Penipuan

Cerpen Ngarto Februana

Tak terduga dan tak pernah terbayang bahwa nama Joni Sumarta akan demikian tercemar. Kasus perselingkuhan dan penipuan itu demikian memukulnya.

Hari masih pagi. Kantor masih sepi. Seperti biasa, Joni datang paling awal di kantor--kecuali office boy, tentu. Memang, Joni selama ini dikenal sebagai karyawan yang paling disiplin. Datang paling awal, pulang paling akhir. Membolos? Tidak pernah! Jujur, senantiasa bergairah dalam bekerja, dan penuh vitalitas, itulah Joni. Pekerjaannya pun selalu beres dan memuaskan. Karena itulah wajar jika karir bapak dua anak itu melesat.

Ia meniti karir dari bawah. Naik jenjang demi jenjang. Dalam waktu singkat, cuma tiga tahun, kini ia menduduki posisi manajer pemasaran sebuah perusahaan yang memproduksi makanan dalam kemasan.

Namun, kasus penipuan itu begitu mengejutkan semua orang. Ia pun sempat panik. Sebuah surat kabar Ibu Kota hari itu memberitakan: seorang manajer pemasaran di PT Sumber Kencana Damai terlibat kasus penipuan. Memang, nama Joni tidak disebut secara lengkap. Hanya inisialnya, JS. Tapi, semua orang di kantornya tahu siapa yang dimaksud. Dan, nama perusahaan disebutkan dengan lengkap, termasuk alamatnya.

Joni membaca ulang berita di koran itu. Lebih teliti lagi. Semuanya menunjuk dirinya. Lalu, satu per satu karyawan kantor itu berdatangan. Semua orang, yang berjumpa dengan Joni, selalu memandang dengan tatapan tak seperti biasanya. Atmasubrata, Direktur Operasional, memandangnya dengan sinis. Kemudian ia berlalu tanpa menyinggung kasus yang diberitakan koran.

Joni menjadi serba salah tingkah. Bagaimana mungkin? pikir Joni kalut. Penipuan. Perselingkuhan. Gila!

Telepon di meja Joni berdering. Operator telepon memberitahukan bahwa istrinya ingin bicara.

"Ya, ya," sambut Joni. "Ada apa, Ma?"

"Pa, sudah baca Media Bisnis hari ini?" tanya istrinya.

"Iya, kamu tenang saja, Ma. Segalanya akan beres-beres saja," hibur Joni.

"Bagaimana saya bisa tenang, Pa. Ini kasus besar. Papa berselingkuh. Papa menipu orang jutaan. Papa bisa dihukum!" suara istrinya terdengar keras, disertai isak tangis.

"Aku tak pernah melakukan semua itu," bantah Joni. "Oke, nanti aku jelaskan. Tolong kamu tenang saja. Aku harus menyelesaikannya sesegera mungkin."

"Tapi, Pa...."

"Klek!" Joni meletakkan gagang telepon. Lalu duduk menyandarkan punggungnya di sandaran kursi empuknya. Pandangannya menyapu seisi ruang. Anak buahnya segera menunduk dan kembali menekuni pekerjaannya masing-masing.

"Pak, ini surat-surat yang harus ditandatangani," Rini, salah seorang staf Bagian Pemasaran, menyodorkan stofmap yang berisi beberapa surat dan lampiran laporan penjualan.

Tanpa bicara Joni memeriksa lembar demi lembar kertas di stafmap itu. Lalu membubuhkan tanda tangannya.

Seorang office boy mengantarkan sepucuk surat. "Ada surat untuk Bapak," kata si office boy menyodorkan sepucuk surat.

"Bukan surat dinas," gumam Joni sambil membuka amplop surat. Aku tak kenal nama ini. Novi Bintarti. Aku tak kenal, kata Joni dalam hati.

 

... Mas Joni telah menipu saya. Mas berjanji untuk memasukkan saya bekerja di kantormu. Dan, Mas Joni hendak menikahi saya. Mana janji-janji itu ....

Demikian antara lain isi surat itu. "Gila! Aku enggak kenal dia!" runtuk Joni marah.

Semua staf di ruang Bagian Pemasaran memandang heran ke arah atasannya itu. Joni tampak panik. Lalu, ia keluar ruangan, menuju ruang direktur utama. Ia berpikir, masalah ini langsung diberitahukan direktur utama. Ia tahu, Pak Indro sangat baik. Walau bukan urusan perusahaan, ia bersedia melayani keluhan anak buahnya.

Joni mengetuk pintu. Pak Indro membenahi letak kacamatanya dan mempersilakan Joni masuk.

"Selamat pagi, Pak," sapa Joni ramah.

"Pagi. Silakan duduk. Ada apa Pak Joni? Tidak seperti biasanya, wajah Anda tampak keruh. Ada masalah?" kata Indro, lelaki berperut buncit dan kepalanya botak itu.

"Tentang berita di koran itu, Pak," kata Joni.

"Saya sudah baca. Saya hampir tak percaya. Saya mengenal Pak Joni. Rasanya kok tak mungkin Pak Joni melakukannya," komentar Indro.

"Koran ini bohong, Pak. Saya tidak melakukannya," ujar Joni.

"Kalau begitu Pak Joni bicarakan dengan Bagian Humas," saran Indro.

"Ini mencemarkan nama baik perusahaan." Joni gelisah. "Kita harus menuntutnya ke pengadilan. Saya tidak melakukan semua tuduhan itu."

