari jurusan atau fakultas apa
pun dia.
Lalu, bagaimana akhir cerita novel ini? Kiranya kurang etis jika saya sajikan
di sini. Terus terang, tugas saya hanya memancing keinginan pembaca untuk
berkonfrontasi sendiri dengan novel ini, di suatu malam panjang, dalam kamar,
sambil merenung-renung.
Nah, selamat membaca.
Daftar Bacaan
Camus, Albert (1964)., L'estranger, Librairie Larousse 17, rua du Montparnasse, 75298 Paris.
Coopers, James Fenimore, 1947., The Last of the Mohicans, Chales
Scribner's Sons, New York.
Flaubert, Gustave, 1975., Madame Bovary, Signet Classic, Penguin Book,
USA.
Hawthorn, Nathaniel, 1960., Scarlett Letter, Signet Classic, Penguin
Book, USA.
Inkeles, 1970., Becoming Modern, Vintage Book, New York.
Kayam, Umar, 1985., Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, PT
Gramedia Jakarta.
Lawrence, DH, 1975., Lady Chaterley's Lover, S Signet Classic, Penguin Book,
USA.
Tohari, Ahmad, 1993., Bekisar Merah, PT Gramedia Buku Utama, Jakarta.
Tolstoy, Leo, 1961., Anna Karenina, Classic-Batam., Incop., New York.
|