"Ya, ya, Pak Joni hubungi Humas. Lebih cepat, lebih baik. Agar kasus ini tidak berlarut-larut," lanjut Indro.

 

"Saya punya alibi. Selama tiga bulan terakhir ini saya tak keluar kota."

"Ya, ya, saya tahu." Indro membenahi letak kacamatanya.

Joni undur diri. Melangkah di lorong, naik lift. Berhenti di lantai empat. Pintu lift terbuka dan Joni keluar. Lalu, ia masuk ke ruangan Bagian Humas. Deg! jantung Joni bagai berhenti berdenyut. Polisi? Tiga orang polisi berada di ruang humas.

"Selamat pagi," sapa Joni.

Semua staf Bagian Humas menatap tajam ke arah Joni. Tatapan itu bagaikan jarum yang menusuk hatinya. Pedih!

"Pak Joni," kata Hariman, manajer hubungan masyarakat, "Anda diminta ikut ke kantor polisi untuk dimintai keterangan."

"Ya, ini suratnya," kata salah seorang polisi sambil menyodorkan surat panggilan.

Joni tak berkutik. Ia pun turut dengan harapan ia bisa menjelaskan duduk persoalannya dan berharap polisi bisa membantu mengungkap kasus itu. Hariman turut serta untuk mendampingi Joni menghadapi pemeriksaan.

 

"Dalam tiga bulan ini, saya tidak pernah ke Surabaya. Saya tidak kenal gadis itu. Saya bisa membuktikan alibi saya. Teman-teman di kantor, serta keluarga saya sebagai saksinya bahwa saya tidak pernah keluar kota, apalagi ke Surabaya. Saya ingin dipertemukan dengan yang namanya ... siapa, Pak, oh, ya, Novi Bintarti. Agar segalanya jelas," tutur Joni di hadapan penyidik di sebuah kantor polisi di Jakarta Pusat.

"Ya, ya, sebentar lagi Nona Novi akan datang," kata Kasat Serse Kapten (Pol) Suharno, sambil melirik jam tangannya.

Lima menit, sepuluh menit, dan akhirnya satu jam kemudian wanita yang ditunggu-tunggu muncul di ruang Kasat Serse. Mengenakan baju terusan warna biru muda bermotif kembang-kembang, wanita itu duduk di samping Joni di hadapan sang Kapten. Joni mengamati wanita cantik itu. Tapi, wanita itu tak mempedulikannya.

"Nona Novi," kata Kaptek Suharno, "apakah Anda kenal dengan Bapak ini?"

Novi menoleh ke samping. Memandang ke arah Joni. Dahinya mengerut. Lalu ia menggeleng. "Tidak!"

"Nah, Pak, berarti bukan saya," cetus Joni sedikit lega.

"Sekarang coba ceritakan kasus Nona," perintah Kapten Suharno.

"Tiga bulan lalu saya berkenalan dengan lelaki yang mengaku bernama Joni Sukarta." Novi berhenti sejenak. Mengeluarkan kartu nama. Menyodorkan ke Kapten Suharno. Lalu Kapten Suharto memberikan ke Joni.

"Ya, ini kartu nama saya," tukas Joni spontan.

"Ia mengaku manajer pemasaran PT Sumber Kencana Damai Jakarta. Singkat kata saya terbujuk rayuannya. Saya hanyut hingga ... ah, saya tidak sampai hati menceritakan yang ini. Malu, Pak." Novi menghela napas. Dalam. "Ia juga berjanji memberikan pekerjaan di kantornya. Dengan imbalan uang jasa. Ya, seperti yang pernah saya ceritakan tempo hari kepada Bapak," cerita Novi.

"Ya, ya, tolong ceritakan kembali, agar Pak Joni tahu. Dan, ciri-ciri orang yang mengaku Joni Sukarta itu bagaimana?" kata Kapten Suharno.

"Badannya tegap, wajahnya tampan, kulit putih ... sebentar, Pak, saya menyimpan fotonya." Novi mengeluarkan dua lembar foto. "Ini nih tampangnya." Novi menyerahkan foto itu kepada Kapten Suharno.

"Ya, memang berbeda dengan Joni Sukarta yang asli," komentar Kapten Suharno pendek. Lalu, ia menunjukkan kepada Joni. Dengan alis mengerut, Joni mencermati foto lelaki itu. "Pak Joni mengenal lelaki di foto itu?"

"Saya kenal, Pak. Namanya Kikin. Ia bekas karyawan di kantor kami. Staf saya. Ia dipecat karena perilakunya buruk, korupsi, dan pekerjaannya tak pernah beres. Mungkin ia sakit hati, karena saya lah yang mengusulkan agar dia dipecat," ungkap Joni lancar.

"Yah, kalau begitu Pak Joni dan Nona Novi bisa membantu kami untuk menangkap penipu itu," kata Kapten Suharno.

"Pokoknya saya akan menuntut ke pengadilan," tandas Novi menggebu-gebu.

"Saya butuh rehabilitasi nama saya. Nama saya tercemar. Saya juga akan menuntutnya. Ini pencemaran nama baik.

Hari itu Joni pulang dari kantor polisi dengan beban tugas baru. Tidak hanya mengurusi pemasaran produk makanan kemasan, tapi juga turut menangkap penipu.

 [puisi]  [novel]  [sinetron]  [skripsi]  [profil]
[surat-surat] [proses kreatif] [artikel] [respons] [guestbook] [bahasa]

 

1